Korupsi Struktural di Indonesia dalam Perspektif Pascakolonial: Analisis Teori Lokasi Budaya Homi K. Bhabha

Table of Contents

Korupsi Struktural di Indonesia dalam Perspektif Pascakolonial
I. Pengantar: Korupsi sebagai Manifestasi Ketidakrampungan Pascakolonial

Fenomena korupsi di Indonesia pasca-Orde Baru menyajikan sebuah paradoks politik yang mendalam. Meskipun reformasi birokrasi telah dilaksanakan dengan salah satu agenda utama untuk memberantas korupsi politik—yang secara luas diakui sebagai penyakit warisan Orde Baru—praktik ini justru semakin marak terjadi di kalangan pemangku kebijakan. Korupsi politik telah bertransformasi menjadi "budaya yang terus menghantui" dinamika Pemerintahan Republik Indonesia, membuat upaya perlawanan menjadi sulit untuk dilaksanakan.

Krisis ini menunjukkan bahwa masalah korupsi politik tidak dapat dipahami hanya sebagai kegagalan penegakan hukum atau moralitas individual semata. Sebaliknya, hal ini harus dianalisis melalui lensa determinisme historis dan kultural yang kuat. Upaya Reformasi berfokus pada perubahan struktural fisik dari atas ke bawah, seperti pembentukan lembaga dan undang-undang baru. Namun, perubahan struktural ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena budaya korupsi terbukti mampu bertransformasi dan beradaptasi, berakar pada budaya feodal-patrimonial lama dan menemukan celah dalam sistem yang baru.

Artikel ini berpendapat bahwa kesulitan yang melanggengkan korupsi struktural di Indonesia dapat dijelaskan secara mendalam menggunakan kerangka teori pascakolonial Homi K. Bhabha, khususnya konsep-konsep sentralnya dari The Location of Culture. Teori Bhabha menawarkan landasan kritis untuk memahami hubungan kompleks antara kekuasaan, identitas, dan warisan kolonial yang berlapis. Fenomena korupsi di Indonesia, pada dasarnya, adalah produk dari tawar-menawar historis yang terjadi di Ruang Ketiga pascakolonial, tempat norma-norma lama berfusi dengan struktur modern.

Pernyataan Tesis Kritis: Korupsi struktural di Indonesia merupakan hasil dari Hibriditas (percampuran) antara warisan feodal-patrimonial dan birokrasi yang Dimimikri (ditiru) dari model Barat. Fusi ini dilegitimasi dan dioperasikan dalam Ruang Ketiga melalui praktik klientelisme, yang dilanggengkan oleh Ambivalensi elit terhadap reformasi anti-korupsi.

II. Kerangka Konseptual: Wacana Kuasa, Ruang Ketiga, dan Postcolonial Identity

Analisis pascakolonial Bhabha menolak interpretasi biner sederhana antara Penjajah dan Terjajah, dan sebaliknya berfokus pada interpretasi dan pemahaman yang rumit mengenai pertemuan kolonial dan warisan kompleks yang ditinggalkannya pada budaya dan identitas. Bagi Bhabha, objek utama analisis adalah identitas yang terfragmentasi, di mana seperangkat ide kolonial yang tampak kohesif justru pecah menjadi massa pandangan yang kompleks dan bergeser.

A. Dasar-Dasar Teori The Location of Culture

Bhabha memperkenalkan sejumlah neologisme dan konsep kunci untuk menjelaskan cara masyarakat terjajah melawan atau bernegosiasi dengan kekuasaan penjajah. Konsep-konsep ini memiliki relevansi tinggi untuk menjelaskan kegagalan tata kelola (governance failure) dalam negara pascakolonial.
1. Hibriditas (Hybridity): Konsep ini merujuk pada pencampuran budaya atau strategi yang digunakan oleh kelompok tertindas dalam melawan penindas mereka. Hibriditas adalah produk dari negosiasi budaya di mana batas-batas identitas dikonstruksi ulang.
2. Mimikri (Mimicry): Mimikri adalah strategi penundukan kolonial, di mana subjek kolonial didorong untuk meniru budaya dan bahasa kolonial, tetapi hanya sampai pada batas tertentu—menghasilkan entitas yang "hampir, tetapi tidak sepenuhnya" seperti aslinya. Secara politik, Mimikri adalah tindakan peniruan yang berpotensi mendestabilisasi wacana kolonial karena ia menciptakan keraguan dan ketidakpastian dalam struktur dominasi.
3. Ambivalensi (Ambivalence): Merupakan dualitas wacana yang melekat pada kekuasaan. Ini adalah perasaan atau sikap kontradiktif, di mana kolonialisme, misalnya, mengandung hasrat untuk mereformasi subjek terjajah sekaligus kebutuhan untuk mempertahankan perbedaannya.
4. Ruang Ketiga (Third Space): Ruang Ketiga adalah ruang intervensi kultural, tempat di mana batas-batas politik dan budaya dipertanyakan dan di negosiasikan kembali. Ruang ini bukan sekadar pertemuan dua budaya, tetapi ruang baru tempat munculnya makna dan identitas baru yang hibrida.

B. Pemetaan Konsep Bhabha pada Fenomena Korupsi Struktural Indonesia

Untuk menjembatani analisis teoretis dan fenomena empiris, konsep-konsep Bhabha dipetakan sebagai berikut:
Table 1: Pemetaan Konsep Homi Bhabha pada Fenomena Korupsi Struktural Indonesia

Korupsi Struktural di Indonesia dalam Perspektif Pascakolonial

III. Akar Korupsi Struktural: Dialektika Patrimonialisme, Kolonialisme, dan Mimikri

Kesulitan memberantas korupsi tidak dapat dipisahkan dari akar historisnya yang mengikat budaya feodal pra-kolonial dengan struktur administrasi kolonial. Korupsi politik dalam pemerintahan Indonesia bukanlah hal baru, melainkan memiliki pola historis sejak masa Kesultanan dan Kolonial.

A. Warisan Feodal-Patrimonial: Fondasi Budaya Korupsi

Budaya korupsi politik yang menjangkiti pemerintahan pasca-Orde Baru disetujui oleh suatu sistem yang telah hadir sejak periode feodalisme Jawa. Budaya ini erat kaitannya dengan tradisi patrimonial, di mana dominasi budaya feodal-patrimonial tradisional di kalangan elit menyebabkan sistem birokrasi, yang seharusnya rasional, beroperasi berdasarkan loyalitas pribadi dan patronase.

Kajian terhadap birokrasi patrimonial, khususnya yang dianalisis oleh Weber, menekankan bahwa kekuasaan dipegang berdasarkan hubungan pribadi dan kesetiaan, bukan berdasarkan aturan hukum yang impersonal. Institusi publik yang diwariskan oleh negara pascakolonial di Indonesia merupakan institusi yang tidak sepenuhnya berkembang (insufficiently developed) dan dipengaruhi kuat oleh birokrasi patrimonial ini.

B. Colonial Normativity: Legalisasi Penyimpangan dan Manipulasi

Kolonialisme tidak hanya mewariskan struktur, tetapi juga norma penyimpangan. Historis mencatat bahwa korupsi di Indonesia dan negara pascakolonial lainnya berakar, setidaknya sebagian, pada kolonialisme dan penyalahgunaan kekuasaan dan kekayaan pada periode tersebut. Dalam konteks Hindia Belanda, praktik korupsi politik menjadi norma, sering kali didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mempertahankan kontrol politik dan ekonomi, seperti yang terlihat pada skandal gula 1926.

Fenomena kasus korupsi kolonial menunjukkan bahwa para elit menantang norma-norma yang ada untuk mempertahankan struktur kekuasaan eksklusif. Wacana kolonial menciptakan sebuah kontradiksi kritis: di satu sisi, ia membawa konsep hukum dan birokrasi rasional (sebagai Mimikri dari Eropa), tetapi di sisi lain, ia secara operasional mengajarkan manipulasi struktur tersebut untuk kepentingan penguasa. Akibatnya, Indonesia mewarisi model negara yang secara institusional menormalkan manipulasi hukum dan struktur. Jika korupsi adalah norma historis yang membentuk cara kerja negara, upaya memberantasnya dilihat oleh elit yang berkuasa sebagai upaya dekonstruksi identitas negara/kekuasaan itu sendiri.

C. Mimikri Birokratis: Struktur "Hampir Tetapi Tidak Sepenuhnya"

Birokrasi Indonesia pascakolonial, termasuk sistem hukum dan pemberantasan korupsi, dapat dianalisis sebagai sebuah Mimikri. Mimikri, dalam konteks ini, adalah peniruan struktur Barat—seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), undang-undang anti-korupsi yang canggih, dan sistem tender yang transparan—yang hadir secara fisik tetapi disubversi secara fungsional.

Peniruan budaya politik penguasa oleh Belanda mengajarkan bagaimana memanipulasi struktur birokrasi dan hukum. Birokrasi yang dihasilkan adalah entitas yang "hampir" rasional, tetapi "tidak sepenuhnya." Struktur luar birokrasi ada, tetapi substansi dalamnya—yaitu korupsi politik yang mencakup penyalahgunaan hukum dan manipulasi—mempertahankan kekuasaan dan memuaskan kepentingan pribadi. Mimikri ini menjadi stabil karena formalitas Barat memberikan legitimasi global, sementara substansi patrimonial berhasil mempertahankan jaringan kekuasaan tradisional. Inilah mengapa perubahan struktural saja tidak cukup: budaya korupsi tetap bertahan karena tidak adanya penghalang kultural maupun penghalang struktural yang efektif (celah hukum yang dieksploitasi).

IV. Hibriditas dan Ruang Ketiga: Normalisasi Klientelisme dan Subversi Diri

Inti dari kesulitan memberantas korupsi terletak pada bagaimana praktik transaksional non-formal telah menempati dan mendominasi Ruang Ketiga politik-budaya pascakolonial, mengubahnya dari ruang negosiasi menjadi ruang normalisasi korupsi.

A. Klientelisme sebagai Ruang Ketiga Koruptif

Klientelisme politik, didefinisikan sebagai praktik memberikan fasilitas pribadi—seperti pekerjaan, kontrak, atau dukungan kesejahteraan—dengan imbalan dukungan elektoral, merupakan praktik yang meluas di Indonesia. Dalam konteks bisnis, praktik pribumi seperti perantara (agen pihak ketiga) menjadi esensial untuk kemajuan negosiasi, menggantikan saluran komunikasi formal.

Praktik-praktik ini secara kolektif mengisi Ruang Ketiga pascakolonial. Di ruang interstitial ini, identitas birokratis modern bernegosiasi dengan identitas patrimonial yang mementingkan hubungan pribadi. Akibatnya, praktik transaksional memperoleh status norma sosial-politik (de facto), meskipun secara hukum de jure melanggar Mimikri struktur anti-korupsi. Ini adalah fusi, atau Hibriditas, antara loyalitas tradisional dan kebutuhan politik modern.

B. Ekonomi Politik Ruang Ketiga dan Penghambatan Ruang Publik

Analisis menunjukkan bahwa intensitas klientelisme tidak selalu berbanding terbalik dengan kemakmuran, sebagaimana diasumsikan oleh teori modernisasi tradisional. Klientelisme justru dipersepsikan kurang intens di daerah pedesaan yang miskin, sementara skornya tinggi di ibu kota provinsi yang relatif kaya tetapi sangat bergantung pada negara (state-dependent).

Fenomena ini menunjukkan bahwa Ruang Ketiga koruptif tidak hanya mengenai transfer uang, tetapi tentang konsentrasi kontrol atas aktivitas ekonomi. Klientelisme berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan konsentrasi kekuasaan politik-bisnis karena ia menghambat ruang publik (stifling the public sphere) dan mencegah pengawasan yang efektif terhadap elit. Dengan menjadikan hubungan transaksional sebagai saluran utama komunikasi dan kemakmuran, Ruang Ketiga ini menetralisir potensi kritik yang seharusnya lahir dari perbedaan kultural yang otentik. Dengan demikian, klientelisme mengabadikan impunitas struktural bagi para elit.

C. Korupsi sebagai Strategi Subversi Diri (Self-Subversion)

Ketika elit pascakolonial menggunakan struktur modern (demokrasi, birokrasi) tetapi secara konsisten mengisi fungsi tersebut dengan logika patrimonial, mereka berada dalam posisi ironis. Mereka mengklaim agensi pribumi dan modernitas, tetapi pada saat yang sama, melemahkan kemampuan negara untuk berfungsi secara rasional dan adil.

Bhabha mencatat bahwa peminjaman ide-ide resistensi pascakolonial dari Eropa, alih-alih melawan ideologi kolonial, sering kali berfokus pada inferioritas dan kegagalan yang hanya menghasilkan subversi diri. Dalam konteks tata kelola, korupsi adalah mekanisme self-subversion terhadap janji kemerdekaan dan modernitas yang dibawa oleh negara-bangsa. Dengan mempertahankan budaya korupsi politik untuk mempertahankan kekuasaan, elit secara paradoks merusak legitimasi sistem yang mereka klaim telah mereka bangun.

V. Ambivalensi Institusional: Pelemahan KPK dan Resistensi Struktur Kuasa

Kesulitan memberantas korupsi mencapai puncaknya dalam dinamika pelembagaan anti-korupsi, di mana Ambivalensi elit menjadi kekuatan yang menggerogoti independensi institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

A. Ambivalensi Retorika dan Realitas Elit

Pemerintah era Reformasi telah melakukan upaya untuk mengubah struktur politik dengan harapan menekan budaya korupsi, tetapi hasilnya tidak signifikan karena budaya tersebut hanya beradaptasi. Elit politik Indonesia berada dalam posisi Ambivalen yang inheren. Mereka wajib secara retoris mendukung KPK dan agenda anti-korupsi untuk memenuhi tuntutan publik dan mendapatkan legitimasi internasional (sebuah bentuk Mimikri). Namun, pada saat yang sama, mereka harus secara struktural melemahkan KPK untuk melindungi jaringan kekuasaan Hibrida (patronase, klientelisme) yang menjadi sumber kekayaan dan stabilitas politik mereka.

Ambivalensi politik ini berfungsi untuk menciptakan dualitas fungsional: negara dapat menunjuk institusi anti-korupsi yang secara simbolis kuat dan tampak modern, tetapi secara fungsional dan operasional sangat dibatasi.

B. KPK dan Enunciasi Kekuasaan

Pelemahan independensi KPK merupakan manifestasi paling jelas dari Ambivalensi Bhabhan di tingkat negara. Terdapat kajian yuridis yang menyoroti pergeseran independensi KPK pasca Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang memasukkan lembaga tersebut ke dalam rumpun lembaga eksekutif.

Negara pascakolonial menunjukkan hasrat untuk menjadi modern (melalui anti-korupsi) tetapi takut akan otonomi sejati KPK, sebab otonomi tersebut mengancam jantung sistem patronase. Hasilnya adalah asimilasi yang terkontrol: KPK dipertahankan, tetapi independensinya dinetralkan. Tindakan ini, dalam istilah Bhabhan, adalah sebuah enunciasi (pengucapan) oleh negara pascakolonial. Pengucapan kekuasaan ini secara implisit menyatakan bahwa kekuasaan yang berbasis pada patronase dan tradisi Hibrida akan selalu memenangkan pertempuran melawan kekuasaan yang berbasis pada rasionalitas murni anti-korupsi (Mimikri).

C. Risiko Dilusi Institusional

Kesulitan memberantas korupsi diperparah oleh ancaman dilusi institusional lebih lanjut. Terdapat kekhawatiran bahwa upaya-upaya desentralisasi penegakan hukum, seperti pembentukan KPK daerah, jika tidak dilakukan secara sangat selektif dan tidak menjamin kualitas yang setara dengan KPK pusat, justru akan melemahkan KPK secara keseluruhan. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan dan pengharapan publik. Pelemahan ini akan semakin memudahkan Ruang Ketiga koruptif untuk beroperasi tanpa pengawasan, karena institusi anti-korupsi yang termimikri menjadi tidak efektif dan tidak kredibel.

VI. Kesimpulan dan Implikasi Teoritis: Rekonfigurasi Lokasi Budaya

A. Rangkuman Diagnostik Bhabhan

Analisis mendalam terhadap fenomena korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kesulitan pemberantasannya terletak pada sifat endemis dan hibrida dari struktur kekuasaan pascakolonial. Struktur birokrasi modern di Indonesia adalah sebuah Mimikri yang secara lahiriah memenuhi tuntutan rasionalitas, tetapi secara esensial diisi oleh logika Hibriditas feodal-patrimonial. Fusi ini dioperasikan melalui praktik klientelisme yang stabil, yang menempati Ruang Ketiga—ruang intervensial di mana norma-norma transaksional memperoleh legitimasi sosial politik. Stabilitas sistem ini dijaga oleh Ambivalensi elit, yang secara strategis melemahkan institusi penegak hukum yang mengancam jaringan kekuasaan Hibrida tersebut. Selama norma-norma patrimonial terus mendominasi Ruang Ketiga, setiap reformasi struktural hanya akan menghasilkan adaptasi, bukan eradikasi.

B. Implikasi Teoritis dan Kontribusi

Artikel ini menegaskan relevansi teori Bhabha—yang sering digunakan dalam kritik sastra dan budaya—untuk menganalisis kegagalan tata kelola yang berakar pada warisan kolonial dan negosiasi kultural. Teori Bhabha memberikan lensa yang kuat untuk bergerak melampaui penjelasan ekonomi atau hukum semata, menyoroti bagaimana pertempuran melawan korupsi adalah pertempuran untuk menentukan identitas kultural dan enunciasi kekuasaan negara pascakolonial. Korupsi adalah tanda bahwa perundingan pascakolonial di Ruang Ketiga masih belum rampung, dan bahwa narasi hegemonik patrimonial masih mendominasi narasi rasional modern.

C. Arah Perubahan Kultural: Menciptakan Penghalang Kultural yang Tak Termimikri

Mengingat bahwa budaya korupsi telah teruji dan terbukti mampu bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan struktural, pemberantasan korupsi tidak dapat hanya mengandalkan perubahan struktural (fisik, top-down) tetapi mutlak memerlukan perubahan pada dimensi kultural (imajiner, bottom-up), yang merupakan sumber utama eksistensi budaya korupsi.
1. Penguatan Penghalang Struktural yang Non-Manipulatif: Harus diciptakan sistem akuntabilitas dan pengawasan yang secara inheren tidak dapat dieksploitasi atau dieksploitasi dengan mudah oleh Mimikri hukum. Ini memerlukan penutupan celah hukum dan birokrasi yang diwariskan dari sistem kolonial-patrimonial.
2. Mendukung Agensi Lokal (Native Agency) Kritis: Diperlukan upaya untuk membangun kembali integritas ruang publik dan menguatkan organisasi masyarakat sipil. Hal ini sangat penting karena klientelisme bekerja dengan menghambat ruang publik. Dengan memberdayakan pengawasan publik dan menuntut akuntabilitas, agensi kritis ini dapat melawan proses stifling yang dilakukan oleh Ruang Ketiga koruptif.
3. Reformasi Epistemologis dan Enunciasi Baru: Pendidikan dan wacana publik harus secara eksplisit menantang norma-norma klientelistik yang beroperasi di Ruang Ketiga. Alih-alih sekadar meniru etika anti-korupsi Barat, Indonesia harus membangun penghalang kultural otentik yang mendeklarasikan korupsi sebagai penyimpangan total dan bukan sebagai mekanisme adaptasi politik yang sah. Pergeseran enunsiatif ini bertujuan untuk mengubah secara radikal ‘Lokasi Budaya’ korupsi dari status norma yang diwariskan menjadi praktik yang benar-benar asing dan tidak dapat diterima oleh identitas nasional.

Sumber:

Antikorupsi.org. (n.d.). Plus-minus pembentukan KPK daerah. Indonesia Corruption Watch (ICW). https://antikorupsi.org

Ejournal.iainmadura.ac.id. (n.d.). Korupsi dalam perspektif teori institusional: Antara legitimasi formal dan disfungsi struktural. https://ejournal.iainmadura.ac.id

Espace.library.uq.edu.au. (n.d.). Post-colonial Indonesia: A study of the impact of the colonial legacy and foreign aid on Indonesian public sector institutions: A case study in the local/provincial government of West Kalimantan. The University of Queensland. https://espace.library.uq.edu.au

Francis-press.com. (n.d.). Identity construction in the post-colonial period: Hybridity and third space in Abdulrazak Gurnah. Francis Academic Press. https://francis-press.com

Indonesiatmelbourne.unimelb.edu.au. (n.d.). Talking Indonesia: The history of corruption in Indonesia. University of Melbourne. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au

Journals.asianresassoc.org. (n.d.). Mimicry matters: Postcolonial borrowing and backfiring. Indian Journal of Language and Linguistics. Asian Research Association. https://journals.asianresassoc.org

Literariness.org. (n.d.). Mimicry in postcolonial theory. https://literariness.org

Pmc.ncbi.nlm.nih.gov. (n.d.). The political economy of clientelism: A comparative study of Indonesia's patronage democracy. PubMed Central. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov

Research.vu.nl. (n.d.). Colonial normativity? Corruption in the Dutch-Indonesian relationship in the nineteenth and early twentieth centuries. Vrije Universiteit Amsterdam. https://research.vu.nl

Researchgate.net. (n.d.). Akar historis dalam fenomena budaya korupsi politik di Indonesia. https://researchgate.net

Researchgate.net. (n.d.). Corruption, collusion and nepotism in Indonesia. https://researchgate.net

Researchgate.net. (n.d.). Critical review of postcolonial theory of Homi Bhabha’s hybridity: A study of “The Location of Culture”. https://researchgate.net

Rowenasworld.org. (n.d.). Homi Bhabha. https://rowenasworld.org

Sosiologi79.com. (2025, October). Analisis buku “The Location of Culture” Homi K. Bhabha: Wacana postkolonial, hibriditas, dan ambivalensi dalam kajian budaya modern. https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-buku-location-of-culture-homi.html

Thepolicypractice.com. (n.d.). The political economy of clientelism: A comparative study of Indonesia's patronage democracy. The Policy Practice. https://thepolicypractice.com

Wikipedia. (n.d.). Homi K. Bhabha. In Wikipedia: The free encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Homi_K._Bhabha

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment