Analisis Kritis Sengketa Pesantren Lirboyo dan Trans7: Konflik Representasi dan Konstruksi Sosial di Media
I. Pendahuluan Analitis: Representasi, Realitas, dan Konflik Media-Kultural
A. Latar Belakang Konflik dan Isu Inti
Konflik antara Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri—salah satu institusi pendidikan Islam tradisional terbesar di Indonesia di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU)—dengan stasiun televisi nasional Trans7, mewakili benturan mendasar antara institusi kultural-religius yang mapan dan diskursus media massa kontemporer. Peristiwa ini berpusat pada penayangan program investigatif "Xpose Uncensored" pada hari Senin, 13 Oktober 2025. Program tersebut menayangkan fragmen kehidupan sehari-hari santri dan kiai di Lirboyo dengan narasi yang secara luas dinilai sebagai penyudutan, pelecehan, dan penghinaan terhadap nilai-nilai pesantren, kiai, dan umat Islam tradisional.
Kegaduhan yang timbul ini bersifat multi-dimensi, memicu reaksi keras dari PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan seruan boikot melalui tagar #BoikotTrans7. Tuntutan ini mengarah pada pertanggungjawaban etika dan hukum. Isu inti yang menjadi sumber kontroversi terbagi menjadi tiga poin praktik keseharian santri yang disorot dan dimaknai secara negatif oleh narasi media:
1. Aksi santri berjalan jongkok (ngesot) saat menghampiri kiai, yang diframing seolah merendahkan martabat atau menunjukkan penundukan yang berlebihan.
2. Santri memberikan amplop kepada kiai, yang dinarasikan seolah kiai menjadi kaya dari dana sumbangan atau komersialisasi agama.
3. Aktivitas santri membersihkan atau mengabdi di rumah kiai (khidmah atau ro'an), yang diframing sebagai eksploitasi tenaga kerja atau sistem perbudakan modern.
B. Landasan Teoretis: Posisi Stuart Hall dan Berger & Luckmann
Untuk menganalisis konflik ini secara mendalam, artikel ini menggunakan dua kerangka teoretis utama yang saling melengkapi.
Pertama, Teori Representasi Stuart Hall, khususnya model Encoding/Decoding, digunakan untuk membedah bagaimana pesan media diproduksi (di-encode) berdasarkan ideologi tertentu, dan bagaimana pesan tersebut dibaca (di-decode) secara oposisional oleh audiens yang memiliki ideologi kultural berbeda. Konflik ini dipandang sebagai pertarungan makna dan ideologi, di mana media sebagai pihak yang memiliki kekuasaan representasi berusaha memaksakan preferred meaning yang kemudian ditolak oleh kekuatan kelembagaan kultural.
Kedua, Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang menjelaskan proses dialektis (Eksternalisasi, Objektivasi, Internalisasi) yang membentuk, memelihara, dan melegitimasi realitas sosial. Teori ini krusial untuk memahami mengapa realitas pesantren (yang sudah terobjektivasi) memiliki resistensi yang sangat kuat terhadap narasi media yang mencoba mendefinisikannya ulang. Benturan ini terjadi karena media menyerang fondasi sosiologi pengetahuan komunitas pesantren.
II. Konstruksi Sosial Realitas Pesantren: Perspektif Berger & Luckmann
Analisis menggunakan kerangka Berger & Luckmann bertujuan untuk menetapkan status ontologis praktik-praktik pesantren. Konflik muncul karena Trans7 berusaha mereduksi praktik yang memiliki makna berlapis (kultural dan spiritual) menjadi fenomena yang bersifat sekuler dan transaksional.
A. Eksternalisasi dan Habitualisasi: Pembentukan Praktik Kultural Santri
Eksternalisasi adalah momen di mana individu menuangkan ekspresi diri ke dalam dunia sosial melalui tindakan. Dalam konteks pesantren, praktik-praktik seperti ngesot, khidmah, dan ro’an awalnya merupakan tindakan spontan yang kemudian mengalami habitualisasi—proses pengulangan tindakan yang berulang-ulang hingga menjadi pola tindakan yang terbiasa dan efisien.
Melalui habitualisasi, perilaku yang tepat di hadapan kiai (misalnya berjalan jongkok sebagai bentuk ta'dhim atau hormat) dan kewajiban mengabdi (khidmah) menjadi tindakan yang dilakukan dengan upaya minimal dan tanpa harus dipikirkan secara sadar. Praktik-praktik ini berfungsi sebagai alat eksternalisasi norma-norma pesantren, membentuk tatanan sosial yang stabil dan dapat diprediksi di dalam lingkungan Lirboyo.
B. Objektivasi dan Institusionalisasi: Pesantren sebagai Realitas yang Berdiri Sendiri
Objektivasi terjadi ketika produk-produk eksternalisasi dan habitualisasi mencapai tingkat kenyataan yang berdiri di luar individu penciptanya. Di pesantren, ini terjadi melalui institusionalisasi. Institusi seperti Lirboyo telah bertahan selama beberapa generasi, menjadikan praktik ngesot dan khidmah sebagai tipifikasi timbal balik dari tindakan yang terbiasa oleh tipe-tipe aktor (santri dan kiai).
Karena Lirboyo memiliki historisitas yang kuat, praktik ini dirasakan oleh santri baru sebagai realitas eksternal yang tidak dapat dihindari atau diubah. Yang terpenting, institusi ini memiliki kekuatan koersif. Berbeda dengan koersif fisik atau hukum, kekuatan koersif kultural pesantren didasarkan pada konsep spiritual seperti barakah dan ta'dhim (penghormatan spiritual). Praktik khidmah bukan dilihat sebagai kontrak kerja, melainkan sebagai jalan menuju spiritualitas. Media, yang beroperasi di bawah ideologi modern-sekuler, gagal memahami bahwa kekuatan koersif ini jauh lebih mendalam daripada kontrol fisik atau ekonomi, sehingga interpretasi mereka mengenai 'perbudakan' terasa dangkal dan sangat ofensif. Realitas objektif yang telah mengakar ini menentukan tingkat kemarahan komunal terhadap serangan media.
C. Internalisasi: Realitas Subjektif Akhlak Ruhaniyah
Internalisasi adalah momen di mana realitas objektif diserap kembali ke dalam kesadaran individu, membentuk identitas. Santri yang masuk ke Lirboyo menjalani proses sosialisasi sekunder, menginternalisasi sub-dunia institusional pesantren. Dalam proses internalisasi ini, praktik-praktik kontroversial tersebut mendapatkan makna subjektif yang mendalam dan spiritual:
- Ngesot/Jalan Jongkok diinternalisasi sebagai ta'ziran (penghormatan) dan pembinaan akhlak ruhaniyah. Praktik ini dimaknai sebagai upaya spiritualisasi diri yang membutuhkan kerendahan hati (tawadhu).
- Khidmah/Ro'an diinternalisasi sebagai ibadah dan pengabdian suci, bukan tugas upahan.
Ketika Trans7 mencoba mereduksi makna internalisasi ini menjadi 'perbudakan,' media tidak hanya menyerang individu, tetapi mengancam pemeliharaan legitimasi (Legitimation Maintenance) seluruh sistem pengetahuan (sosiologi pengetahuan) pesantren. Reaksi keras dari PBNU dan alumni adalah respons kolektif yang bertujuan untuk mempertahankan universe of meaning pesantren dari upaya delegitimasi narasi sekuler. Setiap serangan terhadap praktik ini dianggap sebagai ancaman eksistensial terhadap realitas objektif yang telah diinstitusionalisasi selama berabad-abad.
III. Analisis Representasi Media: Teori Encoding Stuart Hall
Konflik Lirboyo-Trans7 berakar pada kegagalan media dalam melakukan encoding yang adil, di mana ideologi media bertabrakan dengan realitas kultural yang diliput.
A. Model Encoding-Decoding: Media sebagai Arus Komunikasi yang Terdistorsi
Stuart Hall berpendapat bahwa pesan media jarang diterima sama persis dengan yang dimaksudkan oleh pengirim, dan komunikasi sering kali terdistorsi secara sistematis. Dalam kasus ini, Trans7 (melalui PH "Xpose Uncensored") bertindak sebagai encoder. Mereka memilih signs (visual) dari kehidupan santri Lirboyo dan mengaturnya ke dalam codes yang relevan dengan ideologi media massa kontemporer.
Pemilihan visual seperti santri berjalan jongkok atau memberikan amplop merupakan langkah pertama dalam proses encoding. Visual tersebut, yang bersifat polisemik (memiliki banyak makna), kemudian dipasangkan dengan narasi (suara dan teks) yang secara spesifik mendorong preferred meaning kepada audiens.
B. Ideologi Hegemonik dan Pembingkaian (Framing) Media
Media nasional seringkali beroperasi di bawah ideologi modern-urban yang menomorsatukan individualisme, hak asasi manusia, dan transparansi keuangan, seringkali mengabaikan konteks kultural dan spiritual tradisional. Dalam kasus ini, ideologi dominan media berfungsi sebagai agen distorsi sistematis. Media tidak hanya melaporkan, tetapi secara aktif menafsirkan ulang praktik khidmah atau ta'ziran Lirboyo sebagai 'perbudakan' atau 'eksploitasi'.
Proses encoding oleh Trans7 menerapkan code ideologis ini pada praktik pesantren yang sakral:
1. Praktik Ngesot: Code yang diterapkan adalah 'Penundukan/Subordinasi' atau 'Kekerasan Simbolik' yang melanggar hak martabat. Code ini secara sengaja mengabaikan dimensi religius (ta'dhim).
2. Praktik Amplop: Code yang digunakan adalah 'Komersial' atau 'Korupsi/Pengayaan Diri,' yang secara kritis menyerang integritas kiai, mengabaikan code sosial/agama (infaq atau syariah).
3. Praktik Khidmah: Code yang digunakan adalah 'Eksploitasi Tenaga Kerja' atau 'Sistem Perbudakan,' menghilangkan code spiritual bahwa pengabdian tersebut setara dengan ibadah.
Kegagalan Trans7 dalam memahami konteks spiritual dan etika pesantren tercermin dalam dugaan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pelanggaran terhadap Pasal 3 (tidak menguji informasi, mencampur fakta dan opini yang menghakimi) dan Pasal 8 (membuat berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap agama) menunjukkan bahwa encoding yang dilakukan bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan manifestasi dari bias ideologis yang secara fundamental bertentangan dengan realitas pesantren.
IV. Proses Decoding dan Resistensi Komunal: Kekuatan Oposisional
Reaksi keras dari komunitas pesantren dan NU merupakan contoh kuat dari decoding oposisional (Oppositional Reading), di mana pesan media diterima namun dimaknai ulang secara total berdasarkan kerangka referensi ideologis pembaca (santri dan alumni).
A. Decoding Oposisional PBNU/Lirboyo (Reaksi Kultural)
Komunitas pesantren Lirboyo dan NU menolak secara total code yang di-encode oleh Trans7. Ketika visual ngesot ditayangkan, audiens kultural-religius tidak melihat penundukan fisik, melainkan membaca sign tersebut melalui code kultural mereka sendiri, yaitu adab, kerendahan hati, dan penghormatan. Penolakan ini bersifat kolektif dan didukung oleh struktur kelembagaan yang kuat.
Gerakan seruan #BoikotTrans7 dan protes keras PBNU merupakan bentuk semiotic disobedience. Komunitas secara kolektif tidak hanya menolak makna yang disarankan oleh Trans7, tetapi juga memberlakukan sanksi sosial dan kelembagaan untuk memaksa media tunduk pada makna yang berlaku secara kultural.
B. Peran Kekuasaan dan Institusi dalam Proses Decoding
Keberhasilan decoding oposisional ini sangat bergantung pada kekuatan kelembagaan yang mendukungnya.
1. Otoritas Kultural (NU): PBNU menggunakan kekuatan organisasinya untuk menuntut pertanggungjawaban hukum dan etika. Audiensi bersama DPR, KPI, dan Komdigi menunjukkan bagaimana institusi sosial (NU) menggunakan kekuasaan kelembagaannya untuk mengontrol sirkulasi makna dan membatasi narasi media.
2. Otoritas Regulator (KPI): Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada program "Xpose Uncensored". Keputusan regulator ini menegaskan secara formal bahwa encoding Trans7 melanggar norma penyiaran dan etika publik.
Hal ini menunjukkan bahwa dekoder (komunitas pesantren) berhasil menegakkan prefered meaning mereka, memaksa encoder (Trans7) untuk mengakui kekeliruan naratif mereka.
C. Tabel Analisis Encoding-Decoding Tiga Poin Kontroversi
Tabel berikut menyajikan perbandingan codes yang bertabrakan, yang mendasari konflik sosiologis dan representasional ini.
Tabel 1: Analisis Encoding-Decoding Tiga Poin Kontroversi Utama
V. Sintesis: Dialektika Realitas yang Berbenturan dan Disrupsi Sosial
A. Kegagalan Articulation (Hall) Akibat Benturan Realitas Objektif (B&L)
Konflik Lirboyo-Trans7 dapat dipahami sebagai upaya yang gagal dari media untuk melakukan articulation (penghubungan) antara praktik tradisional pesantren dengan narasi modern kritis. Realitas pesantren yang telah terobjektivasi (B&L) memiliki struktur makna (code) yang sangat resisten dan historis. Encoding Trans7 berusaha memaksakan articulation antara praktik khidmah dengan frame 'eksploitasi tenaga kerja'.
Upaya encoding ini gagal total karena tidak ada titik temu ontologis antara code sekuler modern dan code spiritual sakral pesantren. Benturan ini menghasilkan disartikulasi makna yang ekstrem, yang dirasakan sebagai penghinaan, bukan sekadar kesalahpahaman. Analisis ini menunjukkan bahwa konflik tersebut pada dasarnya adalah perang sosiologi pengetahuan—pertarungan tentang siapa yang berhak mendefinisikan realitas sosial. Trans7 berusaha menciptakan realitas baru ('Lirboyo adalah tempat eksploitasi'), tetapi kekuatan objektivasi NU berhasil menolaknya dan mempertahankan definisi realitas yang telah dilembagakan secara historis ('Lirboyo adalah tempat akhlak ruhaniyah').
B. Resolusi dan Pemulihan Dialektika: Trans7 Dipaksa Internalisasi Ulang
Penyelesaian konflik mencerminkan pemulihan siklus dialektika Berger & Luckmann yang dipaksakan oleh kekuatan decoding oposisional. Pengakuan kelalaian oleh Trans7 secara teoretis merupakan pengakuan bahwa encoding mereka melanggar tipifikasi timbal balik (norma) dalam institusi etika penyiaran dan kultural.
Permintaan maaf resmi dan kunjungan langsung (sowan) manajemen Trans7 ke Ponpes Lirboyo adalah tindakan simbolis yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial (Objektivasi). Trans7 dipaksa untuk menginternalisasi kembali (re-internalisasi) hierarki kekuasaan dan realitas kultural yang dipertahankan oleh NU. Tindakan ini secara sosiologis penting karena mengembalikan legitimasi sistem pesantren.
Peran media sosial dalam menyerukan #BoikotTrans7 mempercepat fase kontrol sosial dalam proses objektivasi. Kecepatan penyebaran informasi dan tekanan publik yang masif memaksa institusi media untuk segera re-internalisasi realitas objektif yang berkuasa, mencegah kekacauan norma (anomi) yang diakibatkan oleh encoding yang lalai.
Tabel 2: Perbandingan Kerangka Analisis Teori Konstruksi Sosial dan Representasi Hall
VI. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
A. Implikasi terhadap Sosiologi Komunikasi dan Studi Kultural
Kasus sengketa Lirboyo dan Trans7 menawarkan studi kasus yang kaya dalam sosiologi pengetahuan dan studi media. Konflik ini menunjukkan batasan kekuatan hegemoni media di Indonesia, di mana narasi media yang bersifat sekuler dan kritis-urban harus tunduk pada kekuatan institusionalisasi kultural yang mendalam, seperti yang diwakili oleh NU dan Pesantren Lirboyo.
Keberhasilan decoding oposisional menjadi efektif hanya karena didukung oleh struktur kekuasaan kelembagaan yang terorganisir, bukan sekadar penolakan individu. PBNU mampu menerjemahkan kemarahan komunal menjadi tekanan politik, hukum, dan regulasi (melalui KPI dan DPR). Hal ini menegaskan bahwa legitimasi media dalam merepresentasikan kelompok kultural tertentu dapat ditantang dan dipulihkan melalui aksi kolektif berbasis institusi.
B. Implikasi Etika dan Kebijakan Media
Trans7 mengakui kelalaian, yang sejalan dengan pelanggaran serius terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Peliputan yang menuduh praktik pesantren sebagai 'perbudakan' tanpa menguji informasi secara berimbang merupakan pelanggaran terhadap KEJ Pasal 3, yang melarang pencampuran fakta dan opini yang menghakimi. Lebih jauh, kegagalan dalam memahami dan menghormati konteks spiritual merupakan pelanggaran terhadap KEJ Pasal 8, yang melarang diskriminasi atau prasangka berdasarkan agama dan merendahkan kelompok tertentu.
Kasus ini menuntut adanya regulasi dan mekanisme yang lebih ketat dari otoritas seperti KPI dan Dewan Pers. Peliputan budaya tradisional atau agama tidak boleh hanya diverifikasi secara empiris (apakah santri benar-benar berjalan jongkok?), tetapi juga harus melalui verifikasi makna etis dan ontologis. Media harus diwajibkan untuk memahami code kultural sebelum melakukan encoding pesan, untuk mencegah distorsi sistematis yang menyerang realitas sosial yang telah dilembagakan. Trans7 telah dipaksa untuk re-internalisasi realitas yang mereka abaikan, dan pengalaman ini berfungsi sebagai mekanisme pemulihan objektivasi bagi seluruh industri penyiaran.
Sumber Referensi:
Analysis of Stuart Hall's encoding/decoding – Literary Theory and Criticism Notes. (2020, November 7). Diakses Oktober 19, 2025, dari https://literariness.org/2020/11/07/analysis-of-stuart-halls-encoding-decoding/
Analisis mendalam representasi, budaya, dan praktik penandaan dalam teori Stuart Hall (1997). (2025, Oktober 19). Sosiologi79. Diakses dari https://www.sosiologi79.com/2025/10/analisis-mendalam-representasi-budaya.html
Audiensi bersama, Trans7 akui lalai dan minta maaf ke alumni Ponpes Lirboyo. (2025, Oktober 19). DetikNews. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-8159936/audiensi-bersama-trans7-akui-lalai-dan-minta-maaf-ke-alumni-ponpes-lirboyo
Manajemen Trans7 akhirnya sowan ke Pondok Pesantren Lirboyo. (2025, Oktober 19). Murianews.com. Diakses dari https://berita.murianews.com/zulkifli-fahmi/451507/manajemen-trans7-akhirnya-sowan-ke-pondok-pesantren-lirboyo
Manajemen Trans7 sowan ke Ponpes Lirboyo dan sampaikan permintaan maaf. (2025, Oktober 19). Suara Surabaya. Diakses dari https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2025/manajemen-trans7-sowan-ke-ponpes-lirboyo-dan-sampaikan-permintaan-maaf/
Pelanggaran etika media dalam framing kehidupan pesantren: Kasus tayangan Trans7. (2025, Oktober 19). Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN Lirboyo. Diakses dari https://lp2m.uit-lirboyo.ac.id/pelanggaran-etika-media-dalam-framing-kehidupan-pesantren-kasus-tayangan-trans7/
Pembahasan lengkap buku The Social Construction of Reality. (2025, Agustus). Sosiologi79. Diakses Oktober 19, 2025, dari https://www.sosiologi79.com/2025/08/pembahasan-lengkap-buku-social.html
Pernyataan PBNU soal boikot Trans7 & tayangan pondok pesantren. (2025, Oktober 19). Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/pernyataan-pbnu-soal-boikot-trans7-tayangan-pondok-pesantren-hjD8
Stuart Hall's encoding-decoding model: A critique. (2021). ResearchGate. Diakses Oktober 19, 2025, dari https://www.researchgate.net/publication/356879508_Stuart_Hall's_Encoding-Decoding_Model_A_Critique
Trans7 minta maaf usai tayangan menghina dunia pesantren, PBNU lontarkan protes keras. (2025, Oktober 19). Radar Bojonegoro. Diakses dari https://radarbojonegoro.jawapos.com/nasional/716699696/trans7-minta-maaf-usai-tayangan-menghina-dunia-pesantren-pbnu-lontarkan-protes-keras



Post a Comment