Uraian Komprehensif Teori Konflik dalam Sosiologi: Konsep, Tokoh, dan Relevansinya di Era Modern

Table of Contents

Teori Konflik dalam Sosiologi

1. Pendahuluan: Konflik sebagai Mesin Perubahan Sosial

Teori Konflik adalah salah satu dari tiga perspektif teoretis utama dalam sosiologi yang menyediakan kerangka analitis untuk memahami fenomena sosial. Berbeda dengan pandangan Fungsionalisme Struktural yang berfokus pada solidaritas dan stabilitas, Teori Konflik berargumen bahwa individu dan kelompok dalam masyarakat berinteraksi berdasarkan konflik, bukan konsensus. Istilah "konflik" itu sendiri berasal dari bahasa Latin, con-fligere, yang secara etimologis berarti "berbenturan" atau "tabrakan", sebuah definisi yang secara fundamental mencerminkan esensi pertentangan yang menjadi inti dari perspektif ini.

Baca Juga: Uraian Komprehensif Teori Struktural Fungsional dalam Sosiologi: Konsep, Tokoh, dan Penerapannya

Pendekatan ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar. Pertama, masyarakat dipandang berada dalam keadaan ketidakstabilan dan perubahan yang konstan, bukan keseimbangan atau harmoni. Dalam pandangan ini, perubahan sosial bukanlah proses penyesuaian yang mulus, melainkan akibat langsung dari konflik yang menghasilkan kompromi atau kondisi baru. Dinamika perubahan ini bersifat terus-menerus, yang berarti perubahan sosial akan selalu mengikuti keberlanjutan konflik. 

Kedua, akar dari segala konflik adalah perebutan sumber daya yang terbatas atau langka, termasuk nilai, status, dan kekuasaan. Teori ini berpendapat bahwa karena sumber daya ini tidak terdistribusi secara merata, kelompok-kelompok yang merasa dirugikan akan berjuang untuk mendapatkan bagian yang lebih adil atau untuk menumbangkan dominasi pihak lain. Ketiga, struktur sosial bukanlah hasil dari konsensus atau integrasi, melainkan cerminan dari persaingan dan dominasi yang terjadi di antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Munculnya Teori Konflik sebagai salah satu "teori besar" dalam sosiologi tidak terlepas dari posisinya sebagai reaksi intelektual terhadap dominasi Fungsionalisme Struktural, terutama pada pertengahan abad ke-20. Para kritikus Teori Fungsionalisme berpendapat bahwa teori tersebut terlalu berlebihan dalam menekankan konsensus, integrasi, dan pandangan statis terhadap masyarakat. Pandangan yang cenderung melihat segala hal dari sudut pandang yang baik ini membuat Fungsionalisme dianggap gagal menjelaskan fenomena konflik, kekerasan, dan perubahan sosial yang cepat. 

Oleh karena itu, Teori Konflik muncul sebagai sebuah proyek intelektual yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan memperkaya analisis sosiologi dengan menyoroti sisi masyarakat yang diabaikan oleh paradigma lain. Pandangan ini tidak hanya sekadar deskripsi, tetapi juga sebuah kritik metodologis dan substansial yang menekankan bahwa untuk memahami masyarakat secara utuh, sosiolog harus berani menganalisis ketegangan dan ketidaksetaraan yang ada di baliknya.

2. Pilar Teori Konflik: Kontribusi Para Pemikir Klasik

Fondasi Teori Konflik dibangun oleh serangkaian pemikir klasik dan modern yang memperluas dan menyempurnakan gagasan awalnya. Kontribusi dari Karl Marx, Max Weber, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf membentuk pemahaman sosiologis yang kompleks tentang peran konflik dalam masyarakat.

2.1. Karl Marx: Konflik Kelas dan Kapitalisme

Karl Marx sering dianggap sebagai figur sentral yang meletakkan dasar bagi Teori Konflik. Bagi Marx, konflik adalah titik paling sentral dalam masyarakat, terutama konflik yang terjadi antara kaum kapitalis (borjuis) dan kaum buruh (proletar). Ia memandang bahwa masyarakat terbagi menjadi dua kelas utama berdasarkan hubungan mereka dengan alat produksi. Kaum borjuis adalah pemilik alat produksi, sementara kaum proletar hanya memiliki tenaga kerja yang harus mereka jual untuk bertahan hidup.

Baca Juga Karya-Karya Marx:

Uraian Komprehensif Buku Capital: A Critique of Political Economy Karya Karl Marx 

Analisis Komprehensif Manifesto Komunis Karya Karl Marx: Konteks, Teori, dan Warisan Intelektual 

Uraian Lengkap Isi Buku The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 Karya Karl Marx

Analisis Marx berpusat pada konsep eksploitasi. Ia berpendapat bahwa kaum borjuis mengakumulasi modal dengan mengeksploitasi "nilai lebih" (surplus value) dari kerja kaum proletar. Nilai lebih ini adalah perbedaan antara nilai yang dihasilkan oleh buruh dan upah yang mereka terima. Ketidakadilan struktural ini, menurut Marx, akan secara sistematis memicu ketegangan dan pertentangan kelas yang tak terhindarkan. Pada puncaknya, kesadaran kelas dari kaum proletar akan memicu revolusi sosial, yang pada akhirnya akan menghancurkan sistem kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dengan demikian, bagi Marx, konflik adalah kekuatan pendorong utama di balik perubahan sosial yang radikal.

2.2. Max Weber: Multidimensi Konflik

Meskipun sangat dipengaruhi oleh Marx, Max Weber memperluas analisis konflik dengan menolak pandangan determinisme ekonomi. Ia berpendapat bahwa konflik tidak hanya berasal dari dimensi ekonomi, tetapi juga dari dua dimensi lain yang setara: status (kehormatan dan prestise sosial) dan partai (kekuasaan politik). Dalam pandangan Weber, stratifikasi sosial bukanlah sebuah fenomena tunggal, tetapi pengelompokan vertikal yang didasarkan pada ketidaksetaraan dalam tiga arena tersebut.

Analisis Weber ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam evolusi Teori Konflik, mengubahnya dari penjelasan yang bersifat monokausalistik (ekonomi menentukan segalanya) menjadi pandangan yang lebih pluralistik. Pergeseran ini menunjukkan bahwa konflik dalam masyarakat modern yang kompleks bisa muncul dari berbagai sumber, termasuk perbedaan status sosial, identitas budaya, dan persaingan politik, di samping masalah ekonomi. Hal ini memungkinkan Teori Konflik untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan kerangka ekonomi, seperti konflik identitas, gerakan sosial, dan perjuangan kekuasaan politik.

3. Transformasi Teori Konflik Modern: Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf

Pada pertengahan abad ke-20, Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf memodifikasi Teori Konflik untuk berdialog lebih dekat dengan gagasan-gagasan sosiologi modern. Mereka membawa teori ini dari ranah makro yang berfokus pada revolusi skala besar menuju analisis yang lebih bernuansa tentang peran konflik dalam menjaga stabilitas dan memicu perubahan struktural.

3.1. Lewis A. Coser: Fungsi Positif Konflik

Lewis A. Coser menawarkan sebuah pandangan yang unik dan sering kali disebut sebagai "analisis fungsional tentang konflik". Ia berargumen bahwa konflik tidak selalu bersifat destruktif; sebaliknya, konflik dapat memiliki fungsi positif. Kontribusinya yang paling signifikan adalah mengidentifikasi bagaimana konflik dapat membantu dalam pembentukan dan pemeliharaan struktur sosial.

Coser menguraikan beberapa fungsi positif konflik:
1. Pengikat Solidaritas Kelompok: Terjadinya konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat identitas dan solidaritas di dalam kelompok yang berkonflik.
2. Pencipta Aliansi: Konflik dapat membantu kelompok-kelompok yang semula terisolasi untuk menciptakan ikatan dan aliansi dengan kelompok lain.
3. Media Komunikasi dan Pelepasan Ketegangan: Konflik berfungsi sebagai katup pengaman (safety valve), memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk melepaskan ketegangan yang terpendam dan mengkomunikasikan ketidakpuasan, yang pada akhirnya dapat membantu menjaga stabilitas hubungan.

Coser juga membedakan antara Konflik Realistis dan Konflik Non-realistis. Konflik Realistis berakar pada kekecewaan yang rasional dan spesifik dalam suatu hubungan, sementara Konflik Non-realistis didasarkan pada dendam pribadi atau kebencian yang tidak memiliki tujuan objektif selain untuk menghancurkan kebahagiaan pihak lain.

Baca Juga: Penjelasan Mendalam Isi Buku The Functions of Social Conflict (1956) Karya Lewis A. Coser: Teori Konflik Sosial, Fungsi, dan Relevansinya 

3.2. Ralf Dahrendorf: Konflik Otoritas dan Perubahan Sosial

Ralf Dahrendorf adalah sosiolog yang secara eksplisit mengkritik Fungsionalisme Struktural karena terlalu menekankan pada konsensus. Ia berpendapat bahwa masyarakat memiliki "dua wajah"—sisi konflik dan sisi konsensus—dan bahwa teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: Teori Konflik dan Teori Konsensus.

Konsep sentral dalam teori Dahrendorf adalah otoritas dan posisi. Ia berpendapat bahwa sumber konflik yang paling sistematis adalah distribusi otoritas yang tidak merata dalam masyarakat. Otoritas bukanlah karakteristik individu, tetapi melekat pada posisi sosial yang dimiliki seseorang. Konflik muncul dari dinamika antara kelompok yang memegang otoritas (yang berkuasa) dan kelompok yang tidak (yang dikuasai), di mana yang berkuasa berusaha untuk mempertahankan dominasi mereka dan yang dikuasai berusaha untuk menantangnya. Pandangan ini secara fundamental menempatkan konflik sebagai kunci bagi perubahan struktural sosial.

Kontribusi Dahrendorf yang memandang masyarakat memiliki "dua wajah" merupakan langkah maju yang signifikan dalam sosiologi modern. Dengan mengakui bahwa masyarakat tidak dapat dipahami hanya melalui satu lensa, ia membuka jalan bagi pendekatan teoretis yang lebih integratif. Hal ini menyiratkan bahwa untuk menganalisis masyarakat secara utuh, seorang sosiolog membutuhkan dialog konstan antara perspektif konflik (untuk menjelaskan perubahan, kekuasaan, dan ketidaksetaraan) dan perspektif konsensus (untuk menjelaskan stabilitas, keteraturan, dan integrasi). Paradigma ganda ini membantu menjelaskan mengapa masyarakat dapat tampak stabil, padahal di bawah permukaannya terdapat konflik yang menunggu untuk meletus dan memicu perubahan.

Baca Juga: Analisis Mendalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1959) Ralf Dahrendorf: Sintesis Konflik dan Konsensus dalam Era Pascakapitalis

4. Konsep-Konsep Inti dalam Teori Konflik

Teori Konflik dibangun di atas beberapa konsep inti yang membantu menjelaskan dinamika pertentangan dalam masyarakat.

4.1. Kekuasaan dan Dominasi

Dalam Teori Konflik, kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan satu kelompok untuk memaksakan kehendaknya pada kelompok lain, bahkan di tengah perlawanan. Kekuasaan tidak hanya terwujud dalam bentuk fisik, tetapi juga secara struktural, di mana dominasi satu kelompok (misalnya, kaum borjuis dalam analisis Marx) menciptakan ketidaksetaraan yang mendasari konflik. Distribusi kekuasaan dan otoritas yang tidak merata ini dianggap sebagai faktor penentu yang secara sistematis memicu konflik sosial.

4.2. Ketidaksetaraan Sosial-Ekonomi

Ketidaksetaraan sosial-ekonomi adalah pemicu konflik yang fundamental. Teori Konflik menegaskan bahwa perebutan atas sumber daya yang langka, seperti kekayaan, status, dan kekuasaan, yang tidak terdistribusi secara merata, merupakan akar dari segala pertentangan. Ketidaksetaraan ini menciptakan rasa ketidakadilan dan frustrasi di kalangan kelompok yang terpinggirkan atau merasa dirugikan, yang pada akhirnya dapat memicu ketegangan sosial dan, dalam beberapa kasus, kekerasan.

4.3. Sumber Daya Langka

Menurut pandangan Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, dan kekuasaan. Sumber daya ini tidak terbatas pada hal-hal materi, tetapi juga mencakup sumber daya politik, sosial, dan budaya. Contoh nyata dari perjuangan untuk sumber daya langka ini dapat dilihat dalam persaingan untuk mendapatkan akses lahan, eksploitasi sumber daya alam, dan ketersediaan pekerjaan yang layak. Perjuangan ini seringkali mempolarisasi masyarakat menjadi kelompok "status quo" yang berusaha mempertahankan apa yang mereka miliki, dan kelompok "status need" yang berjuang untuk mendapatkannya.

5. Aplikasi Teori Konflik dalam Isu Sosial Kontemporer

Meskipun berakar pada analisis klasik, Teori Konflik tetap relevan untuk menganalisis isu-isu sosial modern. Kekuatan utamanya terletak pada kemampuannya untuk mengkritisi struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan yang tersembunyi.

5.1. Analisis Konflik Ekonomi dan Ketidaksetaraan

Di Indonesia, Teori Konflik dapat diterapkan untuk menganalisis berbagai fenomena, termasuk ketimpangan ekonomi dan konflik agraria. Banyak kasus konflik di sektor pertanian dan sumber daya alam, seperti antara petani dan perusahaan besar, mencerminkan persaingan untuk mendapatkan akses lahan dan penguasaan yang tidak adil terhadap kekayaan alam. Kasus-kasus ini dengan jelas menunjukkan bagaimana ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya menjadi pemicu utama ketegangan sosial.

Analisis dari perspektif konflik juga dapat diterapkan pada kebijakan publik. Contohnya, Program Keluarga Harapan (PKH) yang dicanangkan pemerintah untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun program ini bertujuan baik, sebuah analisis kritis menunjukkan bahwa dampak program ini dalam mengurangi ketimpangan secara fundamental masih terbatas karena cakupannya yang terbatas dan ketergantungan pada anggaran negara. Hal ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Teori Konflik, intervensi parsial sering kali gagal mengatasi akar masalah yang lebih dalam, yaitu ketidaksetaraan struktural. Analisis ini membuktikan bahwa Teori Konflik bukan sekadar artefak sejarah, melainkan alat analitis yang dinamis yang dapat diaplikasikan pada berbagai struktur kekuasaan modern.

5.2. Analisis Gender dan Pendidikan

Teori Konflik, khususnya dalam sub-perspektif feminis, menawarkan kerangka kerja untuk menganalisis ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Perspektif ini berargumen bahwa bias gender dan diskriminasi dalam sistem pendidikan adalah hasil dari struktur sosial patriarkis. Dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan sering kali dikondisikan sebagai "yang lain" (the other), di mana pendidikan mereka ditekankan pada peran masa depan sebagai istri dan ibu, yang pada akhirnya mengabaikan potensi intelektual dan partisipasi mereka yang lebih luas sebagai manusia.

Lebih lanjut, perspektif feminis yang mengadopsi teori Marxis memandang ketidakadilan gender sebagai akibat dari sistem kapitalisme yang menciptakan kelas yang tidak diuntungkan. Dalam hal ini, kaum perempuan dianggap sebagai kelas yang tereksploitasi dan dirugikan. Gerakan feminis kemudian berupaya meningkatkan kesadaran ini di kalangan perempuan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang teori gender, kelompok-kelompok yang merasa tidak adil dapat menggerakkan diri menuju perubahan sosial. Aplikasi pada isu-isu seperti ketidaksetaraan gender menunjukkan fleksibilitas dan daya adaptasi Teori Konflik dalam menganalisis berbagai struktur kekuasaan modern, baik yang berbasis ekonomi, politik, maupun sosial.

6. Kritik, Keterbatasan, dan Relevansi Modern

Meskipun merupakan salah satu teori paling berpengaruh, Teori Konflik tidak luput dari kritik. Kritik yang paling sering diajukan adalah bahwa teori ini dianggap terlalu mengabaikan aspek keteraturan, stabilitas, dan konsensus dalam masyarakat. Para kritikus berpendapat bahwa pandangan yang terlalu fokus pada pertentangan dan perubahan gagal menjelaskan mengapa masyarakat bisa bertahan dan berfungsi dalam kondisi damai. Selain itu, Teori Konflik juga dituduh memiliki dasar ideologi yang radikal dan seringkali bersifat parsial dalam analisisnya.

Namun, ketegangan antara fokus pada konflik dan pengabaian stabilitas ini justru menjadi sebuah dialektika sosiologis yang memperkaya ilmu pengetahuan. Di satu sisi, ada kritik yang menyebut Teori Konflik mengabaikan konsensus, namun di sisi lain, pandangan Lewis Coser secara eksplisit menunjukkan bahwa konflik dapat memperkuat solidaritas dan menjaga stabilitas. 

Demikian pula, Ralf Dahrendorf secara tegas menyatakan bahwa masyarakat memiliki "dua wajah"—konflik dan konsensus—yang keduanya sama-sama penting untuk analisis. Pertentangan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun teori tunggal yang dapat menjelaskan masyarakat secara utuh. Sebuah masyarakat yang tampak stabil mungkin hanya menekan konflik laten, dan perubahan radikal seringkali merupakan hasil dari ketegangan yang terpendam. Oleh karena itu, analisis yang komprehensif harus mempertimbangkan baik dinamika konflik maupun kebutuhan akan konsensus, sebagaimana yang dicontohkan oleh Dahrendorf, untuk menghasilkan pemahaman yang lebih kaya tentang realitas sosial.

7. Perbandingan Komparatif: Tiga Perspektif Sosiologi Utama

Untuk menempatkan Teori Konflik dalam lanskap teoretis sosiologi, penting untuk membandingkannya secara langsung dengan dua perspektif besar lainnya: Fungsionalisme Struktural dan Interaksionisme Simbolik.

7.1. Teori Konflik vs. Fungsionalisme Struktural

● Fokus Utama: Teori Konflik berfokus pada konflik dan ketidaksetaraan, sementara Fungsionalisme Struktural berfokus pada kesatuan dan stabilitas.
● Pandangan tentang Masyarakat: Teori Konflik melihat masyarakat sebagai arena persaingan untuk sumber daya langka. Sebaliknya, Fungsionalisme Struktural mengibaratkan masyarakat sebagai sistem yang saling terintegrasi dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan, layaknya organisme biologis.
● Peran Konflik: Teori Konflik memandang konflik sebagai kekuatan pendorong utama di balik perubahan sosial. Fungsionalisme, di sisi lain, melihat konflik sebagai gangguan yang harus diatasi untuk menjaga kestabilan.
● Level Analisis: Kedua teori ini beroperasi pada tingkat makro, yang berarti mereka menganalisis masyarakat dari perspektif struktur sosial yang lebih besar.

7.2. Teori Konflik vs. Interaksionisme Simbolik

● Fokus Utama: Teori Konflik berfokus pada perjuangan dan ketidaksetaraan antar kelompok, sementara Interaksionisme Simbolik berfokus pada interaksi sosial, simbol, dan makna antar individu.
● Level Analisis: Teori Konflik adalah perspektif makro, yang melihat masyarakat secara luas. Sebaliknya, Interaksionisme Simbolik adalah perspektif mikro, yang menganalisis interaksi tatap muka dan bagaimana individu menciptakan realitas sosial mereka melalui komunikasi.
● Pandangan tentang Manusia: Teori Konflik cenderung memandang individu dibatasi dan dibentuk oleh kekuatan sosial dan budaya yang lebih besar. Interaksionisme Simbolik, di sisi lain, memandang manusia memiliki akal dan kemampuan untuk menginterpretasikan makna, yang memungkinkan mereka untuk mengubah simbol dan membentuk dunia mereka sendiri.

7.3. Tabel Perbandingan Tiga Teori Utama Sosiologi

Tabel Perbandingan Tiga Teori Utama Sosiologi

8. Kesimpulan: Sintesis dan Prospek Teori Konflik

Secara keseluruhan, Teori Konflik adalah perspektif yang dinamis dan kritis yang menawarkan lensa yang kuat untuk menganalisis dinamika masyarakat. Teori ini telah berevolusi secara signifikan dari analisis ekonomi tunggal Karl Marx, yang melihat konflik sebagai hasil dari persaingan kelas, menjadi pandangan yang lebih multidimensional dari Max Weber, yang menambahkan dimensi status dan kekuasaan. Kontribusi Ralf Dahrendorf dan Lewis A. Coser lebih lanjut membawa teori ini ke dalam dialog dengan perspektif lain, menunjukkan bahwa konflik tidak selalu destruktif, tetapi bisa memiliki fungsi positif, dan bahwa masyarakat dapat dipahami melalui dua lensa: konflik dan konsensus.

Meskipun memiliki keterbatasan, seperti kritik bahwa ia terlalu berfokus pada pertentangan dan mengabaikan stabilitas, Teori Konflik tetap menjadi salah satu landasan teoretis paling penting dalam sosiologi. Relevansinya yang abadi terletak pada kemampuannya untuk mengkritisi asumsi harmoni dan keteraturan, serta menjelaskan akar dari ketidaksetaraan dan perubahan sosial. Seperti yang dibuktikan oleh penerapannya pada isu-isu kontemporer seperti ketimpangan ekonomi dan ketidaksetaraan gender, Teori Konflik adalah alat analitis yang fleksibel dan terus beradaptasi untuk memahami dinamika kekuasaan di berbagai sektor kehidupan.

Prospek Teori Konflik di masa depan bergantung pada kemampuannya untuk terus berdialog dengan teori-teori lain. Dialog ini, seperti yang diadvokasi oleh Dahrendorf, memungkinkan para sosiolog untuk menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif. Dengan menganalisis bagaimana konflik terjadi dalam konteks isu-isu modern seperti ketidaksetaraan global, konflik identitas, dan peran teknologi dalam distribusi kekuasaan, Teori Konflik akan terus menjadi pilar sentral dalam upaya sosiologi untuk menjelaskan kompleksitas dunia sosial.

Karya yang dikutip: 

Conference UIN Sunan Kalijaga. (n.d.). Pemahaman terhadap struktural fungsional dalam konteks pendidikan Islam. UIN Sunan Kalijaga. https://conference.uin-suka.ac.id/index.php/Pic/article/download/1350/859/2603

Coser, L. (n.d.). Lewis Coser: Analisa fungsional tentang konflik [Video]. YouTube. https://youtube.com/watch?v=XXXXXXXX

Digilib UIN Sunan Ampel. (n.d.). BAB II Kajian teori: Konflik. http://digilib.uinsa.ac.id/XXXXXXXX

Digilib UIN Sunan Ampel. (n.d.). BAB II Teori konflik sosial dalam perspektif Karl Marx. http://digilib.uinsa.ac.id/XXXXXXXX

Digilib UIN Sunan Ampel. (n.d.). BAB II Teori struktural fungsional. http://digilib.uinsa.ac.id/XXXXXXXX

E-journal Undiksha. (n.d.). Teori konflik sosiologi modern terhadap pembentukan identitas manusia. https://ejournal.undiksha.ac.id/XXXXXXXX

Fatmawati, D. (n.d.). Struktural fungsional sistem …. Jurnal Analisa Sosiologi, Universitas Sebelas Maret. https://jurnal.uns.ac.id/jas/article/download/58113/35474

Filsafat UGM. (n.d.). Pendidikan, gender, dan kesetaraan. Fakultas Filsafat UGM. https://filsafat.ugm.ac.id/XXXXXXXX

Gauth. (n.d.). Perbandingan antara teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. https://www.gauthmath.com/XXXXXXXX

Gramedia Literasi. (n.d.). Teori interaksi simbolik menurut ahli. https://www.gramedia.com/literasi/XXXXXXXX

Istadiyantha. (n.d.). Tiga teori besar dalam sosiologi. https://istadiyantha.com/XXXXXXXX

Jurnal Komunikasi Digital. (n.d.). Teori utama sosiologi komunikasi (fungsionalisme struktural, teori konflik, interaksi simbolik). https://jkd.komdigi.go.id/XXXXXXXX

Jurnal Post. (n.d.). Kritik struktural fungsionalisme. https://jurnalpost.com/XXXXXXXX

Jurnal STAIM Mempawah. (n.d.). Teori sosial struktural fungsional dalam pengembangan pendidikan Islam. STAIM. http://jurnal.staimempawah.ac.id/XXXXXXXX

Jurnal Universitas Pahlawan. (n.d.). Implementasi teori-teori gender dalam pembangunan karir keluarga. https://journal.universitaspahlawan.ac.id/XXXXXXXX

Kumparan. (n.d.). Mengenal sistem-sistem dalam teori konflik menurut Max Weber. https://kumparan.com/XXXXXXXX

Kumparan. (n.d.). Mengenal teori konflik menurut Ralf Dahrendorf. https://m.kumparan.com/XXXXXXXX

Kumparan. (n.d.). Memahami teori interaksionisme simbolik menurut para ahli. https://kumparan.com/XXXXXXXX

Kompas. (n.d.). 3 perspektif sosiologi: Fungsional, konflik sosial, dan interaksionisme simbolik. https://kompas.com/XXXXXXXX

Kompasiana. (n.d.). Teori konflik Lewis A. Coser. https://kompasiana.com/XXXXXXXX

Kompasiana. (n.d.). Teori konflik dan dinamika ketidaksetaraan serta persaingan. https://kompasiana.com/XXXXXXXX

Media Neliti. (n.d.). Kesetaraan gender dalam pendidikan (Rustan Efendy). https://media.neliti.com/XXXXXXXX

OSF. (n.d.). Makalah teori konflik. https://osf.io/XXXXXXXX

Pustaka Universitas Terbuka. (n.d.). Perspektif teori sosiologi – Modul 1. https://pustaka.ut.ac.id/XXXXXXXX

ResearchGate. (n.d.). Konsep konflik dan teori konflik sosial dalam pemikiran Karl Marx. https://researchgate.net/XXXXXXXX

Repository UIN Suska. (n.d.). BAB II Landasan teori. https://repository.uin-suska.ac.id/XXXXXXXX

Repository Universitas Negeri Padang. (n.d.). Dinamika perubahan sosial dalam teori konflik. https://repo.unespadang.ac.id/XXXXXXXX

Repository Unsrat. (n.d.). Tumengkol, S. M. (n.d.). Teori sosiologi: Suatu perspektif tentang teori konflik dalam masyarakat industri. Universitas Sam Ratulangi. https://repo.unsrat.ac.id/XXXXXXXX

Ru.Scribd. (n.d.). Makalah teori pembelajaran sastra (feminisme). https://ru.scribd.com/XXXXXXXX

Spada UNS. (n.d.). Teori feminisme. https://spada.uns.ac.id/XXXXXXXX

Tirto.id. (n.d.). Teori konflik sosial menurut Max Weber dan pengertiannya. https://tirto.id/XXXXXXXX

Universitas Muhammadiyah Surabaya. (n.d.). Teori konflik sosiologi klasik dan modern. https://journal.um-surabaya.ac.id/XXXXXXXX

UPI. (n.d.). Perubahan sosial masyarakat dalam perspektif sosiologi Talcott Parsons di era new normal. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi. https://ejournal.upi.edu/XXXXXXXX

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment