Kekerasan Simbolik dan Krisis Relasi Gender: Analisis Pierre Bourdieu pada Kasus Suami Ceraikan Istri Lulus PPPK di Aceh Singkil

Table of Contents

Kekerasan Simbolik dan Krisis Relasi Gender Analisis Pierre Bourdieu pada Kasus Suami Ceraikan Istri Lulus PPPK di Aceh Singkil
I. Pendahuluan: Ranah Pernikahan di Bawah Tekanan Struktural

A. Latar Belakang Kasus Aceh Singkil: Konflik Status dan Talak Informal

Kasus perceraian yang terjadi di Aceh Singkil, melibatkan seorang suami berinisial JS, anggota Satpol PP, yang menceraikan istrinya, MS, segera setelah JS diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), telah menjadi sorotan nasional. Tindakan JS menceraikan MS dilaporkan terjadi dua hari sebelum SK PPPK suaminya diterima. Peristiwa ini melampaui masalah domestik biasa; ia mewakili reaksi kekuasaan yang drastis terhadap pergeseran struktural yang tiba-tiba dalam ranah rumah tangga, di mana hanya pihak suami yang mengalami lonjakan status dan modal simbolik.

Sebelum suaminya mendapatkan status PPPK, MS diketahui bekerja keras sebagai pedagang sayur dan gorengan untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Kontribusi finansialnya pada saat itu bersifat rentan dan tidak terinstitusionalisasi, menunjukkan modal ekonomi yang rendah dan tidak terjamin. Status ini menempatkan MS dalam posisi subordinat dalam ranah domestik.

Tindakan perceraian yang dilakukan oleh JS sangat kontroversial dan tidak sesuai dengan prosedur kepegawaian negara. JS dilaporkan menceraikan istrinya secara lisan di rumah ("kamu saya ceraikan satu, dua, tiga"), dengan alasan yang remeh, yaitu marah karena tidak ada lauk. Prosedur bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk PPPK, secara tegas mensyaratkan izin atasan dan mediasi oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) sebelum perceraian dapat dilanjutkan ke Mahkamah Syar’iyah. Proses ini sama sekali belum ditempuh oleh JS. Hal ini menunjukkan adanya konflik mendasar antara otoritas patriarki lokal dan regulasi birokrasi negara.

B. Posisi Teoritis: Pierre Bourdieu dan Dominasi Maskulin

Untuk memahami mengapa peningkatan status suami justru memicu tindakan perceraian yang tergesa-gesa dan informal terhadap istri, artikel ilmiah ini menggunakan kerangka sosiologi kritis dari Pierre Bourdieu, khususnya karyanya Masculine Domination. Teori ini menyediakan perkakas untuk mengidentifikasi bagaimana perubahan komposisi modal secara fundamental dapat menguatkan Habitus Maskulin suami, yang kemudian direspons melalui Kekerasan Simbolik.

Pertanyaan kunci yang diajukan oleh analisis ini adalah: Bagaimana status PPPK yang diperoleh suami mengubah ranah domestik Aceh Singkil? Mengapa suami memilih menggunakan mekanisme perceraian yang tidak sah secara birokratis? Dan bagaimana tindakan ini, yang dilakukan di luar prosedur formal, mereproduksi Doxa maskulin? Hipotesis utama adalah bahwa tindakan JS merupakan upaya penegasan dominasi simbolik yang baru terinstitusionalisasi, menggunakan kekuasaan talak sepihak sebagai perwujudan kekuatan barunya.

II. Landasan Teoritis: Perkakas Analisis Pierre Bourdieu dalam Konteks Domestik

Pierre Bourdieu menawarkan serangkaian konsep yang terjalin erat untuk menganalisis struktur sosial dan mekanisme dominasi. Dalam konteks rumah tangga, perkakas teoretis ini sangat berguna untuk membongkar dinamika kekuasaan yang tersembunyi.

A. Habitus: Skema Generatif di Balik Tindakan

Habitus didefinisikan sebagai sistem disposisi abadi yang diperoleh melalui sosialisasi, yang berfungsi sebagai prinsip generatif untuk praktik dan persepsi. Habitus bukanlah kesadaran yang terencana, melainkan seperangkat skema yang tertanam yang membuat individu bertindak dengan cara tertentu dalam ranah yang mereka tempati.

Dalam konteks domestik di masyarakat tradisional, Habitus Maskulin adalah seperangkat keyakinan yang tertanam kuat yang menghasilkan praktik superioritas gender. Ini menempatkan laki-laki sebagai pemberi nafkah utama (provider), pengambil keputusan mutlak, dan pemegang otoritas talak. Di Aceh Singkil, yang masih memegang teguh peran tradisional, identitas maskulin JS terkonsentrasi pada peran sebagai kepala keluarga dan penopang ekonomi.

B. Modal (Capital): Mata Uang Kekuasaan dalam Ranah Perkawinan

Bourdieu mengidentifikasi berbagai jenis Modal yang berfungsi sebagai mata uang kekuasaan dalam suatu ranah. Dalam ranah perkawinan, Modal Ekonomi (sumber daya finansial) dan Modal Simbolik (gengsi, kehormatan, legitimasi status) sangat menentukan posisi relatif pasangan. Komposisi modal ini menentukan kekuatan posisi tawar seseorang.

Ranah (Field) pernikahan adalah ruang kompetisi dan pertarungan di mana pasangan berjuang untuk mendefinisikan dan memaksakan definisi yang sah (legitim) tentang hubungan mereka. Jika terdapat asimetri modal, salah satu pihak akan mendominasi.

C. Doxa dan Kekerasan Simbolik: Dominasi yang Tidak Disadari

Doxa adalah keyakinan yang diterima secara universal dalam suatu Field sehingga tidak perlu diperdebatkan atau direfleksikan. Dalam konteks Aceh Singkil, Doxa maskulin adalah keyakinan bahwa suami memiliki hak absolut untuk menentukan nasib pernikahan (otoritas talak) dan bahwa perempuan secara alamiah harus tunduk pada dominasi ini.

Kekerasan Simbolik (Symbolic Violence) adalah kekerasan yang bekerja melalui dominasi atas pengakuan dan persetujuan yang terlepas dari kesadaran. Kekerasan ini dijalankan menjadi habitus dan diterima sebagai hal yang wajar atau alamiah. Kekerasan simbolik tidak menggunakan kekangan fisik, tetapi memaksakan pandangan dunia yang melegitimasi dominasi. Tindakan talak yang mendadak, seperti yang dilakukan JS, adalah upaya memaksakan skema dominasi yang berakar pada doxa, yang diharapkan diterima korban tanpa perlawanan reflektif.

III. Rekonstruksi Ranah Domestik: Kontras Modal Pra-PPPK dan Pasca-PPPK

Analisis sosiologis kasus ini harus dimulai dengan memetakan secara cermat bagaimana komposisi modal berubah dan bagaimana perubahan tersebut memicu respons krisis dari pihak yang kini memiliki kekuasaan baru.

A. Ranah Awal (Pre-PPPK): Asimetri Modal yang Biasa

Sebelum JS lulus PPPK, ranah domestik pasangan ini telah memiliki asimetri modal, dilegitimasi oleh doxa patriarki. MS bekerja sebagai pedagang sayur dan gorengan, menunjukkan Modal Ekonomi yang rendah dan tidak terinstitusionalisasi. MS berada pada posisi tawar yang lemah dan rentan, sesuai dengan habitus yang menempatkannya sebagai pihak yang harus tunduk.

JS, meskipun mungkin juga memiliki modal ekonomi terbatas, mempertahankan superioritasnya melalui Modal Simbolik yang diakui secara sosial sebagai kepala keluarga. Legitimasi Habitus Maskulin JS terjaga, didukung oleh peran tradisionalnya.

