Analisis Mendalam Buku Reproduction in Education, Society and Culture (1977): Teori Kekuasaan dan Reproduksi Sosial Pierre Bourdieu

Table of Contents
Buku Reproduction in Education, Society and Culture Pierre Bourdieu

I. Epistemologi dan Konteks Awal: Membaca Ulang Pendidikan

Karya monumental Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron, Reproduction in Education, Society and Culture (diterbitkan pertama kali dalam bahasa Prancis pada tahun 1970 dengan judul La Reproduction: Éléments pour une théorie du système d'enseignement dan terjemahan Inggrisnya pada tahun 1977), merevolusi sosiologi pendidikan. Buku ini segera diakui sebagai "citation classic" pada tahun 1988, tidak hanya karena kedalaman teoritisnya, tetapi juga karena tantangan radikalnya terhadap pandangan liberal yang lazim pada masanya.

A. Latar Belakang Intelektual dan Posisi Teoritis Bourdieu

Pada paruh kedua abad ke-20, perdebatan sosiologis didominasi oleh dikotomi antara objektivisme dan subjektivisme. Bourdieu mengembangkan kerangka teori yang bertujuan mensintesis kedua aliran ini. Di satu sisi, aliran objektivisme (yang diwakili oleh pemikir seperti Karl Marx dan Émile Durkheim) cenderung menekankan peran struktur sosial dan ekonomi dalam menentukan tindakan aktor. Di sisi lain, subjektivisme (seperti yang terlihat dalam karya Max Weber) lebih memusatkan perhatian pada tindakan mikro dan interpretasi individu.

Bourdieu menolak reduksionisme kedua pandangan tersebut. Teorinya, yang berpuncak pada konsep-konsep seperti habitus dan arena, berupaya menjelaskan bagaimana struktur sosial (objektivisme) terinternalisasi dalam disposisi individu (subjektivisme) dan kemudian memandu praktik mereka di berbagai arena, termasuk pendidikan. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih kaya tentang bagaimana relasi kekuasaan yang bersifat makro dapat melanggengkan dirinya melalui interaksi dan praktik sehari-hari di tingkat mikro.

Baca juga: Analisis Mendalam Buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste Karya Pierre Bourdieu

Konteks penerbitan karya ini sangat relevan. Pada periode pascaperang, khususnya di Prancis, sistem pendidikan dilihat sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi dan sarana untuk mencapai kesetaraan dan mobilitas sosial. Kebijakan dikembangkan untuk memastikan akses yang setara. Analisis Bourdieu dan Passeron muncul sebagai kritik keras terhadap narasi optimis ini, menyarankan bahwa di balik janji kesetaraan, terjadi proses seleksi tersembunyi yang jauh lebih kuat dalam melanggengkan ketidaksetaraan.

B. Tesis Utama: Pendidikan Sebagai Mekanisme Reproduksi Total Sistem Sosial

Tesis sentral dari Reproduction adalah bahwa sistem pendidikan formal tidak berfungsi sebagai mesin mobilitas sosial, melainkan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk reproduksi kultural dan reproduksi sosial secara keseluruhan.

Sistem pendidikan, dalam pandangan ini, tidak dapat melepaskan diri dari determinisme sosial di mana ia beroperasi. Sebaliknya, ia secara efektif memprioritaskan produksi reprodusernya sendiri—yaitu, individu yang akan mengisi dan melanggengkan tatanan sosial yang ada. Dengan mengabaikan tuntutan demokratisasi dan berpura-pura netral, sistem sekolah secara aktif berkontribusi pada pemeliharaan hierarki sosial, menjadikannya seolah-olah lingkaran tak terhindarkan dari pengembalian abadi circulus aeternus. Sekolah adalah arena kontestasi di mana siswa berkompetisi dengan kepemilikan modal yang berbeda-beda, dan mereka yang memiliki modal besar (ekonomi, sosial, budaya) cenderung menjadi kelas dominan dalam arena tersebut.

C. Penghancuran Mitos Meritokrasi: Bagaimana Privilese Dibaca Ulang sebagai Merit

Argumen yang paling destruktif dari buku ini adalah pembongkaran ideologi meritokrasi. Bourdieu dan Passeron berpendapat bahwa sistem pendidikan melakukan pengudusan privilese dengan cara mengabaikan kenyataan ketidaksetaraan awal. Sekolah memperlakukan semua siswa seolah-olah mereka setara, padahal mereka memasuki arena pendidikan dengan kombinasi modal ekonomi, sosial, dan kultural yang sangat berbeda.

Fungsi utama sistem ini bukan hanya seleksi, tetapi juga "seleksi, eliminasi, dan penyembunyian eliminasi di bawah seleksi". Ini berarti bahwa ketika seorang siswa dari latar belakang kelas pekerja gagal, kegagalan tersebut disalahartikan sebagai kekurangan pribadi—seperti kurangnya bakat, kecerdasan, atau aspirasi—bukan sebagai kegagalan sistematis struktural. Narasi meritokrasi, yang secara pervasif meyakini mobilitas sosial dapat dicapai hanya dengan kerja keras individu, telah mengintensifkan internalisasi norma-norma ini. Akibatnya, ketidaksetaraan pendidikan dilanggengkan karena tanggung jawab dipindahkan dari kegagalan institusional kepada kekurangan individu.

Secara ironis, kompleksitas gaya penulisan Bourdieu dan Passeron itu sendiri mencerminkan mekanisme eliminasi yang mereka deskripsikan. Teks yang padat, kompleks, dan penuh jargon akademis yang mereka gunakan secara tidak langsung menciptakan filter budaya. Untuk memahami analisis mendalam ini, pembaca harus memiliki habitus dan kapital kultural akademik yang memadai. Jika tidak, pembaca yang kurang siap secara kultural akan "tereliminasi" dari pemahaman, menunjukkan bagaimana bahkan bentuk komunikasi akademik yang sangat kritis dapat menjadi instrumen stratifikasi intelektual.

II. Landasan Logis Reproduksi: Teori Kekerasan Simbolik (Analisis Bagian I)

Bagian pertama buku, yang berjudul "Foundations of a Theory of Symbolic Violence", menyajikan kerangka kerja formal yang ketat untuk mengkonseptualisasikan Tindakan Pedagogis (PA) dan fungsinya dalam reproduksi tatanan sosial.

A. Tindakan Pedagogis (Action Pédagogique - PA)

Tindakan Pedagogis adalah inti dari proses reproduksi. Menurut Bourdieu dan Passeron, PA adalah mekanisme fundamental yang digunakan oleh sistem pendidikan untuk menginternalisasi (menanamkan) dan mentransformasikan arbitrari kultural menjadi bentuk modal dalam diri peserta didik, khususnya dalam bentuk habitus.

Untuk melakukan PA, sistem pendidikan harus dilengkapi dengan Kekuasaan Arbitrari (Arbitrary Power). Kekuasaan ini adalah otoritas yang dilegitimasi secara sosial yang dimiliki oleh lembaga pendidikan (sekolah, universitas) untuk mendefinisikan dan memaksakan budaya yang sah. Otoritas ini memungkinkan sekolah untuk menentukan konten yang akan direproduksi, termasuk tindakan penyeleksian dan pengecualian terhadap siswa tertentu.

B. Arbitrari Kultural (Arbitraire Culturel)

Konsep Arbitrari Kultural adalah kunci untuk memahami kritik Bourdieu terhadap netralitas pendidikan. Arbitrari Kultural didefinisikan sebagai skema kultural—yaitu, seperangkat pengetahuan, nilai, dan kompetensi—yang dipilih dan dilegitimasi oleh kelompok hegemoni atau dominan dalam masyarakat.

Sifat skema kultural ini adalah sewenang-wenang (arbitrary), yang berarti ia tidak universal, tidak alami, atau tidak inheren lebih unggul dari budaya lain. Meskipun demikian, sistem pendidikan menyajikan budaya ini sebagai satu-satunya budaya yang netral dan sah. Dengan memprivilese budaya, bahasa, dan bentuk pengetahuan yang menguntungkan kelas dominan secara ekonomi dan kultural, sekolah secara efektif melakukan tindakan eksklusi terselubung terhadap siswa dari kelas bawah.

C. Konsep Kekerasan Simbolik (Violence Symbolique)

Kekerasan Simbolik adalah nama yang diberikan Bourdieu dan Passeron untuk Tindakan Pedagogis yang dilakukan oleh sistem sekolah. Kekerasan ini merujuk pada bentuk kekerasan yang tidak terlihat, non-fisik, dan diwujudkan melalui norma-norma dan struktur sosial. Secara spesifik dalam kerangka sosiologi pendidikan, Kekerasan Simbolik dikonseptualisasikan sebagai "pemaksaan, oleh kekuasaan yang sewenang-wenang, atas arbitrari kultural" («imposition, par un pouvoir arbitraire, d’un arbitraire culturel»).

Mekanisme yang membuat kekerasan ini efektif dan berkelanjutan adalah legitimasi yang diberikan oleh pihak yang didominasi. Kekerasan Simbolik bekerja ketika kelompok didominasi menginternalisasi (memasukkan ke dalam diri) klasifikasi dan hierarki yang dikenakan oleh kelompok dominan. Dengan demikian, yang didominasi mulai menilai dominasi sosial yang ada—termasuk kegagalan mereka sendiri di sekolah—sebagai sesuatu yang sah dan wajar. Bagi siswa kelas pekerja, ini berarti latar belakang kultural mereka diremehkan atau diabaikan, dan mereka didorong untuk mengadopsi cara berbicara dan bertindak kelas dominan, yang diposisikan sebagai habitus yang alami dan terbaik.

Kekuatan simbolik terbesar dari pemaksaan budaya dominan berasal dari pengucilan itu sendiri, terutama ketika pengucilan itu berbentuk pengucilan diri (self-exclusion). Siswa yang habitusnya tidak selaras dengan budaya sekolah cenderung merasa tidak cocok atau "tidak layak secara kultural". Akibatnya, mereka secara tidak sadar memilih untuk keluar dari jalur pendidikan yang lebih ambisius, menerima nasib mereka sebagai konsekuensi dari kekurangan pribadinya. Perasaan "tidak pantas" ini, yang meluas di kalangan kelas pekerja, menjadi bukti paling nyata dari keberhasilan Kekerasan Simbolik dalam mengaburkan kegagalan struktural sebagai kelemahan moral atau personal.

D. Otoritas dan Komunikasi Pedagogis

Kekerasan Simbolik ditetapkan melalui komunikasi pedagogis, yang didasarkan pada relasi kekuasaan di dalam formasi sosial dan berfungsi melayani kepentingan objektif kelompok dominan. Tujuan utama komunikasi pedagogis dalam analisis ini bukanlah sekadar transmisi budaya umum, melainkan legitimasi budaya tertentu. Sekolah mempromosikan semacam "persetujuan kultural" (cultural connivance) antara sekolah dan gaya hidup, cara berbicara, dan cara berpikir kelas dominan.

Otoritas pedagogis ini ditransmisikan dalam bahasa, baik bentuk maupun isinya. Ketika siswa dari latar belakang non-dominan kesulitan memahami bahasa akademik yang kompleks—sebuah kesulitan yang Bourdieu sebut sebagai "kesalahpahaman"—kesulitan ini disalahartikan (misrecognized) oleh sistem dan oleh siswa itu sendiri. Kesalahan interpretasi ini menganggap kurangnya penguasaan bahasa akademik sebagai kurangnya bakat atau kemampuan bawaan. Proses misrecognition inilah yang membuat Kekerasan Simbolik beroperasi dengan sangat kuat, karena ia mengubah keunggulan kultural yang diwariskan menjadi citra kejeniusan akademik yang sejati.

Tabel 1 meringkas landasan teoritis yang diuraikan dalam Bagian I buku ini:
Tabel 1: Struktur Inti Teori Kekerasan Simbolik dalam Tindakan Pedagogis

Buku Reproduction in Education, Society and Culture Pierre Bourdieu

III. Mekanisme Kultural: Kapital dan Sekolah (Analisis Bagian II)

Bagian kedua dari Reproduction, berjudul "Keeping Order", berfokus pada mekanisme konkret dan empiris bagaimana modal kultural diubah menjadi kredensial akademik, yang berfungsi menjaga tatanan sosial.

A. Konsep Habitus

Habitus adalah konsep penghubung yang esensial dalam teori Bourdieu, berfungsi sebagai jembatan antara struktur sosial (posisi kelas) dan tindakan individu. Habitus adalah sistem disposisi, apresiasi, selera, dan penguasaan praktis yang beroperasi secara pre-sadar. Sering digambarkan sebagai "sifat kedua," habitus membimbing perilaku, selera, dan aspirasi individu.

Habitus seseorang adalah produk dari posisi kelasnya, yang ditentukan oleh volume dan struktur modal yang dimiliki agen. Anak-anak dari kelas sosial atas mewarisi habitus yang secara signifikan lebih besar dan lebih dihargai oleh sistem pendidikan. Kecocokan (fit) antara habitus kelas dominan dengan ekspektasi dan nilai-nilai sekolah sangat tinggi, membuat mereka merasa "seperti ikan di air" di lingkungan akademik. Sebaliknya, anak-anak kelas pekerja seringkali merasa terasing atau tidak selaras, yang berkontribusi pada hasil akademis negatif, seperti kesulitan dengan bahasa akademik dan kurangnya kepercayaan diri dalam mengejar jalur karier yang elit.

B. Tiga Wujud Kapital Kultural dan Reproduksi

Kapital Kultural adalah salah satu dari empat macam modal yang diidentifikasi oleh Bourdieu (bersama dengan modal ekonomi, modal sosial, dan modal simbolik). Ia merupakan sumber daya non-ekonomi yang penting dalam kontestasi pendidikan. Bourdieu mengidentifikasi tiga wujud utama Kapital Kultural:

1. Kapital Kultural Terinternalisasi (Embodied State)

Ini adalah pengetahuan, keterampilan, dan disposisi yang tertanam dalam diri seseorang melalui proses sosialisasi (terutama dari keluarga). Bentuk ini mencakup penguasaan bahasa akademik, dialek, sikap, dan etiket yang dihargai. Modal terinternalisasi ini diwariskan dari orang tua dan sangat penting karena memengaruhi seberapa baik individu "cocok" atau berinteraksi dengan budaya institusi. Keberhasilan di sekolah sangat bergantung pada warisan modal budaya ini, yang memungkinkan penguasaan "rasa untuk permainan" (feel for the game) di arena pendidikan.

2. Kapital Kultural Terobjektifikasi (Objectified State)

Wujud ini mengacu pada benda-benda material yang membawa signifikansi kultural atau sosial, seperti buku, karya seni, atau peralatan musik. Barang-barang ini menyediakan sumber daya yang dapat mempermudah pembelajaran dan kontestasi yang lebih baik di lingkungan sekolah.

3. Kapital Kultural Terinstitusionalisasi (Institutionalized State)

Ini adalah bentuk modal kultural yang telah diukur, diakui, dan diberi peringkat oleh masyarakat, terutama dalam bentuk sertifikasi formal atau kredensial akademik (ijazah dan gelar). Kredensial ini merupakan mekanisme utama reproduksi sosial dalam masyarakat kapitalis maju.

Dalam pandangan Bourdieu, kredensial ini mengambil tempat "gelar bangsawan" feodal. Mereka tidak hanya mencatat keterampilan, tetapi mencerminkan "esensi sosial" individu.  Kapital kultural terinstitusionalisasi merupakan tahap akhir reproduksi, di mana keunggulan kultural yang tidak tampak (habitus) diubah menjadi status resmi yang diakui oleh pasar tenaga kerja.

C. Eksklusi dan Konservasi Sosial

Sistem pendidikan bertindak sebagai agensi konservasi sosial. Sekolah hampir selalu menerapkan dan menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya jenis habitus yang alami, paling tepat, dan berfungsi sebagai standar norma. Standar ini diwujudkan dalam kurikulum, tata tertib sekolah, dan "standar prestasi" yang digunakan untuk klasifikasi dan perbandingan siswa.

Buku ini secara cermat menjelaskan bagaimana tradisi literasi dan bahasa akademik yang kompleks (Bagian "The Literate Tradition and Social Conservation") berfungsi untuk membedakan dan menyeleksi. Model reproduksi kultural menunjukkan bahwa investasi orang tua dalam kapital kultural akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan pendidikan anak. Keberhasilan ini kemudian menciptakan kesan palsu kejeniusan akademik yang sebenarnya merupakan hasil dari warisan kapital kultural, yang pada gilirannya menghasilkan return nyata berupa kredensial akademik. Proses ini menghasilkan dependensi melalui independensi, di mana ketergantungan pada sistem yang melegitimasi disamarkan sebagai prestasi individual yang otonom.

Proses reproduksi ini bersifat dinamis dan berulang. Modal kultural anak memengaruhi persepsi guru, dan input dari guru tersebut pada gilirannya memengaruhi kinerja anak. Model ini menjelaskan bahwa guru, meskipun mungkin termotivasi oleh tujuan egalitarian, secara tidak sadar (melalui bias yang dibentuk oleh habitus mereka sendiri) cenderung memberikan perhatian dan input yang lebih besar kepada siswa yang sudah memiliki modal kultural tinggi. Ini memperkuat proses diferensiasi hasil sepanjang masa sekolah wajib.

Selain itu, Kapital Kultural Terinstitusionalisasi berfungsi sebagai Kapital Simbolik, karena ia adalah bentuk modal yang diakui secara sosial sebagai sah atau legitim. Artinya, gelar akademik mengubah keunggulan sosial yang bersifat sewenang-wenang menjadi kehormatan akademis yang dihormati di masyarakat, memperkuat pengudusan status.

Tabel 2 merangkum tiga wujud utama Kapital Kultural dalam kaitannya dengan pendidikan:
Tabel 2: Tiga Wujud Kapital Kultural Pierre Bourdieu

Buku Reproduction in Education, Society and Culture Pierre Bourdieu

IV. Kritik Akademik dan Relevansi Kontemporer

Meskipun Reproduction diakui sebagai karya klasik yang berpengaruh besar dalam sosiologi pendidikan, teori ini tidak lepas dari kritik. Kritik utama sering kali berpusat pada sifatnya yang dianggap terlalu deterministik.

A. Kritik Utama atas Determinisme dan Agensi

Salah satu keberatan paling berkelanjutan terhadap teori reproduksi Bourdieu dan Passeron adalah bahwa ia cenderung memandang siswa dari kelas pekerja sebagai penerima pasif dari Kekerasan Simbolik, sehingga gagal mengenali agensi dan resistensi mereka. Para kritikus berpendapat bahwa Bourdieu dan Passeron menyajikan pandangan yang terlalu defisit (berfokus pada kekurangan) tentang kelas pekerja. Paul Willis, dalam karyanya Learning to Labour, adalah salah satu kritikus paling vokal. Willis berargumen bahwa Reproduction "tidak memperhitungkan benua sejarah, perjuangan dan kontestasi, dan bidang penciptaan diri kolektif yang kreatif di kelas bawahan".

B. Respons Teoritis: Teori Resistensi Kultural

Teori resistensi yang dikembangkan oleh Paul Willis muncul sebagai respons langsung untuk mengatasi aspek ketidakpastian dalam proses reproduksi. Willis menekankan cultural production, berpendapat bahwa ide-ide dan budaya non-dominan diproduksi di dalam hubungan kultural di antara kelompok-kelompok non-dominan, dan tidak hanya "disaring" dari atas oleh kelompok dominan.

Willis menunjukkan bahwa kelompok marginal dapat menunjukkan perlawanan simbolik terhadap klasifikasi dominan, misalnya melalui budaya pemuda dan kritik terhadap pekerjaan kerah putih yang dilakukan oleh "lads". Meskipun demikian, baik Bourdieu maupun Willis setuju bahwa sistem sekolah berfungsi untuk memproduksi dan mereproduksi ketidaksetaraan; perbedaan utama mereka terletak pada penekanan agensi siswa dalam siklus tersebut.

C. Dampak dan Adaptasi Kontemporer

Terlepas dari kritik deterministik, kerangka kerja Bourdieu dan Passeron menjadi referensi yang tak terhindarkan bagi sosiologi pendidikan kritis, khususnya dalam aliran Neo-Marxis, yang menempatkan sekolah sebagai lembaga sentral dalam proses dominasi dan eksploitasi di masyarakat modern.

Secara positif, pemahaman mendalam tentang Kapital Kultural telah menginformasikan pengembangan pendekatan berbasis aset (assets-based approaches) dalam pendidikan. Konsep ini secara tidak langsung mengarah pada praktik pedagogi yang berpusat pada kesetaraan, seperti Pedagogi Responsif Budaya (Culturally Responsive Pedagogy). Para peneliti kontemporer berupaya menanggulangi ketidaksetaraan institusional dengan menjadi lebih responsif terhadap bentuk-bentuk kapital yang dimiliki oleh beragam siswa, keluarga, dan komunitas (misalnya, Community Cultural Wealth yang dikembangkan oleh Tara Yosso).

Analisis kontemporer menunjukkan bahwa demokratisasi akses pendidikan tinggi hanya memindahkan garis seleksi ke titik yang lebih tinggi atau lebih tersembunyi. Meskipun akses ke kredensial formal telah diperluas, bentuk-bentuk diferensiasi baru telah muncul, seperti hierarki yang ketat antara jalur studi atau antarlembaga pendidikan yang prestisius versus non-prestisius. Dengan demikian, Kapital Terinstitusionalisasi terus menjadi mekanisme reproduksi, tetapi kini fokusnya bergeser pada kualitas dan prestise kredensial tersebut, yang secara efektif melanggengkan peran sekolah dalam menciptakan "Negeri Bangsawan" baru.

D. Implikasi Kebijakan Pendidikan

Implikasi kebijakan dari Reproduction bersifat mendalam dan menantang. Buku ini menegaskan bahwa sekolah gagal dalam upayanya untuk mengompensasi perbedaan yang menguntungkan akuisisi budaya dominan, dan sistem pendidikan terus memaksakan konten yang dianggap netral tanpa mempertimbangkan kondisi eksistensi populasi yang tidak setara.

Langkah-langkah untuk mengatasi reproduksi ini harus berfokus pada struktur kelembagaan, bukan pada peningkatan aspirasi individual. Solusi konkret mencakup penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai dan terjangkau, pengembangan pendidikan prioritas bagi kelas bawah, dan peningkatan ketersediaan pengajar berkualitas. Yang paling penting, para pengajar harus mengadopsi pendekatan sosiologis yang secara sadar memperhitungkan latar belakang peserta didik, yang membantu dalam memahami karakter dan hambatan yang dialami siswa, sehingga dapat menentukan solusi yang relevan.

V. Kesimpulan: Warisan Teori Reproduksi dan Arah Masa Depan

Buku Reproduction in Education, Society and Culture berfungsi sebagai dekonstruksi representasi naif tentang lembaga pedagogis. Karya ini berhasil membalikkan pandangan umum bahwa pendidikan adalah motor kesetaraan. Sebaliknya, Bourdieu dan Passeron menunjukkan bahwa sistem sekolah adalah sebuah arena pertarungan di mana modal, terutama modal kultural yang diwariskan, disamarkan sebagai prestasi atau bakat individual, sehingga relasi kekuasaan dapat direproduksi secara efektif.

Warisan abadi teori reproduksi terletak pada kemampuannya untuk menginstigasi argumen kritis terhadap kebijakan pendidikan, yang seringkali terperangkap dalam logika meritokrasi yang dangkal.

Untuk masa depan, sosiologi pendidikan perlu menggabungkan kritik struktural deterministik Bourdieu dengan analisis agensi yang ditekankan oleh Willis dan para teoretikus resistensi. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana sekolah dapat bertransformasi—bukan hanya menjadi tempat transmisi budaya dominan, tetapi juga menjadi lembaga yang mengakui dan merespons secara adil modal komunitas yang beragam. Kegagalan untuk mencapai kesetaraan terletak pada struktur kelembagaan dan Kekerasan Simbolik yang melekat dalam sistem pendidikan, bukan pada kekurangan bawaan siswa yang terpinggirkan. Reformasi sejati memerlukan perombakan mendasar terhadap asumsi, norma, dan ekspektasi yang saat ini melanggengkan ketidaksetaraan.

Sumber Referensi:

A Dynamic Model of Cultural Reproduction1 | American Journal of Sociology, 121(4). (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/684012

bdieurepro - arasite.org. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.arasite.org/bdieurepro.html

Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture (2nd ed.). London: SAGE Publications.

Bourdieu and Education - Oxford Research Encyclopedias. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://oxfordre.com/education/display/10.1093/acrefore/9780190264093.001.0001/acrefore-9780190264093-e-259

Bourdieu and Passeron's Reproduction changes the educational worldview. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari http://educa.fcc.org.br/scielo.php?pid=S1517-97022022000100501&script=sci_arttext&tlng=en

Bourdieu and Passeron's Reproduction changes the educational worldview* - SciELO Brasil. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.scielo.br/j/ep/a/hMZqk7tS7JMvRcTt3nhK47y/?format=pdf&lang=en

Cultural Capital Theory of Pierre Bourdieu - Simply Psychology. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.simplypsychology.org/cultural-capital-theory-of-pierre-bourdieu.html

Cultural Reproduction Theory and Schooling: The Relationship between Student Capital and Opportunity to Learn | American Journal of Education, 127(2). (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/712086

La théorie de la reproduction sociale : Comment l'éducation perpétue les inégalités. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://sociologique.ch/la-theorie-de-la-reproduction-sociale-comment-leducation-perpetue-les-inegalites-2/

Menengok Pemikiran Pierre Bordieu, Kekerasan Simbolik Di Dalam Sekolah - Blog UNNES. (2015, 7 Desember). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://blog.unnes.ac.id/dedijongjava/2015/12/07/menengok-pemikiran-pierre-bordieu-kekerasan-simbolik-di-dalam-sekolah/

Menyingkap Sisi Gelap Pendidikan sebagai Arena Reproduksi Kesenjangan Sosial Berdasarkan Perspektif Pierre Bourdieu - SciSpace. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://scispace.com/pdf/menyingkap-sisi-gelap-pendidikan-sebagai-arena-reproduksi-4ulxysffir.pdf

On Pierre Bourdieu's Key Theoretical Concepts and Pedagogical Approach - International Journal of Educational Policies. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari http://ijep.icpres.org/2018/issue1/Vol.12-1-2.pdf

Paul Willis - Education, Cultural Production and Social Reproduction - Prezi. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://prezi.com/htgdlcoucou_/paul-willis-education-cultural-production-and-social-reproduction/

Pemikiran Pendidikan Pierre Bourdieu: Kajian Kritis Perspektif Islam. (n.d.). Kepri Pos. Diakses Oktober 20, 2025, dari https://kepripos.id/pemikiran-pendidikan-pierre-bourdieu-kajian-kritis-perspektif-islam/?noamp=mobile

Pemikiran Pierre Bourdieu | PDF - Scribd. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://id.scribd.com/presentation/809835469/Pemikiran-Dan-Teori-teori-Dari-Pierre-Bourdieu

Reproduction in Education, Society and Culture, Volume 4 - Google Books. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://books.google.com/books/about/Reproduction_in_Education_Society_and_Cu.html?id=vl0n9_wrrbUC

Reproduction in Education, Society and Culture by Pierre Bourdieu - Goodreads. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.goodreads.com/book/show/212961.Reproduction_in_Education_Society_and_Culture

Reproduction in education, society and culture | Semantic Scholar. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.semanticscholar.org/paper/Reproduction-in-education%2C-society-and-culture-Bourdieu-Passeron/e29a21e72f826b8afa5b41edc889ab5fb5b53382

Reproduksi dan Eksploitasi dalam Pendidikan: Pandangan Neo Marxist | kumparan.com. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://kumparan.com/arief-rahman-fadillah/reproduksi-dan-eksploitasi-dalam-pendidikan-pandangan-neo-marxist-1utroDVNcbN

RESISTING EDUCATION: A CAPITAL IDEA. (n.d.). Australian Association for Research in Education. Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.aare.edu.au/data/2016_Conference/Full_papers/248_Steve_Newton.pdf

'The more things change the more they stay the same': The continuing relevance of Bourdieu and Passeron's Reproduction in Education, Society and Culture - Dialnet. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://dialnet.unirioja.es/descarga/articulo/8491917.pdf

'The more things change the more they stay the same': The continuing relevance of Bourdieu and Passeron's Reproduction in Education, Society and Culture - RECyT. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://recyt.fecyt.es/index.php/res/article/download/91544/68999?inline=1

The continuing relevance of Bourdieu and Passeron's Reproduction in Education, Society and Culture - Dialnet. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://dialnet.unirioja.es/descarga/articulo/8491917.pdf?utm_source=chatgpt.com

The Theory of Cultural Capital in Higher Education and Its Influence on Equity. (n.d.). Every Learner Everywhere. Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.everylearnereverywhere.org/blog/the-theory-of-cultural-capital-in-higher-education-and-its-influence-on-equity/

Violence symbolique — Wikipédia. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://fr.wikipedia.org/wiki/Violence_symbolique

Wikipedia. (n.d.). Cultural reproduction. Diakses Oktober 20, 2025, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_reproduction#:~:text=parental%20cultural%20capital%20is%20inherited,reproduction%20in%20advanced%20capitalist%20societies.

(PDF) An Interview with Paul Willis: Commodification, Resistance and Reproduction - ResearchGate. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.researchgate.net/publication/249710386_An_Interview_with_Paul_WillisCommodification_Resistance_and_Reproduction

(PDF) DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan - ResearchGate. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan

(PDF) Reproduction in Education, Society and Culture - ResearchGate. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari https://www.researchgate.net/publication/280165503_Reproduction_in_Education_Society_and_Culture

SOCIOLOGY AS SELF-TRANSFORMATION: Bourdieu's Class Theory. (n.d.). UC Berkeley Sociology Department. Diakses Oktober 20, 2025, dari https://sociology.berkeley.edu/sites/default/files/faculty/Riley/BourdieuClassTheory.pdf

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan adalah proses sosialisasi... - Repository UNJ. (n.d.). Diakses Oktober 20, 2025, dari http://repository.unj.ac.id/34686/2/BAB%201.pdf

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment