Kontestasi Simbolik di Dunia Digital: Analisis Meme Bahlil Lahadalia dengan Teori Pierre Bourdieu

Table of Contents

I. Pengantar Teoritis dan Kontekstualisasi Ranah (Field)

I.A. Latar Belakang Fenomena dan Krisis Simbolik

Fenomena meme yang melibatkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pada tahun 2024 dan 2025, merupakan kasus studi yang kaya untuk memahami dinamika kekuasaan dan resistensi di era digital. Aktor utama dalam kasus ini, Bahlil Lahadalia, menduduki posisi sentral di pemerintahan, yang memberinya Modal Simbolik yang besar. Pemicu utama kontroversi ini adalah krisis kredibilitas yang berakar pada isu investasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Setelah sebelumnya mengklaim optimisme mengenai masuknya investor asing, Bahlil dihadapkan pada kenyataan faktual di hadapan Komisi VI DPR pada Juni 2024 bahwa belum ada Penanaman Modal Asing (PMA) yang merealisasikan investasinya di IKN; sejauh ini, investasi yang masuk masih didominasi oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Kontradiksi antara klaim optimis dan realitas kebijakan ini dengan cepat ditangkap oleh Ranah Digital, memicu gelombang meme. Fenomena meme ini bukan sekadar kritik kebijakan, melainkan telah bermetamorfosis menjadi serangan personal, seringkali menggunakan bahasa yang merendahkan, atau yang dalam studi linguistik dikenal sebagai disfemisme. Eskalasi konflik simbolik ini mencapai puncaknya ketika kelompok pendukung Bahlil Lahadalia menggunakan mekanisme hukum, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai respons terhadap pembuat meme. Respons hukum ini merepresentasikan upaya dominasi oleh Ranah Politik Formal untuk menegaskan kembali batas-batas Ranah kekuasaan dan memaksakan Doxa penghormatan terhadap pejabat publik.

I.B. Kerangka Teori Dominasi Simbolik Pierre Bourdieu

Untuk menganalisis kontestasi ini, kerangka Teori Dominasi Simbolik Pierre Bourdieu menawarkan lensa yang sangat tepat. Konflik meme Bahlil adalah cerminan dari benturan struktural yang terjadi antara dua Ranah: Ranah Politik Formal yang didominasi oleh Modal Institusional dan Legal, dan Ranah Digital yang cair dan didominasi oleh kecepatan serta Modal Budaya digital.

  • Definisi Ranah (Field): Media sosial diidentifikasi sebagai Ranah—sebuah arena otonom tempat posisi aktor ditentukan oleh distribusi modal yang dipertaruhkan. Dalam kasus ini, Ranah Digital menjadi arena bagi aktor sub-dominan (warganet) untuk menantang aktor dominan (pejabat publik) melalui pertarungan simbolik. Ranah Politik Formal berusaha mempertahankan Doxa tradisionalnya, yaitu hirarki dan penghormatan, sementara Ranah Digital memungkinkan Habitus Kritis yang instan dan anonim untuk menantang hierarki tersebut.
  • Definisi Habitus: Habitus adalah sistem disposisi yang dipersonalisasi, mencakup etika, cara bicara, dan latar belakang sosial, yang membentuk praktik dan penerimaan aktor di dalam Ranah. Habitus Bahlil yang dibentuk oleh narasi "anak kuli" (Modal Budaya) menjadi sasaran utama perusakan dalam meme.
  • Definisi Modal Simbolik (Symbolic Capital): Ini adalah legitimasi dan otoritas yang diperoleh dari pengakuan sosial. Jabatan menteri dan kisah inspiratif Bahlil adalah bentuk Modal Simbolik yang menjadi taruhan utama dalam kontestasi meme. Analisis menunjukkan bahwa serangan terhadap Bahlil dipicu karena kerusakan terbesar yang dirasakan oleh aktor dominan adalah pada Modal Simbolik mereka (reputasi dan martabat), bukan hanya pada kinerja kebijakan semata. Hal ini menegaskan bahwa dalam politik kontemporer, Modal Simbolik (reputasi, martabat) adalah aset yang lebih sensitif dan dilindungi daripada kinerja material.
  • Definisi Doxa: Doxa adalah sistem keyakinan yang diterima secara implisit dalam Ranah (misalnya, pejabat negara berhak dihormati; kritik harus bersifat konstruktif). Meme yang merendahkan dianggap melanggar Doxa ini, memicu reaksi keras.
  • Definisi Kekerasan Simbolik (Symbolic Violence): Ini adalah mekanisme penegakan Doxa dan dominasi. Respons pelaporan yang dilakukan oleh kelompok pendukung Bahlil menggunakan Modal Legal (UU ITE) untuk memaksakan aturan Ranah Politik Formal ke Ranah Digital. Tindakan ini adalah bentuk Kekerasan Simbolik antar-Ranah yang membuat penindasan kritik tampak sebagai tindakan yang wajar dan perlu untuk "menjaga martabat."

II. Akumulasi dan Konstitusi Modal Simbolik Bahlil Lahadalia

II.A. Habitus Asal dan Narasi "Anak Kuli"

Bahlil Lahadalia telah mengonstruksi Modal Simbolik yang signifikan berdasarkan narasi latar belakang sosialnya. Kisah inspiratifnya, dari "Anak Kuli yang Kini Jabat Menteri Investasi," merupakan aset Modal Budaya yang sangat kuat. Narasi from zero to hero ini memberikan legitimasi moral dan sosial yang melampaui afiliasi politik semata, menunjukkan bahwa posisinya diperoleh melalui perjuangan, kerja keras, dan integritas.

Penciptaan Habitus yang ideal ini—yakni Habitus seorang yang moralis dan berintegritas tinggi—penting untuk mengatasi kritik dan membangun kepercayaan publik. Namun, Modal Simbolik yang berakar pada kisah moral dan integritas ini memiliki kerentanan struktural. Ketika isu personal yang merusak citra moral muncul—seperti dugaan foto kontroversial yang melibatkan Bahlil —hal ini menimbulkan disonansi yang tajam. Serangan terhadap moralitas atau Habitus secara langsung meruntuhkan fondasi Modal Simbolik yang telah susah payah dibangun. Berbeda dengan pejabat yang legitimasinya berbasis kekayaan warisan, Bahlil menjadi lebih rentan terhadap serangan personal berbasis moralitas karena integritas adalah inti dari kapitalisasinya.

II.B. Modal Politik dan Posisi Dominan di Ranah Pemerintahan

Posisi Bahlil di Ranah Politik Formal adalah posisi dominan. Ia tidak hanya menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, tetapi juga merupakan tokoh sentral di Partai Golkar. Posisi ganda ini memberinya Modal Politik dan Modal Institusional yang besar, memungkinkannya untuk memengaruhi Doxa seputar wacana investasi dan pembangunan IKN.

Modal Institusional ini juga krusial dalam pertahanan simbolik. Ketika Modal Simbolik pribadinya diserang melalui meme, Modal Politik memungkinkan Bahlil memobilisasi aktor pendukung, seperti PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), untuk mempertahankan integritas simboliknya di ranah hukum. Mobilisasi AMPG untuk pelaporan polisi menunjukkan bahwa pertahanan Modal Simbolik pejabat publik telah dilembagakan. Respons yang terstruktur dan masif dari entitas politik ini menandakan bahwa meme tersebut tidak hanya dianggap sebagai ancaman pribadi, tetapi sebagai ancaman terhadap Modal Simbolik partai secara keseluruhan. Ini merupakan upaya kolektif untuk menegaskan bahwa Doxa politik (kekebalan pejabat dari kritik yang merendahkan) harus dipertahankan secara terpadu oleh Ranah Dominan.

III. Dissonansi Simbolik: Krisis Kredibilitas di Isu IKN

III.A. Konflik Antara Klaim dan Realitas

Krisis simbolik Bahlil bermula dari ketidaksesuaian antara narasi yang dipromosikannya dan kenyataan di lapangan. Sebelumnya, pemerintah (termasuk Bahlil) menggembar-gemborkan minat ratusan investor asing terhadap IKN. Namun, pada rapat kerja di Komisi VI DPR pada Juni 2024, Bahlil mengakui bahwa belum ada Penanaman Modal Asing (PMA) yang merealisasikan investasinya di IKN, dan pembangunan tahap pertama masih didominasi oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Pengakuan atas dissonansi ini segera menciptakan celah legitimasi. Anggota Komisi VI DPR, seperti Harris Turino (Fraksi PDIP) dan Amin Ak (Fraksi PKS), secara terbuka mempertanyakan progres investasi yang tidak sejalan dengan pernyataan Bahlil sebelumnya. Kritik yang terjadi di Ranah Politik Formal (DPR) ini secara efektif mendelegitimasi Modal Simbolik Bahlil sebagai "Menteri Investasi yang efektif" di mata kolega politiknya.

III.B. Kekalahan Simbolik Awal

Pengakuan resmi di DPR tersebut segera menyebar luas ke Ranah Digital. Kontradiksi yang terbuka ini memicu Dissonansi Simbolik—kesenjangan antara simbol otoritas dan fakta empiris—yang memungkinkan Habitus Kritis warganet untuk beroperasi secara maksimal. Warganet, melalui meme, merespons kegagalan ini, menggunakan humor untuk menyingkap celah antara klaim (simbol) dan kenyataan (material). Ini adalah proses yang efektif dalam mengubah Modal Simbolik (otoritas) menjadi Modal Negatif (bahan ejekan).

Menariknya, Bahlil sendiri menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kekuatan viralitas media sosial, bahkan sempat bercanda di forum investasi: "Jangankan Mulut, Tangan Pun Bisa Viral". Pengakuan ini menunjukkan bahwa Ranah Dominan mengakui kekuatan tak terduga dari Ranah Digital dalam merespons kekalahan simbolik.

Dissonansi Simbolik ini bukan hanya tentang fakta yang salah, tetapi tentang kegagalan mempertahankan koherensi naratif yang melandasi Modal Simbolik. Seorang Menteri Investasi memiliki Doxa untuk selalu optimis dan meyakinkan. Ketika Doxa ini dilanggar oleh pengakuan di DPR, meme muncul sebagai bentuk respons terhadap kegagalan ini. Lebih lanjut, kontestasi di DPR berfungsi sebagai perebutan definisi realitas. Kritik yang dilembagakan oleh oposisi (PDIP, PKS) di Ranah Politik Formal berfungsi sebagai validasi otoritatif bagi Habitus Kritis di Ranah Digital, yang berarti Ranah Politik Formal secara tidak langsung menjadi pemasok energi kritis untuk Ranah Digital.

IV. Meme sebagai Manifestasi Habitus Kritis dan Serangan Simbolik Balik

IV.A. Ranah Digital sebagai Arena Kontestasi Habitus Kritis

Media sosial (Instagram, Facebook, dan X) berfungsi sebagai Ranah yang egaliter dan cepat, di mana proses sirkulasi informasi dan produksi konten terjadi secara instan. Di sinilah Habitus Kritis warganet menemukan ruang untuk mengekspresikan perlawanan terhadap otoritas. Meme, sebagai bentuk komunikasi yang ringkas, mudah direplikasi, dan viral, menjadi instrumen utama dalam upaya dekonstruksi Modal Simbolik pejabat.

IV.B. Analisis Mendalam Disfemisme dan Penyerangan Karakter

Reaksi warganet terhadap Bahlil melampaui kritik rasional terhadap kebijakan. Penelitian linguistik menunjukkan dominasi penggunaan disfemisme—bahasa yang merendahkan atau penghinaan—dalam kolom komentar di media sosial. Fokus serangan beralih dari isu material (investasi IKN) ke karakter personal Bahlil. Ini termasuk penyebaran isu mengenai foto kontroversial yang diduga Bahlil sedang mabuk, yang dianggap sebagai isu yang "tabu".

Temuan kunci dari analisis linguistik adalah bahwa istilah penghinaan atau ketidak-hormatan terhadap karakter yang dituju sangat dominan, menunjukkan warganet lebih cenderung melakukan penyerangan secara langsung terhadap karakter personal. Tujuan dari serangan balik ini adalah melemahkan Habitus moral Bahlil, sehingga Modal Simbolik yang berbasis narasi integritasnya menjadi tidak valid secara keseluruhan.

Intensitas disfemisme menunjukkan bahwa Habitus Kritis di Indonesia cenderung mengabaikan batas antara individu dan jabatan, menganggap kegagalan kebijakan sebagai refleksi moralitas pribadi. Karena warganet tidak memiliki modal politik untuk mengubah kebijakan, mereka menggunakan Kekerasan Simbolik Balik melalui modal budaya digital mereka (kemampuan membuat meme dan disfemisme) untuk meruntuhkan reputasi.

Fenomena meme Bahlil menegaskan bahwa Doxa yang mengelilingi "tabu" etika pejabat publik (seperti dugaan mabuk) menjadi medan pertarungan baru, yang digunakan untuk mendiskreditkan otoritas politik yang dianggap gagal memenuhi janji. Dengan menyerang isu tabu ini, Habitus Kritis berhasil memindahkan fokus dari akuntabilitas ekonomi ke akuntabilitas moral.

Untuk mengilustrasikan strategi penyerangan simbolik ini, tabel berikut merangkum tipologi kritik yang terjadi:
Tipologi Kritik Simbolik dalam Fenomena Meme Bahlil (Berdasarkan Disfemisme)

Kontestasi Simbolik di Dunia Digital Analisis Meme Bahlil Lahadalia dengan Teori Pierre Bourdieu

V. Respons Dominan: Kekerasan Simbolik melalui Mekanisme Hukum (UU ITE)

V.A. Reaksi Terstruktur dan Masif dari Ranah Dominan

Respons terhadap meme menunjukkan bahwa Ranah Dominan tidak pasif dalam menghadapi erosi Modal Simbolik. Reaksi yang muncul adalah terstruktur dan dilembagakan: pelaporan dilakukan oleh PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Ini menunjukkan respons yang terorganisasi dari sayap politik Golkar.

Basis hukum yang digunakan sebagai alat Kekerasan Simbolik adalah Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE, serta Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Penggunaan Modal Hukum ini secara tegas difungsikan untuk membela Modal Simbolik yang terkikis oleh meme.

V.B. Analisis Konsep "Merendahkan Martabat, Marwah, dan Pribadi"

Alasan spesifik pelaporan adalah karena akun-akun media sosial tersebut dianggap "merendahkan martabat, marwah, dan pribadi Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia" secara terstruktur dan masif. Konsep "martabat" dan "marwah" adalah manifestasi inti dari Modal Simbolik yang dimiliki oleh seorang pejabat tinggi. Pelaporan ini adalah upaya untuk menggunakan institusi negara (kepolisian, sistem hukum) untuk melindungi aset simbolik tersebut.

Ini adalah perwujudan dari Kekerasan Simbolik yang Dilegitimasi. Negara, melalui aparat penegak hukum, dipaksa berfungsi sebagai alat untuk menegaskan kembali Doxa kepatuhan terhadap hierarki sosial politik. Meskipun kritik warganet berakar pada kegagalan kebijakan, penggunaan hukum membuat penindasan kritik tampak sah dan diperlukan untuk "menjaga martabat" seorang pejabat.

Penggunaan UU ITE sangat efektif karena menciptakan risiko material (denda, penjara) bagi warganet. Ancaman ini menekan kemampuan individu untuk berekspresi secara kritis, memaksa Habitus Kritis warganet untuk menginternalisasi rasa takut dan melakukan swasensor. Kekerasan ini bersifat simbolik karena diterima secara luas sebagai mekanisme "legal" untuk menjaga ketertiban, sehingga dominasi Ranah Politik tampak alami dan tidak dapat dihindari.

Pelaporan ini juga memunculkan kontradiksi mengenai Doxa Demokrasi Digital. Pelaporan ini dinilai oleh pengamat sebagai bentuk "pembungkaman demokrasi", tetapi dilegitimasi secara hukum sebagai tindakan "melindungi martabat". Pertarungan ini menunjukkan adanya perebutan definisi Doxa yang sah: antara Doxa Kebebasan Berpendapat (oleh warganet) dan Doxa Otoritas dan Penghormatan (oleh Ranah Dominan).

Tabel berikut merangkum mekanisme Kekerasan Simbolik yang terjadi:
Mekanisme Kekerasan Simbolik (UU ITE) vs. Kontestasi Simbolik

Kontestasi Simbolik di Dunia Digital: Analisis Meme Bahlil Lahadalia dengan Teori Pierre Bourdieu

VI. Analisis Implikasi dan Doxa Demokrasi Digital di Indonesia

VI.A. Mempertanyakan Doxa: Batas-Batas Kritik Publik

Kasus Bahlil Lahadalia berfungsi sebagai locus kritis yang mendefinisikan batas-batas kritik yang dapat diterima dalam Doxa politik Indonesia. Fenomena ini menunjukkan adanya korelasi langsung antara posisi dominan seorang pejabat dan kemampuan mereka untuk menggunakan UU ITE sebagai perisai hukum. Penggunaan Modal Legal untuk melindungi Modal Simbolik membatasi ruang gerak Habitus Kritis warganet.

Kekerasan Simbolik yang dilegitimasi ini berkontribusi pada penciptaan Habitus warganet yang selalu waspada dan cenderung melakukan swasensor. Menurut Bourdieu, swasensor ini adalah hasil dari internalisasi Kekerasan Simbolik; individu di Ranah Sub-Dominan menyadari risiko dan secara sukarela menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai dengan Doxa yang dipaksakan oleh Ranah Dominan.

VI.B. Relevansi Teori Bourdieu dalam Studi Komunikasi Politik Digital

Kasus meme Bahlil menegaskan bahwa Ranah Digital, meskipun menawarkan platform yang demokratis untuk perlawanan, bukanlah Ranah yang benar-benar otonom. Ia tetap rentan terhadap intervensi Kekerasan Simbolik yang berasal dari Ranah Politik Formal melalui Modal Legal.

Meskipun pejabat tinggi sering mencoba mengadopsi gaya komunikasi informal di media sosial  untuk membangun Habitus yang populis dan dekat dengan rakyat, mereka dengan cepat akan kembali menggunakan alat dominasi formal (hukum) ketika Modal Simbolik mereka terancam secara serius. Ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam Habitus pejabat.

Meme Bahlil adalah contoh ideal dari Perlawanan Simbolik yang Berakhir dengan Kegagalan Material. Warganet berhasil menciptakan krisis simbolik (Dissonansi) yang merusak reputasi Bahlil (Kekalahan Simbolik Awal). Namun, karena mereka kekurangan Modal Legal dan Modal Institusional, keberhasilan simbolik mereka tidak dapat dipertahankan. Ranah Dominan kemudian mengaktifkan Modal Legal (UU ITE), mengkriminalisasi warganet, dan memulihkan tatanan simbolik.

Kontestasi ini juga menyoroti kegagalan Habitus pejabat dalam mengelola kontradiksi antara narasi populis (menerima kritik) dan tindakan elitis (membungkam kritik). Respons hukum formal secara tegas menunjukkan batas kepura-puraan populis. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Doxa pejabat di Indonesia adalah menerima pujian dan interaksi ringan, tetapi secara aktif menggunakan Kekerasan Simbolik untuk menolak kritik yang merusak martabat simbolik.

VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Teoritis

VII.A. Sintesis Temuan Utama

Fenomena meme Bahlil Lahadalia di media sosial merupakan sebuah pertarungan sengit mengenai legitimasi dan otoritas yang dapat dianalisis secara komprehensif melalui lensa Teori Dominasi Simbolik Pierre Bourdieu. Analisis menunjukkan bahwa kritik dimulai dari Dissonansi Simbolik (kesenjangan janji IKN versus realitas investasi), yang kemudian dieksploitasi oleh Habitus Kritis melalui Disfemisme (penyerangan personal) terhadap Modal Simbolik Bahlil. Sebagai respons terhadap Kekerasan Simbolik Balik ini, Ranah Dominan menggunakan Kekerasan Simbolik yang Dilegitimasi melalui Modal Legal (UU ITE) untuk memulihkan Doxa penghormatan hierarkis dan melindungi aset simbolik mereka ("martabat dan marwah").

VII.B. Kontribusi Teoritis dan Implikasi Kebijakan

Kasus ini memperkaya aplikasi teori Bourdieu, khususnya dalam menjelaskan dinamika kekuasaan di ranah komunikasi politik digital. Kasus ini menunjukkan bahwa Modal Simbolik yang rapuh, terutama yang dibangun di atas narasi moral dan integritas, dapat dengan mudah menjadi target. Untuk mempertahankan diri, Ranah Dominan harus menggunakan mekanisme hukum yang represif, menunjukkan kebergantungan Ranah Politik Formal pada Modal Legal untuk menundukkan perlawanan Ranah Digital.

Implikasi kebijakan dari temuan ini sangat signifikan. Selama perangkat hukum seperti UU ITE dapat digunakan oleh aktor dominan untuk melindungi Modal Simbolik pribadi dari kritik yang merendahkan, demokrasi digital di Indonesia akan menghadapi kendala serius. Oleh karena itu, diperlukan reformasi hukum yang mendesak untuk membatasi kemampuan aktor dominan dalam menggunakan hukum sebagai alat pelindung Modal Simbolik pribadi, demi mempromosikan Habitus Kritis yang sehat dan akuntabilitas publik yang esensial dalam sebuah negara demokrasi.

Sumber:

digilib.uns.ac.id. (2025). Disfemisme pada isu foto kontroversial Bahlil Lahadalia dalam kolom komentar media sosial Instagram, Facebook, dan X. Universitas Sebelas Maret. Diakses dari https://digilib.uns.ac.id

feb.ub.ac.id. (2025). Kisah inspiratif Bahlil Lahadalia, anak kuli yang kini jabat Menteri Investasi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Diakses dari https://feb.ub.ac.id

humasindonesia.id. (2025). Plus minus komunikasi pejabat lewat konten medsos. Humas Indonesia. Diakses dari https://humasindonesia.id

kbanews.com. (2025). Pengamat nilai pelaporan pembuat meme Bahlil bentuk pembungkaman demokrasi. KBA News. Diakses dari https://kbanews.com

mkri.id. (2025). Jaksa tersandera kriminalisasi berdasarkan UU ITE usai posting kritik. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Diakses dari https://mkri.id

researchgate.net. (2025). Public relations pemerintah Indonesia dalam pengelolaan citra dan media terkait promosi Ibu Kota Nusantara. ResearchGate. Diakses dari https://researchgate.net

sosiologi79.com. (2025, Oktober). Analisis mendalam buku Masculine Domination Pierre Bourdieu: Kekerasan simbolik dan relasi gender dalam perspektif sosiologi. Sosiologi79. Diakses dari https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-mendalam-buku-masculine.html

tempo.co. (2025). Menteri Investasi Bahlil sebut soal investor asing di IKN, apa katanya dulu dan sekarang? Tempo.co. Diakses dari https://tempo.co

wartakota.tribunnews.com. (2025a). Candaan Bahlil di forum investasi: “Jangankan mulut, tangan pun bisa viral”. Warta Kota. Diakses dari https://wartakota.tribunnews.com

wartakota.tribunnews.com. (2025b). Dianggap merendahkan martabat, pembuat meme Bahlil Lahadalia.... Warta Kota. Diakses dari https://wartakota.tribunnews.com

youtube.com. (2025). Social media accounts that insulted Bahlil reported to police, including reposts [Video]. YouTube. Diakses dari https://youtube.com

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment