Analisis Mendalam Buku The Condition of Postmodernity (1989) Karya David Harvey: Tesis Materialis dan Kritik terhadap Postmodernisme
Bagian I: Fondasi Epistemologis dan Konteks Sejarah
1. Pengantar: Kueri Harvey dan Proyek Pencerahan yang Retak
David Harvey memulai penyelidikannya dengan mengajukan pertanyaan fundamental: apakah postmodernisme merupakan tren yang fana (trendy fad) yang berasal dari dunia seni, ataukah fenomena ini mengindikasikan adanya perubahan nyata dalam cara hidup (mode of life experienced by real people) masyarakat kontemporer. Harvey menegaskan bahwa memang telah terjadi perubahan besar (sea-change) dalam praktik budaya dan politik-ekonomi yang mulai terwujud sekitar tahun 1972. Perubahan mendasar ini terkait erat dengan munculnya cara-cara dominan baru dalam cara masyarakat mengalami ruang dan waktu.
Meskipun mengamati pergeseran budaya yang signifikan, tesis Harvey tetap berlandaskan materialisme. Ia berpendapat bahwa perubahan yang diamati dalam budaya dan estetika—yang oleh sebagian orang dianggap sebagai masyarakat pasca-kapitalis—sebenarnya hanyalah pergeseran pada penampilan permukaan (shifts in surface appearance). Aturan dasar akumulasi kapitalistik tetap berlaku, dan oleh karena itu, perubahan budaya harus dipahami dalam konteks kebutuhan modal yang terus-menerus mereproduksi dirinya sendiri.
2. Dasar Materialis Historis: Mengapa Marxisme Tetap Relevan
Harvey menempatkan postmodernisme sebagai superstruktur budaya yang secara kausal terikat pada substruktur ekonomi yang ia sebut Akumulasi Fleksibel (Flexible Accumulation). Pendekatan ini merupakan kontribusi penting terhadap analisis materialis postmodernisme. Karena Akumulasi Fleksibel masih merupakan bentuk kapitalisme, Harvey berargumen bahwa bentuk-bentuk dasar analisis Marxis klasik menyediakan kerangka yang diperlukan untuk menganalisis ekonomi pasca-Fordis.
Buku ini secara implisit menantang pergeseran intelektual yang populer di era 1980-an, di mana penjelasan fenomena sosial cenderung beralih dari landasan material dan politik-ekonomi menuju pertimbangan praktik budaya dan politik yang dianggap otonom. Harvey berupaya membalikkan tren ini, menunjukkan bahwa budaya tidak dapat dipahami secara terpisah dari kondisi materialnya.
3. Modernitas dan Modernisme: Rasionalitas, Stabilitas, dan Kontradiksi
Modernitas, menurut Harvey, menelusuri akarnya kembali ke Proyek Pencerahan, yang ditandai oleh keyakinan yang kuat pada progres linear, kebenaran absolut, serta perencanaan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial yang ideal di bawah kondisi pengetahuan yang terstandardisasi. Tujuan Pencerahan, seperti yang diuraikan oleh para teoretikus seperti Habermas, mencakup pengembangan ilmu pengetahuan objektif, moralitas dan hukum universal, serta seni otonom.
Modernisme Kultural merupakan respons estetika terhadap ketegangan inheren dalam modernitas. Penyair seperti Baudelaire mendefinisikan modernitas sebagai konjungsi dialektis antara yang fana (ephemeral, fleeting, contingent) dan yang abadi (eternal, immutable). Namun, proyek Pencerahan mulai menunjukkan keretakan strukturalnya sekitar tahun 1848, menciptakan krisis representasi yang disebabkan oleh penyesuaian radikal dalam pengalaman ruang dan waktu, yang dipicu oleh inovasi teknologi seperti kereta api dan telegraf.
Krisis yang lebih lanjut dan intens terjadi di sekitar Perang Dunia I. Fragmentasi yang dihasilkan oleh rasionalisasi Fordis dan saling ketergantungan pasar global memicu respons estetika baru, yang dikenal sebagai High Modernism. Respon ini ditandai dengan penggunaan teknik seperti montage dan collage untuk menangkap rasa simultanitas di tengah kekacauan. Estetika Modernis yang stabil ini, seringkali dalam bentuk arsitektur masif dan perencanaan kota yang bersih dan rasional, berupaya membekukan waktu dan menciptakan representasi yang stabil. Upaya ini secara ideologis berfungsi untuk menopang narasi progres linear Pencerahan dan mengendalikan "bentuk pengembangan kapitalis yang eksplosif dan anarkis".
4. Fordisme: Rezim Akumulasi yang Stabil
Fordisme adalah mode akumulasi kapitalis yang dominan setelah Perang Dunia II, yang ditopang oleh ekonomi Keynesian. Ia ditandai oleh upaya Henry Ford untuk mengkoordinasikan produksi massal dengan konsumsi massal, memastikan bahwa pekerja memiliki pendapatan dan waktu luang yang cukup untuk membeli produk yang mereka hasilkan. Periode ini diasosiasikan dengan estetika Modernisme Fordis yang relatif stabil. Dalam perencanaan kota, Modernisme Fordis menekankan perencanaan rasional, pengembangan skala besar, utilitas sosial, dan kemurnian bentuk. Stabilitas inilah yang pada akhirnya akan runtuh karena kekakuannya.
Bagian II: Krisis dan Transformasi Ekonomi-Politik
5. Keruntuhan Fordisme dan Akumulasi Fleksibel
Rezim Fordis pada akhirnya terbukti terlalu kaku sebagai mode organisasi dan akumulasi, sehingga rentan terhadap krisis overakumulasi. Krisis overakumulasi memaksa kapitalis untuk mencari penyelesaian spasial (Spatial Fix), yaitu kecenderungan kapitalisme untuk merombak ruang (baik di tempat baru maupun transformasi tempat yang sudah ada) untuk mengatasi kontradiksi dan krisis yang dihasilkan dalam produksi. Resesi global tahun 1973 memicu keruntuhan rezim Fordis, membuka jalan bagi struktur ekonomi yang jauh lebih kompleks, lentur, dan cair.
6. Akumulasi Fleksibel (Flexible Accumulation): Basis Postmodernitas
Akumulasi Fleksibel (FA) didefinisikan sebagai gaya akumulasi pasca-Fordis yang sangat mudah dibentuk (extremely malleable). Harvey secara hati-hati menghindari penyebutan FA sebagai "pasca-Fordisme" secara eksplisit untuk menekankan kesinambungan fundamental kapitalistik. Ini adalah "mode akumulasi yang lebih fleksibel" yang mempercepat omzet modal dan laju kehidupan.
Karakteristik utama FA meliputi:
- Proses Tenaga Kerja: Menggunakan tenaga kerja yang lebih kontingen (contingent) dan karenanya lebih murah, yang sering kali mengarah pada pengikisan kekuatan serikat pekerja.
- Organisasi Perusahaan: Melibatkan perusahaan yang multisektoral, lebih tersebar, lincah secara spasial (spatially nimble), dan mengalami disintegrasi vertikal (vertically disintegrated). Disintegrasi vertikal ini memungkinkan kapital memecah rantai produksi dan memindahkannya secara global untuk mencari biaya input dan tenaga kerja terendah, memindahkan risiko ekonomi ke individu pekerja.
- Percepatan dan Volatilitas: FA secara signifikan meningkatkan tingkat inovasi komersial, teknologi, dan organisasi. Percepatan omzet modal dicapai melalui penggunaan sistem kredit dan uang elektronik. Volatilitas yang meningkat ini membuat perencanaan jangka panjang sulit, dan laju inflasi merusak uang sebagai penyimpan nilai stabil, mendorong investasi ke bentuk yang lebih spekulatif.
- Akumulasi Melalui Perampasan (Accumulation by Dispossession): FA juga mencakup proses perluasan kapitalis yang dicapai melalui privatisasi ruang dan layanan sosial (misalnya, deregulasi dan privatisasi aset publik).
Logika ekonomi Akumulasi Fleksibel secara langsung memproduksi logika budaya Postmodernitas. Kekakuan Fordis menghasilkan estetika yang stabil; sebaliknya, pergerakan modal FA yang lebih cepat dan fleksibel secara fungsional membutuhkan estetika yang merayakan "yang baru, yang fana, yang sekilas, yang sementara, dan yang kontingen dalam kehidupan modern". Postmodernisme, dengan penekanannya pada spectacle, mode, dan komodifikasi bentuk budaya, memberikan justifikasi budaya bagi laju konsumsi yang dipercepat ini.
Perbandingan rezim akumulasi ini dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 1: Perbandingan Rezim Akumulasi: Fordisme vs. Akumulasi Fleksibel (Harvey)
Bagian III: Dialektika Ruang-Waktu dan Pengalaman Postmodern
7. Konsep Kunci: Kompresi Ruang-Waktu (Time-Space Compression/TSC)
Inti dari tesis Harvey adalah konsep Kompresi Ruang-Waktu (TSC). TSC adalah kecenderungan fundamental kapitalis untuk merevolusi produksi waktu dan ruang, yang menghasilkan perubahan mendasar dalam representasi dunia yang dibuat individu untuk dirinya sendiri. TSC yang terkait dengan transisi ke Akumulasi Fleksibel diyakini sebagai respons kausal yang menghasilkan fenomena budaya postmodernitas, menjadi yang paling intens dibandingkan periode sejarah sebelumnya.
7.1. Kompresi Waktu: Akselerasi dan Krisis Identitas
Kompresi waktu secara langsung terkait dengan akselerasi omzet modal dan konsumsi. Volatilitas mode (fashion) dan produksi produk sekali pakai dipercepat, mendorong laju kehidupan yang lebih cepat. Percepatan ini menyebabkan kesulitan dalam perencanaan jangka panjang, memicu pertanyaan yang lebih dalam tentang identitas individu. Akibatnya, muncul perhatian estetika yang intens terhadap pencarian identitas dan kebangkitan penekanan pada akar sejarah (historical roots).
Pada saat yang sama, kompresi waktu menyebabkan krisis moneter dan representasi. Ketidakstabilan nilai uang akibat inflasi dan spekulasi mencerminkan dan memperkuat krisis representasi ini. Dalam sistem produksi Postmodern, peran citra sebagai komoditas menjadi dominan, dan peningkatan eklektisisme dalam komoditas memperkuat perasaan umum bahwa "semua opsi menjadi pilihan konsumen yang setara". Keruntuhan sejarah ini dan komodifikasinya memicu kesulitan kognitif bagi individu untuk menciptakan peta mental yang koheren, sebuah kondisi yang memungkinkan akumulasi fleksibel beroperasi tanpa hambatan ideologis yang stabil.
7.2. Kompresi Ruang: Penghancuran Jarak dan Sense of Place
Di sisi ruang, metode komunikasi modern (seperti satelit) menghancurkan jarak sepenuhnya, membuat semua orang terasa sama jauhnya tanpa peningkatan biaya berdasarkan jarak. Media massa turut berkontribusi, menyajikan semua peristiwa global dengan status ontologis yang setara, menyerap ruang-ruang yang luas dan berbeda di planet ini menjadi "desa global yang terhomogenisasi" (homogenized, global village).
Namun, secara paradoks, runtuhnya ruang telah menghasilkan peningkatan perhatian terhadap kualitas spesifik berbagai tempat (specific qualities of various places). Hal ini terjadi karena, meskipun modal menjadi sangat mobile, ia membutuhkan Spatial Fix untuk mengatasi krisis. Perbedaan kecil dalam kualitas tenaga kerja antar wilayah dapat menciptakan perbedaan besar dalam daya tarik bagi modal besar, menggeser fokus dari 'ruang' abstrak ke 'tempat' spesifik. Peningkatan penekanan pada identitas lokal dan sense of place adalah hasil sampingan dialektis dan ideologis dari kebutuhan modal yang paling global dan abstrak untuk mengeksploitasi perbedaan spasial.
Tabel 2: Manifestasi Kompresi Ruang-Waktu dalam Postmodernitas
Bagian IV: Manifestasi Kultural dan Implikasi Politik
8. Krisis Representasi dan Komodifikasi Citra (Superstruktur Estetika)
Perubahan radikal dalam pengalaman ruang dan waktu ini memanifestasikan dirinya dalam superstruktur budaya. Menurut Harvey, kepercayaan pada penilaian ilmiah dan moral telah runtuh, dan estetika telah menang atas etika sebagai fokus utama sosial dan intelektual. Citra mendominasi narasi, dan yang fana (ephemerality) serta fragmentasi mengambil prioritas di atas kebenaran abadi.
Postmodernisme dicirikan oleh penolakan terhadap metanarratif, yaitu interpretasi teoretis skala besar yang konon memiliki aplikasi universal. Manifestasi budaya dari krisis representasi ini terlihat di berbagai bidang:
1. Filosofis dan Epistemologis: Munculnya kembali pragmatisme (Rorty), ide-ide baru dalam filsafat sains (Kuhn, Feyerabend), fokus Foucault pada korelasi polimorfik, dan perkembangan matematika yang menekankan indeterminasi (seperti teori chaos atau geometri fraktal).
2. Komodifikasi: Terjadi perubahan dalam bauran komoditas, dengan dominasi masakan fusi global, pariwisata sebagai 'pengalaman,' musik dunia, dan literatur yang mencerminkan fragmentasi. Peningkatan eklektisisme dalam komoditas ini memberikan makan kepada rasa eklektisisme umum Postmodern, di mana identitas dapat dikonstruksi melalui pilihan konsumsi.
9. Postmodernisme dalam Lingkungan Terbangun (Arsitektur dan Urbanisme)
Urbanisme Postmodern secara tegas menolak penekanan Modernis pada perencanaan rasional, pengembangan skala besar, dan kemurnian bentuk. Sebaliknya, ia menyukai estetika yang terfragmentasi, eklektik, dan berakar secara lokal, seringkali menggabungkan berbagai gaya secara diskontinu, dan memandang ruang semata-mata sebagai kategori estetika.
Namun, Harvey mengkritik bahwa meskipun tampak bebas, perencanaan urban Postmodern itu sendiri semakin dirasionalisasi. Pembangunan ruang-ruang spektakuler—seperti Baltimore's City Fair atau Fisherman's Wharf di San Francisco—berfungsi untuk menutupi kondisi nyata kehidupan urban dengan menyajikan versi identitas sipil yang disanitasi. Konsepsi ruang Postmodern akhirnya hanya melayani permintaan konsumen, mengkomodifikasi situs warisan sebagai "sejarah" dan mengkonstruksi identitas melalui serangkaian pilihan konsumsi arsitektur. Dalam pengertian ini, estetika Postmodern berfungsi sebagai spatial fix kultural, menyediakan tontonan (sebagai ganti narasi sejarah yang koheren), sekaligus memfasilitasi akumulasi modal melalui privatisasi dan marginalisasi sosial.
10. Implikasi Politik: Fragmentasi dan Agenda Kritis
Kompresi Ruang-Waktu dan keruntuhan sejarah yang dipicu oleh Akumulasi Fleksibel memiliki konsekuensi politik yang mendalam. Akselerasi laju kehidupan mendorong pencarian akar dan identitas kelompok, memunculkan apa yang disebut Harvey sebagai Particularisme Militan.
Particularisme Militan adalah mobilisasi politik yang terputus-putus (disconnected) dan terfokus sempit, yang hanya didasarkan pada pengalaman atau karakteristik lokal yang unik. Politik yang terbatas oleh lokalisasi dan partikularitas ini sangat kesulitan untuk mengatasi totalitas sistem kapitalis global yang semakin terintegrasi. Inilah kontradiksi politik sentral Postmodernitas: totalitas sistem ekonomi global (Akumulasi Fleksibel) berhadapan dengan fragmentasi dalam representasi dan aksi politik (Particularisme Militan).
Harvey menunjukkan bahwa sentimen estetika Postmodernisme, meskipun sering mengklaim aktivisme terhadap status quo, sering kali selaras (map onto) dan menunjukkan disposisi yang bersedia (complicit disposition) terhadap aspek-aspek kapitalisme akhir, seperti konsumerisme dan alienasi. Bagi Harvey, penting bagi para kritikus untuk mengakui bahwa Postmodernisme bukanlah fenomena budaya yang mengambang bebas, melainkan memiliki basis sosial dan ekonomi yang jelas.
Meskipun kritiknya tajam, Harvey melihat peluang. Krisis dalam kapitalisme dapat melonggarkan cengkeraman ideologi, membuka potensi bagi perubahan yang bermakna. Harvey menyarankan bahwa Kiri Baru yang Baru (new New Left) harus mengambil pelajaran dari postmodernisme, yaitu perlunya mengakui yang 'lain' (concern for the other) dan perbedaan. Namun, ini harus diselaraskan kembali dengan sikap yang menyatukan (unifying attitudes) yang dapat mengatasi fragmentasi epistemologis dan politis, sehingga memungkinkan pergerakan menuju perubahan sosial yang positif.
Kesimpulan dan Analisis Kritis
The Condition of Postmodernity adalah analisis materialis yang menetapkan bahwa perubahan radikal dalam pengalaman budaya, epistemologis, dan estetika yang dikenal sebagai postmodernisme tidak dapat dipahami sebagai domain otonom. Sebaliknya, postmodernisme adalah kondisi kultural yang dikondisikan oleh, dan berfungsi secara fungsional untuk, rezim ekonomi yang baru: Akumulasi Fleksibel.
Dialektika Ruang-Waktu (TSC) berfungsi sebagai mekanisme kausal utama, menerjemahkan kebutuhan modal untuk akselerasi dan mobilitas menjadi pengalaman subjektif berupa fragmentasi, krisis identitas, dan keruntuhan sejarah. Pergeseran ini secara strategis menguntungkan kapital, yang dapat bergerak dan berinovasi tanpa dihadapkan pada narasi sejarah yang koheren atau tuntutan tenaga kerja yang stabil.
Kontradiksi terbesar yang diidentifikasi oleh Harvey terletak pada diskoneksi antara skala ekonomi yang total (kapitalisme global) dan skala politik yang partikular (Militant Particularism). Selama peta mental masyarakat gagal menyelaraskan laju perubahan material sistem produksi global, tindakan politik akan tetap terfragmentasi. Oleh karena itu, tantangan yang diberikan oleh Harvey adalah perlunya mengembangkan kritik total yang mampu menyatukan tuntutan partikular dengan pemahaman menyeluruh tentang totalitas sistem kapitalis yang melahirkannya.
Referensi:
Anthrocervone.org. (n.d.). The condition of postmodernity. Retrieved October 17, 2025, from https://anthrocervone.org/the-condition-of-postmodernity
Harvey, D. (1991). The condition of postmodernity: An enquiry into the origins of cultural change. Oxford, UK: Wiley-Blackwell. (Original work published 1989)
Illuminations. (n.d.). Book review: The condition of postmodernity, David Harvey. Retrieved October 17, 2025, from https://illuminations.archives.cddc.vt.edu
Patrickbrianmooney.nfshost.com. (n.d.). David Harvey's The condition of postmodernity - Patrick Mooney. Retrieved October 17, 2025, from https://patrickbrianmooney.nfshost.com
Patrickbrianmooney.nfshost.com. (n.d.). Reading notes: David Harvey's condition of postmodernity. Retrieved October 17, 2025, from https://patrickbrianmooney.nfshost.com
Patrickbrianmooney.nfshost.com. (n.d.). Summary of David Harvey's The condition of postmodernity - Patrick Mooney. Retrieved October 17, 2025, from https://patrickbrianmooney.nfshost.com
People.sbs.arizona.edu. (n.d.). Harvey, D. - The University of Arizona. Retrieved October 17, 2025, from https://people.sbs.arizona.edu
PMC.iath.virginia.edu. (n.d.). The new imperialism, or the economic logic of late postmodernism. Retrieved October 17, 2025, from https://pmc.iath.virginia.edu
Post45.org. (n.d.). Out of date: David Harvey's The condition of postmodernity and the postmodern condition - Post45. Retrieved October 17, 2025, from https://post45.org
Protevi.com. (n.d.). David Harvey, The condition of postmodernity (Blackwell, 1990), Parts I and II - John Protevi. Retrieved October 17, 2025, from https://protevi.com
Protevi.com. (n.d.). David Harvey, The condition of postmodernity (Blackwell, 1990), Parts III and IV - John Protevi. Retrieved October 17, 2025, from https://protevi.com
Provost.utsa.edu. (n.d.). On the postmodern condition - UTSA Academic Affairs. Retrieved October 17, 2025, from https://provost.utsa.edu
ResearchGate.net. (n.d.). (PDF) The condition of postmodernity (1989): David Harvey. Retrieved October 17, 2025, from https://www.researchgate.net
Revisesociology.com. (n.d.). The condition of postmodernity, Chapter 1 summary - ReviseSociology. Retrieved October 17, 2025, from https://revisesociology.com
Selforganizedseminar.files.wordpress.com. (n.d.). The condition of postmodernity 13 - Autonomous Learning. Retrieved October 17, 2025, from https://selforganizedseminar.files.wordpress.com
Warwick.ac.uk. (n.d.). Harvey, condition of postmodernity, 240–307 - University of Warwick. Retrieved October 17, 2025, from https://warwick.ac.uk
%20karya%20David%20Harvey.png)


Post a Comment