Analisis Buku The Location of Culture Homi K. Bhabha: Wacana Postkolonial, Hibriditas, dan Ambivalensi dalam Kajian Budaya Modern
I. Pendahuluan: Kontekstualisasi Homi K. Bhabha dan Proyek Intelektualnya
A. Latar Belakang Intelektual dan Posisi Postkolonialisme Bhabha
Homi K. Bhabha telah memantapkan dirinya sebagai salah satu figur terpenting dalam kajian postkolonial kontemporer. Karyanya, yang berpuncak pada publikasi The Location of Culture pada tahun 1994, bukan hanya merupakan kritik terhadap imperialisme historis, tetapi juga intervensi teoretis yang mendalam terhadap pemahaman tentang identitas, agensi sosial, dan afiliasi nasional di dunia pascakolonial.
Proyek intelektual Bhabha memiliki akar kuat dalam tradisi Post-Strukturalisme, yang memungkinkannya menganalisis dinamika kekuasaan kolonial pada tingkat yang sangat psikis dan kultural. Berbeda dengan fokus pada materialitas dan ekonomi dalam beberapa teori postkolonial awal, Bhabha menggunakan kerangka psikoanalitik dan diskursif untuk meneliti bagaimana kolonialisme memproduksi pengetahuan dan identitas. Bhabha secara tegas menyatakan keyakinan bahwa teori, yang sering dianggap sebagai bahasa elitis, dapat dan harus berkontribusi pada perubahan politik praktis. Hal ini memposisikan studinya sebagai upaya untuk menjembatani jurang antara analisis akademis yang canggih dan dampak historis yang nyata.
B. Tesis Sentral The Location of Culture (1994)
Tesis sentral buku ini adalah bahwa budaya modernitas Barat harus direlokasi dan dipahami dari perspektif postkolonial. Bhabha berargumen bahwa momen paling kreatif dan produktif dari produksi kultural selalu terjadi di titik yang paling ambivalen. Untuk mengeksplorasi lokasi budaya yang bergejolak ini, Bhabha mengembangkan serangkaian konsep kunci, termasuk mimikri, interstice (ruang antar-antara), hibriditas, dan liminalitas.
Proyek ini menghasilkan teori hibriditas kultural yang kontroversial namun efektif, yang melampaui upaya sebelumnya untuk memahami identitas. Melalui serangkaian esai interdisipliner, Bhabha menunjukkan bagaimana narasi legitimasi dominasi kultural dapat digeser untuk mengungkap apa yang ia sebut sebagai 'ruang ketiga' (third space), di mana bentuk identitas kultural yang paling kreatif muncul di batas-batas perbedaan—di persimpangan ras, kelas, gender, bangsa, dan lokasi.
Keputusan Bhabha untuk berfokus pada ambivalensi, alih-alih pada oposisi politik langsung, berfungsi sebagai tindakan untuk mempolitisasi ambiguitas itu sendiri. Perlawanan yang paling kuat, menurut Bhabha, bukanlah konfrontasi fisik, tetapi destabilisasi struktural wacana kekuasaan yang dimungkinkan oleh ketidakpastian otoritas. Pendekatan ini secara mendasar menantang hegemoni naratif Barat dengan memaksa modernitas untuk melihat dan menilai dirinya melalui kerangka berpikir postkolonial, yang menuntut relokasi epistemologis budaya itu sendiri.
II. Fondasi Diskursif Kekuasaan Kolonial: Fiksasi dan Stereotip
A. Kebutuhan Kolonial akan Fiksitas (Fixity)
Wacana kolonial dan pascakolonial didasarkan pada kebutuhan untuk menetapkan konsep fixity (fiksasi) dalam konstruksi otherness (keliyan). Fiksitas adalah prasyarat yang menyiratkan pengulangan, kekakuan, dan tatanan yang tidak berubah, yang krusial untuk mempertahankan hierarki rasial dan kultural yang menopang kekuasaan kolonial.
Mekanisme utama untuk mencapai fiksitas ini adalah melalui stereotip. Stereotip adalah bentuk kepercayaan yang kontradiktif. Ia menciptakan "identitas" yang berfungsi ganda: sebagai sumber penguasaan dan kesenangan bagi pihak penjajah, dan sebagai mekanisme pertahanan terhadap kecemasan yang ditimbulkan oleh perbedaan yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol. Jika fiksitas gagal, maka seluruh bangunan wacana kolonial akan runtuh. Oleh karena itu, stereotip, yang menggambarkan pihak terjajah secara konflik (misalnya, sebagai primitif sekaligus eksotis, atau kekanak-kanakan sekaligus mengancam), sebenarnya merupakan manifestasi kecemasan kolonial, dan prasyarat diskursif bagi munculnya ambivalensi.
B. Distingsi Kritis: Cultural Diversity vs. Cultural Difference
Dalam esainya "The Commitment to Theory," Bhabha membuat perbedaan yang tajam antara Cultural Diversity dan Cultural Difference. Bhabha mengkritik tajam gagasan Cultural Diversity karena dianggap dangkal dan hanya menghasilkan multikulturalisme liberal yang anodin (menenangkan).
- Cultural Diversity: Dilihat sebagai pengakuan terhadap 'isi' budaya yang sudah ada (pre-given cultural 'contents') yang aman dalam relativisme dan utopia memori kolektif. Ia merepresentasikan budaya sebagai entitas yang total dan terpisah. Pendekatan ini cenderung mengarah pada model asimilasi atau toleransi pasif.
- Cultural Difference: Ini adalah alternatif yang diusulkan Bhabha, yang berakar pada intertekstualitas lokasi historis. Perbedaan kultural adalah proses yang dinamis, bukan statis. Identitas dibentuk melalui negosiasi yang berkelanjutan dan menuntut konfrontasi aktif. Dengan menolak model multikulturalisme liberal ini, Bhabha memposisikan teorinya sebagai kritik radikal yang menuntut pembentukan identitas yang aktif dan penuh ketegangan, bukan sekadar pertukaran tanda budaya strukturalis.
III. Ambivalensi Kolonial: Celah dan Ancaman dalam Otoritas
A. Mekanisme Kerja Ambivalensi
Ambivalensi merupakan konsep krusial yang menyingkap kerapuhan jantung diskursus kekuasaan kolonial. Ambivalensi merujuk pada gagasan bahwa budaya dan kekuasaan terdiri dari dimensi serta persepsi yang saling bertentangan. Bhabha berpendapat bahwa kehadiran kolonial selalu ambivalen (the colonial presence is always ambivalent). Kehadiran ini terbelah (split) antara dua artikulasi yang saling menegasikan:
1. Penampilannya sebagai asli dan berwibawa (original and authoritative).
2. Artikulasinya sebagai pengulangan dan perbedaan (repetition and difference).
Paradoks ini berarti bahwa citra kolonial yang dihasilkan tidak pernah bisa 'asli' (karena merupakan pengulangan) maupun identik (karena selalu ditentukan oleh perbedaan), yang menciptakan instabilitas struktural.
B. Implikasi Ambivalensi terhadap Diskursus Kekuasaan
Instabilitas yang disebabkan oleh ambivalensi membuka dua dimensi kontradiktif dalam wacana kolonial: upaya penemuan dan penguasaan, versus kenyataan perpindahan (displacement) dan fantasi. Celah (slippage) yang muncul dari kontradiksi internal ini menjadi lokasi strategis yang dapat dimanfaatkan oleh pihak terjajah untuk melakukan tindakan subversi.
Dengan menekankan bahwa ambivalensi adalah konflik antara keinginan (untuk penguasaan total) dan kecemasan (terhadap runtuhnya batas), Bhabha menunjukkan akar psikoanalitis dari kekuasaan kolonial. Kekuasaan ini tidak monolitik atau rasional, melainkan terpecah secara psikis. Kolonialisme membangun fantasi penguasaan, tetapi kecemasan bawaan terhadap hilangnya batas otoritasnya sendiri membuat fantasi tersebut rentan. Ambivalensi ini memastikan bahwa proyek kolonial menciptakan subjek terjajah yang sempurna tidak pernah utuh dan selalu menghasilkan kontradiksi internal yang memungkinkan perlawanan.
IV. Mimikri (Mimicry) sebagai Strategi Subversif: Resemblance and Menace
A. Definisi dan Tujuan Mimikri Kolonial
Mimikri adalah konsep kunci Bhabha yang menggambarkan proses di mana subjek terjajah meniru bahasa, pakaian, dan praktik budaya penjajah. Tujuan kolonial di balik dorongan mimikri adalah untuk menciptakan subjek yang "direformasi"—yaitu, subjek yang hampir sama dengan penjajah—untuk kepentingan efisiensi administrasi dan kontrol.
Namun, proyek ini gagal karena tuntutan ganda yang mustahil: subjek harus cukup menyerupai penjajah untuk dikendalikan, tetapi harus tetap berbeda untuk mempertahankan hierarki subordinasi. Inilah yang disebut Bhabha sebagai "serupa tapi tak sama," atau "hampir sama tapi tidak sepenuhnya".
B. Mimikri sebagai "Metonimi Kehadiran" (Metonym of Presence)
Bhabha mendefinisikan mimikri sebagai "metonimi kehadiran", yang merupakan tujuan strategis yang diproduksi melintasi batas kultural dalam bentuk kamuflase (kemiripan parsial yang memamerkan kehadiran sebagian). Mimikri, yang lahir dari ambivalensi, tidak hanya berfungsi sebagai subjeksi, tetapi sebagai strategi subversif yang mendestabilisasi otoritas kolonial dengan mengekspos kepalsuan dan ketidaklengkapan otoritas tersebut. Ia menjadi ejekan sekaligus ancaman (resemblance and menace).
Kekuatan subversif mimikri terletak pada ruang antara peniruan murni (mimicry) dan ejekan (mockery). Karena mimikri harus terus mengekspresikan perbedaan yang inheren (ambivalensi), ia secara tak terhindarkan memberikan kekuatan kepada yang terjajah. Subjek subordinat dapat mengapropriasi model wacana dominan—misalnya, sistem pendidikan atau birokrasi Barat—untuk tujuan subjektivitas mereka sendiri, secara bersamaan mendukung dan mengingkari kebenaran wacana dominan tersebut.
C. Contoh Nyata (Aplikasi Politik)
Contoh nyata yang sering dirujuk adalah adopsi pakaian, pendidikan, dan etika Barat oleh elit terjajah, seperti pegawai negeri India selama Pemerintahan Inggris. Di konteks Indonesia, para pendiri republik meniru pendidikan dan struktur politik kebangsaan termasuk menggunakan pakaian jas ala Barat, tetapi mereka memanfaatkan struktur dan pengetahuan tersebut bukan untuk mendukung kolonialisme, melainkan untuk kepentingan strategis kemerdekaan, mengubah alat subjeksi menjadi alat agensi politik. Mimikri menunjukkan bahwa perlawanan utama yang dihasilkan adalah ancaman yang mengganggu tatanan wacana dan pengetahuan kolonial—sebuah perlawanan psikis dan semiotik yang beroperasi di dalam sistem kekuasaan itu sendiri.
V. Hibriditas Kultural: Melampaui Biner Oposisi
A. Hibriditas: Definisi dan Fungsi Subversif
Hibriditas adalah konsep Bhabha yang paling transformatif dan merupakan kunci untuk mendekonstruksi identitas esensialis. Secara etimologis, istilah ini berasal dari hortikultura, merujuk pada persilangan dua spesies (misalnya, melalui pencangkokan atau penyerbukan silang) untuk membentuk spesies ketiga yang baru dan unik.
Dalam teori postkolonial, hibriditas merujuk pada penciptaan bentuk-bentuk interkulturalitas baru yang muncul di zona kontak kolonial. Fungsi utama hibriditas adalah menantang gagasan identitas murni (pure culture) dan essentialisme. Bhabha berargumen bahwa semua bentuk budaya secara fundamental dan terus-menerus berada dalam proses hibriditas. Hibriditas adalah proses yang produktif (productive process) yang menciptakan ruang untuk perbedaan kultural dan menolak asimilasi.
Jejak hibrida ini secara langsung bertentangan dengan upaya penjajah untuk memfiksasi dan mengontrol budaya pribumi. Karena kolonialisme bergantung pada dikotomi biner (Self vs. Other), kemunculan bentuk hibrida yang tidak bisa dikategorikan memicu rasa takut dan kecemasan pada penjajah. Hibriditas adalah semacam 'invasi' budaya yang menciptakan celah (fissures) dalam struktur yang menopang kekuasaan kolonial itu sendiri.
B. Lingkup Hibriditas dan Relevansi Kontemporer
Hibridisasi terjadi pada berbagai tingkatan, meliputi aspek bahasa, budaya, politik, dan ras.
- Contoh Linguistik: Bahasa Pidgin dan Kreol adalah manifestasi hibriditas linguistik yang utama, menunjukkan percampuran unsur-unsur bahasa kolonial dan pribumi menjadi sistem komunikasi baru.
- Contoh Kultural: Fenomena seperti fusion cuisine, musik, atau identitas Creol di Karibia dan identitas Chicano/a di Amerika Serikat adalah contoh bentuk hibriditas kultural yang menantang kategori kolonial.
Konsep hibriditas Bhabha meluas melampaui studi postkolonial historis. Kini, hibriditas sering dianggap sebagai 'logika kultural' dari globalisasi, di mana jejak-jejak budaya lain terdapat di setiap budaya, memfasilitasi hubungan transkultural. Ini menunjukkan bagaimana teori Bhabha tetap relevan dalam membahas isu-isu diaspora dan politik identitas kontemporer.
VI. Ruang Ketiga (The Third Space of Enunciation): Lokasi Budaya Baru
A. Definisi Ruang Ketiga dan Negosiasi Liminal
Konsep paling sentral dalam penentuan 'lokasi budaya' adalah Third Space of Enunciation (Ruang Ketiga Enunsiasi), yang merujuk pada ruang antar-antara (in-between space atau interstice) atau liminalitas. Ini adalah lokasi negosiasi dan terjemahan (translation) di mana batas-batas budaya bertemu dan kabur (blur).
Dalam ruang liminal ini, yang terjajah dan penjajah bernegosiasi. Ruang Ketiga memungkinkan individu untuk menyintesis elemen-elemen dari identitas yang berbeda, menciptakan identitas dan pengetahuan hibrida baru. Yang terpenting, negosiasi yang terjadi di Ruang Ketiga bukanlah sekadar kompromi, tetapi melibatkan tindakan subversi, pelanggaran (transgression), dan perlawanan.
B. Enunsiasi dan Produksi Makna Transgresif
Bhabha secara eksplisit menggunakan istilah enunciation (tindakan pengucapan/artikulasi) untuk menekankan bahwa agensi terletak pada cara bahasa dan makna diartikulasikan. Dengan berfokus pada proses budaya (enunciation) alih-alih pada konten budaya (content), Bhabha memaparkan momen agensi di mana subjek terjajah berbicara untuk diri mereka sendiri, mendefinisikan ulang hubungan mereka dengan penjajah.
Ruang Ketiga adalah tempat kemunculan makna yang transgresif dan berpotensi revolusioner. Ia berfungsi untuk mendekonstruksi polaritas oposisional dan pemikiran biner (Self/Other, East/West, colonizer/colonized) yang diproduksi oleh pengetahuan kolonial. Tindakan 'terjemahan kultural' dalam ruang ini adalah tindakan politik yang memungkinkan pemindahan narasi dominasi kultural.
C. Aplikasi Ruang Ketiga
Ruang Ketiga Bhabha telah menjadi kerangka kerja penting dalam analisis sastra postkolonial, terutama karya penulis seperti Joseph Conrad, Toni Morrison, dan Derek Walcott, yang mengeksplorasi identitas dan afiliasi nasional yang kompleks. Dalam konteks linguistik, Ruang Ketiga adalah lokasi di mana bahasa Inggris didekolonisasi dari status "Queen's English," direinterpretasikan dalam kerangka hibrida, dan menghasilkan bentuk transkultural baru.
Konsep ini menunjukkan bahwa identitas bukanlah warisan statis, tetapi hasil dari proses negosiasi dan percampuran yang berkelanjutan. Tabel 1 meringkas empat kerangka konseptual utama yang dikembangkan oleh Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture untuk menjelaskan mekanisme subversi postkolonial.
Table 1: Kerangka Konseptual Utama Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture
VII. Analisis Narasi Kebangsaan: De-sentralisasi Komunitas Imajiner
Dalam salah satu esai kunci dalam koleksi ini, "DissemiNation: Time, Narrative, and the Margins of the Modern Nation," Bhabha memperluas kritik anti-esensialisnya terhadap konsep bangsa dan negara. Bhabha menantang pandangan naratif nasional yang homogen dan horizontal, termasuk konsepsi komunitas terbayang (imagined community) yang populer, dengan mengusulkan narasi yang dapat menangkap persimpangan kompleks waktu dan tempat dalam pengalaman modern negara-negara.
Bhabha memperkenalkan konsep Waktu Ganda (Double-Time) nasional. Narasi nasional yang berwenang mencoba merepresentasikan dirinya dalam waktu yang penuh dan sinkronis yang mulus. Namun, Bhabha, dengan mengacu pada Freud, menyarankan bahwa naratif nasional beroperasi dalam waktu yang ganda dan terpecah—sebuah keadaan liminal dan tidak pasti di mana unsur arkais atau yang direpresi muncul di tengah-tengah modernitas. Instabilitas temporal ini mempersoalkan otoritas representatif narasi nasional dan batas-batas masyarakat yang diklaimnya utuh.
Dengan menerapkan ambivalensi dan fragmentasi pada entitas politik, Bhabha berpendapat bahwa identitas nasional, sama seperti identitas kultural, tidak pernah bisa difiksasi atau murni. Ini adalah upaya untuk mendekolonisasi narasi negara pascakolonial itu sendiri, yang seringkali mereplikasi struktur otoritas kolonial secara internal. Bhabha berfokus secara khusus pada kelompok marginal, seperti rakyat terjajah dan perempuan, untuk mengeksplorasi bagaimana identitas kultural dan solidaritas di dalam budaya nasional selalu merupakan hasil dari negosiasi yang tegang antara tuntutan untuk kesatuan dan pengakuan terhadap perbedaan di margin.
VIII. Tinjauan Kritis dan Batasan Teori Bhabha
Meskipun The Location of Culture adalah teks yang seminal yang merevolusi cara pemikiran postkolonial, fokusnya yang dominan pada diskursivitas, semiotika, dan aspek psikis telah menarik kritik signifikan, terutama dari perspektif yang berfokus pada realitas material dan ekonomi.
A. Pengabaian Kondisi Material dan Eksploitasi Ekonomi
Kritik utama terhadap teori Bhabha adalah kurangnya perhatiannya terhadap eksploitasi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh penjajah, serta kondisi material terkait akses yang tidak setara terhadap sumber daya dan peluang bagi yang terjajah. Akibatnya, kritikus berpendapat bahwa Ruang Ketiga yang diusulkan Bhabha hanya efektif sebagai proyek kultural yang menawarkan pembebasan mental dan psikologis saja (mental and psychological liberation only), tetapi gagal membuat intervensi yang menentukan terhadap ketidakadilan material.
Penekanan Bhabha pada semiotika, yang tercermin dalam judul karyanya yang berfokus pada 'budaya' dan 'narasi', membuatnya dituduh diam (silent) mengenai ekspansi global kapitalisme dan eksploitasi neokolonial terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Prioritas pada agenda kultural di atas isu-isu ekonomi dianggap sebagai kelemahan serius. Meskipun dekonstruksi hubungan biner (Self/Other) berhasil membongkar hierarki diskursif, kritik menyebutkan bahwa hal itu tidak menjamin meredanya ketidaksetaraan material antara Timur dan Barat, atau mencapai keadilan ekonomi dan sosial bagi kelompok yang kurang mampu.
B. Risiko Kooptasi Neokolonial
Kritik yang paling tajam muncul dari kekhawatiran bahwa fokus eksklusif pada negosiasi kultural dapat dimanipulasi oleh kekuatan Dunia Pertama dan mantan penjajah. Ruang Ketiga Bhabha, karena kurang memperhatikan kondisi material dan hubungan antarmanusia yang tidak setara, berisiko melayani agenda eksploitasi yang ingin ditentangnya. Misalnya, mekanisme global seperti World Trade Organization (WTO) dan Social Media Networks (SMNs) dapat memanfaatkan negosiasi transkultural untuk menciptakan dan mempertahankan bentuk baru eksploitasi neokolonial terhadap negara-negara berkembang.
Kritik ini menyoroti dikotomi fundamental dalam teori Bhabha: apakah perlawanan diskursif sudah memadai tanpa perlawanan material yang berwujud? Perlawanan yang efektif, menurut pandangan kritikus, harus mengakui baik kondisi material yang tidak setara maupun diskursus eksploitasi secara bersamaan.
Tabel 2 merangkum batasan utama teori Ruang Ketiga Bhabha yang diajukan oleh para kritikus materialis:
Table 2: Kritik Materialis Terhadap Konsep Ruang Ketiga Bhabha
IX. Kesimpulan: Kontribusi Abadi Bhabha dan Relevansinya Kontemporer
The Location of Culture karya Homi K. Bhabha adalah teks penting yang berhasil merelokasi perdebatan postkolonial dari dikotomi yang kaku (Penjajah vs. Terjajah) menuju pemahaman yang lebih cair dan produktif mengenai batas-batas budaya dan kekuasaan. Kontribusi Bhabha yang abadi terletak pada penyediaan kerangka kerja konseptual yang canggih—terutama melalui lensa Ambivalensi, Mimikri, Hibriditas, dan Ruang Ketiga—untuk memahami agensi dan perlawanan yang beroperasi di dalam dan melalui wacana kekuasaan kolonial.
Bhabha berhasil menantang identitas statis dan biner dengan menunjukkan bahwa identitas pascakolonial adalah proses negosiasi dan transformasi yang berkelanjutan. Perlawanan, dalam kerangka Bhabha, adalah tindakan diskursif yang cerdas, yang memanfaatkan celah psikis dalam otoritas kolonial untuk menciptakan bentuk identitas dan pengetahuan transgresif.
Meskipun kritik terhadap pengabaian kondisi material tetap valid dan krusial dalam kajian neokolonialisme, teori Bhabha tetap sangat berpengaruh. Konsep-konsepnya menjadi dasar dalam kajian globalisasi, diaspora, dan politik identitas kontemporer, yang menekankan sifat cair (fluid) dari identitas dan perlunya negosiasi berkelanjutan dalam dunia yang semakin saling terhubung. Dengan mendefinisikan lokasi budaya sebagai ruang liminal dan tidak pasti, Bhabha memberikan cetak biru untuk memahami percampuran dan perlawanan budaya di era global yang terus berubah.
Sumber:
Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. London & New York: Routledge.
Bhabha, H. K. (2004). The location of culture. Routledge Classics Edition.
Bhabha, H. K. (2012). The location of culture (2nd ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203820551
Discourse on Postcolonial Theory. (n.d.). Homi Bhabha’s “Of mimicry and man”. https://discourseonpostcolonialtheory.wordpress.com
Everett Public Schools. (n.d.). Bhabha’s hybridity and the third space in postcolonial discourse. https://www.everettsd.org
Fiveable. (n.d.-a). Concepts of hybridity, mimicry, and subaltern: Intro to literary theory class notes. https://fiveable.me
Fiveable. (n.d.-b). Homi K. Bhabha – Intro to comparative literature: Vocab, definition, explanations. https://fiveable.me
Fiveable. (n.d.-c). Homi K. Bhabha | Literary theory and criticism class notes. https://fiveable.me
International Journal of English Learning & Teaching Skills (IJELTS Journal). (n.d.). Unfolding the “third space of enunciation”. https://ijeltsjournal.org
Kompasiana. (n.d.). Keberantaraan, ambivalensi, dan hibriditas budaya dalam pandangan Bhabha. https://www.kompasiana.com
Kuwait Scholars Publisher. (n.d.). Critical review of postcolonial theory of Homi Bhabha’s hybridity: A study of “The Location of Culture”. https://kspublisher.com
Perlego. (n.d.). What is hybridity in postcolonial theory? Definition, examples & analysis. https://www.perlego.com
Professores.uff.br. (n.d.). The commitment to theory. https://professores.uff.br
Routledge. (n.d.). The location of culture – 2nd edition – Homi K. Bhabha. https://www.routledge.com
Scalar.usc.edu. (n.d.). Homi Bhabha’s concept of hybridity. https://scalar.usc.edu
ScholarBlogs @ Emory University. (n.d.). Mimicry, ambivalence, and hybridity – Postcolonial studies. https://scholarblogs.emory.edu
Scribd. (n.d.). DissemiNation summary | Postcolonialism | Semiotics. https://www.scribd.com
Tandfonline. (n.d.). A systematic literature review of Third Space theory in research with children (aged 4–12) in multicultural educational settings. https://www.tandfonline.com
Taylor & Francis. (n.d.-a). The commitment to theory | The location of culture | Homi K. Bhabha. https://www.taylorfrancis.com
Taylor & Francis. (n.d.-b). The location of culture | Homi K. Bhabha | Taylor & Francis eBooks. https://www.taylorfrancis.com
Wikipedia. (n.d.-a). Homi K. Bhabha. https://en.wikipedia.org/wiki/Homi_K._Bhabha
Wikipedia. (n.d.-b). Hybridity. https://en.wikipedia.org/wiki/Hybridity
www2.tf.jcu.cz. (n.d.). The location of culture. https://www2.tf.jcu.cz



Post a Comment