B. Injeksi Modal Baru: Status PPPK JS sebagai Pembenaran Dominasi

Status PPPK yang baru diperoleh JS (sebagai anggota Satpol PP) menandai titik balik struktural yang bersifat revolusioner. Status ASN memberikan dua injeksi modal utama yang tak terbantahkan kepada JS:
1. Peningkatan Modal Ekonomi: JS akan menerima gaji dan tunjangan yang terjamin dan stabil dari negara (Modal Ekonomi). Ini secara dramatis meningkatkan statusnya sebagai provider utama dan pengontrol sumber daya finansial.
2. Peningkatan Modal Simbolik: JS diakui sebagai Aparatur Sipil Negara, dan lebih lanjut, sebagai aparat penegak peraturan (Satpol PP dan WH). Status ini adalah institusionalisasi kekuasaan dan gengsi sosial yang signifikan, secara ekstrem melegitimasi superioritas sosial JS di dalam dan luar rumah.

Peningkatan modal JS secara drastis memperkuat Habitus Maskulin-nya. Ia kini memiliki justifikasi institusional dan ekonomi untuk menuntut kepatuhan absolut dan bertindak sebagai pengambil keputusan tunggal. Krisis yang muncul bukanlah ancaman terhadap statusnya, melainkan pembenaran bagi dirinya untuk bertindak berdasarkan Habitus Maskulin yang kini diperkuat secara struktural, menganggap MS tidak lagi sepadan dengan status barunya.

Tabel di bawah ini menggambarkan pergeseran dramatis dalam komposisi modal yang memicu tindakan dominasi dalam ranah domestik.
Tabel Esensial 1: Pemetaan Pergeseran Modal dalam Ranah Domestik Aceh Singkil

Kekerasan Simbolik dan Krisis Relasi Gender Analisis Pierre Bourdieu pada Kasus Suami Ceraikan Istri Lulus PPPK di Aceh Singkil

IV. Tindakan Talak sebagai Strategi Penegasan Dominasi Simbolik

Reaksi JS menceraikan MS secara lisan dua hari sebelum suaminya menerima SK PPPK dapat dianalisis sebagai strategi kekuasaan yang diprogram oleh Habitus Maskulin yang kini diperkuat oleh status ASN. Tindakan ini adalah manifestasi kekerasan simbolik taktis yang ditujukan untuk menggarisbawahi perubahan status sosialnya.

A. Analisis Waktu: Preemptive Strike terhadap Posisi Tawar Istri

Perceraian yang dilakukan tepat di ambang penerimaan SK PPPK menunjukkan upaya preemptif yang disengaja. Logika di baliknya adalah bahwa dengan status PPPK yang baru, JS merasa memiliki kekuasaan dan legitimasi sosial yang memadai untuk menyingkirkan istrinya yang berstatus rendah. Tindakan perceraian yang cepat ini dilakukan untuk mengontrol narasi perpisahan dan memposisikan dirinya sebagai pihak yang berwenang mengambil keputusan absolut, menggunakan Habitus barunya yang kini diinstitusionalisasi.

B. Analisis Metode: Talak Lisan sebagai Reproduksi Doxa

JS menggunakan metode yang paling sepihak dan otoriter: talak lisan, dengan alasan yang remeh ("tidak ada lauk"). Ini adalah tindakan murni untuk menegaskan otoritas unilateral, mengabaikan realitas kerja keras MS ("Padahal saya juga capek jualan"). Penggunaan alasan yang absurd ini berfungsi ganda: pertama, sebagai justifikasi cepat untuk mengakhiri pernikahan tanpa refleksi; kedua, sebagai penegasan bahwa otoritas suami yang kini berstatus ASN tidak memerlukan alasan logis yang diakui oleh istri sipil, melainkan cukup berakar pada kehendak doxa maskulin.

JS secara sadar atau tidak sadar mencoba menghindari ranah birokrasi formal. Prosedur perceraian ASN/PPPK yang ketat wajib melibatkan izin atasan dan mediasi BKPSDM. Ranah birokrasi (Field birokrasi) merupakan sistem yang mencoba melawan Doxa maskulin tradisional dengan memaksa mediasi, peninjauan alasan yang logis, dan memastikan hak-hak istri terpenuhi. Tindakan JS yang menggunakan talak lisan merupakan penolakan terhadap intervensi negara yang berusaha mengurangi otoritas talak suami. Ia berusaha memaksakan logika Doxa Patriarki (yang kini diperkuat status ASN-nya) atas logika Hukum Negara.

C. Talak Informal sebagai Manifestasi Kekerasan Simbolik Taktis

Meskipun MS pada akhirnya memperkarakan kasus ini, tindakan talak lisan yang tiba-tiba, didasarkan pada alasan yang seolah-olah tidak masuk akal (masalah lauk), menunjukkan upaya JS untuk memaksakan dominasi yang tidak disadari MS. JS menggunakan kekerasan simbolik untuk menegaskan otoritasnya yang baru diinstitusionalisasi. MS dipaksa tunduk pada logika habitus maskulin yang menempatkan kenyamanan suami (kini berstatus tinggi) di atas kerja keras istrinya sendiri.

Pernyataan MS yang ditandatangani di desa, meskipun tidak sah secara kepegawaian, menunjukkan bagaimana tekanan sosial dan doxa lokal bekerja lebih cepat daripada sistem hukum formal. Habitus penerimaan MS, yang terbentuk dari kurangnya modal ekonomi dan simbolik yang stabil, membuatnya secara refleks tunduk pada keputusan perceraian di awal.

Fenomena ini memperlihatkan konflik yang mendalam antara dua Fields yang berbeda: Ranah Domestik yang didominasi oleh Doxa Patriarki, dan Ranah Birokrasi yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Nomor 45 Tahun 1990. JS menggunakan logika Ranah Domestik (otoritas talak absolut) yang diperkuat oleh status ASN-nya untuk mengeliminasi istri sipil, sementara BKPSDM secara institusional menegaskan bahwa tindakannya tidak sah karena melanggar logika Ranah Birokrasi.

Tabel berikut membandingkan dua logika ranah yang berkonflik dalam kasus ini:
Tabel Esensial 2: Perbandingan Logika Ranah (Field) dalam Kasus Perceraian

Kekerasan Simbolik dan Krisis Relasi Gender Analisis Pierre Bourdieu pada Kasus Suami Ceraikan Istri Lulus PPPK di Aceh Singkil

V. Implikasi Lebih Luas: Polarisasi Ranah dan Regulasi

Kasus Aceh Singkil, meskipun spesifik, merupakan mikrokosmos dari ketegangan struktural yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia, di mana pergeseran status sosial dan ekonomi sering kali direspons dengan instabilitas perkawinan.

A. Kontras Fenomena: Peningkatan Modal Suami vs. Peningkatan Modal Istri

Tindakan JS adalah manifestasi ekstrem dari penegasan dominasi yang dilegitimasi oleh modal baru. Namun, fenomena ini berada dalam kontras dengan laporan lain yang menunjukkan 42 ASN wanita justru menggugat cerai suaminya setelah lulus PPPK.

Kedua fenomena ini—talak suami ASN (kasus JS) dan gugat cerai istri ASN—adalah hasil dari instabilitas ranah yang sama, yang disebabkan oleh peningkatan modal pada salah satu pihak.
1. Skenario JS (Suami PPPK): Suami mendapatkan status ASN (modal tinggi) dan menggunakan kekuasaan yang dilegitimasi secara institusional untuk menceraikan istri sipil (modal rendah), menegaskan hierarki barunya.
2. Skenario Istri PPPK: Istri mendapatkan status ASN (modal tinggi) dan menggunakan posisi tawar barunya yang signifikan untuk keluar dari pernikahan yang tidak memuaskan (gugat cerai).

Peningkatan modal ekonomi pada salah satu pihak adalah faktor utama yang menyebabkan pergeseran kekuasaan dan sering menjadi penyebab perceraian.

B. Peran Regulasi Negara dalam Mengatasi Kekerasan Simbolik

Meskipun JS berusaha menggunakan doxa lokal (talak lisan dan surat pernyataan desa), BKPSDM Aceh Singkil dengan cepat menegaskan ketidakabsahan perceraian tersebut, memaksa JS untuk kembali ke Field birokrasi dan hukum formal. Hal ini menunjukkan peran krusial negara sebagai penjaga hukum formal yang secara aktif berusaha meredam kekerasan simbolik domestik yang dipicu oleh peningkatan status.

Kebijakan Mahkamah Agung dan regulasi ASN secara umum berupaya "mempersulit perceraian" dan mendorong mediasi yang tulus dan berprinsip. Dalam terminologi Bourdieu, ini adalah upaya negara untuk mengubah struktur Field domestik agar tidak mudah diputuskan berdasarkan otoritas unilateral habitus maskulin, yang kini diperkuat oleh status ASN. Dengan memaksakan mediasi, negara mencoba membuka ruang refleksi yang dapat menetralisir efek doxa yang tidak disadari.

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi: Reproduksi Dominasi dan Strategi Penanggulangannya

A. Ringkasan Temuan Utama

Analisis mendalam menggunakan kerangka Pierre Bourdieu menegaskan bahwa kasus suami (JS) menceraikan istri (MS) setelah lulus PPPK di Aceh Singkil adalah studi mikro tentang Dominasi Maskulin yang diperkuat oleh institusi. Tindakan JS menceraikan istri dua hari sebelum menerima SK PPPK adalah respons preemptif yang didorong oleh Habitus Maskulin-nya yang kini diinstitusionalisasi oleh lonjakan Modal Simbolik dan Modal Ekonomi (status PPPK Satpol PP).

Talak informal yang dilakukan secara mendadak dengan alasan sepele merupakan bentuk Kekerasan Simbolik Taktis. Tujuan taktis ini adalah untuk menegaskan kembali Doxa patriarki dan otoritas unilateral JS, sambil secara strategis menghindari Field birokrasi yang menuntut kesetaraan prosedural. Konflik ini menunjukkan bahwa intervensi BKPSDM untuk menegakkan prosedur legal secara efektif menjadi garis pertahanan yang penting terhadap kekerasan simbolik yang dipaksakan oleh habitus patriarki yang kini bersenjata status ASN.

B. Rekomendasi Kebijakan (Dari Perspektif Sosiologis Kritis)

1. Peningkatan Edukasi Kritis Habitus bagi ASN Pria: Pemerintah daerah dan instansi terkait (BKPSDM dan Kementerian Agama) perlu menyelenggarakan program pendidikan pra-nikah dan pra-pelantikan bagi ASN/PPPK pria. Program ini harus mencakup edukasi kritis mengenai Habitus Maskulin dan Kekerasan Simbolik, menekankan bahwa status ASN tidak memberikan hak istimewa untuk melakukan talak sepihak dan harus menuntut redefinisi peran provider menjadi peran pasangan yang setara dan saling mendukung.
2. Penguatan Sanksi Simbolik dan Administrasi: BKPSDM dan Mahkamah Syar’iyah harus memastikan bahwa JS tidak hanya dikenakan sanksi disiplin atas pelanggaran prosedur ASN, tetapi juga sanksi yang bersifat simbolik melalui putusan pengadilan yang tegas mengenai hak-hak istri dan anak. Hal ini berfungsi sebagai penolak doxa patriarki, menegaskan bahwa Field birokrasi menolak kekerasan simbolik yang didasarkan pada superioritas status.
3. Dukungan Posisi Tawar Istri: Intervensi hukum dan sosial harus secara proaktif memastikan MS (mantan istri) memperoleh hak-haknya secara penuh (nafkah, harta gono-gini). Ini penting karena habitus yang pasif seringkali membuat korban kekerasan simbolik tidak menuntut hak-hak mereka. Peran BKPSDM sangat vital untuk menjamin transfer hak ini terlaksana.

Sumber Referensi:

Analisis Mendalam Buku Masculine Domination Pierre Bourdieu: Kekerasan Simbolik dan Relasi Gender dalam Perspektif Sosiologi. (2025, Oktober). Sosiologi79. Diakses dari https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-mendalam-buku-masculine.html

Badilag Mahkamah Agung RI. (n.d.). Prinsip mempersulit perceraian. Diakses dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-dirjen/pojok-dirjen-badilag/prinsip-mempersulit-perceraian

Berita Merdeka. (n.d.). Setelah lulus pegawai PPPK, 42 ASN wanita gugat cerai suaminya. Diakses dari https://beritamerdeka.net/news/setelah-lulus-pegawai-pppk-42-asn-wanita-gugat-cerai-suaminya/index.html

BKD Cilacap. (n.d.). Pernikahan dan perceraian PNS. Diakses dari https://bkd.cilacapkab.go.id/page/pernikahan_dan_perceraian_pns

detikJogja. (2025, Oktober). Heboh suami di Singkil ceraikan istri usai jadi P3K berujung dipanggil BKPSDM. Diakses dari https://www.detik.com/jogja/berita/d-8175411/heboh-suami-di-singkil-ceraikan-istri-usai-jadi-p3k-berujung-dipanggil-bkpsdm

detikSumut. (2025, Oktober). Viral Satpol PP Singkil ceraikan istri usai jadi P3K, kini dipanggil BKPSDM. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-8175256/viral-satpol-pp-singkil-ceraikan-istri-usai-jadi-p3k-kini-dipanggil-bkpsdm

ejournal Unesa. (n.d.). Kekerasan simbolik. Paradigma. Diakses dari https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/download/16539/15031/20525

Fakultas Syariah IAIN Pontianak. (n.d.). Ekonomi faktor utama penyebab perceraian: Studi kasus di Pengadilan Agama Singkawang. Diakses dari https://fasya.iainptk.ac.id/index.php/news/fasya/ekonomi-faktor-utama-penyebab-perceraian-studi-kasus-di-pengadilan-agama-singkawang

Jurnal Fakultas Gender dan Sosiologi. (n.d.). Pemecahan stereotip gender. Diakses dari [URL tidak tersedia]

Kumparan News. (2025, Oktober). Suami yang ceraikan istri usai lulus PPPK diperiksa BKPSDM Aceh Singkil. Diakses dari https://m.kumparan.com/kumparannews/suami-yang-ceraikan-istri-usai-lulus-pppk-diperiksa-bkpsdm-aceh-singkil-266Lgh2XZLI

Muryanti, dkk. (n.d.). Kendala pelaksanaan regulasi. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, 49(2). Diakses dari [URL tidak tersedia]

PA Batang. (n.d.). Peluncuran scoping study pemenuhan nafkah mantan istri dan anak pasca perceraian di Indonesia: Mari berusaha perbaiki pelayanan hak-hak perempuan dan anak. Diakses dari https://pa-batang.go.id/peluncuran-scoping-study-pemenuhan-nafkah-mantan-istri-dan-anak-pasca-perceraian-di-indonesia-mari-berusaha-perbaiki-pelayanan-hak-hak-perempuan-dan-anak/

Repository UNAS. (n.d.). Konsep maskulinitas. Diakses dari [URL tidak tersedia]

UIN Malang. (n.d.). Posisi tawar perempuan. Diakses dari https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/dsjpips/article/download/17523/4244/

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment