Fenomena Jarak Sosial & Sikap Blasé di Hunian Kota Modern

Table of Contents

Fenomena Jarak Sosial & Sikap Blasé di Hunian Kota Modern

Dari Berlin ke Metropolis: Latar Sosiolog Georg Simmel

Di era pergantian abad ke-20, sosiolog Jerman Georg Simmel (1858–1918) mengamati betapa cepatnya perkembangan kota besar mengubah kehidupan manusia. Dalam esainya The Metropolis and Mental Life (1903), Simmel menegaskan bahwa “masalah terdalam kehidupan modern muncul dari tuntutan individu untuk mempertahankan otonomi dan individualitasnya di tengah kekuatan sosial yang amat besar”. 

Simmel tumbuh di Berlin yang tengah pesat industrialisasi: gedung-gedung pencakar langit, bisnis keuangan, dan gelombang imigran menciptakan kota yang dinamis sekaligus keras. Dalam lingkungan seperti itu, ikatan tradisional melemah dan peran uang kian dominan. Menurut Simmel, dua pilar utama kehidupan kota – uang dan keramaian penduduk – saling memengaruhi. 

Uang membawa kebebasan (tidak peduli pada garis keturunan, hanya melihat “nilai tukar” yang sama untuk semua orang), tetapi juga menyamakan segala sesuatu menjadi harga. Kondisi itulah yang mulai membentuk cara berpikir penduduk kota. Seperti yang Simmel gambarkan, dalam suasana metropolis manusia “bereaksi dengan kepala, bukan dengan hati” – artinya, akal membentuk benteng perlindungan pribadi agar tidak terseret oleh hiruk-pikuk dan tuntutan kota.

Uang, Stimulus, dan Kehidupan Kota

Simmel melihat kota besar sebagai medan rangsangan tanpa henti. Semakin dominan ekonomi uang, semakin terukur segala aspek kehidupan. Waktu tidak lagi diatur oleh musim, melainkan oleh jam kerja dan jadwal kereta. Ruang juga terkompresi: beragam kelas sosial, budaya, dan latar belakang tiba-tiba berdekatan, bertemu dalam antrean, bis kota, atau pusat perbelanjaan.

Sebagai ilustrasi, Simmel menyebut bahwa jika semua jam di Berlin tiba-tiba menunjukkan waktu yang berbeda, “seluruh kehidupan ekonomi kota akan terganggu”. Penggambaran ini menegaskan betapa kota menuntut ketepatan dan kecepatan. Paparan rangsangan yang tiada henti inilah yang memunculkan perubahan psikologis. 

Simmel mencatat bahwa dalam kota, respons emosional ditahan sedemikian rupa sehingga manusia “bereaksi dengan kepala, bukan dengan hati”. Logika dan penghitungan menjadi alat utama untuk menavigasi hidup, sementara kepekaan perasaan yang halus dikesampingkan.

Baca Juga: Uang, Modernitas, dan Jiwa Manusia: Analisis Lengkap The Philosophy of Money Karya Georg Simmel

Sikap Blasé: Dingin Menghadapi Keriuhan

Dari fenomena kota itulah lahir apa yang Simmel sebut sikap blasé – semacam kepenatan psikis yang membuat individu acuh tak acuh. Simmel menulis bahwa tidak ada fenomena jiwa lain yang terbatas pada kota besar seperti sikap blasé. 

Dalam kota kita dihujani rangsangan terus-menerus, sehingga sistem saraf berusaha bertahan dengan menutup diri. “Hidup mengejar kenikmatan tanpa henti mengagitasi saraf hingga mereka akhirnya tidak bereaksi sama sekali,” tulis Simmel. Artinya, setelah dipaksa merespons rangsangan berulang-ulang, ujungnya saraf kita mati rasa dan hal-hal baru pun terasa datar. 

Segala sesuatu tampak ‘pudar dan kelabu’, tidak ada yang istimewa dibanding yang lain. Objek-objek keinginan yang seharusnya bernilai, oleh ekonomi uang terdegradasi menjadi angka harga yang sama rata. Dalam pengertian sehari-hari, sikap blasé adalah tak terkesan secara emosional. 

Seorang penulis populer menjelaskan: di kota kita ‘harus menjaga jarak emosional agar tidak kewalahan’ karena setiap interaksi serba cepat dan transaksional. Dengan kata lain, kita menjadi cuek sebagai mekanisme pertahanan – kaya pilihan finansial, tetapi miskin koneksi emosional.

Jarak Emosional dan Relasi Sosial Kota

Keadaan blasé ini juga merambat pada hubungan antarmanusia. Simmel menggunakan istilah reserve (sikap terjaga) untuk menggambarkan cara orang kota berhadapan satu sama lain secara negatif. Jika setiap tetangga memicu respons personal seperti di kampung kecil, kota akan menghancurkan keseimbangan psikologis. Karenanya, orang kota menjaga jarak

Akibatnya, orang bahkan “sering kali tidak mengenal tetangga yang bersebelahan rumah selama bertahun-tahun”. Dalam pandangan warga desa, kenyataan ini membuat orang kota tampak dingin dan tak berperasaan. Simmel menekankan bahwa benih antipati dan rasa asing halus sudah ada di balik sikap tak acuh tersebut: jarak dan rasa curiga menjaga kita agar tidak kewalahan oleh kontak sosial yang melimpah. 

Bukti fenomena ini dapat kita lihat juga di pemukiman modern. Misalnya, studi perumahan sosial di Jakarta mencatat bahwa interaksi antarwarga jauh berkurang setelah pindah ke apartemen. Seorang penghuni mengaku, “Ketika orang-orang pulang, mereka mengunci pintu masing-masing... Saya tidak pernah menyangka bisa merasa sangat kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak orang”. 

Terlihat jelas: sekalipun bertetangga, komunikasi bersifat jarang dan tertutup. Ini sejalan dengan pengamatan Simmel bahwa kesendirian dalam kerumunan adalah risiko Kota Metropolis.

Potret Perumahan Modern di Indonesia

Fenomena “dekat secara fisik, tetapi jauh secara sosial” tidak hanya terjadi di teori Simmel, tetapi nyata di lapangan. Banyak kompleks perumahan bersubsidi di kota besar Indonesia (termasuk proyek BTN) dibangun secara massal dengan tata letak seragam. Akibatnya, rumah-rumah memang berderet rapi bersebelahan, tapi ruang interaksi publik minim. 

Sebuah kajian perumahan menyatakan bahwa “hal umum yang banyak terjadi di perumahan adalah minimnya interaksi sosial antar warga”. Gambar di atas adalah salah satu contoh komplek perumahan pinggiran Jakarta: rumah berdempetan rapat, namun tampak seperti lingkupnya tertutup. Di lingkungan seperti ini, penduduk lebih sering menjaga privasi—pagar tertutup, tamu pun jarang. Secara fisik mereka dekat, tetapi secara sosial terasa jauh.

Kondisi serupa juga tergambar dalam hunian susun di Jakarta. Seorang penghuni bercerita, “orang-orang pulang dan mengunci pintu... aku merasa sangat kesepian meski dikelilingi banyak orang”. Kalimat itu menegaskan betapa rapuhnya jaringan antarwarga. Ruang bersama yang minim dan kebijakan pengelolaan yang ketat membuat tetangga enggan berinteraksi. 

Simmel memprediksi efek seperti ini: di kota, orang terpaksa menyembunyikan perasaan sungguhan dan membangun tembok emosional demi kelangsungan hidup. Saat ketertutupan seperti itu sudah mengakar, orang luar akan menilai warga kota sebagai dingin—persis seperti teori Simmel.

Menemukan Kehangatan Kembali

Walau Simmel melukiskan gambaran yang suram, pengalamannya mengingatkan kita agar menyadari sisi kehidupan kota. Banyak orang kini mencoba menciptakan kembali ikatan sosial di era modern. Misalnya, konsep cohousing di Indonesia diusung untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. 

Dalam cohousing, calon penghuni membentuk komunitas terlebih dahulu dan bahkan “memilih siapa yang akan menjadi tetangga” mereka. Hasilnya, suasana perumahan bisa lebih hangat dan akrab daripada komplek konvensional yang “seringkali tidak mengenal tetangga di sekitarnya”.

Pendekatan seperti ini menitikberatkan pada nilai kebersamaan yang Simmel bilang kian langka. Singkatnya, teori Simmel mengingatkan kita bahwa kemajuan kota membawa tantangan: kita harus aktif menjaga koneksi manusiawi agar hidup tidak hanya sekadar hitungan materi.

Baca Juga: Kajian Komprehensif Buku The Web of Group Affiliations Karya Georg Simmel dalam Sosiologi Modern 

Referensi: 

Ciputra University Library. (n.d.). Cohousing, perumahan ramah berbasis komunitas. https://www.ciputra.ac.id/library/perumahan-ramah-berbasis-komuitas/

Inside Indonesia. (2018, April–June). Distance matters: Social housing for the poor. Inside Indonesia: The peoples and cultures of Indonesia. https://www.insideindonesia.org/editions/edition-132-apr-jun-2018/distance-matters-social-housing-for-the-poor

Mevin.ID. (n.d.). Harga sebuah jiwa: Bagaimana uang mengubah persahabatan menjadi transaksi. https://mevin.id/harga-sebuah-jiwa-bagaimana-uang-mengubah-persahabatan-menjadi-transaksi/

Simmel, G. (2025). The metropolis and mental life. In S. Seidman & J. C. Alexander (Eds.), Social theory re-wired: New connections to classical and contemporary perspectives (4th ed.). Taylor & Francis. (Original work published 1903)

Weinstein, D. (n.d.). Georg Simmel: "The metropolis & mental life". DePaul University. https://condor.depaul.edu/dweinste/theory/M&ML.htm

Wilson, S. (2025). How Georg Simmel diagnosed what makes city life distinctly modern. Aeon Essays. https://aeon.co/essays/how-georg-simmel-diagnosed-what-makes-city-life-distinctly-modern

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment