Kritik Akal Budi Postkolonial Gayatri Spivak (1999): Makna, Analisis, dan Relevansi dalam Kajian Poskolonial
Pendahuluan: Kritik Diri, Dekonstruksi, dan Jalan ke Globalitas
Latar Belakang Intelektual dan Konteks A Critique of Postcolonial Reason (ACPR)
A Critique of Postcolonial Reason (ACPR) merupakan intervensi besar yang menantang bidang studi postkolonial itu sendiri—bidang yang telah ia definisikan. Tujuan utama buku ini adalah untuk secara ketat menganalisis dan menantang asumsi-asumsi dasar, narasi, dan epistemologi yang mendukung teori postkolonial. Spivak secara konsisten memusatkan perhatian pada logika imperialisme yang membentuk teks dan wacana Barat, termasuk di dalam beasiswa feminis Barat.
Spivak menyusun kritiknya dalam empat bagian besar—Filosofi, Literatur, Sejarah, dan Budaya—dengan sebuah Apendiks yang didedikasikan untuk peran dekonstruksi. Melalui struktur ini, Spivak berusaha memetakan kemajuannya dari studi diskursus kolonial menuju studi budaya transnasional.
Tesis Sentral: Menata Ulang Akal Budi Postkolonial
Tesis sentral ACPR adalah bahwa Akal Budi Postkolonial, jika tidak dikritik secara memadai, berisiko mengulang hirarki kolonial. Kritikus seperti Walter Mignolo mencerminkan pandangan bahwa Akal Budi Postkolonial dapat mereproduksi hierarki kolonial dengan mengandalkan gagasan Barat tentang kemajuan dan modernitas, sekaligus meminggirkan epistemologi lain. Oleh karena itu, Spivak menyerukan konfigurasi ulang Akal Budi Postkolonial yang lebih inklusif, kritis, dan reflektif. Hal ini penting untuk menantang narasi dominan dan menangani kompleksitas realitas kontemporer.
Sebuah figur sentral yang ditelusuri di seluruh buku adalah Native Informant (Informan Pribumi). Figur ini ditemukan oleh berbagai disiplin ilmu humaniora. Native Informant berfungsi sebagai agen yang dipaksa atau instrumen, bukan sebagai subjek yang berbicara, dan perannya adalah untuk menegaskan pengetahuan Barat, alih-alih memberikannya validitas otonom. Spivak menunjukkan bagaimana figur ini merupakan batas representasi liberal dan kritik kolonial, yang pada akhirnya muncul sebagai hibrida metropolitan.
Subjudul: "Toward a History of the Vanishing Present"
Subjudul ini mengaitkan kritik filosofis dan historis Spivak dengan urgensi globality dan kapitalisme global kontemporer. Istilah Vanishing Present (Masa Kini yang Menghilang) mengacu pada kenyataan material yang cepat berubah, yang didorong oleh hegemoni ekonomi global dan neoliberalisme.
Perpindahan fokus ini merupakan pernyataan metodologis bahwa kritik postkolonial harus melampaui analisis diskursus kolonial di masa lalu untuk secara langsung menganalisis materialitas global saat ini dan struktur ekonomi yang menopang ketidakadilan. ACPR menunjukkan bahwa menata ulang Akal Budi Postkolonial berarti mengarahkan kritik menuju pertimbangan globality dan studi budaya transnasional.
Tabel 1: Kerangka Konseptual Kunci dalam A Critique of Postcolonial Reason
Bagian I: Filsafat—Foreclosure Subjek Kolonial dalam Arsitektonik Barat (Bab 1)
Bab pertama ACPR mengembangkan kritik yang berkelanjutan terhadap Akal Budi Pencerahan, yang diwakili oleh ‘Tiga Orang Bijak Eropa Kontinental’ (Three Wise Men of Continental Europe): Kant, Hegel, dan Marx. Kritik Spivak bukan sekadar penolakan, tetapi pembacaan ketat untuk melacak jejak imperialisme di dalam fondasi pemikiran Barat, bahkan di tempat yang paling abstrak, seperti analitik Sublime.
Dekonstruksi Kant dan Sublime Imperial
Spivak memberikan kritik mendalam terhadap Critique of Judgement karya Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa meskipun penghakiman estetika, khususnya Sublime dalam alam, membutuhkan kultivasi (culture), hal itu tidak semata-mata dihasilkan oleh budaya. Sublime, sebagai fakultas manusia modern yang tercerahkan, menjadi fondasi bagi Akal Budi dan subjektivitas humanis.
