Analisis Goffman atas Fenomena Zulkifli Hasan Mengangkat Beras: Fabrikasi Isu dan Kegagalan Bingkai dalam Bencana Sumatera 2025
I. Pendahuluan: Membingkai Realitas Krisis dan Aksi Politik
A. Latar Belakang Krisis dan 'Strip' Aktivitas Zulhas
Peristiwa bencana alam, seperti banjir bandang yang melanda beberapa wilayah di Sumatera pada Desember 2025, secara sosiologis menciptakan sebuah panggung sosial yang mendesak bagi intervensi negara. Di tengah konteks krisis ini, sebuah "strip" aktivitas yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan), Zulkifli Hasan (Zulhas), menjadi viral dan memicu perdebatan sengit di ruang publik digital. Peristiwa sentral yang disoroti adalah adegan di mana Zulhas terlihat memanggul karung beras bantuan di tengah lokasi bencana banjir bandang Koto Panjang Ikur Koto, Padang, pada Minggu, 1 Desember 2025.
Aksi ini, yang dirancang untuk mengomunikasikan kepedulian dan kehadiran negara, segera memanen kritik pedas. Publik, terutama warganet, menafsirkan aksi tersebut bukan sebagai kepedulian otentik, melainkan sebagai "akting," "konten," dan "pencitraan semata". Konflik interpretasi yang tajam ini memerlukan analisis mendalam yang melampaui kritik permukaan. Analisis ini bertujuan untuk membongkar bagaimana 'pengalaman' aksi Zulhas diorganisasi dan mengapa upaya mentransformasi makna tersebut gagal dan justru dimanipulasi melalui pembingkaian balik yang kritis.
B. Rasionalitas Teoretis: Goffman dan Organisasi Pengalaman Politik
Untuk menganalisis konflik interpretasi ini secara struktural, analisis ini menggunakan pisau bedah sosiologi mikro dari Erving Goffman, khususnya melalui karyanya Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience (1974). Pendekatan Goffman berfokus pada frame atau bingkai, yaitu struktur mental implisit yang digunakan individu untuk menafsirkan dan memberikan makna pada kejadian sehari-hari.
Dalam konteks politik, Frame Analysis menjelaskan bagaimana aktor (pejabat publik) mencoba mengorganisasi adegan (the strip) dan mentransformasi maknanya (keying) agar sesuai dengan narasi yang diinginkan (misalnya, heroik atau melayani). Namun, fokus Goffman yang lebih mendalam pada Fabrication (pemalsuan atau tindakan yang dirancang untuk menyesatkan) dan Ambiguities (ketidakjelasan makna) sangat relevan untuk memahami mengapa aksi Zulhas justru dicap sebagai 'akting'. Analisis ini akan mengupas bagaimana perubahan peran komunikatif (Footing) dan konteks politik yang sensitif (Anchoring) berkontribusi pada kegagalan bingkai yang disengaja.
II. Landasan Teoretis: Struktur Organisasi Pengalaman Menurut Erving Goffman (1974)
A. Frame dan Primary Frameworks dalam Konteks Bencana
Goffman mendefinisikan frame sebagai prinsip organisasi yang mengatur peristiwa. Semua pengalaman bermakna diklasifikasikan menggunakan Primary Frameworks (P-Frames), yang berfungsi sebagai lensa dasar untuk mengklasifikasikan kejadian, membedakan antara yang bersifat alamiah (Natural Framework) dan yang bersifat sosial (Social Framework).
Dalam kasus bencana Sumatera:
1. Natural Framework: Mengacu pada kejadian fisik itu sendiri—banjir bandang, arus deras, lumpur, dan rumah yang hanyut. Kejadian ini dipandang sebagai hasil dari kekuatan alam tanpa agen yang bertanggung jawab.
2. Social Framework: Muncul seketika sebagai respons terhadap krisis alam—tindakan kebijakan, bantuan logistik, janji pembangunan kembali, dan intervensi pejabat.
Upaya Menko Zulhas turun langsung ke lokasi bertujuan untuk mengorganisasi pengalaman publik di bawah Social Framework, di mana kehadirannya menjadi simbolik dari intervensi dan tanggung jawab pemerintah. Tindakan ini dimaksudkan untuk memanusiakan respons negara dan menjembatani gap antara kengerian alam dan harapan sosial.
B. Mekanisme Transformasi dan Manipulasi (Keying, Fabrication)
Frame Analysis menyoroti bagaimana makna dapat dimodifikasi atau dimanipulasi melalui dua mekanisme utama: Keying dan Fabrication.
1. Keying: Transformasi Makna Rutin
Keying adalah proses di mana sebuah aktivitas rutin (The Strip) ditransformasikan atau diredefinisi menjadi sesuatu yang lain, tanpa mengubah karakter fisik dasar aktivitas tersebut. Dalam konteks Zulhas, Keying bertujuan untuk mengubah "perjalanan dinas menteri (birokrat)" menjadi "aksi heroik atau ritual solidaritas (pelayan rakyat)". Tindakan memanggul karung beras—sebuah tugas yang secara harfiah dilakukan oleh petugas logistik atau relawan—dialihkan maknanya ketika dilakukan oleh seorang menteri berpangkat tinggi, menjadikannya sebuah penekanan simbolis pada kerja keras dan kesederhanaan.
2. Fabrication: Tindakan yang Menyesatkan
Kebalikan dari Keying yang otentik, Fabrication adalah upaya manipulasi di mana individu atau tim secara sengaja menciptakan sebuah "strip" pengalaman dengan tujuan menyesatkan audiens mengenai motif atau situasi sebenarnya. Ketika publik menuding aksi Zulhas sebagai 'akting' atau 'konten', mereka secara efektif menolak Keying yang diusulkan dan menafsirkan tindakan tersebut sebagai Fabrication—yakni, sebuah pertunjukan yang diproduksi untuk tujuan pencitraan, menyembunyikan realitas politik yang lebih kompleks.
C. Dinamika Interaksi: Footing, Strip, dan Ambiguity
Dalam teori Goffman, The Strip adalah segmen dari kegiatan yang sedang berlangsung, nyata atau imajiner. The Strip yang dipilih tim Zulhas (memanggul beras) harus dianalisis kaitannya dengan Footing, yaitu posisi atau peran yang diambil oleh partisipan dalam interaksi.
Zulhas mencoba melakukan Footing Shift, beralih dari posisi otoritas formal ke peran solidaritas sejajar dengan rakyat. Kegagalan dalam Frame Analysis sering kali terjadi ketika terjadi Ambiguity atau Misframing. Dalam kasus ini, Ambiguity muncul karena publik harus memutuskan: apakah adegan yang mereka saksikan adalah pelayanan otentik (Keying) ataukah manipulasi politik (Fabrication)? Jawaban publik cenderung memilih opsi yang terakhir, menunjukkan adanya Misframing yang masif.
III. Deskripsi Empiris: 'Strip' Aksi dan Konflik Kontekstual
A. Analisis Detil 'The Strip': Simbolisme Artefak
'Strip' aksi Zulkifli Hasan di Padang pada 1 Desember 2025 dikonstruksi secara visual dengan artefak yang sangat spesifik, yang ironisnya, justru memicu kecurigaan publik.
1. Identifikasi Artefak Kunci
- Beras: Pemilihan komoditas beras adalah sentral. Sebagai Menko Pangan, tindakan memanggul beras menghubungkan aksi tersebut langsung dengan mandat resmi jabatannya. Beras adalah simbol bantuan dan ketahanan pangan. Namun, seperti yang akan dibahas, beras pada saat itu juga merupakan komoditas yang problematik secara politik.
- Pakaian Kontras: Zulhas terlihat mengenakan kemeja putih yang kontras dengan sepatu bot oranye terang saat melangkah di atas tanah becek yang dipenuhi lumpur. Kemeja putih yang tampak bersih di tengah lumpur berfungsi sebagai penanda visual yang kuat. Upaya visual ini dimaksudkan untuk menampilkan sosok yang "siap kotor" namun tetap berada di atas kesulitan. Namun, tingkat estetika Keying yang tinggi secara paradoks memicu sinyal kepada audiens bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah 'pertunjukan' yang disengaja dan terencana, bukan spontan.
- Waktu dan Lokasi: Peristiwa ini terjadi di lokasi bencana banjir bandang Koto Panjang Ikur Koto, Padang, memberikan latar belakang krisis (Natural Framework) yang intens.
B. Kerangka Resmi Pemerintah (The Intended Keying)
Keying yang diusulkan oleh pihak Zulhas beroperasi pada dua tingkat—verbal (kebijakan) dan visual (kehadiran).
1. Verbal Keying: The Policy Frame
Narasi resmi yang menyertai aksi tersebut adalah penegasan tanggung jawab negara. Zulhas menginstruksikan Perum Bulog untuk menyalurkan bantuan logistik sebanyak dua kali lipat dari total kebutuhan di daerah terdampak, termasuk Sumatera Barat. Strategi penambahan suplai ini diambil sebagai langkah antisipatif untuk mencegah kelangkaan dan potensi kericuhan akibat akses yang terputus, memprioritaskan komoditas bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan gula. Pihak yang membela Zulhas juga menegaskan bahwa kehadirannya merupakan bagian dari tugasnya sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab memastikan pemerintah hadir bagi para korban.
2. Visual Keying: The Presence Frame
Aksi memanggul beras adalah Keying visual yang kuat untuk mengomunikasikan keterlibatan fisik dan empati, mengubah sosok menteri menjadi sosok "pelayan" yang setara dengan rakyat.
C. Konteks Politik Laten (The Anchoring Resources)
Kegagalan Keying yang dilakukan Zulhas tidak dapat dilepaskan dari konteks politik yang mendahuluinya. Konteks ini berfungsi sebagai Anchoring (penjangkaran) yang memungkinkan publik memvalidasi interpretasi negatif (Fabrication atau Misframing).
1. Isu Pangan Kontemporer
Sebagai Menko Pangan, Zulhas menghadapi polemik serius mengenai tata kelola pangan nasional saat peristiwa itu terjadi. Isu-isu seperti temuan 250 ton beras impor ilegal yang masuk tanpa izin dan maraknya kasus beras oplosan telah mendominasi pemberitaan dan bahkan memicu kritik keras dari anggota DPR. Kritikus menggunakan isu ini sebagai anchoring kognitif. Tindakan individu memanggul satu karung beras dalam konteks krisis pangan sistemik yang lebih besar (tata kelola 250 ton atau masalah oplosan) terasa tidak proporsional dan tidak substansial, membuat aksi heroik tersebut terlihat seperti distraction dari kegagalan kebijakan inti.
2. Biografi Politik dan Isu Kehutanan
Tuduhan yang paling merusak secara bingkai adalah klaim bahwa aksi memanggul beras hanyalah pengalihan isu dari "dosa lama pembabatan hutan". Zulkifli Hasan pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan (Menhut RI) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II dari 2009 hingga 2014.
Keterkaitan historis ini sangat merusak. Bencana banjir di Sumatera sering kali dikaitkan dengan masalah struktural seperti deforestasi dan kerusakan lingkungan. Dengan menghubungkan jabatan masa lalu Zulhas (Menhut) dengan dampak bencana saat ini (banjir), kritikus menyematkan tanggung jawab struktural dan ekologis pada aktor politik yang sama. Ini membuat upayanya membantu korban diinterpretasikan sebagai hipokrisi struktural. Tuduhan ini memberikan sumber daya yang tak terhindarkan bagi kritikus untuk memvalidasi Distraction Frame.
IV. Analisis Framing Lintas Dimensi: Keying, Footing, dan Kontradiksi
A. Kegagalan Transformasi: Ketika Keying Menjadi Over-Production
Analisis mendalam terhadap 'The Strip' menunjukkan bahwa upaya Keying heroik oleh Zulhas gagal karena tingkat produksi yang terlalu tinggi, mengubahnya menjadi Fabrication di mata publik.
1. Analisis Keying Heroik vs. Logika Birokrasi
Tindakan menteri memanggul beras, yang seharusnya menjadi Keying simbolis yang kuat, secara kognitif menimbulkan pertanyaan logistik dan otoritas. Tugas utama seorang menteri adalah mengorganisasi sumber daya pada skala makro (seperti instruksi pengiriman logistik dua kali lipat). Ketika seorang pejabat tinggi melakukan pekerjaan buruh manual, publik cenderung mempertanyakan prioritas dan efisiensi waktu tersebut.
2. Peran Kontras Visual dalam Memicu Fabrication
Keberadaan visual yang terlalu kontras dan ideal—kemeja putih yang tidak ternoda di tengah lumpur becek—memberikan petunjuk visual yang kuat kepada audiens bahwa adegan ini adalah sebuah produksi yang diatur. Ketika tanda-tanda produksi (seperti pakaian yang terlalu bersih atau framing yang sempurna) terlalu menonjol, Keying tersebut berisiko tinggi diinterpretasikan sebagai performance atau Fabrication. Hal ini menjelaskan mengapa kritik publik langsung mengidentifikasinya sebagai "konten" dan "akting". Tingkat estetika Keying yang tinggi, secara ironis, merusak kredibilitasnya karena memicu asumsi default di ruang digital bahwa yang disaksikan adalah performance yang dipentaskan, bukan interaksi yang otentik.
B. Footing Shift: Dari Authoritarian ke Egalitarian
Zulhas berupaya melakukan Footing Shift dari posisi Author (pembuat keputusan/otoritas) yang bertanggung jawab atas kebijakan logistik, ke posisi Figure (sosok yang dilihat) yang melakukan kerja fisik.
1. Analisis Transisi dan Peran yang Hilang
Dalam Footing sebagai Author, Zulhas menyampaikan perintah kebijakan yang substansial (instruksi logistik ganda). Namun, adegan memanggul beras membuatnya menjadi Figure dalam The Strip. Footing Shift ini mengalihkan perhatian publik dan media dari kebijakan struktural yang penting menuju simbolisme tindakan individu.
2. Kritik Terhadap Otoritas yang Hilang
Footing Shift ke peran simbolis dianggap sebagai pengabaian tanggung jawab inti pada masa krisis. Publik menuntut kepemimpinan fungsional—yaitu, menteri harus fokus pada penyelesaian masalah sistemik logistik dan infrastruktur. Ketika fokus beralih ke upaya simbolis kecil (memanggul satu karung), publik menafsirkannya sebagai pengalihan dari tanggung jawab struktural. Misframing terjadi karena tindakan individu yang terlihat heroik tersebut dinilai tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi.
Untuk meringkas mekanisme Frame Analysis ini, tabel berikut memetakan aksi Zulhas ke dalam konstruk teoretis Goffman.
Table 1: Analisis Frame Zulkifli Hasan: Pemetaan Aksi Lapangan ke Konstruk Goffman
V. Kontra-Bingkai dan Misframing di Ruang Publik Digital
A. Legitimasi Misframing: Peran Analis Eksternal
Fabrication yang dituduhkan oleh warganet tidak berdiri sendiri; tuduhan tersebut segera memperoleh legitimasi dari figur otoritas publik, yang secara signifikan memperkuat kontra-bingkai.
Pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, mengomentari video tersebut dengan judul yang kuat, "Pencitraan Pejabat dan Topeng Pahlawan di Tengah Duka Sumatera". Kasali secara eksplisit menyangsikan bahwa kepedulian para pejabat yang bergantian datang ke lokasi bencana adalah "benar-benar riil" dan meminta agar "Jangan sembunyikan apa pun".
Dengan menggunakan terminologi seperti "Topeng Pahlawan," Kasali mengambil posisi Expert/Spokesman (Footing) yang memvalidasi kecurigaan publik terhadap Ambiguity motif. Meta-counter-frame ini tidak hanya mengkritik aksi Zulhas tetapi juga memberikan kerangka teoretis bagi publik untuk menafsirkan bahwa Keying tersebut adalah penipuan. Kehadiran kritik dari analis independen mengubah kritik dari sekadar hujatan netizen menjadi evaluasi integritas kepemimpinan, membuat narasi 'pencitraan' jauh lebih sulit dibantah oleh pihak Zulhas.
B. The Distraction Frame: Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Kini
Misframing paling merusak adalah penafsiran bahwa aksi Zulhas adalah Distraction Frame yang disengaja. Teori Distraction Frame berpendapat bahwa tindakan simbolis heroik di lokasi bencana dirancang untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu akut yang lebih merusak reputasi.
1. Analisis Kegagalan Pengalihan Isu
Aksi di Padang diduga dirancang untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu sensitif terkait pangan (beras oplosan dan impor ilegal) dan biografi politik masa lalu (tanggung jawab kehutanan).
Namun, Distraction Frame ini gagal. Bukannya teralihkan, isu-isu sensitif tersebut justru menempel pada aksi heroik. Karena Zulhas memanggul beras, isu beras oplosan dan impor ilegal menjadi relevan. Karena bencananya adalah banjir, isu kehutanan (di mana Zulhas pernah menjabat Menhut) menjadi relevan. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Anchoring isu-isu politik sensitif tersebut terlalu kuat dan resonan, sehingga upaya Keying visual hanya berfungsi sebagai katalis untuk menarik isu-isu lama ke permukaan.
C. Keberlanjutan Perang Bingkai (Framing War)
Dalam upaya terakhir untuk mengorganisasi kembali Primary Framework (Tanggung Jawab Sosial), pihak yang mendukung Zulhas mencoba re-key kembali aksinya. Pemuda Muhammadiyah, misalnya, menegaskan bahwa kehadiran Zulhas di lokasi bencana adalah bagian dari tugasnya sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab. Mereka berusaha membatalkan narasi Fabrication dan memposisikannya kembali sebagai Social Responsibility.
Namun, dominasi visual Keying yang over-produced dan Fabrication publik yang dilegitimasi oleh pihak eksternal telah menempatkan bingkai resmi dalam posisi defensif. Di lingkungan digital, kecepatan counter-frame muncul dan menguat jauh lebih cepat daripada kemampuan pemerintah untuk menanamkan Intended Frame (narasi bantuan ganda) yang bersifat substansial.
Table 2: Narasi Konflik Bingkai: Perang Interpretasi Publik
VI. Kesimpulan dan Implikasi: Frame Analysis dalam Politik Bencana Era Digital
A. Ringkasan Temuan Kunci Berdasarkan Goffman
Analisis bingkai terhadap fenomena Zulkifli Hasan memanggul karung beras di Sumatera mengungkapkan sebuah studi kasus klasik mengenai Keying politik yang gagal di era digital.
1. Kegagalan Keying yang Terlalu Estetis: Aksi Zulhas adalah upaya Keying untuk mentransformasi peran birokrat menjadi pelayan heroik. Namun, visual yang terlalu diproduksi—terutama kontras antara kemeja putih dan lumpur—memberikan petunjuk visual yang jelas kepada audiens bahwa The Strip tersebut adalah pertunjukan. Akibatnya, Keying yang dimaksudkan ini segera ditafsirkan oleh publik sebagai Fabrication (akting atau pencitraan).
2. Konsekuensi Footing Shift yang Tidak Tepat: Footing Shift Zulhas dari Author (pembuat keputusan logistik ganda) ke Figure (pelaksana manual) mengakibatkan pengalihan perhatian publik dari substansi kebijakan yang besar dan penting menuju simbolisme individu yang kecil. Dalam kondisi krisis, masyarakat menuntut kepemimpinan fungsional; pengorbanan otoritas struktural demi simbolisme individu cenderung menghasilkan Misframing.
3. Ancaman Biographical Anchoring: Latar belakang politik yang sensitif, khususnya peran sebagai mantan Menteri Kehutanan yang terkait dengan isu kerusakan ekologis yang mungkin menjadi penyebab bencana, dan isu pangan kontemporer (beras oplosan/impor), berfungsi sebagai Anchoring yang kuat. Sumber daya kontekstual ini digunakan oleh kritikus untuk memvalidasi Distraction Frame, menuding bahwa aksi bantuan tersebut hanyalah upaya untuk menutupi tanggung jawab politik masa lalu atau masa kini.
B. Implikasi Strategis Komunikasi Politik di Era Digital
Fenomena Zulhas memanggul beras menggarisbawahi tantangan mendasar bagi pejabat publik di lingkungan media kontemporer.
1. Erosi Kepercayaan dan Tuntutan Otentisitas: Di lingkungan digital yang sangat skeptis, setiap Keying politik harus bersaing dengan asumsi default bahwa itu adalah "konten" atau "performance." Otentisitas telah menjadi mata uang Frame Analysis yang paling berharga. Upaya menciptakan Keying yang terlalu sempurna (over-produced) hampir pasti akan memicu interpretasi Fabrication.
2. Prioritas Substansi di Atas Simbolisme: Untuk pejabat tinggi yang memegang tanggung jawab struktural, Keying verbal (substansi kebijakan dan keputusan struktural, seperti instruksi logistik ganda) harus diprioritaskan di atas Keying visual (aksi simbolis). Jika Footing sebagai Author diabaikan demi Footing sebagai Figure, risiko Misframing yang mengabaikan kontribusi substansial menjadi tak terhindarkan. Aksi simbolis hanya efektif jika ia berfungsi sebagai ilustrasi kebijakan yang jelas, bukan sebagai pengganti dari kebijakan itu sendiri.
3. Pengelolaan Shadow Frame: Tim komunikasi politik harus secara proaktif mengelola shadow frame yang diangkat oleh biografi politik masa lalu. Ketika latar belakang sensitif (seperti isu kehutanan) beresonansi dengan bencana, tindakan saat ini (membantu korban) harus dikomunikasikan tidak hanya sebagai bantuan kemanusiaan tetapi juga sebagai bagian dari solusi struktural jangka panjang untuk menghindari terperangkap dalam Distraction Frame yang merusak.
Referensi:
Aksi Pikul Beras Zulkifli Hasan Diduga Hanya Pengalihan Isu Dosa Lama Pembabatan Hutan - Kabarlagi.com. (2025, Desember 3). Kabarlagi. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.kabarlagi.com/2025/12/03/aksi-pikul-beras-zulkifli-hasan-diduga-hanya-pengalihan-isu-dosa-lama-pembabatan-hutan/
Analisis Frame Analysis Erving Goffman (1974): Struktur Realitas, Transformasi Pengalaman, dan Warisan Teoretis. (2025, Desember). Sosiologi79. Diakses dari https://www.sosiologi79.com/2025/12/analisis-frame-analysis-erving-goffman.html
Frame analysis - Wikipedia. (2025). Wikipedia. Diakses 4 Desember 2025, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Frame_analysis
Frame Analysis: Summary and Review | The Power Moves. (2025). The Power Moves. Diakses 4 Desember 2025, dari https://thepowermoves.com/frame-analysis/
Goffman, E. (1986). Frame analysis: An essay on the organization of experience (Reprint ed.). Northeastern University Press.
Menko Pangan Zulkifli Hasan: Oplos Beras Boleh, Asal Tak Tipu Konsumen - YouTube. (2025). YouTube. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.youtube.com/watch?v=o8pKv4yfJeY
Pemuda Muhammadiyah Ajak Semua Pihak Prioritaskan Aspek Kemanusiaan Hadapi Bencana Sumatera. (2025). Tribunnews. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.tribunnews.com/nasional/7762655/pemuda-muhammadiyah-ajak-semua-pihak-prioritaskan-aspek-kemanusiaan-hadapi-bencana-sumatera
Usai Panggul Beras untuk Korban Bencana di Padang, Zulhas akan ... (2025). Tempo.co. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.tempo.co/ekonomi/usai-panggul-beras-untuk-korban-bencana-di-padang-zulhas-akan-ke-sibolga-2095287
Video Zulhas Gotong Beras dan Bantu Ngepel Korban Banjir Sumatera Panen Hujatan! Dikritik Hanya Akting, Netizen: Konten? - Radar Solo. (2025). Radar Solo. Diakses 4 Desember 2025, dari https://radarsolo.jawapos.com/nasional/846903165/video-zulhas-gotong-beras-dan-bantu-ngepel-korban-banjir-sumatera-panen-hujatan-dikritik-hanya-akting-netizen-konten
Viral Aksi Zulhas Panggul Beras di Lumpur Banjir Padang, Janjikan ... (2025). Suara.com. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.suara.com/news/2025/12/02/145124/viral-aksi-zulhas-panggul-beras-di-lumpur-banjir-padang-janjikan-bantuan-dobel
Zulhas Buka Suara soal Kasus Beras Premium Oplosan: Tindak Tegas! - detikcom. (2025). Detik.com. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.detik.com/jogja/bisnis/d-8019147/zulhas-buka-suara-soal-kasus-beras-premium-oplosan-tindak-tegas
Zulhas soal Temuan 250 Ton Beras Impor: Tak Pernah Ada Izin! - detikFinance. (2025). DetikFinance. Diakses 4 Desember 2025, dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8229429/zulhas-soal-temuan-250-ton-beras-impor-tak-pernah-ada-izin
Zulkifli Hasan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2025). Wikipedia Indonesia. Diakses 4 Desember 2025, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Zulkifli_Hasan



Post a Comment