Manusia Satu Dimensi di Era Algoritma: Analisis Kritis Pemikiran Herbert Marcuse tentang Dominasi dan Represi dalam Masyarakat Digital Modern
I. Pendahuluan Kritis: Marcuse dan Transisi ke Kapitalisme Digital
A. Latar Belakang: Fenomena Masyarakat Digital dan Krisis Rasionalitas
Masyarakat kontemporer dicirikan oleh dinamika digitalisasi yang intens, di mana konvergensi industri dan teknologi informasi telah mengubah fundamental interaksi sosial, politik, dan ekonomi. Para pakar komunikasi semakin sepakat bahwa kita hidup dalam era informasi, di mana informasi telah menjadi elemen vital dan urat nadi yang menopang keputusan sosial, politik, dan bisnis. Adopsi teknologi inovasi yang cepat ini didorong oleh persepsi komparatif mengenai pemanfaatan praktis, kompatibilitas nilai dengan kebutuhan, dan kemudahan pemakaian.
Namun, di balik narasi kemajuan dan efisiensi ini, terdapat kritisisme mendalam yang dapat ditarik dari kerangka Teori Kritis Herbert Marcuse, salah satu tokoh utama Mazhab Frankfurt. Marcuse menyediakan landasan filosofis yang krusial untuk menganalisis bagaimana teknologi, yang sejatinya memiliki potensi pembebasan, telah diubah menjadi alat dominasi dan kontrol sosial. Analisis ini melampaui kritik terhadap masyarakat industri maju tahun 1960-an; ia mengkritik fase eskalasi yang terjadi di era digital saat ini.
B. Relevansi Teori Manusia Satu Dimensi Abad ke-21
Inti dari kritik Marcuse dalam One-Dimensional Man adalah terbentuknya tatanan sosial yang membuat individu kehilangan kemampuan berpikir kritis dan melihat alternatif sosial. Masyarakat maju, yang disebut Marcuse sebagai masyarakat yang sepenuhnya teradministrasi (totally administered society), telah berhasil menyerap, menetralkan, dan menghilangkan dimensi negasi atau oposisi.
Jika pada era industri maju, Marcuse melihat bahwa teknologi menindas melalui struktur produksi dan media massa tradisional, kini muncul situasi yang lebih rumit. Teknologi digital, terutama Kecerdasan Buatan (AI) dan algoritma, memungkinkan kontrol yang jauh lebih personal, prediktif, dan imersif. Rasionalitas teknologis yang dulu beroperasi di tingkat institusi dan media massa, kini telah bergeser menjadi arsitektur algoritmik yang terpersonalisasi. Eskalasi ini mengubah sifat dominasi dari "kontrol sosial" yang dipaksakan secara eksternal menjadi "kontrol kognitif" yang terintegrasi secara internal. Kontrol ini bersifat total dan personal, menjadikannya jauh lebih pervasive daripada yang pernah Marcuse bayangkan. Dalam realitas digital, ancaman kekerasan atau kekurangan tidak lagi diperlukan; sistem ekonomi modern mempertahankan diri melalui kebutuhan palsu dan desublimasi represif, yang secara artifisial merekayasa realitas sehari-hari bagi individu.
C. Struktur Argumentasi dan Tujuan Penelitian Kritis
Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa masyarakat digital kontemporer, melalui logika Kapitalisme Digital, telah mengkonsolidasikan Manusia Satu Dimensi ke dalam bentuk barunya: Manusia Satu Dimensi Digital. Individu ini terintegrasi sepenuhnya ke dalam siklus konsumsi dan pemikiran homogen yang didominasi oleh teknologi yang terideologisasi. Analisis ini akan menggunakan pilar-pilar kritik Marcuse—Rasionalitas Teknologi, Kebutuhan Palsu, dan Penghapusan Negasi—untuk membedah mekanisme kontrol dalam arsitektur digital (algoritma, big data) dan dampaknya terhadap kesadaran kritis.
II. Landasan Filosofis: Tiga Pilar Kritik Marcuse
A. Rasionalitas Teknologi sebagai Ideologi
Marcuse, seorang filsuf yang tergolong dalam jajaran "romantisme-distopia" teknologi, menolak pandangan netralitas teknologi. Dalam pandangannya, teknologi telah tercampur dengan balutan ideologis, yang membuatnya berfungsi bukan sekadar untuk meningkatkan produktivitas, melainkan untuk mempertahankan struktur kekuasaan kapitalis yang eksploitatif.
Kritik Marcuse membedakan antara rasionalitas substantif—yang mempertimbangkan nilai-nilai dan tujuan akhir kemanusiaan—dan rasionalitas instrumental—yang hanya berfokus pada efisiensi cara untuk mencapai tujuan tanpa mempertanyakan tujuan itu sendiri. Dalam konteks digital, rasionalitas komputasional yang diemban oleh algoritma adalah manifestasi tertinggi dari rasionalitas instrumental. Efisiensi, kecepatan, dan optimasi (misalnya, memaksimalkan user engagement atau conversion rate) menjadi tujuan akhir yang menentukan arsitektur platform, terlepas dari dampaknya terhadap kualitas hidup manusia atau kebebasan berpikir. Rasionalitas ini mengarahkan dorongan alamiah manusia ke dalam bentuk yang diatur dan terkontrol oleh otoritas sosial dan politik, sebuah kondisi yang disebut sebagai teradministrasikan.
B. Konsep Kebutuhan Palsu (False Needs) dan Represi-Berlebih (Surplus-Repression)
Marcuse membuat distingsi yang tajam antara kebutuhan sejati dan kebutuhan palsu. Kebutuhan sejati, seperti nutrisi, tempat tinggal, dan koneksi manusiawi yang otentik, adalah fundamental untuk eksistensi dan perkembangan individu yang sehat. Sebaliknya, kebutuhan palsu adalah keinginan yang dipaksakan (superimposed) oleh kepentingan sosial tertentu (kapitalisme) untuk tujuan penindasan individu. Kebutuhan palsu ini berfungsi untuk melanggengkan siklus kerja keras, agresi, kesengsaraan, dan ketidakadilan.
Meskipun kebutuhan palsu bersifat merusak bagi masyarakat secara keseluruhan, individu yang berusaha memenuhinya dapat merasakan gratifikasi yang intens dan stimulus yang menyenangkan, sehingga mereka meyakini bahwa mereka bertindak tanpa cela. Ini menghasilkan democratic unfreedom (ketidakbebasan demokratis)—suatu keadaan perbudakan yang nyaman dan bahkan menyenangkan, di mana kepuasan konsumen menggantikan partisipasi politik sejati dan perubahan sosial.
Kebutuhan palsu digital, seperti kebutuhan untuk memiliki gadget terbaru, validasi konstan melalui likes atau followers di media sosial, dan konsumsi konten yang disajikan secara personal, merupakan manifestasi dari surplus-repression (repression-berlebih). Surplus-repression adalah penindasan tambahan yang melampaui represi dasar yang diperlukan untuk mempertahankan peradaban (repression ontogenetik dan filogenetik berdasarkan teori Freud) dan secara khusus dimanfaatkan oleh sistem kapitalis. Dominasi digital sangat mengandalkan manipulasi psikologis melalui kepuasan yang terstruktur. Individu satu dimensi digital secara sukarela memasukkan diri ke dalam sistem represi-berlebih ini, mengira mereka sedang berekspresi atau memenuhi hasrat, padahal mereka hanya memperkuat siklus kerja dan konsumsi yang tidak perlu.
C. Dimensi Negasi (The Negating Dimension) dan Penghapusan Kontradiksi
Bagi Marcuse, inti dari pemikiran kritis atau dialektika adalah "kekuatan berpikir negatif". Dialektika berfungsi untuk meruntuhkan kepastian akal sehat dan kepercayaan terhadap kekuatan fakta yang mapan, mendemonstrasikan bahwa ketidakbebasan begitu mendasar di inti segala sesuatu sehingga hanya kontradiksi internal yang dapat mengarah pada perubahan kualitatif. Kritik Marcusean juga menegaskan bahwa akal dialektis mengandung "penilaian yang mengutuk realitas yang mapan".
Kritik Marcuse terhadap masyarakat satu dimensi adalah bahwa dimensi negasi ini telah terserap atau dihilangkan, menghasilkan homogenisasi dalam masyarakat. Ketika teknologi dan konsumsi massal berhasil menciptakan tatanan yang menghilangkan perbedaan pendapat dan oposisi, masyarakat kehilangan kemampuan untuk membayangkan atau mewujudkan alternatif sosial yang lebih bebas.
Tabel 1 menyajikan pergeseran mekanisme dominasi dari masyarakat industri lanjut (AIS) ke masyarakat digital kontemporer (MDC), berdasarkan kerangka Marcuse.
Table 1: Pergeseran Paradigma Kontrol Marcusean
III. Arsitektur Kontrol Digital: Mekanisme Pembentukan Manusia Satu Dimensi
A. Kapitalisme Digital dan Oligopoli Platform
Kapitalisme digital telah memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, dengan kekayaan dan kekuatan pasar terkonsentrasi di tangan segelintir pemain global, membentuk sistem oligopoli. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga mengancam kebebasan individu dan mendorong konformitas. Raksasa platform ini mengontrol infrastruktur dan data digital, menciptakan ketidaksetaraan struktural yang tidak disadari.
Kritik ekonomi politik media menunjukkan bahwa masalah serius dalam Kapitalisme Digital adalah dualisme Data as Capital dan Data as Labor. Eksploitasi yang ada pada era kapitalisme industri terus berlanjut di era digital. Aktivitas digital pengguna—mulai dari klik, likes, hingga waktu yang dihabiskan di layar—dikomodifikasi dan menjadi sumber akumulasi modal baru bagi korporasi teknologi besar (The Big Five).
Kondisi ini merupakan perluasan dari surplus-repression Marcuse, yang mengkritik prinsip prestasi (performance principle) yang menindas dalam pekerjaan. Dalam era digital, kerja tidak lagi terbatas pada ruang fisik atau waktu kantor; ia terus diekstraksi secara laten melalui setiap interaksi digital. Individu satu dimensi digital berfungsi sebagai pekerja 24/7 yang tidak menyadari bahwa aktivitas "rekreasi" atau "sosial" mereka secara simultan menghasilkan data dan modal yang memperkuat sistem yang menindas mereka. Eksploitasi ini disamarkan di balik kepuasan kebutuhan palsu dan keterlibatan konstan (engagement).
B. Dominasi Algoritmik dan Ekonomi Perhatian (Attention Economy)
Algoritma merupakan perwujudan praktis dari rasionalitas teknologis yang berideologi. Dalam masyarakat yang teradministrasi, algoritma berperan sebagai dominasi birokrasi dan teknokrasi yang mengelola masyarakat. Platform digital menggunakan algoritma untuk meningkatkan efisiensi operasional dan, yang lebih penting, untuk memahami perilaku pelanggan dan memprediksi tren pasar, sehingga meningkatkan keunggulan kompetitif mereka.
Dalam konteks media sosial, pembentukan kebutuhan palsu oleh iklan berbasis algoritma adalah manifestasi dari kapitalisme digital yang menekan kebebasan manusia. Teknologi digital telah diubah menjadi alat kontrol yang kuat di tangan korporasi besar, berfungsi untuk memanipulasi dan mengontrol pikiran serta perilaku individu, memperkuat dominasi kapitalisme dan mengurangi ruang untuk pemikiran kritis. Media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga ruang di mana konsumsi dan kontrol ekonomi terjadi secara masif.
C. Big Data dan Pengawasan Teradministrasi (Administered Society)
Big Data, yang berasal dari berbagai sumber seperti AI, perangkat seluler, media sosial, dan Internet of Things (IoT), memberikan wawasan yang sangat mendalam dan akurat bagi korporasi. Kemampuan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengolah data dalam skala besar ini memungkinkan organisasi untuk beradaptasi dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan secara lebih baik.
Dari perspektif Marcusean, Big Data adalah mekanisme pengawasan yang memungkinkan sistem sosial mengarahkan dorongan alamiah manusia ke dalam bentuk yang diatur dan terkendali. Dengan memantau dan memprediksi tren perilaku, sistem dapat meredam penindasan ekspresi diri dan kreativitas, menghasilkan homogenisasi dan konformitas yang merupakan ciri sentral dari masyarakat satu dimensi. Ini menunjukkan bahwa kontrol bukan lagi bersifat ad hoc, melainkan teradministrasi secara sistematis, prediktif, dan berkelanjutan.
IV. Konsolidasi Represi: Budaya dan Kesadaran di Era Digital
A. Desublimasi Represif Digital
Desublimasi represif (repressive desublimation) adalah konsep kunci Marcuse yang menjelaskan bagaimana masyarakat maju meredam potensi revolusioner. Ini adalah pelepasan pemuasan insting yang diarahkan kembali untuk memperkuat tatanan sosial yang ada. Marcuse berpendapat bahwa ini adalah proses yang menekan pemikiran kritis dan potensi revolusioner publik.
Di era digital, platform streaming dan budaya konten menawarkan gratifikasi instan dan tak terbatas. Konsumsi yang mudah diakses ini secara efektif menetralkan energi kritis. Seni dan budaya, yang dulunya menyediakan dimensi negasi (that which is not), kini "diratakan" menjadi komoditas yang terintegrasi dalam masyarakat kapitalis. Marcuse mencatat bahwa "Musik jiwa juga adalah musik penjualan" (The music of the soul is also the music of salesmanship).
Masyarakat satu dimensi dirancang untuk menjadi lebih pasif karena instrumen masyarakat diarahkan untuk menghilangkan perbedaan pendapat serius. Desublimasi represif digital memastikan bahwa ketidakbahagiaan, frustrasi, atau keinginan akan perubahan radikal segera diredam oleh pemuasan sensorik yang tersedia 24/7. Hal ini menciptakan masyarakat yang secara psikologis terdemobilisasi. Daripada mengarahkan hasrat pembebasan ke proyek-proyek transformatif, sistem digital mengarahkan hasrat tersebut ke konsumsi dangkal, yang secara efektif menghilangkan potensi protes radikal.
B. Filter Bubble dan Repressive Tolerance
Dominasi digital secara khusus menargetkan Dimensi Negasi melalui mekanisme epistemologis. Algoritma personalisasi menghasilkan filter bubble dan echo chamber, yang secara efektif mengisolasi pengguna dari informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka, membatasi pandangan dunia menjadi versi yang disesuaikan dan homogen.
Konsep dialektika Marcuse menekankan bahwa pemikiran kritis harus menjaga entitas dan kontradiksi tetap terbuka dan ambigu, dengan "cakrawala terbuka" dan "alam semesta makna yang tidak pernah tertutup". Filter bubble, sebaliknya, secara metodis menutup cakrawala makna ini dengan menghilangkan eksposur terhadap kontradiksi. Ini adalah penindasan epistemologis yang mengarah pada pemikiran satu dimensi.
Selain itu, dominasi ini diperkuat oleh Repressive Tolerance (toleransi represif). Marcuse berpendapat bahwa toleransi dalam masyarakat kapitalis berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Media sosial dan platform berita mengizinkan keberadaan perbedaan pendapat, namun hal ini terjadi di atas "dasar batasan struktural toleransi" dan dalam "mentalitas yang telah dibentuk sebelumnya". Mengizinkan suara-suara sumbang untuk eksis dalam kerangka kerja yang dikontrol justru menetralkan potensi perubahan yang bermakna. Dissent menjadi bagian dari tontonan yang dapat dikonsumsi, tanpa benar-benar mengancam struktur kekuasaan.
C. Komodifikasi Diri (Self-Commodification)
Manusia Satu Dimensi Digital semakin didorong untuk mengidentifikasi diri mereka dengan kebutuhan palsu yang disematkan oleh sistem. Media sosial, seperti Instagram, telah menjadi sarana untuk memanipulasi dan mengontrol perilaku individu, mendorong konformitas melalui penguatan dominasi kapitalisme.
Dalam logika ini, identitas diri individu diubah menjadi komoditas pasar yang harus dioptimalkan. Nilai diri diukur dengan "mata uang" digital (seperti likes atau followers), memaksa individu untuk mengelola dan memasarkan diri mereka sendiri sebagai produk, sehingga memperkuat tatanan kapitalis secara sukarela. Hilangnya ekspresi diri sejati dan kreativitas akibat sublimasi represif (diarahkan oleh otoritas sosial) mengarah pada homogenisasi identitas, yang berpusat pada kepuasan keinginan yang bersifat dangkal dan komersial.
V. Peluang Negasi dan Strategi The Great Refusal Digital
A. Ambivalensi Teknologi Marcuse: Menjembatani Optimisme dan Pesimisme
Meskipun One-Dimensional Man (1964) menekankan kekuatan destruktif teknologi dalam meningkatkan eksploitasi kapitalis, Marcuse tidak menolak teknologi secara inheren. Dalam karyanya berikutnya, An Essay on Liberation (1969), ia menunjukkan adanya potensi pembebasan sejati yang dapat diwujudkan melalui teknologi, asalkan teknologi tersebut dilepaskan dari dominasi politik dan ekonomi.
Marcuse berargumen bahwa teknologi yang membebaskan harus berorientasi pada tujuan pengembangan kemanusiaan seutuhnya, bukan sekadar alat dominasi. Bagi para kritikus teknologi, refleksi Marcuse berfungsi sebagai sumber daya penting, yang mengingatkan bahwa kemajuan teknologi, terlepas dari kemudahan aksesnya, harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan sekadar kuantitas atau kualitas alat itu sendiri.
B. Manifestasi Penolakan Besar Kontemporer (The Great Refusal)
The Great Refusal adalah konsep revolusioner Marcuse yang berarti "penolakan terhadap yang ada" (the protest against that which is), sebuah protes radikal yang menantang kondisi material dan subjektif yang mapan. Konsep ini tetap relevan hari ini, menginspirasi gerakan-gerakan sosial kontemporer yang menentang supremasi kulit putih, militerisasi, perubahan iklim global, dan perkembangan teknologi yang eksploitatif.
Gerakan sosial digital (GSD) kontemporer, seperti Arab Spring atau gerakan Occupy, menunjukkan paralel yang mencolok dengan gerakan 1960-an. Kedua gelombang ini muncul dari kelompok yang terpinggirkan (bukan kelas pekerja tradisional) dan dicirikan oleh proses pengorganisasian yang terdesentralisasi dan tanpa pemimpin. Praktik digital seperti hacktivism dan gerakan open-source yang mempromosikan 'nondominium property' atau 'fluid equity' dapat dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap kepemilikan terpusat dan kontrol infrastruktur teknologi.
Namun, tantangan yang dihadapi GSD tetap signifikan. Meskipun mereka berjuang untuk menegaskan negasi terhadap status quo, mereka sering kali gagal menawarkan teori dan praktik sistematis yang dapat membawa perubahan struktural yang mendasar. Hal ini diperparah oleh karakter kapitalisme neoliberal kontemporer yang ditandai oleh prekariat tenaga kerja dan kemiskinan yang mendalam. Pertanyaannya adalah apakah penolakan-penolakan digital ini hanya menjadi sublimasi represif yang baru—yaitu, tindakan protes yang diisolasi atau diizinkan dalam ruang-ruang komunitas tertutup, sehingga tidak lagi mengancam sistem hegemonik secara keseluruhan. Untuk menjadi negasi sejati, penolakan ini harus mampu memecahkan konformitas yang ada dan membangun kembali daya kritis.
C. Membangun Dimensi Kritis
Untuk melawan dominasi algoritmik, pembangunan kembali dimensi negasi harus dilakukan. Marcuse menyarankan strategi untuk membangun nalar kritis, termasuk merekonstruksi subjektivitas, mempraktikkan estetika (seni yang tidak didominasi oleh prinsip prestasi), dan menyatukan praktik sosial dan budaya.
Secara praktis, individu harus memiliki kesadaran kritis untuk memahami bagaimana algoritma dan iklan bekerja untuk memengaruhi keputusan mereka. Kesadaran ini membantu pengguna mengevaluasi kebutuhan mereka secara reflektif dan menolak tekanan konsumsi yang tidak perlu. Pada tingkat struktural, platform digital perlu bertanggung jawab dengan meningkatkan transparansi penggunaan data dan membatasi iklan manipulatif.
Dalam ranah teoritis, pendekatan alternatif dapat menawarkan kerangka kerja filosofis yang bersifat substantif. Sebagai contoh, dekonstruksi kapitalisme digital dapat diimbangi dengan konsep keseimbangan (tawazun) dalam ekonomi Islam, yang menolak ketidaksetaraan melalui keseimbangan kepemilikan, pasar, dan nilai, dengan tujuan akhir mencapai kemaslahatan. Kerangka seperti ini mengusulkan Etika Algoritma Islami dan kedaulatan data untuk memberdayakan masyarakat.
Table 2: Mekanisme Kontrol Digital dan Reaksi Negatif
VI. Kesimpulan Kritis dan Rekomendasi Etika Teknologi
A. Sintesis Temuan: Diagnosis Masyarakat Digital Marcusean
Analisis ini menyimpulkan bahwa fenomena masyarakat digital kontemporer adalah perwujudan lanjutan dan tereskalasi dari visi Herbert Marcuse mengenai masyarakat satu dimensi. Kapitalisme digital telah berhasil mengintegrasikan individu secara total ke dalam sistem melalui dominasi teknologi yang terideologisasi. Teknologi digital, didorong oleh Big Data dan algoritma, berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang secara cerdas memanipulasi kebutuhan individu, mengubahnya menjadi kebutuhan palsu yang sangat memuaskan (gratifying) namun represif.
Melalui desublimasi represif dan isolasi kognitif yang disebabkan oleh filter bubble, dimensi negasi—kemampuan untuk berpikir kritis dan menolak realitas yang ada—ditekan secara sistematis. Manusia Satu Dimensi Digital adalah subjek yang mengalami comfortable servitude atau perbudakan yang nyaman, di mana kebebasan individu dikondisikan oleh kemakmuran dan kepuasan yang dihasilkan dari kemajuan teknologi.
B. Rekomendasi untuk Pengembangan Kesadaran Kritis dan Etika Algoritma
Untuk melawan Manusia Satu Dimensi Digital, perlu dilakukan perubahan kesadaran yang radikal.
1. Praxis Kritis dan Reorientasi Teknologi: Praktik kritis harus secara konsisten membandingkan "yang ada" dengan "yang mungkin ada" (masyarakat yang lebih bebas dan bahagia). Teknologi harus diprioritaskan untuk melayani kualitas hidup manusia dan pemenuhan diri individu, bukan sekadar untuk efisiensi teknologi atau akumulasi modal. Ini memerlukan fokus pada teknologi pembebasan yang bertujuan pada pengembangan martabat manusia seutuhnya.
2. Kedaulatan Data dan Etika Algoritma: Harus ada tuntutan regulasi yang jelas mengenai transparansi algoritma dan penggunaan data pengguna. Regulasi harus diarahkan untuk menjamin kedaulatan data dan menerapkan etika algoritma yang menolak manipulasi dan oligopoli. Masyarakat perlu membangun kembali nalar kritis yang memungkinkan mereka menolak tekanan konsumsi dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan teknologi.
3. Membuka Cakrawala Negasi: Dalam politik dan wacana publik, penting untuk secara aktif mencari dan menyebarkan pandangan yang kontradiktif untuk melawan homogenisasi yang diciptakan oleh filter bubble. Marcuse mengajarkan bahwa harapan hanya diberikan demi mereka yang tidak memiliki harapan, menggarisbawahi perlunya terus-menerus mempraktikkan The Great Refusal sebagai penolakan terhadap setiap bentuk penindasan dan dominasi yang mapan.
Sumber:
A STUDY ON PRESENT INTEREST IN MARCUSE'S INTERDISCIPLINARY CRITICAL THEORY - INDECS. (2025, Oktober 26). Diakses dari http://indecs.eu/2019/indecs2019-pp659-683.pdf
An analysis of the phenomenon of technology in Herbert Marcuse's philosophy. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://research-information.bris.ac.uk/en/studentTheses/an-analysis-of-the-phenomenon-of-technology-in-herbert-marcuses-p
Analisis Buku One-Dimensional Man Karya Herbert Marcuse: Kritik Ideologi dan Masyarakat Industri Maju dalam Dialektika yang Terbungkam. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-buku-one-dimensional-man-karya.html
Beyond One-Dimensionality, in The Great Refusal: Herbert Marcuse and Contemporary Social Movements [PDF]. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/315112926_Beyond_One-Dimensionality_in_The_Great_Refusal_Herbert_Marcuse_and_Contemporary_Social_Movements
Critical Theory and Social Media: Alternatives and the New Sensibility - University of Pennsylvania. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://repository.upenn.edu/bitstreams/f28d0954-8c5e-4160-a2e1-380d19b690fc/download
Covid-19 dan Krisis Industri Kreatif dalam Kapitalisme Digital - Jurnal Universitas Atma Jaya. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/respons/article/download/2461/1167/7375
Definisi Big Data: Contoh dan Manfaat | Google Cloud. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://cloud.google.com/learn/what-is-big-data?hl=id
DIALEKTIKA PROGRESIF; “ONE DIMENSIONAL MAN”, DESUBLIMASI REPRESIF: KRITIK HERBERT MARCUSE ATAS MASYARAKAT INDUSTRI MODERN - Repository UMJ. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://repository.umj.ac.id/20430/
Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/137062-ID-digitalisasi-masyarakat-menilik-kekuatan.pdf
False Needs → Term - Lifestyle → Sustainability Directory. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://lifestyle.sustainability-directory.com/term/false-needs/
Filter bubble - Wikipedia. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Filter_bubble
Hacktivism and the Future of Political Participation: A thesis presented by Alexandra Whitney Samuel. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.alexandrasamuel.com/dissertation/pdfs/Samuel-Hacktivism-entire.pdf
Herbert Marcuse's Critique of Technological Rationality: An Exegetical Reading [PDF]. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/303959434_Herbert_Marcuse's_Critique_of_Technological_Rationality_An_Exegetical_Reading
Holding Contradictions: Marcuse and the Idea of Refusal. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.marcuse.org/herbert/booksabout/00s/03ZanettiAdminTheoMarcuseIdeaRefusal.pdf
JEB 17 Jurnal Ekonomi & Bisnis, Hal 333–346, Volume 10 Nomor 02, September 2025. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/JEB17/article/view/132631/7880
Kapitalisme Digital Dalam Media Sosial Instagram: Kritik Terhadap Perkembangan Teknologi Digital Berdasarkan Pemikiran Herbert Marcuse - ResearchGate. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/396686173_Kapitalisme_Digital_Dalam_Media_Sosial_Instagram_Kritik_Terhadap_Perkembangan_Teknologi_Digital_Berdasarkan_Pemikiran_Herbert_Marcuse
Manfaat Big Data: Definisi, Contoh, dan Konsepnya. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.fanruan.com/id/blog/manfaat-big-data
Manipulasi Kebutuhan pada Iklan Media Sosial: Perspektif Teori Kritis Herbert Marcuse. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.kompasiana.com/husainalfatih/675994c734777c39c17201b3/manipulasi-kebutuhan-pada-iklan-media-sosial-perspektif-teori-kritis-herbert-marcuse?page=2&page_images=1
Navigating Public Opinion in the Era of Mass Media - Journalism University. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://journalism.university/media-and-communication-theories/navigating-public-opinion-mass-media-era/
One-Dimensional Man - Libcom.org. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://files.libcom.org/files/Marcuse,%20H%20-%20One-Dimensional%20Man,%202nd%20edn.%20(Routledge,%202002).pdf
One-Dimensional Man | fswg. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://fswg.files.wordpress.com/2016/03/marcuse-one-dimensional-man-intros-ch2.pdf
One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society - Goodreads. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.goodreads.com/book/show/349650.One_Dimensional_Man
Rasionalitas Teknologis Herbert Marcuse Metode ~ - Cogito. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://lsfcogito.org/rasionalitas-teknologis-herbert-marcuse/
Repressive desublimation - Wikipedia. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Repressive_desublimation
Repressive desublimation and consumer culture: Re-evaluating Herbert Marcuse - ORCA. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://orca.cardiff.ac.uk/id/eprint/40516/
Repressive Tolerance (full text) - Herbert Marcuse Official Website. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.marcuse.org/herbert/publications/1960s/1965-repressive-tolerance-fulltext.html
The Great Refusal - Marcuse's method for overcoming Capitalism : r/lostgeneration - Reddit. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://www.reddit.com/r/lostgeneration/comments/125xp2t/the_great_refusal_marcuses_method_for_overcoming/
The Great Refusal: Herbert Marcuse and Contemporary Social Movements - International Journal of Communication. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/download/7455/2061
The Great Refusal: Herbert Marcuse and Contemporary Social Movements. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://primo.rowan.edu/discovery/fulldisplay?docid=alma9921034429605201
Technology as a Means of Human Liberation in the Perspective of Herbert Marcuse - International Journal of Indonesian Philosophy & Theology. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://aafki-afti.org/IJIPTh/article/download/73/pdf/566
Toward a critique of the information age: Herbert Marcuse's contribution to information sciences conceptions. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://informationr.net/ir/18-3/colis/paperC30.html
View of Technology and Creativity: A Study of Herbert Marcuse Theory of Aesthetic Liberation - Social Science Journal for Advanced Research. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://ssjar.singhpublication.com/index.php/ojs/article/view/213/445
View of Work Sucks, I Know: Herbert Marcuse Mengenai Pekerjaan Sebagai Represi Manusia - Dekonstruksi. (2025, Oktober 26). Diakses dari https://jurnaldekonstruksi.id/index.php/dekonstruksi/article/view/88/61



Post a Comment