Krisis Epistemologis Ilmu-Ilmu Sosial

Krisis Epistemologis Ilmu-Ilmu Sosial
Epistemologi
Yang dimaksud dengan krisis pengetahuan di sini bukanlah berkurangnya pengetahuan, sebab dewasa ini pengetahuan justru bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Krisis ini lebih menyangkut menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan.

Suatu krisis terjadi bila terjadi peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, cara berpikir yang lama telah ditinggalkan, tetapi cara berpikir yang baru belum seluruhnya terintegrasi dalam diri manusia dengan segenap matranya, sehingga justru menghasilkan keresahan dan kegelisahan yang mendalam akibat belum terbentuknya Weltanschauung yang utuh. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Aufklarung dan akhirnya menemui batas-batasnya sejak permulaan abad ini.

Oleh banyak pemikir abad ini, alam pikir masyarakat Abad Pertengahan dijelaskan memiliki cara berpikir yang secara kualitatif berbeda dari masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia objektif yang berdiri lepas dari subjek yang berpikir. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, kenyataan tertinggi yang lepas dari dunia material ini, dan semacamnya. Keyakinan semacam ini dalam istilah filsafat terangkum dalam kata metafisika. Dalam bidang religius keyakinan atas kenyataan metafisis ini kemudian terungkap dalam istilah-istilah, seperti surga, neraka, setan, Allah, dan seterusnya. Cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan ini dapat dicirikan dengan penekanan pada kutub objek pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap aktivitas kesadaran selalu ada dua kutub, yaitu kutub subjek yang mengetahui, dalam hal ini orang yang mengetahui, dan kutub objek yang diketahui atau realitas. Dengan penekanan pada objek, cara berpikir Abad Pertengahan mengabaikan peranan subjek, yaitu bahwa subjek mampu membentuk realitas dengan penafsirannya, bahwa tatanan dunia objektif yang mereka yakini dan mereka pikirkan itu sedikit banyak dibentuk oleh pikiran mereka sendiri.

Proses modernisasi banyak didorong oleh faktor-faktor empiris, seperti munculnya sistem ekonomi baru (kapitalisme), penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, munculnya negara-negara nasional yang memisahkan diri dari Gereja, telah menumbangkan bukan hanya sistem sosial yang menjaga keutuhan masyarakat, melainkan juga meruntuhkan sedikit demi sedikit tatanan objektif dalam Weltanschauung masyarakat itu. Sosok Rene Descartes dalam filsafat adalah juru bicara keruntuhan Abad Pertengahan itu. Semua makna dunia objektif tradisional dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sehingga sampailah Descartes pada keyakinan yang tak tergoyahkan dan bersifat pasti, yaitu je pense done je suis (aku berpikir maka aku ada). Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah peranan mutlak subjek dalam membentuk realitas, maka dalam sejarah epistemologi, filsuf ini telah menggerakkan pendulum dari kutub objek ke subjek. Subjeklah yang membangun dan menciptakan realitas yang diketahui itu sehingga ada.

Pergeseran pendulum epistemologis dari objek ke subjek ini berkembang penuh dalam zaman rasionalistis filsafat Prancis dan Jerman dari Descartes, melewati Leibniz sampai pada Kant di satu pihak, tetapi juga dalam tradisi Anglo-Saxon yang epistemologinya lebih berorientasi psikologis, seperti tampak dalam filsafat Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume di lain pihak. Arus modernisasi telah membawa suatu keyakinan bahwa lebih sahihlah menyelidiki kondisi-kondisi pikiran manusia sendiri (subjek) daripada memperdebatkan tak habis-habisnya masalah ada tidaknya Allah, kebenaran, kebebasan, kenyataan tertinggi (objek). Adalah jasa Kant yang bukan hanya meradikalkan penekanan Descartes atas subjek, melainkan juga memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia. Penemuan batas-batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa meneliti subjek adalah lebih mungkin daripada meneliti objek. Kemudian, batas-batas kemampuan pengetahuan itu oleh Kant, dan kemudian dianut para filsuf setelahnya, ditemukan pada kenyataan indriawi yang terlihat dan terjamah. Kita tak tahu apa-apa tentang sesuatu di balik tabir kenyataan indriawi, atau apa yang disebut Kant das Ding an sich (kenyataan pada dirinya).

Pada zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi mulai memasuki zaman keemasannya dan epistemologi Kant, dalam Kritik der reinen Vernunft, memperkokoh ilmu-ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin tentang kenyataan. Sudah mulai dalam filsafat Kant, ilmu-ilmu alam menjadi asumsi normatif implisit dalam epistemologi. Meski demikian, Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti etika dan estetika. Juga Kant masih merefleksikan subjek dan ini berarti bahwa epistemologi atau penelitian atas subjek pengetahuan masih dilakukan. Akan tetapi, trend untuk meletakan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah ilmu pengetahuan. Memuncak pada positivisme Comte, pengetahuan indriawi, khususnya yang terwujud dalam ilmu-ilmu alam, bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan. Dalam kata positif bukan hanya termuat prinsip normatif pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak usaha untuk penghancuran subjek yang berpikir dengan prinsip keras pengetahuan kita peroleh dengan menyalin fakta objektif. Dengan demikian dalam positivisme, pendulum epistemologi bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang sekarang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek indriawi (bukan objek spekulatif sebagaimana tampil dalam Abad Pertengahan).

Akan tetapi, pergeseran ke pihak objek ini sekarang bukanlah sekedar pergeseran tekanan yang masih menerima peranan subjek, melainkan justru menghapus subjek dan pada akhirnya menyudahi epistemologi sendiri. Apa yang kemudian lahir dari krisis epistemologi ini adalah filsafat ilmu pengetahuan (philosphy of science) yang memusatkan diri pada penelitian epistemologis. Dalam dunia intelektual, tendensi yang kemudian menjadi dianut secara berlebih-lebihan adalah objektivisme. Objektivisme bukan hanya tidak mengakui peranan subjek (yang berarti subjek hanya menyalin fakta objektif), melainkan juga mengosongkan apa-apa saja dalam diri subjek sedemikian rupa sehingga menjadi fungsi-fungsi objektif dan mekanis. Dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris, konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermiskin sampai menjadi fungsi-fungsi dari suatu sistem objektif yang lebih luas. Demikian pula dalam ilmu-ilmu yang menyangkut manusia, manusia diobservasi pada permukaan objektifnya lalu apa-apa yang ditemukan dalam dimensi objektif manusia digeneralisasikan ke dalam dimensi subjektifnya pula.

Krisis pengetahuan ini tidak hanya mereduksi manusia ke matra objektifnya, tetapi karena terjadi fragmentasi ilmu-ilmu, terjadi juga fragmentasi kenyataan yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan tentang manusia. Kehancuran tatanan dunia objektif Abad Pertengahan dan Weltanschauungnya, melahirkan banyak pandangan dunia yang saling bersaing dalam taraf kehidupan sosial-politis. Lalu, apa yang mengajukan diri sebagai alternatif untuk menjadi pandangan dunia total manusia modern yang akan menyatukan berbagai bidang kenyataan yang menjadi pecah berkeping-keping karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta berbagai spesialisasinya ini tak lain adalah positivisme. Positivisme memiliki pretensi untuk membangun kembali tatanan objektif baru yang didasarkan bukan pada metafisika, melainkan pada metode ilmu-ilmu alam; positivisme menjadi saintisme. Saintifikasi berbagai bidang kehidupan mengimplikasikan teknologisasi berbagai bidang hidup dan akhirnya mereduksi manusia pada matra objektifnya. Tendensi real masyarakat modern ini lebih merupakan krisis karena usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia, sampai akhirnya menginstrumentalisasikan manusia. Pandangan dunia total saintisme bukannya menyatukan, melainkan memecah belah manusia sampai pada akar-akar integritasnya. Oleh karena itu, krisis pengetahuan adalah krisis kemanusiaan yang pada gilirannya menuntut penyelesaian melalui metodologi ilmu-ilmu pengetahuan sendiri.


Ket. klik warna biru untuk link

Download

Positivisme dalam Ilmu-Ilmu Sosial
 

Baca Juga
1. Rene Descartes, Biografi, Pemikiran dan Karya
2. Leibniz, Biografi, Pemikiran, dan Karya
3. Immanuel Kant, Biografi, Pemikiran, dan Karya
4. Thomas Hobbes, Biografi, Pemikiran, dan Karya
5. John Locke, Biografi, Pemikiran, dan Karya
6. Auguste Comte, Biografi, Pemikiran, dan Karya

Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Krisis Epistemologis Ilmu-Ilmu Sosial"