Analisis Mendalam Representasi, Budaya, dan Praktik Penandaan dalam Teori Stuart Hall (1997)

Table of Contents

Representation: Cultural Representations and Signifying Practices Stuart Hall
Pendahuluan: Konteks, Tujuan, dan Kerangka Kerja Hall

Latar Belakang Publikasi dan Definisi Inti

Buku monumental Representation: Cultural Representations and Signifying Practices yang disunting oleh Stuart Hall pada tahun 1997, diterbitkan oleh Sage bekerja sama dengan The Open University, berdiri sebagai teks landasan dalam bidang Kajian Budaya (Cultural Studies) dan teori kritik. Tujuan utama dari teks yang luas ini adalah untuk menyajikan kerangka komprehensif tentang bagaimana bahasa, citra visual, dan wacana berfungsi sebagai 'sistem representasi'.

Hall mendefinisikan representasi sebagai "proses di mana anggota budaya menggunakan bahasa... untuk menghasilkan makna". Makna yang dihasilkan dalam proses ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang absolut atau inheren pada dunia nyata, melainkan dikonstruksi dan terus-menerus didefinisikan oleh masyarakat.

Representasi sebagai Praktik Konstitutif dan Sirkuit Kebudayaan
Tesis fundamental yang diajukan oleh Hall adalah bahwa representasi harus dipahami sebagai proses 'konstitutif' atau pembentuk yang primer. Hal ini menyiratkan bahwa representasi memiliki bobot teoretis yang setara dengan 'basis' ekonomi atau material dalam membentuk subjek sosial dan peristiwa historis, dan bukan sekadar bayangan atau refleksi dari dunia setelah peristiwa terjadi. Dengan menempatkan representasi sebagai kekuatan yang menciptakan realitas sosial (konstitutif), Hall memberikan Kajian Budaya landasan filosofis yang kuat, yang memungkinkan disiplin ini bergerak melampaui pendekatan deterministik, seperti Marxisme ekonomi, yang cenderung mereduksi budaya menjadi sekadar epifenomena.

Dalam kerangka kerja yang lebih luas, representasi dianggap sebagai salah satu praktik sentral yang menghasilkan budaya dan merupakan 'momen' kunci dalam 'Sirkuit Kebudayaan' (Circuit of Culture). Sirkuit ini menghubungkan representasi dengan produksi, konsumsi, regulasi, dan identitas.

Struktur Buku dan Fokus Interdisipliner

Buku ini bukan monograf tunggal tetapi koleksi bab yang disunting, di mana Hall sendiri menyumbangkan bab pengantar teoretis (Bab 1) dan aplikasi kritis (Bab 4). Struktur buku ini menunjukkan pendekatan interdisipliner dalam menganalisis berbagai praktik penandaan, mulai dari teks, citra, hingga penataan objek fisik.

Struktur Kontributor dan Fokus Utama

Representation: Cultural Representations and Signifying Practices Stuart Hall

Bagian I: Pondasi Epistemologis Representasi (Bab 1: The Work of Representation)

Sistem Representasi dan Kode Budaya

Hall menjelaskan bahwa representasi bekerja melalui dua sistem yang saling terkait. Sistem pertama adalah Peta Konseptual, yaitu sistem representasi mental yang dimiliki oleh anggota budaya. Peta ini memungkinkan individu untuk mengorganisasi dunia menjadi kategori, klaster, dan konsep, baik abstrak maupun konkret. Makna muncul melalui kemampuan kita untuk membedakan satu konsep dari konsep lain (misalnya, hitam berbeda dari putih, pintu berbeda dari jendela).

Sistem kedua adalah Bahasa atau sistem penandaan. Bahasa berfungsi sebagai penerjemah yang mengubah peta konseptual mental menjadi tanda (kata, gambar, gestur) yang dapat dibagikan dan dipahami oleh orang lain. Makna hanya dapat diciptakan dan dikomunikasikan jika ada kode yang dibagi (shared code). Makna tidak melekat pada objek secara intrinsik, tetapi dikonstruksi melalui konvensi sosial yang mengikat konsep (petanda) dengan tanda (penanda). Hall memberikan ilustrasi dengan bahasa lampu lalu lintas atau sistem kabel listrik, di mana warna yang digunakan adalah arbitrer, dan maknanya sepenuhnya tergantung pada sistem kode yang diterima secara sosial dan yang dapat berubah seiring waktu.

Kritik Terhadap Model Representasi Non-Konstruksionis

Dalam membangun argumen Konstruksionisnya, Hall secara sistematis meninjau dan menolak dua pendekatan alternatif utama terhadap representasi, yang disebut Pandangan Reflektif dan Pandangan Intentional.

Pandangan Reflektif (Reflective View)

Model ini mengasumsikan bahwa makna terletak pada objek, orang, atau peristiwa di dunia nyata, dan bahasa hanya berfungsi sebagai cermin (mirror) yang merefleksikan 'makna sejati' atau 'esensi' yang sudah ada di luar. Hall mengkritik keras pandangan ini karena gagal menjelaskan mengapa berbagai bahasa memiliki kata yang berbeda untuk objek yang sama (misalnya, 'pohon' dan 'arbre'). Hal ini membuktikan bahwa hubungan antara tanda dan objek bukanlah hubungan 'alami' melainkan hasil dari konvensi kultural.

Pandangan Intentional (Intentional View)

Model ini berpendapat bahwa makna berasal dari niat pribadi pencipta, penulis, atau pembicara. Kritik Hall terhadap pandangan ini adalah bahwa individu tidak dapat menjadi sumber tunggal makna karena untuk berkomunikasi dan dipahami, mereka harus menggunakan sistem bahasa dan kode yang dimiliki bersama secara sosial. Bahasa adalah milik ruang budaya bersama, bukan properti eksklusif pengirim atau penerima.

Pandangan Konstruksionis (Constructionist View)

Hall menyimpulkan bahwa hanya pendekatan Konstruksionis (atau Konstruktivis) yang memadai. Perspektif ini berpendapat bahwa makna dikonstruksi di dalam dan melalui bahasa atau sistem penandaan, dan merupakan hasil dari praktik kultural. Ini adalah pendekatan yang paling signifikan dalam Kajian Budaya karena memindahkan analisis dari individu atau objek ke sistem sosial dan kultural tempat produksi makna terjadi. Keputusan strategis Hall untuk mengadopsi kerangka Konstruksionis ini secara metodologis membenarkan seluruh proyek buku tersebut, yang berfokus pada analisis sistem representasi alih-alih hanya menilai keakuratan atau niat.

Bagian II: Kerangka Semiotika dan Produksi Makna (Warisan Saussure dan Barthes)

Fondasi Linguistik Ferdinand de Saussure

Hall memulai analisisnya tentang Konstruksionisme dengan semiotika, yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Saussure mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda. Unit dasar dalam sistem ini adalah Tanda (sign), yang merupakan kombinasi Penanda (Signifier)—bentuk material, akustik, atau visual dari tanda—dan Petanda (Signified)—konsep mental yang diwakilinya.

Saussure menekankan bahwa hubungan antara Penanda dan Petanda adalah arbitrer (tidak ada hubungan alami). Makna sebuah tanda ditentukan oleh perbedaannya dari tanda-tanda lain dalam sistem, sebuah prinsip yang dikenal sebagai perbedaan linguistik. Karena makna bersifat arbitrer, budaya harus menambatkannya pada Penanda tertentu melalui kode bersama. Ketidakstabilan inheren dari makna ini—yang tidak terikat pada alam—adalah prasyarat mengapa kuasa sosial harus terus bekerja untuk menstabilkannya.

Roland Barthes: Denotasi, Konotasi, dan Mitos

Keterbatasan Saussure yang cenderung ahistoris dan formal disempurnakan oleh Roland Barthes. Barthes memperluas model semiotika Saussure untuk menganalisis bagaimana tanda-tanda beroperasi di tingkat kultural dan ideologis.

Denotasi dan Konotasi

Barthes membedakan antara dua tingkat representasi:
1. Denotasi: Tingkat deskriptif pertama yang mengacu pada makna literal atau faktual (misalnya, mengidentifikasi pakaian sebagai 'gaun' atau 'jeans').
2. Konotasi: Tingkat kedua, di mana tanda denotatif pada tingkat pertama (gaun atau jeans) berfungsi sebagai Penanda baru. Penanda ini kemudian dihubungkan dengan tema, nilai, atau konsep kultural yang lebih luas (misalnya, 'gaun malam' berkonotasi 'keanggunan' atau 'formalias').

Penciptaan Mitos

Ketika konotasi ini diulang secara masif dan berhasil, konotasi tersebut berubah menjadi Mitos—sebuah makna ideologis yang diterima secara luas dan tampak 'alami' atau tak terelakkan, sehingga menyembunyikan konstruksi sosial dan arbitraritasnya. Analisis Barthes memungkinkan kritik ideologi yang sistematis, menjembatani analisis formal tanda dengan pertarungan kuasa budaya. Makna ideologis yang menjadi Mitos ini berfungsi untuk mempertahankan kuasa hegemonik.

Bagian III: Kerangka Diskuris dan Politik Pengetahuan (Warisan Foucault)

Dari Bahasa ke Wacana (Discourse)

Untuk sepenuhnya memahami bagaimana kuasa terlibat dalam representasi, Hall beralih dari semiotika linguistik (Saussure) ke pendekatan wacana yang dianut oleh Michel Foucault. Meskipun Foucault menggunakan 'representasi' dalam arti yang lebih sempit, pendekatannya tentang Wacana (discourse) sangat penting.

Foucault berfokus pada produksi pengetahuan (bukan hanya makna) melalui apa yang ia sebut Wacana. Wacana didefinisikan sebagai seperangkat praktik yang secara sistematis menghasilkan pengetahuan tentang suatu subjek tertentu. Wacana adalah pernyataan yang terorganisasi, memiliki pengaruh, kekuatan, dan otoritas, yang membentuk pemahaman kita tentang 'sosial, individu yang terwujud, dan makna bersama' dalam periode sejarah tertentu.

Relasi Kuasa/Pengetahuan (Power/Knowledge)

Foucault secara radikal menolak pemisahan antara kuasa dan pengetahuan. Hall menjelaskan bahwa keduanya saling terkait: kuasa tidak dapat dibentuk, dikonsolidasikan, atau diterapkan tanpa produksi, akumulasi, dan sirkulasi wacana, dan sebaliknya.

Kuasa, dalam pandangan ini, bukanlah entitas yang hanya bersifat represif (menekan), tetapi juga produktif (menciptakan). Kuasa menghasilkan bidang-bidang pengetahuan yang memungkinkan kita memahami dunia, dan bahkan cara subjek berhubungan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak ada individu 'alami' yang ditekan; sebaliknya, individu dihasilkan dari kuasa. Analisis Foucault lebih historis dan spesifik daripada semiotika, dengan fokus pada 'relasi kuasa, bukan relasi makna'.

Pembentukan Subjek dalam Wacana

Pendekatan diskursif Foucault, yang diadopsi oleh Hall, mengubah posisi subjek secara mendasar. Pandangan konstruksionis telah mende-sentralisasi subjek sebagai sumber tunggal makna atau pengetahuan. Proposisi radikal Foucault, yang ditekankan oleh Hall, adalah bahwa subjek diproduksi di dalam wacana.

Subjek tidak dapat berdiri di luar kuasa dan pengetahuan sebagai sumber atau penulisnya, karena ia harus tunduk pada aturan dan konvensi dari formasi diskursif (episteme) tertentu. Subjek dapat menjadi pembawa pengetahuan yang dihasilkan oleh wacana, tetapi ia "terdapat dalam" wacana, yang merupakan cara Kuasa—melalui institusi dan sejarah—menstabilkan arbitraritas makna dan menentukan batas-batas kebenaran. Dengan demikian, representasi menjadi alat yang efektif untuk menegakkan Rezim Kebenaran dalam periode sejarah tertentu.

Bagian IV: Aplikasi Kritis I: Representasi Perbedaan, Ras, dan Stereotip (Bab 4: The Spectacle of the 'Other')

Ras sebagai 'Penanda Mengambang' (Floating Signifier)

Bab 4, yang ditulis oleh Hall, menerapkan sintesis semiotika dan wacana untuk menganalisis representasi perbedaan, khususnya ras, etnisitas, dan seksualitas. Hall berargumen bahwa 'ras' harus dipahami sebagai penanda mengambang (floating signifier). Konsep ini menekankan bahwa perbedaan rasial tidak memiliki petanda yang melekat atau stabil; maknanya bersifat kontingen dan dibentuk oleh pertarungan kuasa kontekstual.

Makna sosial hanya muncul ketika perbedaan-perbedaan ini diorganisir dalam bahasa, wacana, dan sistem makna. Ketidakstabilan dan arbitraritas makna ras inilah yang memaksa kuasa untuk terus berupaya menambatkannya melalui praktik penandaan kultural.

Mekanisme Stereotip dan Oposisi Biner

Stereotip adalah praktik penandaan utama yang digunakan untuk 'memperbaiki' makna di sekitar 'Yang Lain' (The Other). Stereotip mereduksi kelompok minoritas menjadi sejumlah kecil ciri-ciri esensialis, yang berfungsi untuk memvalidasi dan memperkuat hierarki hegemoni dan relasi kuasa yang dominan.

Representasi 'Yang Lain' di dalam budaya populer seringkali dicirikan oleh penggunaan ekstrem biner yang terpolarisasi (misalnya, beradab/primitif, hero/villain, liar/jinak). Hall menggarisbawahi bahwa representasi rasial seringkali terbelah, seperti yang ditunjukkan dalam "mata imperial," di mana citra subjek kulit hitam yang mengancam (sebagai orang biadab) diseimbangkan dengan citra yang menghibur (sebagai pelayan penurut). Kebutuhan untuk mewakili subjek yang berbeda ini sebagai dua hal yang bertentangan secara simultan mencerminkan ambivalensi psikis, ketakutan, dan keinginan yang bermain di dalam praktik representasi.

Politik Representasi dan Dekonstruksi

Karena makna bersifat kontingen dan dikonstruksi, representasi selalu menjadi medan kontestasi. Hall membahas politik representasi, yang bertujuan untuk melawan citra 'negatif'. Namun, Hall memperingatkan bahwa menciptakan anti-stereotip (citra positif yang esensialis) masih merupakan upaya untuk 'memperbaiki' makna, meskipun dalam arah yang berbeda.

Hall menganjurkan strategi yang lebih radikal, yaitu dekonstruksi: masuk ke dalam stereotip dan membukanya dari dalam. Strategi ini mengharuskan pengakuan bahwa subjek yang direpresentasikan tidaklah homogen, tetapi terbagi berdasarkan kelas, gender, seksualitas, dan etnisitas. Mengakui perpecahan internal ini menantang gagasan esensialis tentang subjek hitam yang utuh, yang merupakan langkah penting menuju politik representasi yang lebih efektif.

Bagian V: Aplikasi Kritis II: Studi Kasus Representasi Sosial (Bab 2, 3, 5, 6)

Pendekatan Konstruksionis Hall diuji dan diterapkan melalui berbagai studi kasus, menunjukkan bahwa praktik penandaan melampaui media tradisional.

Representasi Sosial Melalui Fotografi (Peter Hamilton, Bab 2)

Bab 2 membahas bagaimana fotografi humanis pasca-perang di Prancis, yang sering dipandang sebagai genre yang otentik, turut serta dalam mengkonstruksi citra ideal tentang masyarakat Prancis dan identitas nasional (French-ness). Bab ini menegaskan kembali bahwa representasi visual tidak pasif merekam realitas, tetapi secara aktif membentuk konsepsi sosial dan bertindak sebagai media yang mengarahkan pandangan penonton.

Politik Pameran dan Budaya Lain (Henrietta Lidchi, Bab 3)

Henrietta Lidchi memperluas konsep representasi melampaui kata dan citra ke dalam domain objek fisik. Bab 3 menganalisis praktik pameran—penataan dan penyajian artefak dari 'budaya lain' di museum modern. Lidchi berargumen bahwa pameran berfungsi sebagai 'sistem representasi' yang bekerja 'seperti bahasa'. Setiap keputusan kuratorial—memilih objek mana yang akan ditampilkan, dan bagaimana objek tersebut dihubungkan—adalah pilihan representasional yang memiliki konsekuensi. Pilihan-pilihan ini secara inheren terimplikasi dalam relasi kuasa, khususnya antara kurator (yang memamerkan) dan subjek (yang dipamerkan), yang merupakan cara buku ini secara konsisten menghubungkan makna dan kuasa.

Konstruksi Maskulinitas (Sean Nixon, Bab 5)

Bab 5 meneliti bagaimana berbagai wacana, termasuk citra komersial, mode, dan film, telah mengkonstruksi cara-cara 'menjadi' atau 'menampilkan' maskulinitas di berbagai konteks sejarah. Bab ini mengintegrasikan perspektif psikoanalitik ke dalam analisis budaya untuk mengeksplorasi bagaimana fantasi, kekerasan, dan 'keinginan' (desire) berperan dalam praktik representasional, menunjukkan kompleksitas dan ambivalensi yang melekat dalam makna.

Genre, Gender, dan Opera Sabun (Christine Gledhill, Bab 6)

Christine Gledhill menganalisis opera sabun televisi, sebuah genre yang secara tradisional dianggap 'feminin'. Bab ini melihat bagaimana genre dan gender berinteraksi dalam struktur naratif dan bentuk representasional. Meskipun sering dicemooh sebagai hiburan stereotip dan hasil manufaktur ideologis, Gledhill berargumen bahwa opera sabun menyediakan arena diskursif yang penting. Di sini, makna identifikasi maskulin dan feminin dipertarungkan dan berpotensi ditransformasikan oleh ideologi dan konsumsi publik.

Bagian VI: Kesimpulan dan Legasi Intelektual

Sintesis Teoritis dan Kekuatan Analitis

Representation: Cultural Representations and Signifying Practices bukan sekadar pengenalan teori, melainkan sebuah sintesis yang kuat. Stuart Hall berhasil menyatukan logika struktural semiotika Saussure (makna bersifat arbitrer) dengan logika historis dan politis wacana Foucault (kuasa menstabilkan arbitraritas dan menghasilkan pengetahuan). Hasilnya adalah kerangka kerja yang menjelaskan bahwa ketidakstabilan makna—hakikat arbitrer dari tanda—adalah alasan mengapa kuasa harus terus-menerus bekerja untuk 'memperbaiki' dan menambatkan makna tertentu melalui stereotip dan wacana kelembagaan.

Buku ini menawarkan landasan metodologis yang memungkinkan Kajian Budaya menganalisis teks, citra, dan praktik budaya dalam konteks relasi kuasa yang lebih luas, menjauhkan kritik dari studi teks yang superfisial menuju analisis ideologi, bahasa, dan sejarah yang terintegrasi.

Dampak dan Signifikansi Abadi

Publikasi ini merupakan teks penting yang melampaui dan memberikan dasar filosofis bagi model Hall sebelumnya, seperti model Encoding/Decoding. Dengan menyediakan dasar teoretis yang luas, Representation telah menjadi alat penting dalam studi budaya visual, teori media, dan kritik.

Legasi utama buku ini adalah kemampuannya membekali akademisi dan kritikus dengan perangkat analisis untuk tidak hanya mengenali representasi dan stereotip yang bias (terkait ras, gender, dan kelas), tetapi juga untuk memahami mekanisme struktural dan diskursif yang mendalam—kuasa/pengetahuan—yang memungkinkan praktik penandaan tersebut berfungsi dalam masyarakat. Hal ini menegaskan representasi sebagai medan pertarungan politik dan ideologis yang tak terhindarkan dalam produksi budaya kontemporer.

Referensi:

Armytage.net. (n.d.). Race and ethnicity: Culture, identity and representation. Diakses 19 Oktober 2025, dari http://armytage.net/pdsdata/[Stephen_Spencer]_Race_and_Ethnicity_Identity,_Cu(BookFi.org).pdf

Ayo Menulis FISIP UAJY. (2015). Representation: Cultural representations and signifying practices [PDF]. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://ayomenulisfisip.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/08/hall-1997-representation.pdf

Critical Perspectives Toward Cultural and Communication Research. (n.d.). Oxford Research Encyclopedia of Communication. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://oxfordre.com/communication/display/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore-9780190228613-e-175

Epitome Journals. (n.d.). Michel Foucault's concept of power/knowledge discourse: A critical analysis. Epitome: International Journal of Multidisciplinary Research. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.epitomejournals.com/VolumeArticles/FullTextPDF/317_Research_Paper.pdf

Fiveable. (n.d.). Stuart Hall – (Television studies): Vocab, definition, explanations. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://fiveable.me/key-terms/television-studies/stuart-hall

Goodreads. (n.d.). Cultural representations and signifying practices by Stuart Hall. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.goodreads.com/book/show/219848.Representation

Hall, S., Evans, J., & Nixon, S. (Eds.). (2024). Representation: Cultural representations and signifying practices (3rd ed.). London: SAGE Publications Ltd.

Hall, S. (1997). The work of representation. Dalam Representation: Cultural representations and signifying practices (hlm. 13–74). London: SAGE Publications. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.sholetteseminars.com/wp-content/uploads/2021/04/Book-Review-Sample-2.pdf

Hall, S. (2013). Representation [PDF]. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.scribd.com/document/778850837/Representation-Stuart-Hall-2013-1

Hall, S. (n.d.). The spectacle of the “Other”. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://seminar580.files.wordpress.com/2015/04/hall-the-spectacle-of-the-other-pdf.pdf

Hall, S. (n.d.). Foucault: Power, knowledge, and discourse. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://miguelangelmartinez.net/IMG/pdf/1997_hall_foucault-power-knowledge-and-discourse_ch7.pdf

Media Education Foundation. (n.d.). Stuart Hall – Race: The floating signifier (transcript) [PDF]. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.mediaed.org/transcripts/Stuart-Hall-Race-the-Floating-Signifier-Transcript.pdf

Media Studies. (n.d.). Stuart Hall and representation. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://media-studies.com/stuart-hall-representation/

SAGE Publishing. (n.d.). Chapter one: The work of representation. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://uk.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/66880_The_Work_of_Representation.pdf

Sholette Seminars. (2021). The work of representation [PDF]. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.sholetteseminars.com/wp-content/uploads/2021/04/Book-Review-Sample-2.pdf

Stuart Hall (cultural theorist). (n.d.). Wikipedia. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Stuart_Hall_(cultural_theorist)

Stuart Hall – Representation theory. (2019, 12 Juni). Media Studies @ Guilsborough Academy. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://guilsboroughschoolmedia.wordpress.com/2019/06/12/stuart-hall-representation-theory/

Stuart Hall - Representation & stereotypes. (n.d.). bgsmedia. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://bgsmediastudies.weebly.com/uploads/8/9/4/2/894215/stuart_hall_representation_theory.pdf

Stuart-Hall-Race-the-Floating-Signifier-Transcript.pdf. (n.d.). Media Education Foundation. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.mediaed.org/transcripts/Stuart-Hall-Race-the-Floating-Signifier-Transcript.pdf

University of Hawaii System. (n.d.). Untitled [The work of representation – Hall]. Diakses 19 Oktober 2025, dari http://www2.hawaii.edu/~noenoe/hall1.pdf

YouTube. (n.d.). Michel Foucault's conception of discourse as knowledge and power [Video]. Diakses 19 Oktober 2025, dari https://www.youtube.com/watch?v=mb02e2SYdGg

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment