Menelusuri Sejarah Kota Indonesia Melalui Perspektif Lewis Mumford dalam The City in History

Table of Contents
Sejarah Kota Indonesia Melalui Perspektif Lewis Mumford dalam The City in History

I. Pendahuluan Teoritis: Lewis Mumford dan Model Kota Organik

Lewis Mumford, melalui karyanya yang monumental, The City in History: Its Origins, Its Transformations, and Its Prospects (1961), menawarkan kerangka kerja kritis untuk mengevaluasi evolusi dan disintegrasi peradaban urban. Mumford tidak hanya menyajikan sejarah kota, melainkan sebuah evaluasi mendalam tentang pertumbuhannya, tujuannya, dan masa depannya, dengan penekanan pada pencapaian keseimbangan antara teknologi dan lingkungan alam, yang ia sebut sebagai "kota organik".

A. Lewis Mumford: Kritik terhadap Gigantisme dan Rasionalisme Mekanistik

Karya Mumford berdiri sebagai antitesis terhadap pandangan utilitarian dan mekanistik modernis yang mendominasi perencanaan kota pasca-Perang Dunia II. Ia secara eksplisit mengkritik para teknokrat, birokrat, dan pemodel matematis yang cenderung mengabaikan realitas ekologis dan kultural yang kompleks demi pemecahan masalah berbasis statistik semata. Mumford berpendapat bahwa perencanaan yang efektif harus didasarkan pada fondasi ekologis dan sosial, bukan sekadar efisiensi mekanis. Kritiknya terhadap "gigantism"—pertumbuhan kota yang tidak terkendali melampaui batas organiknya—sangat relevan bagi metropolis Indonesia kontemporer.

Dalam pandangan Mumford, kota yang ideal (Polis) adalah wadah bagi kehidupan kolektif dan ritual yang intim, serupa dengan kota-kota abad pertengahan yang ia kagumi karena skala kemanusiaannya. Namun, ia mengamati bahwa kota modern cenderung mengalami kemerosotan menuju ketidakberaturan dan kematian ekologis. Metodologi yang digunakan Mumford, yang menekankan pengalaman dan observasi pribadi, menggarisbawahi pentingnya penerapan teorinya yang peka terhadap konteks lokal—sebuah prasyarat penting untuk menganalisis urbanisme di Asia Tenggara, yang memiliki jalur historis yang berbeda dari Barat.

B. Klasifikasi Organik Kota Mumford dan Proses Disintegrasi

Mumford mengklasifikasikan perkembangan kota melalui enam tahapan evolusioner dan disolusioner, empat di antaranya sangat relevan untuk konteks Indonesia:
1. Polis: Tahap ideal di mana kota mencapai kematangan budaya, fungsional, dan sosial. Kota dicirikan oleh rasa komunal yang kuat dan tatanan yang stabil.
2. Megalopolis: Tahap awal disintegrasi, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang masif (gigantism), spesialisasi ekonomi yang berlebihan, akumulasi kekayaan, dan munculnya ketimpangan spasial. Kota mulai melampaui batas organik yang sehat.
3. Tyrannopolis: Kota beralih menjadi negara parasit yang menguras sumber daya surplus dari wilayah regional demi "kemewahan dan kesenangan" dirinya sendiri. Tahap ini ditandai oleh korporatokrasi, tingginya individualisme, dan kemerosotan etika.
4. Necropolis: Tahap kematian total. Ditandai oleh bencana, disolusi sosial, penyakit endemik, dan kehancuran ekologis, di mana kota itu sendiri menjadi ancaman fisik bagi penghuninya.

C. Lensa Teknis Mumford: Eotechnic, Paleotechnic, dan Neotechnic

Mumford, yang juga mengembangkan teori teknis dalam Technics and Civilization, membagi peradaban teknologi menjadi tiga fase, yang sangat memengaruhi formasi dan krisis kota:
1. Eotechnic: Fase awal (Abad Pertengahan), ditandai oleh energi air dan angin, serta material lokal.
2. Paleotechnic: Fase Revolusi Industri, ditandai oleh dominasi batu bara, uap, mesin besar, dan produksi massal yang kotor.
3. Neotechnic: Fase modern, ditandai oleh listrik, atom, teknologi informasi, fokus pada penyempurnaan (refinement), pengurangan ukuran mesin, dan potensi untuk menciptakan keseimbangan ekologis.

Kota-kota besar di Indonesia, khususnya yang berkembang selama era kolonial, sebagian besar dibentuk oleh dominasi struktural Paleotechnic yang kaku. Konflik urban kontemporer, seperti kemacetan dan polusi udara, adalah konsekuensi langsung dari struktur spasial Paleotechnic (misalnya, infrastruktur yang kaku dan ketergantungan pada energi kotor) yang dipaksa melayani fungsi Megalopolis dan Neotechnic (populasi besar, mobilitas tinggi, informasi). Kegagalan untuk beralih secara penuh dan berkelanjutan ke ekonomi dan perencanaan Neotechnic yang seimbang adalah akar dari krisis yang mendorong kota-kota ini ke ambang Necropolis. Sistem Paleotechnic memprioritaskan konsumsi massal dan mesin besar, dan ketergantungan Jakarta pada kendaraan pribadi dan bahan bakar fosil, meskipun berada di era Neotechnic, adalah warisan Paleotechnic yang menghasilkan kondisi mematikan di kota.

Tabel 1: Pemetaan Hipotetikal Kota Indonesia dalam Skema Mumford

Tabel Pemetaan Hipotetikal Kota Indonesia dalam Skema Mumford

II. Yogyakarta: Polis Budaya di Bawah Ancaman Megalopolis

Yogyakarta menawarkan studi kasus unik di Indonesia, di mana idealisme Mumfordian tentang Polis masih memiliki jejak struktural, namun berada di bawah tekanan kuat dari dinamika Megalopolis kontemporer.

A. Yogyakarta sebagai Manifestasi Ideal Polis

Secara historis, tata ruang Keraton Yogyakarta mencerminkan model kota organik yang utuh (Polis). Tata ruang ini didasarkan pada integrasi fungsional dari empat komponen utama kehidupan kota: pemerintahan/pemimpin (Kraton), religi/moral (Masjid), ekonomi (Pasar), dan budaya (Alun-alun). Lebih dari sekadar fungsi utilitarian, konsep Sumbu Filosofi Yogyakarta—garis imajiner yang menghubungkan Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, hingga puncak Merapi—mengandung nilai kosmologi dan filosofi yang mendalam, seperti konsep Golong Gilig (semangat dan niat yang menyatu) dan Manunggaling Kawulo Gusti. Tatanan spasial ini memastikan bahwa kota adalah refleksi dari nilai-nilai komunal dan etika, bukan sekadar kumpulan bangunan, yang merupakan inti dari ideal Mumfordian.

B. Degradasi Fungsional dan Tekanan Megalopolitan

Upaya Pemda DIY untuk mempertahankan Sumbu Filosofi dan menatanya sebagai Warisan Dunia UNESCO berhadapan langsung dengan tekanan ekonomi yang memicu pergeseran menuju Megalopolis. Komersialisasi kawasan inti seperti Malioboro dan sekitarnya, meskipun meningkatkan kerapian tata ruang, dinilai belum berhasil "menyentuh substansi filosofis secara utuh".

Perubahan fungsional ini adalah indikator nyata dari disintegrasi Mumfordian. Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali terjadi di kawasan Alun-Alun, di mana ruang komunal yang sakral dan filosofis kini harus mengakomodasi kebutuhan pariwisata massal, seperti masalah lahan parkir.

Transisi Yogyakarta menuju Megalopolis ditandai oleh komodifikasi kekayaan kulturalnya sendiri. Kota yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai luhur kini berisiko mengonsumsi dan menjual nilai-nilai tersebut demi keuntungan pariwisata. Ketika filosofi yang mengorganisir kota direduksi menjadi produk standar untuk konsumsi kapitalis, kota kehilangan kekuatan pengorganisasian intrinsiknya. Parasitisme budaya ini merupakan sinyal internal menuju Tyrannopolis, di mana kota mulai mengeksploitasi warisan internalnya alih-alih melindunginya.

C. Ketimpangan Spasial sebagai Indikator Disfungsi

Tekanan pasar yang mendorong Megalopolis juga memperburuk ketidakseimbangan pembangunan regional. Analisis menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi DIY, dengan Kota Yogyakarta bertindak sebagai pusat pertumbuhan yang menarik dan mengakumulasi sumber daya. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan ketidakseimbangan yang cenderung diperburuk oleh kekuatan pasar, sesuai dengan prediksi teori ketidakseimbangan wilayah. Hal ini membuktikan bahwa Yogyakarta, daripada berfungsi sebagai Polis yang adil dan seimbang bagi wilayah sekitarnya, telah berperan sebagai pusat Megalopolis yang mengeksploitasi, memperburuk ketimpangan di wilayah penyangganya.

III. Surabaya: Warisan Paleotechnic dan Konflik Ruang

Kota Surabaya menawarkan gambaran yang jelas mengenai dampak dari modernitas yang diinduksi kolonial dan percampuran Paleotechnic yang kaku dengan dinamika Megalopolis pasca-kemerdekaan.

A. Surabaya sebagai Laboratorium Paleotechnic di Asia Tenggara

Surabaya memiliki jejak sejarah yang kuat sebagai pusat industri dan perdagangan di Asia Tenggara, mulai dari era kolonial hingga kemerdekaan. Perkembangan ini mencerminkan fase Paleotechnic Mumford, di mana tata ruang dan infrastruktur berfokus pada produksi massal, mesin besar, dan energi berbasis uap atau batu bara. Perencanaan spasial selama periode Paleotechnic ini cenderung kaku, utilitarian, dan ditujukan untuk mendukung fungsi industri dan perdagangan, yang seringkali mengabaikan kebutuhan sosial-kultural yang lebih organik. Arsitektur Paleotechnic kolonial, meskipun mencoba mengadopsi elemen lokal (seperti balai kota oleh Cornelis Citroen), tetap didominasi oleh geometri dan standarisasi yang kaku.

B. Gigantisme Demografis dan Perebutan Ruang

Pasca-kemerdekaan, Surabaya berubah menjadi "magnet" urbanisasi yang menarik penduduk jauh lebih cepat dan lebih signifikan dibandingkan dengan rata-rata provinsi. Pertumbuhan populasi yang amat cepat ini segera melampaui "batas organik" kota dan menghasilkan kompleksitas sosial yang Mumford kaitkan dengan Megalopolis.

Urbanisasi yang deras ini memicu konflik spasial yang intens, sebuah perebutan ruang kota antara kelompok sosial yang berbeda. Dalam konteks Marxis, ini dipahami sebagai perebutan alat produksi antara kaum borjuis yang menguasai tanah (seperti keluarga Tionghoa kaya di awal abad ke-20 yang memiliki banyak tanah dan pabrik) dan kaum proletar.

C. Kritik Mumford terhadap Solusi Perencanaan Mekanistik

Menghadapi "banjir" rakyat miskin yang membanjiri kota pada awal kemerdekaan, para perumus kebijakan mengembangkan solusi perencanaan yang bersifat mekanistik. Salah satu konsep yang muncul adalah "kanalisasi"—membangun perkampungan yang berfungsi sebagai "kanal-kanal" untuk mengalirkan dan mengendalikan arus rakyat miskin agar tidak "meluber ke mana-mana".

Konsep kanalisasi adalah gambaran sempurna dari pikiran Paleotechnic (mekanistik dan utilitarian) yang diterapkan pada masalah sosial-humanis. Mumford (dan pendahulunya Patrick Geddes) menekankan bahwa perencanaan harus holistik, melihat hubungan antara Place, Work, dan Folk. Menganggap rakyat miskin sebagai 'banjir' yang perlu dialirkan menunjukkan kegagalan untuk melihat mereka sebagai folk yang perlu diintegrasikan dan diberdayakan, sesuai dengan kebutuhan intim dan informal warga. Solusi ini hanya memperkuat standardisasi sosial dan batas fisik, serta memperkeruh konflik Megalopolis, alih-alih menciptakan tatanan sosial yang baru.

IV. Jakarta: Puncak Krisis Megalopolis dan Menuju Necropolis

Jakarta mewakili fase yang paling kritis dalam skema Mumford di Indonesia. Sebagai ibu kota dan pusat ekonomi, ia telah melampaui tahap Megalopolis yang sekadar besar, menunjukkan karakteristik Tyrannopolis yang parasit dan, yang lebih mengkhawatirkan, gejala Necropolis yang mematikan.

A. Jakarta sebagai Megalopolis Parasit (The Apex of Gigantism)

Jakarta telah mencapai tahap gigantism yang ekstrem, pertumbuhan tanpa henti yang, menurut Mumford, secara inheren mengarah pada pembusukan dan kesulitan penebusan. Kota ini bertindak sebagai pusat gravitasi yang menyerap sumber daya dari wilayah sekitarnya, ditunjukkan oleh ketimpangan spasial yang signifikan di kawasan Jabodetabek.

Transisi ke Tyrannopolis ditandai oleh perubahan etika sosial dan tata kelola. Kota yang seharusnya menjadi benteng hukum dan ketertiban malah menjadi parasit yang beroperasi demi "kemewahan dan kesenangan" segelintir pihak. Hal ini tercermin dalam peningkatan individualisme dan potensi terganggunya hak-hak komunitas (community rights), yang sejalan dengan deskripsi Mumford tentang masyarakat Tyrannopolis yang sangat individualistik. Kegagalan struktural untuk mengendalikan pertumbuhan dan eksploitasi sumber daya menunjukkan bahwa pemerintahan kota telah memfasilitasi akumulasi kekayaan di pusat dengan mengorbankan ekologi dan kesejahteraan masyarakat luas.

B. Bukti Kritis Necropolis: Krisis Ekologis yang Mematikan

Mumford meramalkan bahwa pada tahap Necropolis, kota akan menjadi ancaman fisik bagi para penghuninya, yang disebabkan oleh penyakit, bencana, dan disolusi. Jakarta tidak hanya terancam, tetapi telah menunjukkan realitas Necropolis di dua domain ekologis yang vital.

1. Kematian Respirasi (Polusi Udara)

Polusi udara merupakan indikator Necropolis yang paling gamblang. Jakarta secara rutin mencatat konsentrasi PM2.5 tahunan yang empat hingga lima kali lebih tinggi daripada batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konsekuensi dari gigantisme yang didorong oleh teknologi Paleotechnic (transportasi berbasis bahan bakar fosil dan industri kotor) telah menciptakan lingkungan yang secara fisik mematikan. Dampak mortalitasnya sangat tinggi, dengan hampir 36 kasus kematian per 100.000 penduduk diatribusikan pada polusi PM2.5 ambien. Kerugian ekonomi dari kasus penyakit terkait polusi udara mencapai puluhan triliun rupiah. Ini adalah bukti material bahwa kota, melalui produk sampingan dari pertumbuhannya yang tak terkendali, secara aktif mengakhiri kehidupan penduduknya.

2. Kematian Hidrologis (Land Subsidence)

Penurunan permukaan tanah (land subsidence) merupakan kegagalan ekologis mendasar yang mengancam keberadaan fisik Jakarta. Kepadatan penduduk yang tinggi memicu penggunaan air tanah yang berlebihan, bersama dengan beban konstruksi masif, menyebabkan penurunan tanah dengan tingkat yang mengkhawatirkan, berkisar antara 3 hingga 10 cm per tahun di beberapa lokasi. Dampaknya mencakup meluasnya area banjir, kerusakan infrastruktur, dan intrusi air laut.

Gejala land subsidence adalah manifestasi dari kegagalan transisi Neotechnic. Alih-alih menggunakan teknologi modern untuk efisiensi dan keseimbangan, Tyrannopolis Jakarta terus bergantung pada teknologi Paleotechnic (misalnya, sumur bor yang tidak terkontrol) untuk mengeksploitasi fondasi geologisnya. Ini adalah contoh konkret di mana kota mengabaikan batas organiknya, yang pada akhirnya mengarah pada kehancuran fisik yang tak terhindarkan.

C. Kontra-Narasi: Ketahanan Sosial dalam Kampung Urban

Meskipun Jakarta bergerak cepat menuju disolusi, analisis menunjukkan adanya kantong-kantong ketahanan sosial yang berfungsi sebagai antitesis terhadap kekacauan Megalopolis/Tyrannopolis. Kampung urban memainkan peran vital, tidak hanya sebagai penyedia tempat kerja pertama bagi migran tetapi juga sebagai lingkungan tempat mereka beradaptasi dan belajar hidup di kota. Di tengah tingginya individualisme yang mendominasi pusat kota, kampung berhasil mempertahankan kemampuan untuk hidup bersama dan berkolaborasi di antara migran dengan latar belakang etnis, agama, dan kultural yang berbeda. Struktur sosial yang informal dan intim ini adalah "benih Polis" atau reservoir sosial yang Mumford gambarkan sebagai penting bagi kehidupan kota yang sehat, dan harus diperkuat sebagai antitesis terhadap standardisasi spasial yang merusak.

V. Kesimpulan, Prospek Neotechnic, dan Rekomendasi Kebijakan

A. Sintesis Kritis Urbanisme Indonesia dalam Lensa Mumford

Analisis terhadap Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta menegaskan relevansi diagnostik Lewis Mumford terhadap kota-kota di Indonesia. Mumford menyatakan, "tidak ada satu pun orang yang puas dengan wujud kota saat ini", dan krisis di Indonesia membuktikan bahwa ketidakpuasan ini berakar pada kegagalan ekologis, disintegrasi sosial, dan penolakan untuk mengadopsi batasan organik pada pertumbuhan.

Yogyakarta berjuang mempertahankan status Polis yang didasarkan pada filosofi, namun terancam oleh komodifikasi Megalopolis. Surabaya mewarisi kekakuan spasial Paleotechnic yang kini memicu konflik Megalopolis. Sementara itu, Jakarta telah mencapai titik kritis, menunjukkan gejala Tyrannopolis dan ancaman nyata Necropolis melalui krisis ekologis yang mematikan. Kota-kota ini terjebak dalam transisi yang berbahaya dari Megalopolis yang tidak matang menuju kehancuran, tanpa pernah sepenuhnya mengimplementasikan tatanan Neotechnic yang berkelanjutan dan berbasis keseimbangan.

B. Agenda Menuju Tatanan Urban Baru (New Urban Order)

Untuk menghindari kemerosotan lebih lanjut menuju Necropolis, perencanaan urban di Indonesia harus kembali pada prinsip-prinsip ekologis dan kultural Mumford. Hal ini memerlukan pengakuan yang jujur bahwa kota memiliki batas ukuran yang diperlukan, di luar mana gigantism hanya menghasilkan pembusukan.

Pendekatan strategis harus berfokus pada desentralisasi fungsional untuk mengurangi peran parasit Jakarta dan mengintegrasikan faktor ekologis dan kultural sebagai dasar perencanaan, melampaui sekadar pertimbangan statistik. Tatanan urban baru harus mengakui bahwa solusi berbasis teknologi harus mengarah pada penyempurnaan dan efisiensi (refinement Neotechnic), bukan pada peningkatan konsumsi massal dan mesin besar (Paleotechnic).

Tabel 2: Strategi Transformasi Lewis Mumfordian untuk Kota Indonesia

Tabel 2: Strategi Transformasi Lewis Mumfordian untuk Kota Indonesia

C. Rekomendasi Kebijakan Holistik

1. Regulasi Ekologi Kritis dan Batas Daya Dukung: Harus ditetapkan batas daya dukung lingkungan yang ketat untuk setiap Megalopolis. Ancaman Necropolis seperti penurunan tanah dan polusi udara harus diperlakukan sebagai kegagalan Tyrannopolis yang membutuhkan intervensi darurat, seperti penetapan target nol penurunan tanah (zero-subsidence target) yang terikat secara hukum.
2. Investasi pada Hak Komunitas dan Ruang Informal: Kekuatan jaringan sosial di kampung urban harus diakui sebagai fondasi ketahanan kota. Desain Neotechnic tidak boleh menghancurkan struktur informal ini demi standardisasi, melainkan harus mendukung kehidupan intim, informal, dan kolaboratif, sesuai dengan ideal Mumford tentang kota yang manusiawi.
3. Reformasi Pembangunan Regional yang Komprehensif: Kota adalah produk dari hubungannya dengan desa. Mengatasi krisis urban secara mendasar memerlukan resolusi kegagalan pembangunan di wilayah pedesaan (seperti fragmentasi lahan agraria) yang mendorong migrasi tak terkontrol dan mempercepat tekanan pada Megalopolis. Urbanisme yang sehat hanya dapat dicapai melalui perencanaan regional yang seimbang secara ekologis dan sosial.
4. Eradikasi Warisan Paleotechnic: Pemerintah harus secara agresif mengganti infrastruktur dan sistem berbasis energi kotor (fossil fuel-based mobility) dengan solusi Neotechnic yang efisien dan bersih, yang mencerminkan pemikiran bahwa teknologi modern harus mengurangi kerusakan, bukan memperbesarnya.

Sumber:

Analisis determinan ketimpangan wilayah di provinsi daerah istimewa yogyakarta (DIY) tahun. (2025, Oktober 28). Ejournal Undip. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jme/article/download/37965/32301

Analisis Kritis Buku The City in History Karya Lewis Mumford: Tesis Sentral dan Gagasan Besar tentang Sejarah Kota. (2025, Oktober 28). Sosiologi79. https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-kritis-buku-city-in-history.html

Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur serta Pergeseran Ekonomi Wilayah Antarkabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sebelum dan Saat Pandemi COVID-19. (2025, Oktober 28). Universitas Gadjah Mada Repository. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/233639

Analisis rencana tata ruang wilayah dalam proses penetapan. (2025, Oktober 28). Universitas Brawijaya Repository. https://repository.ub.ac.id/id/eprint/116017/1/051309820.pdf

ANALISIS DAMPAK KEPENDUDUKAN. (2025, Oktober 28). Disdukcapil Kota Surabaya. https://disdukcapil.surabaya.go.id/wp-content/uploads/2025/10/LAPORAN-AKHIR-KAJIAN-URBANISASI-KOTA-SURABAYA-231224.pdf

A Review Disaster Mitigation of Jakarta Land Subsidence Areas. (2025, Oktober 28). E3S Web of Conferences. https://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf/pdf/2021/101/e3sconf_icst2021_01002.pdf

A Review of Lewis Mumford, “The City in History.” (2025, Oktober 28). Washington University Open Scholarship. https://openscholarship.wustl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3223&context=law_lawreview

Aspek budaya dalam keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta. (2025, Oktober 28). ITB Journal. https://journals.itb.ac.id/index.php/jpwk/article/download/1354/1032/6734

dikplhd provinsi DKI Jakarta tahun 2020. (2025, Oktober 28). Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/files/Buku_2_DIKPLHD.pdf

Jean-Louis Cohen - The Future of Architecture Since 1889: A Worldwide History. (2012). Scribd. https://www.scribd.com/document/672333601/Jean-Louis-Cohen-The-Future-of-Architecture-since-1889-A-Worldwide-History-2012

Lewis Mumford - Technics and Civilization. (2025, Oktober 28). Monoskop. https://monoskop.org/images/f/fa/Mumford_Lewis_Technics_and_Civilization.pdf

Lewis Mumford - The Culture of Cities. (2025, Oktober 28). Monoskop. https://monoskop.org/images/5/5a/Mumford_Lewis_The_Culture_of_Cities.pdf

Lewis Mumford. (2025, Oktober 28). Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Lewis_Mumford

Mahasiswa UGM ungkap dampak ketimpangan spasial di Jabodetabek. (2025, Oktober 28). Universitas Gadjah Mada News. https://ugm.ac.id/id/berita/21578-mahasiswa-ugm-ungkap-dampak-ketimpangan-spasial-di-jabodetabek/

Main sources of air pollution in Jakarta. (2025, Oktober 28). Vital Strategies. https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Air-Pollution-in-Jakarta-A-Source-Apportionment-Study_Policy-Brief_ENG.pdf

Memahami transformasi urban di Asia. (2025, Oktober 28). Garuda Kemdikbud. http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=366485&val=8309&title=Memahami%20Transformasi%20Urban%20di%20Asia%20Belajar%20dari%20Kasus%20Jakarta

Mendukung sumbu filosofi Yogyakarta menuju warisan dunia. (2025, Oktober 28). Kemantren Kraton. https://kratonkec.jogjakota.go.id/detail/index/22968

Mumford’s organic classification of cities. (2025, Oktober 28). Pan Geography. https://pangeography.com/mumfords-organic-classification-of-cities/

Penetapan sumbu filosofi: Peluang tercipta quality tourism di Kota Yogya. (2025, Oktober 28). Warta Jogjakota. https://warta.jogjakota.go.id/detail/index/30106

PERS, HUKUM, & Hak Asasi Manusia. (2025, Oktober 28). E-book Kejari Batam. https://ebook.kejari-batam.go.id/mfhandler.php?file=BUKU_Pers%2C_Hukum%2C_%26_Hak_Asasi_Manusia.pdf&table=buku&field=file&pageType=list&key1=304

PR besar di balik warisan dunia: Sumbu filosofi Jogja butuh lebih dari sekadar tata ruang. (2025, Oktober 28). Stipram. https://stipram.ac.id/228-pr-besar-di-balik-warisan-dunia-sumbu-filosofi-jogja-butuh-lebih-dari-sekadar-tata-ruang.html

RINGKASAN DISERTASI: Rakyat miskin dan perebutan ruang kota di Surabaya tahun 1900–1960-an. (2025, Oktober 28). Repository Universitas Airlangga. https://repository.unair.ac.id/91934/1/14%20Rakyat%20Miskin%20Fulltext.pdf

Study on the risk and impacts of land subsidence in Jakarta. (2025, Oktober 28). PIAHS. https://piahs.copernicus.org/articles/372/115/2015/

Situs industri kota Surabaya: Warisan dari masa kolonial sampai awal kemerdekaan. (2025, Oktober 28). Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. https://fib.unair.ac.id/fib/2022/07/06/situs-industri-kota-surabaya-warisan-dari-masa-kolonial-sampai-awal-kemerdekaan/

The City in History. (2025, Oktober 28). Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/The_City_in_History

URBAN CRISIS: Produk kegagalan urbanisasi di Indonesia. (2025, Oktober 28). Jurnal Sosiologi Reflektif. https://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/2000

URBAN CRISIS: Produk kegagalan urbanisasi di Indonesia. (2025, Oktober 28). ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/347541704_URBAN_CRISIS_Produk_Kegagalan_Urbanisasi_di_Indonesia

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment