Positivisme dalam Ilmu-Ilmu Sosial
Table of Contents
Positivisme Auguste Comte |
Dari keterangan Comte itu jelas bahwa positivisme melontarkan kritik metodologi terhadap suatu bentuk pengetahuan sistematis yang berkembang subur dalam Abad Pertengahan, yaitu metafisika. Kritik semacam itu sudah pernah dilontarkan oleh Kant dalam Kritik der reinen Vernunft yang menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis tak dapat dibuktikan secara indriawi. Akan tetapi, baru dalam positivisme, kritik metodologis itu telah sungguh-sungguh memisahkan ilmu pengetahuan dari metafisika dan filsafat. Dengan memberi patok-patok yang faktual pada pengetahuan, positivisme mendasari ilmu-ilmu pengetahuan tentang fakta objektif. Jika faktanya adalah gejala kehidupan material, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu benda-benda mati, ilmunya fisika. Demikian juga banyak bidang kehidupan lain yang dapat menjadi objek observasi empiris yang rigorous menjadi ilmu pengetahuan.
Antinomi-antinomi yang dibuat Comte di atas kemudian dapat diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut.
1) Semua ilmu pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif (le reel)
2) Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode (la certitude)
3) Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum (le precis)
4) Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial... kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan hanya dengan mengakui asas-asas rasionalis, bukan melalui perluasan buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori (l’utile)
5) Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat relatif dan semangat positif (le relative)
Apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Comte yang juga bapak pendiri sosiologi modern sudah merintis penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial yang disebutnya sosiologi ini. Tujuannya bersifat praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat, mengadakan susunan masyarakat lebih sempurna. Dalam semboyan positivisme savoir pour prevoir (mengetahui untuk meramalkan) terkandung intensi untuk menciptakan rekayasa masyarakat (social-engineering), dalam sosiologi.
Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif yang mencapai puncaknya dalam sosiologi, ilmu ilmiah yang menguasai segenap bidang kehidupan manusia diteruskan dalam abad ke-20 ini oleh Lingkungan Wina, dengan pendiri-pendirinya yang dikenal sebagai positivisme logis, neo-positiviem, atau empirisme logis yang dapat disingkatkan sebagai berikut:
1) Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
2) Menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasikan secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense
3) Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Einheitswissenschaft/Unified Science)
4) Memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan
Ambisi positivisme untuk memadukan semua ilmu pengetahuan menjadi satu tampil dalam pernyataan seorang anggota kelompok cendekiawan ini, Victor Kraft, berikut ini. Membangun kesatuan pengetahuan merupakan tugas sejarah dari filsafat. Demikian pula Lingkungan Wina tidak melupakan tugas itu. Orang tidak dapat diam-diam menyetujui suatu kesejajaran dari sistem-sistem konseptual dari fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu historis, seolah-olah ilmu-ilmu itu tak dapat dibandingkan satu sama lain, dan seolah-olah dalam tiap-tiap ilmu-ilmu itu diucapkan bahasa yang berlainan satu sama lain... hukum-hukum dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu khusus itu seharusnya termasuk di dalam satu sistem tunggal, tak dapat begitu saja bersesuaian tanpa kaitan. Keduanya harus membentuk ilmu pengetahuan terpadu dengan sistem konseptual (satu bahasa bagi segala ilmu pengetahuan).
Kalau positivisme menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, pandangan ini beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiga asumsi positivistis ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony Giddens dijelaskan sebagai berikut.
1) Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak, tidak mengganggu objek observasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah
2) Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam
3) Ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas-nilai (value-free).
Positivisme dalam ilmu-ilmu sosial yang telah dijelaskan dalam beberapa alinea di atas bukanlah persoalan yang sederhana dan menyangkut usaha pencarian metodologis yang tepat bagi ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat. Sementara ilmu-ilmu alam mengalami kemajuan linear lewat metodologi dan operasionalisasinya yang berhasil dalam teknologi modern, ilmu-ilmu sosial terus menelusuri kegelapan kenyataan sosial untuk menemukan metodologi yang layak sekaligus ketat untuk mengetahui kenyataan sosial. Prestasi yang dicapai ilmu-ilmu itu telah mendorong para teoretikus sosial untuk menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial.
Apa yang kemudian menjadi masalah yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu-ilmu sosial adalah soal objek observasinya yang berbeda dari objek ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Berbeda dari proses-proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tak dapat begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis. Masih banyak pembedaan lain yang harus dilakukan agar masyarakat tidak begitu saja diperlakukan sebagai alam. Tanpa pembedaan radikal atas objeknya, positivisme pada taraf metodologis telah merancang kontrol atas masyarakat menurut kontrol atas alam.
Seorang teoretikus sosial Jerman terkemuka dewasa ini, Jurgen Habermas, menunjukkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam (Verfugungswissen) pada masyarakat yang selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif untuk saling pemahaman intersubjektif (Reflexionswissen). Oleh karena hakikat ilmu pengetahuan tampak dari aplikasinya, positivisme pada taraf metodologis ini akan menghasilkan teknologi sosial pada taraf sosial, dan teknologi sosial pada gilirannya menjadi determinasi sosial dan dominasi (Herschafft). Di dalam sebuah teknokrasi total, peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’ disingkirkan. Yang terjadi di sini adalah objektivisme: subjek hanya bertugas menyalin fakta objektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut mekanisme yang objektif.
Ket. klik warna biru untuk link
Download
Metode untuk Ilmu-Ilmu Sosial
Baca Juga
1. Auguste Comte, Biografi, Pemikiran, dan Karya
2. Immanuel Kant, Biografi, Pemikiran, dan Karya
3. Jurgen Habermas, Biografi, Pemikiran, dan Karya
4. Anthony Giddens, Biografi, Pemikiran, dan Karya
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Post a Comment