Materi Sosiologi SMA Kelas XI Bab 3: Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Konflik Sosial
Tujuan Pembelajaran
1. Peserta didik diharapkan mampu menjelaskan konsep konflik sosial dan kekerasan, serta dampak yang ditimbulkan.
2. Peserta didik diharapkan mampu menjelaskan berbagai resolusi konflik dan upaya membangun perdamaian.
3. Peserta didik diharapkan mampu memanfaatkan analisis konflik dalam penelitian
4. Peserta didik diharapkan mampu melakukan penyelidikan dan pemecahan kasus berorientasi pemecahan masalah konflik.
5. Peserta didik diharapkan mampu mengomunikasikan laporan hasil penyelidikan yang memuat rekomendasi pemecahan konflik sosial di lingkungan sekitar.

A. Konflik Sosial
1. Konflik dan Kekerasan
a. Konflik
Kata 'konflik berasal dari bahasa Latin configere yang artinya 'saling memukul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik didefinisikan sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Dengan demikian, secara sederhana, konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras, dan bertentangan.

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik termasuk bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif. 

Baca Juga: Pengertian Proses Sosial Disosiatif, Bentuk, dan Contohnya

Berikut beberapa pengertian konflik dari para ahli:
1) Soerjono Soekanto (2015) menyebut konflik sebagai suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.
2) Lewis A. Coser (dalam Sunarto, 2004) berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan.
3) John Lewis Gillin dan John Philip Gillin melihat konflik sebagai bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan (oppositional process). Artinya, konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku.

Konflik lahir dari kenyataan akan adanya perbedaan- perbedaan, misalnya perbedaan ciri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat.

Menurut Ralf Dahrendorf (dalam Sunarto, 2004), masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang. Kekuasaan adalah dominasi satu pihak atas pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi.

Dahrendorf menamakan kondisi itu sebagai imperatively coordinated associations (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Kepentingan yang berbeda antara pihak-pihak yang berbeda dalam suatu asosiasi akan menimbulkan polarisasi dan konflik antara pihak-pihak tersebut.

Perbedaan-perbedaan dalam masyarakat akan memuncak menjadi konflik ketika sistem sosial masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Hal itu mendorong masing-masing individu atau kelompok untuk saling menghancurkan.

Soerjono Soekanto (2015) mengatakan bahwa "perasaan" memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan, seperti amarah dan rasa benci, mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau menghancurkan Individu atau kelompok lawan.

De Moor, sistem sosial dapat dikatakan mengandung konflik hanya jika para penghuni sistem tersebut membiarkan dirinya dibimbing oleh tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) yang bertentangan dan terjadi secara besar-besaran.

Lewis A. Coser menyatakan bahwa konflik terbuka lebih umum terjadi pada hubungan-hubungan sosial yang parsial daripada hubungan-hubungan sosial yang personal dan intim. Meskipun demikian, perbedaan atau perselisihan dalam hubungan sosial yang intim juga berpotensi menimbulkan konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak dan lebih menghancurkan daripada konflik yang terjadi dalam hubungan sosial parsial.

Coser menyatakan bahwa dalam hubungan yang intim, umumnya, orang berusaha menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik. Namun, hal itu akan menyebabkan akumulasi permusuhan yang sewaktu-waktu bisa meledak.

b. Kekerasan
kekerasan adalah bentuk lanjutan dari konflik sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
1) Robert Audi menjelaskan kekerasan sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang (Setiadi dan Kolip, 2013).
2) Johan Galtung mengartikan kekerasan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual (Setiadi dan Kolip, 2013)

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh, atau penindasan. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence).

Kekerasan juga menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi atau meniadakan hak seseorang, mengintimidasi memfitnah, dan meneror orang lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menjerumuskan seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. Kekerasan seperti itu digolongkan sebagai kekerasan tidak langsung (indirect violence).

Secara sosiologis, kekerasan umumnya terjadi saat individu atau kelompok yang berinteraksi mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial itu, timbullah tindakan-tindakan irasional yang cenderung merugikan pihak lain, tetapi menguntungkan diri sendiri.

N. J. Smelser (Giddens, 2009) meneliti kekerasan yang bersifat massal atau kerusuhan. Menurutnya, ada lima tahap dalam kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis (berurutan) dan tidak dapat terjadi satu atau dua tahap saja. Berikut kelima tahap tersebut.
1) Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, atau tidak adanya saluran atau sarana komunikasi untuk mengungkapkan kejengkelan atau ketidakpuasan.
2) Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3) Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, misalnya terhadap pemerintah, kelompok ras, atau agama tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan, seperti sindiran dan kata-kata kasar.
4) Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasian diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan. Sasaran aksi ini dapat ditujukan pada objek yang langsung memicu kekerasan atau pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan, seperti pemerintah dan polisi.
5) Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga, seperti aparat keamanan, untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan atau kerusuhan.

Baca Juga: Definisi Kerusuhan (Riot), Sebab, dan Contohnya

Ada beberapa teori tentang kekerasan, antara lain sebagai berikut.
1) Teori faktor individual
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Agresivitas perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kolektif; secara spontan maupun direncanakan.

Faktor penyebab perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, psikoneurosis, frustrasi kronis, serta pengaruh obat bius. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya, dan media massa/sosial.

2) Teori faktor kelompok
Beberapa ahli lain mengemukakan pandangan bahwa, sering setiap individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau etnis. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.

Benturan antara identitas kelompok yang berbeda menjadi penyebab kekerasan. Contoh yang paling nyata dari hal ini dapat kita saksikan pada kerusuhan antara dua kubu suporter dalam pertandingan sepak bola. Contoh lain adalah kekerasan rasial yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Amerika Serikat.

3) Teori dinamika kelompok

Teori dinamika kelompok
Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif (kehilangan rasa memiliki) yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat dan tidak mampu ditanggapi dengan seimbang oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya.

2. Faktor Penyebab Konflik Sosial
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konflik merupakan bagian dari sebuah proses interaksi sosial manusia untuk mencapai tujuan atau harapan. Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu yang terlibat dalam suatu interaksi.

Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi perbedaan fisik, kepentingan, kebutuhan. pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan. Dengan ciri-ciri individual yang terdapat dalam interaksi sosial, konflik menjadi bagian yang akan selalu ada (inherent) dalam dinamika sosial suatu masyarakat.

Leopold von Wiese dan Horward Becker (Soekanto, 2015) mengemukakan empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat, yaitu perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.

3. Macam Konflik Sosial
Konflik dapat dibedakan berdasarkan dimensinya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elite (pemerintah, pengusaha atau kelompok bisnis, dan militer) dan massa (rakyat). Adapun konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antaranggota massa (rakyat).

Simon Fisher (Susan, 2014) menyebutkan beberapa tipe konflik, yaitu sebagai berikut.
a. Tanpa konflik, yaitu suatu keadaan yang relatif stabil karena terdapat hubungan damai dan saling memenuhi antarkelompok dalam masyarakat. Hal tersebut bukan berarti tidak ada konflik sama sekali, tetapi masyarakat mampu mencegah terjadinya konflik yang mengarah pada kekerasan.
b. Konflik laten, yaitu suatu keadaan yang memiliki banyak masalah yang tersembunyi sehingga perlu diangkat agar dapat diselesaikan.
c. Konflik terbuka, yaitu suatu keadaan ketika konflik sudah mengakar dan tampak nyata di permukaan sehingga perlu diambil tindakan untuk menyelesaikannya.
d. Konflik di permukaan, yaitu suatu keadaan di mana konflik terjadi akibat adanya kesalahpahaman.

Berdasarkan bentuknya, Lewis A. Coser membedakan konflik ke dalam dua bentuk, yaitu
a. Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial.
b. Konflik nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonistis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Dalam masyarakat tradisional, pembalasan dendam lewat ilmu gaib merupakan bentuk konflik nonrealistis. Demikian juga dengan upaya mencari "kambing hitam yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju.

Berdasarkan kedua bentuk konflik di atas, Lewis A. Coser membedakan konflik menjadi konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok itu sendiri. Konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara satu kelompok dan kelompok lain.

Ralf Dahrendorf, membedakan konflik menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a. Konflik antara peran-peran sosial.
b. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
c. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak terorganisasi.
d. Konflik-konflik di antara satuan nasional.

Baca Juga: Pengertian Konflik Peran, Faktor, Penyebab, Jenis, dan Contohnya

Berkaitan dengan pihak-pihak yang berkonflik, Soerjono Soekanto (2015) menyebutkan lima bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat: konflik pribadi, konflik rasial, konflik antara kelas-kelas sosial, konflik politik, konflik internasional.

Adapun dari sudut psikologi sosial, Ursula Lehr mengemukakan bentuk-bentuk konflik sebagai: Konflik dengan orang tua sendiri, Konflik dengan anak-anak sendiri, Konflik dengan keluarga, Konflik dengan orang lain, Konflik di sekolah, Konflik dalam pemilihan pekerjaan, Konflik agama, Konflik pribadi.

4. Dampak Konflik dan Kekerasan
Meskipun konflik sosial merupakan proses disosiatif mengarah pada kemungkinan terjadinya kekerasan, konflik juga merupakan suatu proses sosial yang mempunyai segi positif bagi masyarakat.

Menurut Lewis A. Coser, konflik merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Tidak adanya konflik dalam sebuah masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan sosial masyarakatnya.

Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda hubungan sosial yang hidup dan dinamis. Sebenarnya, masyarakat yang memperbolehkan terjadinya konflik adalah masyarakat yang cenderung terhindar dari kemungkinan ledakan konflik dan kehancuran struktur sosial.

Segi positif suatu konflik adalah sebagai berikut.
a. Konflik dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas ditelaah.
b. Konflik memungkinkan adanya penyesuaian norma-norma, nilai-nilai, serta hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
c. Konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group solidarity) yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
d. Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok.
e. Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
f. Konflik dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
g. Konflik memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang.

Segi negatif suatu konflik adalah sebagai berikut.
a. Keretakan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok.
b. Kerusakan harta benda dan jatuhnya korban manusia.
c. Berubahnya sikap kepribadian para individu, baik yang mengarah kepada hal-hal positif maupun negatif.
d. Munculnya akomodasi atau dominasi.

B. Penanganan Konflik Sosial untuk Menciptakan Perdamaian
Untuk meminimalisasi timbulnya dampak negatif konflik di dalam masyarakat, kita perlu mempersiapkan langkah- langkah penanganan konflik.

Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menjelaskan bahwa penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.
1. Pencegahan Konflik
Pencegahan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik.  Potensi konflik ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
a. Harga diri dan kebanggaan kelompok terusik.
b. Pendirian atau sikap yang berbeda.
c. Kebudayaan yang dimiliki tiap etnis berbeda.
d. Kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan berbenturan.
e. Perubahan yang terlalu cepat sehingga mengganggu keseimbangan sistem dan keamanan.

Pencegahan konflik merupakan tanggung jawab seluruh anggota masyarakat, baik individu, kelompok, maupun pemerintah. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam masyarakat, antara lain sebagai berikut.
a. Mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit.
b. Menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.
c. Mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d. Menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain.
e. Mengembangkan rasa persatuan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
f. Menyelesaikan perselisihan secara damai, melalui musyawarah untuk mufakat.
g. Mengedepankan dialog antarkelompok masyarakat.
h. Menegakkan hukum tanpa diskriminasi.
i. Membangun karakter bangsa serta melestarikan nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal.
j. Memelihara kondisi damai dalam masyarakat.
k. Meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini.

2. Resolusi Konflik
Menurut KBBI, kata resolusi berarti suatu putusan atau kebulatan pendapat yang berupa permintaan, ataupun tuntutan dalam sebuah rapat atau musyawarah.

Resolusi juga bisa diartikan sebagai pernyataan tertulis yang berisi kalimat-kalimat yang berupa pemecahan masalah atau solusi dari permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, resolusi merupakan bagian dari suatu pemecahan masalah.

Baca Juga: Pengertian Resolusi Konflik, Kompetensi, Strategi, Metode, Jenis, Langkah dan Keuntungannya

Tujuan penanganan konflik sosial di antaranya menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera. Penanganan konflik juga bertujuan untuk memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan, memelihara fungsi pemerintahan, dan melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum.

Tujuan lainnya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban dan pemulihan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum, dan meningkatkan tenggang rasa serta toleransi.

Apabila kita membahas resolusi konflik, kita harus menganalisis suatu konflik agar dapat menentukan faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkannya, dan langkah pengelolaannya. Tujuannya agar kita dapat mencari alternatif resolusi konflik yang tepat serta menyosialisasikan dan mengaplikasikannya ke dalam masyarakat.

Konflik merupakan gejala sosial yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat. Sebagai gejala sosial konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah mengendalikan agar konflik tersebut tidak berkembang menjadi kekerasan (violence).

Ada tiga syarat agar sebuah konflik tidak berakhir dengan kekerasan. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut
a. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari adanya situasi konflik di antara mereka. Dengan kesadaran tersebut, mereka akan berusaha melaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur.
b. Pengendalian konflik tersebut hanya mungkin bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan terorganisasi dengan jelas. Jika tidak, pengendalian atas konflik sulit dilakukan.
c. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama. Aturan main tersebut akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai. Melalui aturan itu, setiap kelompok akan enggan berlaku tidak adil. Mereka juga akan meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok lain dan memantau munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan kedua kelompok.

3. Manajemen Konflik
Pada umumnya, masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya. Beberapa sosiolog menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve), yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik.

Baca Juga: Pengertian Manajemen Konflik, Kompetensi, Tujuan, Model, Tipe, dan Strateginya

Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Katup tersebut membiarkan luapan permusuhan tersalurkan tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat itu menyediakan objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak yang bertikai agar tersalur ke arah lain. 

Baca Juga: Lewis A. Coser. Mempertahankan Struktur Melalui Konflik

Namun, katup tersebut hanya merupakan sarana yang bersifat sementara. Tujuan utamanya adalah untuk menetralkan ketegangan- ketegangan yang timbul dari situasi pertentangan. Sementara itu, menurut Georg Simmel, terdapat beberapa cara untuk mengendalikan atau menghentikan konflik, yaitu sebagai berikut.
a. Kemenangan salah satu pihak atas pihak lainnya.
b. Kompromi atau perundingan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga tidak ada pihak yang sepenuhnya menang dan tidak ada pihak yang merasa kalah.
c. Rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai. Hal tersebut akan mengembalikan suasana persahabatan dan saling percaya di antara pihak-pihak yang bertikai.
d. Saling memaafkan atau salah satu pihak memaafkan pihak yang lain.
e. Kesepakatan untuk tidak berkonflik.

Secara umum, ada beberapa bentuk pengendalian konflik sosial, antara lain sebagai berikut.
a. Kompromi
Kompromi (compromise) adalah kondisi ketika pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian atas konflik yang akan atau sudah terjadi.

b. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak yang bertikai untuk mencapai suatu kesepakatan. Bentuk pengendalian konflik seperti ini dilakukan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak- pihak yang bertikai.

Berbagai kelompok kepentingan yang bertikai bertemu di dalam lembaga ini untuk menyelesaikan konflik mereka. Agar dapat berfungsi efektif dalam menyelesaikan konflik, lembaga-lembaga konsiliasi harus memenuhi empat hal berikut.
1) Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang otonom. Keputusan yang diambilnya merupakan keputusan murni tanpa campur tangan lembaga lain.
2) Kedudukan lembaga tersebut dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolitis. Artinya, hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
3) Lembaga tersebut harus berperan agar kelompok yang bertikai merasa terikat kepada lembaga tersebut.
4) Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil.

c. Mediasi
Pengendalian konflik dengan cara mediasi dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga ini akan memberikan pemikiran atau nasihat-nasihatnya tentang cara terbaik dalam menyelesaikan pertentangan mereka.

Sekalipun pemikiran atau nasihat pihak ketiga tersebut tidak mengikat, cara pengendalian ini kadang menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Cara mediasi cukup efektif untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul dalam konflik.

Dengan cara mediasi, ada kemungkinan pihak-pihak yang berkonflik akan menarik diri tanpa harus "kehilangan muka". Seseorang dapat menjadi mediator jika memenuhi syarat berikut.
1) Adil dan bertanggung jawab.
2) Mampu bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.
3) Memiliki sikap menghormati dan mengerti berbagai perbedaan pendapat.
4) Memiliki keinginan untuk berbagi dan ikut merasakan.
5) Memfokuskan diri pada persoalan, bukan kesalahan.

Setelah seseorang ditunjuk menjadi mediator, ia harus melaksanakan tugas-tugas berikut.
1) Mempersiapkan usulan pertemuan antarpihak yang bertikai untuk membahas masalah.
2) Mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk berperan secara langsung dalam proses mediasi.
3) Melakukan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak yang bertikai, jika dianggap perlu.
4) Mendorong kedua belah pihak yang bertikai untuk menelaah kepentingan mereka.
5) Mendorong kedua belah pihak yang bertikai untuk mencari solusi atau penyelesaian atas konflik yang terjadi.

Selain dituntut untuk bersikap netral, mediator juga harus atau memberikan bersikap adil dan bertanggung jawab. Netral yang dimaksud dalam hal ini adalah seorang mediator tidak berpihak atau tidak membantu salah satu pihak yang sedang bersengketa.

Bersikap adil, artinya seorang mediator harus memberikan masukan secara proporsional, yaitu menempatkan sesuatu pada tempat dan kapasitasnya. Adapun sikap bertanggung jawab memiliki makna bahwa dalam melakukan tugasnya, seorang mediator akan merasa senang jika pihak bersengketa dapat berdamai sesuai dengan yang diharapkan dan menghargai keputusan yang sudah disepakati.

d. Arbitrase
Arbitrase merupakan cara untuk mencapai kompromi apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Arbitrase atau perwasitan umumnya dilakukan apabila kedua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Dalam mediasi, pemikiran atau nasihat dari pihak ketiga bukan merupakan keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang berkonflik. Sebaliknya, dalam arbitrase atau perwasitan, kedua belah pihak harus menerima keputusan yang diambil pihak ketiga (wasit).

4. Transformasi Konflik
Transformasi konflik (conflict transformation) adalah proses menanggulangi berbagai permasalahan, sumber-sumber, dan dampak negatif dari konflik. Dalam praktiknya, transformasi konflik ini membutuhkan proses yang panjang.

Untuk melakukan transformasi konflik, kita perlu memahami dinamika konflik dengan melihat sumber konflik, menganalisis karakter hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik, mencari model tindakan yang harus dilakukan, dan melihat penahapan konflik.

Menurut Paul Wehr (Bartos dan Wehr dalam Susan, 2014), dinamika konflik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh eskalasi konflik atau peningkatan tindakan koersif antarpihak yang berkonflik hingga muncul aksi kekerasan dan deeskalasi konflik atau penurunan berbagai aktivitas tersebut.

Tahapan dinamika konflik menurut Simon Fisher adalah sebagai berikut (Susan, 2014).
a. Prakonflik adalah adanya situasi ketidaksesuaian antara pihak satu dengan pihak lain.
b. Konfrontasi adalah mulai terbukanya suatu konflik. Dalam hal ini, pihak-pihak yang merasa ada masalah akan melakukan perilaku konfrontasi.
c. Krisis adalah puncak terjadinya konflik atau pecahnya suatu konflik.
d. Pascakonflik adalah keadaan yang mengakhiri berbagai konflik atau konfrontasi. Pada tahap ini hubungan antara kedua belah pihak mengarah ke keadaan normal.

Berdasarkan pemahaman terhadap dinamika konflik tersebut, proses transformasi konflik dapat dirancang. Proses transformasi konflik meliputi hal-hal berikut (Susan, 2014).
a. Menciptakan perdamaian (peacemaking), yaitu melakukan intervensi militer dengan cara diplomatik untuk mengakhiri konflik.
b. Menjaga perdamaian (peacekeeping), yaitu melakukan intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak melakukan aksi kekerasan kembali.
c. Pengelolaan konflik (conflict management), yaitu menciptakan berbagai usaha untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan berbagai pihak.
d. Pembangunan perdamaian (peacebuilding), yaitu meningkatkan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak yang bertikai.

5. Membangun Perdamaian Sosial

Membangun Perdamaian Sosial
Secara etimologis, istilah perdamaian di wilayah satu dengan wilayah lain berbeda. Istilah damai ini sering diartikan sebagai ketenteraman, harmoni, dan ketenangan. Dalam praktiknya, perdamaian merupakan usaha untuk mengelola konflik identitas ataupun kepentingan yang dilakukan secara jangka panjang.

Pelaksanaan perdamaian ini dapat diartikan sebagai situasi sempurna dari suatu hubungan sosial. Hal ini ditandai dengan tidak adanya konflik dan kekerasan, munculnya saling memahami atau menghormati perbedaan, serta adanya keadilan sosial. Jika perdamaian ini dapat dilakukan, yaitu dengan mengutamakan dialog diharapkan akan tercipta kemaslahatan umat.

Baca Juga: Pengertian Damai, Perdamaian, dan Konsep Perdamaian

C. Penelitian Berbasis Pemecahan Konflik
Untuk merumuskan pemecahan atau solusi konflik yang baik dan dapat dilaksanakan, kita dapat menggunakan langkah-langkah penelitian sosial.
1. Tahap Identifikasi atau Pemetaan Konflik
Dalam merumuskan pemecahan atau solusi konflik, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi unsur-unsur yang terdapat pada konflik dan melakukan pemetaan konflik.

Pemetaan konflik menurut Simon Fisher (Susan, 2014) meliputi pihak-pihak yang berkonflik dan aspirasi dari berbagai pihak.

Untuk melihat pihak-pihak yang berkonflik beserta permasalahannya, Hugh Miall membuat panduan tentang pemetaan konflik, yaitu sebagai berikut (Susan, 2014).
a. Siapa yang menjadi inti pihak bertikai? Apa subkelompok internal mereka dan pada apa mereka tergantung?
b. Apa yang menjadi persoalan konflik? Apa mungkin membedakan antara posisi, kepentingan, dan kebutuhan?
c. Apa hubungan antara pihak-pihak yang bertikai? Apak ada ketidaksimetrisan kualitatif dan kuantitatif?
d. Apa persepsi penyebab dan sifat konflik di antara pihak-pihak yang bertikai?
e. Apa perilaku akhir-akhir ini pihak yang bertikai?
f. Siapa pemimpin pihak yang bertikai? Pada tingkat elite dan individual, apa tujuan, kebijakan, kepentingan, kekuatan dan kelemahan relatif mereka.

Selain Hugh Miall, Amr Abdalla, seorang sosiolog dari University for Peace yang dibentuk oleh PBB, juga memetakan konflik dengan model SIPABIO (source, issues, parties, attitudes, behavior, intervention, dan outcome) (Susan, 2014).
a. Source (sumber konflik), yaitu konflik dihasilkan da sumber-sumber yang berbeda sehingga lahir bentuk konflik yang berbeda pula.
b. Issues (isu-isu), yaitu tujuan yang tidak sejalan antarpihak yang bertikai.
c. Parties (pihak), yaitu pihak-pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik.
d. Artitudes (sikap), yaitu perasaan atau pandangan yang memengaruhi pola perilaku konflik.
e. Behavior (perilaku/tindakan), yaitu tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berkonflik.
f. Intervention (campur tangan pihak lain), yaitu campur tangan atau tindakan yang dilakukan oleh pihak luar/netral untuk menemukan pemecahan masalah.
g. Outcome (hasil akhir), yaitu dampak atau situasi yang ditimbulkan dari pihak yang berkonflik.

Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan, peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan informasi-informasi yang akan dibutuhkan dalam merumuskan masalah penelitian, menentukan tujuan dan manfaat pelaksanaan penelitian, serta menentukan landasan teori dan metodologi penelitian. Rumusan ini yang kemudian disusun sebagai rancangan penelitian.

Baca Juga: Pengertian Pemetaan Konflik, Fungsi, Tujuan, dan Tekniknya

2. Tahap Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang biasa digunakan dalam penelitian sosial adalah wawancara, observasi, kuesioner atau angket, diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion), dan studi literatur. Teknik yang digunakan tergantung pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, dan sampel yang digunakan.

Contohnya, teknik kuesioner paling tepat digunakan apabila sampel penelitian berjumlah besar. Namun, dalam penelitian sosial, biasanya para peneliti menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mengurangi kesalahan atau bias data dari teknik yang digunakan.

Adapun observasi adalah aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan memperoleh data secara langsung dari lapangan. Observasi dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Namun, sebagai metode pengumpulan data observasi atau pengamatan harus memenuhi beberapa kriteria berikut.
a. Pengamatan telah direncanakan secara sistematis.
b. Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian
c. Pengamatan harus dicatat secara sistematis.
d. Pengamatan dapat dicek dan dikontrol kebenarannya.

Observasi dapat dibedakan sebagai berikut.
a. Observasi partisipasi. Pada observasi ini, peneliti ikut terlibat dalam kegiatan yang sedang diamatinya sehingga memperoleh data yang sebenarnya.
b. Observasi simulasi. Pada observasi ini, peneliti menyimulasikan keinginannya kepada responden sehingga responden dapat memberikan informasi yang sesuai dengan keinginan peneliti.

Ada beberapa instrumen yang dapat digunakan pada metode observasi, antara lain sebagai berikut.
a. Daftar riwayat kelakuan (anecdotal record), yaitu catatan acak yang dibuat peneliti setiap kali mengamati kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan responden.
b. Skala penilaian (rating scale), yaitu skala yang digunakan untuk menetapkan penilaian secara bertingkat serta untuk mengamati kondisi dan situasi secara kualitatif.
c. Daftar cek (check list), yaitu format yang berisi catatan setiap faktor atau aspek yang akan diamati dan digunakan sewaktu pengamatan berlangsung. Peneliti akan memberikan tanda centang pada kolom-kolom yang telah disediakan dalam format pengamatan.
d. Peralatan mekanik (mechanical device), yaitu sarana pendokumentasian peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek penelitian dengan menggunakan alat-alat seperti alat perekam dan kamera.
e. Human instrument, yaitu peneliti yang bertindak selaku instrumen penelitian pada penelitian kualitatif. Posisi peneliti sangat penting karena keberhasilan penelitian sangat bergantung pada kemampuannya mengambil atau mengumpulkan data-data yang diperlukan. 

Baca Juga: Pengertian Pengumpulan Data, Prinsip, Proses, dan Metodenya

3. Tahap Analisis Data
Langkah pertama yang dilakukan peneliti saat menganalisis data penelitian adalah editing dan coding (pengodean). Editing adalah meneliti atau memeriksa kembali data yang telah terkumpul dari lapangan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam editing adalah kelengkapan data, kejelasan dalam pengisian jawaban sehingga dapat dipahami, konsistensi atau keselarasan antara pertanyaan dan jawaban responden, serta relevansi jawaban.

Pada saat melakukan editing, peneliti tidak diperbolehkan mengubah kuesioner ataupun jawaban yang diberikan responden atau informan.

Coding disebut juga dengan pengodean. Biasanya, pengodean dilakukan dengan memberikan simbol atau berupa angka pada jawaban responden atau informan. Angka-angka inilah yang disebut dengan kode.

Dalam pengodean, semua variabel diberi kode, kemudian ditentukan tempatnya dalam coding sheet (coding form) atau matriks. Cara pengodekan dapat dibagi dalam tiga kategori sebagai berikut.
a. Pertanyaan tertutup yang jawabannya sudah ditentukan. Responden tinggal memilih satu atau lebih jawaban yang tersedia.
b. Pertanyaan terbuka yang jawabannya belum dikategorikan
c. Pertanyaan semiterbuka yang sebagian jawabannya sudah ditentukan, tetapi responden masih dimungkinkan untuk memberikan jawaban lain.

Setelah mengedit dan memberi kode data mentah yang diperoleh dari lapangan, langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan data melalui tabulasi atau persentase. Kegiatan ini bertujuan agar data tampak lebih sederhana ringkas, dan mudah dipahami.

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menyajikan data. Penyajian data dilakukan untuk menganalisis masalah agar mudah dicari pemecahannya. Penyajian data mempunyai banyak tujuan bergantung pada jenis penyajian data yang dipilih.

Terdapat beberapa bentuk penyajian data di antaranya adalah tabel dan grafik. Namun, secara umum fungsi penyajian data adalah sebagai berikut.
a. Memberi gambaran yang sistematis tentang peristiwa-peristiwa yang merupakan hasil penelitian atau observasi.
b. Mempercepat dalam menangkap dan mengerti data.
c. Memudahkan dalam membuat analisis data.
d. Membuat proses pengambilan keputusan dan kesimpulan lebih tepat, cepat, dan akurat.

Setelah menyajikan data, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Secara umum, saat melakukan analisis data dalam pemecahan konflik, peneliti perlu memaham profil dari konflik tersebut, seperti konteks dan sejarahnya mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dan pihak-pihak yang terlibat konflik, serta memetakan dan menganalisis dinamik konflik yang terjadi.

Baca Juga: Pengertian Analisa Data, Tujuan, Prosedur, Jenis, dan Keuntungannya

Pemetaan konflik adalah salah satu langkah dalam analisis konflik yang bertujuan memberikan gambaran awal tentang sikap, perilaku, dan kondisi dalam suatu konflik. Melalui pemetaan konflik, akan didapatkan analisis terstruktur tentang konflik, yang dapat digunakan dalam perumusan penyelesaian konflik

Setelah mendapatkan gambaran dari pemetaan konflik, analisis dinamika konflik dapat dilakukan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memahami dinamika konflik, yaitu sebagai berikut (Susan, 2014).
a. Mengidentifikasi sumber konflik.
b. Menganalisis hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik.
c. Menganalisis tahapan terjadinya konflik.

Berdasarkan analisis dinamika konflik, seorang peneliti dapat merumuskan langkah-langkah pemecahan atau intervensi konflik yang tepat.

Selain pemetaan konflik, ada beberapa metode analisis konflik lain, yaitu sebagai berikut (Ohana, dkk., 2012).
a. Segitiga ABC, yaitu mengidentifikasi sikap (attitudes), perilaku (behaviour), dan kontradiksi (contradiction) yang merupakan komponen dasar konflik.
b. Model bawang, yaitu memvisualisasi posisi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik menggunakan perumpamaan bawang.
c. Pohon konflik, yaitu memvisualisasi konflik menggunakan pohon. Batang pohon menggambarkan masalah utama. Akar pohon menggambarkan faktor-faktor penyebab konflik. Daun menggambarkan dampak dan akibat dari konflik tersebut.
d. Piramida konflik, yaitu mengidentifikasi pihak atau kelompok yang berkepentingan dalam suatu konflik menggunakan bentuk piramida.

Saat melakukan analisis, peneliti bisa mengombinasikan beberapa metode untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih akurat sehingga rekomendasi yang disusun dapat dilaksanakan untuk memecahkan dan menyelesaikan konflik yang sedang terjadi.

4. Rekomendasi Penyelesaian Konflik
Sebelumnya telah dibahas mengenai beberapa langkah penanganan konflik, yaitu pencegahan konflik, resolusi konflik, manajemen konflik, dan transformasi konflik.

Sumber:
Maryati, Kun, Juju Suryawati, Nina R. Suminar. 2023. Kelompok Mata Pelajaran Pilihan: Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga. Jakarta 

Download

Lihat Juga

Program Tahunan (Prota) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka)

Program Semester (Prosem) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka) 

Capaian Pembelajaran Sosiologi Fase F 

Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP) Sosiologi SMA Fase F (Kurikulum Merdeka)

Modul Ajar Sosiologi SMA Fase F - Bab 3 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka) 

PPT Materi Sosiologi SMA Kelas XI Bab 3 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Video Materi Sosiologi SMA Kelas XI Bab 3 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

PPT Penerbit: PPT Media Pembelajaran Sosiologi XI KM - Bab 3

Infografis Materi Konflik Sosial

Lembar Kerja 3. 1  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)  

Lembar Kerja 3. 2  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Lembar Kerja 3. 3  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Lembar Kerja 3. 4  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)  

Lembar Kerja 3. 5  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Lembar Kerja 3. 6  Materi Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka) 

Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Bab 3. 1 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Bab 3. 2 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)  

Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Bab 3. 3 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Bab 3. 4 Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)

Soal Model AKM Sosiologi Kelas XI (Fase F) Uji Capaian Pembelajaran 2 (Kurikulum Merdeka) 

Soal Uji Pemahaman Materi Sosiologi Kelas XI Bab 3:

Soal Pilihan Ganda Klik di SINI

Soal Esai Klik di SINI

Soal Uji Capaian Pembelajaran 2 Fase F (Kelas XI):

Soal Pilihan Ganda Klik di SINI

Soal Esai Klik di SINI

Baca Juga:

Buku untuk Siswa Sosiologi SMA Kelas XI (Fase F) Bab 3 Kurikulum Merdeka

Buku Panduan Guru Sosiologi SMA Kelas XI (Fase F) Bab 3 Kurikulum Merdeka

Buku Guru Sosiologi Kelas XI (Fase F) Kurikulum Merdeka

Buku Siswa Sosiologi Kelas XI (Fase F) Kurikulum Merdeka

Materi P5 : Bullying (Perundungan): Pengertian, Kategori, Karakteristik, Faktor Penyebab, Jenis, Teori, dan Peran Orang Tua

Video Materi P5 tentang Perundungan (Bullying)

PPT Materi P5 tentang Perundungan (Bullying) untuk Kurikulum Merdeka
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Materi Sosiologi SMA Kelas XI Bab 3: Konflik Sosial (Kurikulum Merdeka)"