Analisis krusial Spivak menunjukkan bagaimana pendirian Sublime ini didasarkan pada pengusiran subjek pribumi yang tidak diakui. Kant secara eksplisit mengecualikan figur raw man (manusia mentah) dari New Holland dan Tierra del Fuego dari kemampuan mengalami Sublime. Manusia mentah ini dianggap tetap berada dalam jurang ketakutan, terikat pada pengalaman alam yang luar biasa, dan tidak mampu bangkit pada kesadaran supersensibel dalam diri mereka sendiri, karena mereka kekurangan 'gagasan moral' kultural. Akibatnya, mereka hanya mengalami Sublime sebagai sesuatu yang mengerikan.
Spivak berpendapat bahwa pengecualian subjek primitif ini adalah tindakan pengusiran yang tak terhindarkan dan tidak diakui (unrecognized expulsion) yang menjadi syarat pendirian Akal Budi Barat. Tindakan pengusiran ini, yang Spivak sebut sebagai original commission of imperialism, sangat penting untuk operasi teks Kant, sehingga Akal Budi yang muncul dari arsitektonik Kantian adalah Akal Budi yang secara inheren imperial.
Foreclosure Filosofis dan Kekerasan Epistemik
Spivak melanjutkan kritik ini dengan menelusuri bagaimana Hegel dan Marx—terlepas dari kritik internal mereka terhadap Akal Budi Pencerahan—berisiko memperkuat peminggiran atau foreclosure subjek non-Barat, yang terwujud dalam mode native informant.
Pengecualian filosofis 'Raw Man' oleh Kant secara kausal menegakkan klaim universalitas Akal Budi Barat dan humanisme. Universalitas yang palsu ini menjadi fondasi yang membenarkan penindasan dan peniadaan epistemologi non-Barat, suatu proses yang didefinisikan Spivak sebagai Kekerasan Epistemik.
Namun, Spivak menekankan bahwa kritik ini harus disertai dengan pengakuan atas komplikasi (complicity) intelektual. Intelektual postkolonial, yang beroperasi dalam kerangka wacana Barat, harus menyadari bahwa "lumpur yang kita lempar pada nenek moyang yang tampak sombong seperti Marx dan Kant mungkin adalah tanah tempat kita berdiri". Kritik diri yang ketat ini berfungsi sebagai syarat metodologis untuk etika postkolonial yang bertanggung jawab.
Bagian II: Literatur—Rekonstruksi Subjek Kolonial dalam Kritik Sastra (Bab 2)
Bab kedua mengalihkan fokus dari filsafat abstrak ke analisis representasi dalam kritik sastra, menyelidiki bagaimana kekuasaan dan pengetahuan membentuk narasi yang memperkuat hirarki kolonial.
Kritik terhadap Realisme Representasional
Spivak secara khusus menargetkan representationalist realism dalam kritik sastra postkolonial yang cenderung mengklaim representasi langsung subjek kolonial. Bentuk kritik ini, seringkali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Deleuze, yang menyatakan "Realitas adalah apa yang sebenarnya terjadi di pabrik, di sekolah, di barak, di penjara", berisiko menempatkan subjek kolonial sebagai instrumen naratif.
Spivak menganggap klaim representasi 'realitas' secara langsung tanpa kritik ideologis yang ketat sebagai ventriloquism (mengucapkan suara orang lain) yang meminggirkan kebutuhan tugas kontr-hegemonik yang sulit. Kegagalan kritik sastra untuk bergerak melampaui "penggantian naratif" (hanya menceritakan kembali kisah subjek kolonial tanpa mengkritik struktur epistemik yang mendasarinya) menandai batas studi diskursus kolonial.
Dekonstruksi dan Batasan Intervensi Politik
Bab ini sering dibaca bersama dengan Apendiks ("The Setting to Work of Deconstruction"). Spivak, yang sangat dipengaruhi oleh Derrida, membawa dekonstruksi dan teori postkolonial ke dalam perjumpaan. Namun, ia juga menunjukkan keterbatasan dekonstruksi dalam menghadapi politik dominasi.
Spivak mencatat bahwa karena dekonstruksi melibatkan pergeseran tak terbatas dari oposisi biner (bukan pembalikan diam-diam), kritikus postkolonial yang mengarah pada transformasi sosial atau revolusi yang substantif mendapati dirinya memiliki "kekuatan yang tidak memadai". Hal ini menunjukkan bahwa kritik tekstual mencapai titik batasnya, yang memperkuat perlunya pergeseran metodologis ke Budaya Transnasional (Bab 4) untuk menangani isu-isu material yang nyata di luar tekstualitas belaka.
Bagian III: Sejarah—Kekerasan Epistemik dan Keheningan Subaltern (Bab 3)
Bab Sejarah, yang mencakup versi revisi dari esai "Can the Subaltern Speak?", berfungsi sebagai inti dari kritik Spivak terhadap representasi dan historiografi kolonial. Bab ini memfokuskan pada pengalaman subaltern, khususnya wanita, dan mendefinisikan epistemic violence.
Kekerasan Epistemik dan Subalternitas
Kekerasan Epistemik didefinisikan sebagai penggunaan pengetahuan—epistemologi—Barat untuk membenarkan dominasi politik dan kultural atas non-Barat. Kekerasan ini beroperasi dengan menyingkirkan subaltern dari wacana pengetahuan yang valid, sehingga mencegah munculnya kesadaran diri subjek kolonial.
Subaltern adalah kelompok terpinggirkan yang berada di luar struktur kekuasaan dominan. Spivak berpendapat bahwa suara subaltern tidak dapat direpresentasikan secara murni, melainkan hanya dapat diakses melalui filter kekuasaan yang ada. Hal ini selaras dengan ide Edward Said tentang 'keterasingan' (otherness) dalam Orientalism, yang menekankan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan dalam membentuk pandangan Eropa.
Contoh Faktual: Sati dan Kegagalan Komunikasi
Spivak menggunakan dua contoh faktual untuk mengilustrasikan krisis representasi ini.
1. Kasus Sati: Spivak menggunakan pelarangan Sati (pembakaran janda) oleh Inggris. Narasi kolonial mengonstruksi tindakan ini sebagai "White men saving brown women from brown men". Spivak menunjukkan bahwa dalam proses ini, suara dan agensi wanita yang melakukan Sati—baik karena paksaan maupun pilihan dalam konteks budaya yang rumit—benar-benar hilang, tereduksi menjadi bidak dalam persaingan antara hukum kolonial dan hukum patriarki Hindu.
2. Bunuh Diri Bhubaneswari Bhaduri (1926): Spivak menceritakan kisah seorang wanita subaltern, Bhubaneswari Bhaduri, yang gantung diri di Calcutta. Dia sengaja menunggu hingga menstruasi untuk membuktikan bahwa tindakannya bukan didorong oleh 'gairah terlarang' atau kehamilan. Tindakan ini, dan kasus Rani Gulari, menunjukkan upaya subaltern untuk 'berbicara melintasi kematian' dengan menjadikan tubuhnya sebagai teks yang ditulis (rendering her body graphematic).
Namun, upaya komunikasi yang radikal ini gagal total. Niat Bhubaneswari disalahpahami dan diinterpretasikan ulang sebagai "cinta terlarang" (illicit love) oleh wacana yang berkuasa (dalam hal ini, anggota keluarganya). Kontemplasi Spivak atas "kegagalan komunikasi" yang radikal inilah yang membuatnya menulis "dalam aksen ratapan yang penuh gairah: subaltern tidak dapat berbicara!".
Kegagalan ini menunjukkan bahwa keheningan subaltern bukanlah ketiadaan suara mutlak, melainkan kegagalan untuk menghasilkan efek wacana yang memadai di dalam diskursus hegemoni. Figur seperti Rani Gulari, yang hanya muncul di arsip sebagai instrumen kolonialisme kapital, menegaskan asimetri radikal dalam representasi. Hal ini menggarisbawahi mengapa Spivak menolak gagasan Third World interloper as the pure victim of a colonialist oppressor, karena fokus pada "victimhood murni" mengabaikan kompleksitas agensi yang tereduksi dan kegagalan komunikatif.
Bagian IV: Budaya—Kritik Transnasional dan Globality Kontemporer (Bab 4)
Bab terakhir ini mengukuhkan pergeseran metodologis Spivak dan menetapkan arah baru bagi kritik postkolonial, yaitu dari studi diskursus kolonial menuju Studi Budaya Transnasional (transnational cultural studies).
Dari Diskursus Kolonial ke Globality
Spivak mendefinisikan kembali peran kritikus postkolonial dengan mendorongnya menuju pertimbangan globality. Kritik harus secara eksplisit berfokus pada kapitalisme global, pembagian kerja internasional, dan hegemoni catachresis—istilah yang digunakan tanpa acuan yang jelas—seperti "woman" atau "Africa," yang menyamarkan status struktural yang heterogen.
Perpindahan fokus ini menghubungkan teori tinggi dengan materialitas kontemporer. Contoh faktual yang disajikan sangat tajam: Spivak menghubungkan analitik Sublime Kant (analisis filosofis abstrak) dengan masalah buruh anak di Bangladesh saat ini. Keterkaitan ini melacak bagaimana foreclosure filosofis di Barat (penyingkiran 'Raw Man') menemukan konsekuensi ekonomi materialnya yang berkelanjutan dalam eksploitasi di Selatan Global.
Etika Komplikasi dan Literasi Transnasional
Tanggung jawab etis transnasional adalah inti dari kritik ini. Spivak menyerukan kritik yang self-conscious, self-aware, self-deprecating. Intelektual dituntut untuk terlibat dalam 'penggalian yang gigih' (persistent dredging) untuk mengakui komplikasi mereka sendiri dalam sistem yang mereka kritik. Pengakuan komplikasi ini, yang berbeda dari "rasa malu yang benar sendiri" (constant self-righteous shaming), adalah dasar metodologi politik Spivak, yang menuntut tanggung jawab produktif atas posisi kritis seseorang.
Sebagai disiplin etis, Spivak menganjurkan transnational cultural literacy. Hal ini mencakup kebutuhan untuk "belajar untuk belajar dari subaltern" (learn to learn from the subaltern). Proses ini memerlukan kesabaran dan kemauan untuk mempelajari bahasa subaltern sebagai active cultural media, bukan hanya sebagai instrumen untuk representasi.
Perjuangan untuk merumuskan agensi intelektual yang bertanggung jawab ini terlihat jelas dalam debat Spivak dengan kritikus seperti Benita Parry. Ketika Parry mengkritik Spivak karena tidak dapat 'mendengarkan penduduk asli', Spivak membalas dengan menunjukkan bahwa intelektual postkolonial yang bermigrasi, seperti dirinya, juga adalah 'pribumi' (native). Debat ini menyoroti posisi rumit seorang kritikus elit yang harus beroperasi dalam kerangka Barat sambil melakukan kritik radikal, dan perlunya kritik transnasional untuk melampaui kritik berbasis identitas yang sederhana.
Kesimpulan: Menata Ulang Akal Budi dan Tanggung Jawab Etis
A Critique of Postcolonial Reason adalah salah satu karya teori yang paling ketat dan penting, memberikan pembacaan yang komprehensif terhadap diskursus imperialisme, mulai dari kritik mendasar terhadap filsafat hingga analisis ekonomi global. Kontribusi utamanya adalah penyingkapan foreclosures yang tersembunyi dalam Akal Budi Barat dan penekanan pada kekerasan epistemik sebagai bentuk penindasan yang lebih dalam daripada eksploitasi material semata.
Buku ini menantang universalitas filsafat Barat dan menganjurkan dekolonisasi pengetahuan melalui pengakuan kerangka epistemik yang beragam. Spivak menyerukan refleksi kritis dan dialog yang berkelanjutan (ongoing critical reflection and dialogue) untuk mengatasi batasan kerangka kerja yang ada dan berjuang untuk pemahaman yang lebih bernuansa dan inklusif mengenai dinamika postkolonial. Pada akhirnya, ACPR mereposisi kritikus postkolonial, mendesak pergeseran dari sekadar studi diskursus menuju upaya etis transnasional untuk memahami dan melawan ketidakadilan material dalam konteks globalitas.
Tabel 2: Struktur Buku Spivak dan Intervensi Disipliner
A Critique Of Postcolonial Reason - about.openlibhums.org. (2025, Desember 2). about.openlibhums.org. https://about.openlibhums.org/_pdfs/book-search/dur5PF/A_Critique_Of_Postcolonial_Reason.pdf
A Critique of Postcolonial Reason - Harvard University Press. (2025, Desember 2). Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/books/9780674177642
A Critique of Postcolonial Reason - Labyrinth Books. (2025, Desember 2). Labyrinth Books.
https://www.labyrinthbooks.com/a-critique-of-postcolonial-reason/
A Critique of Postcolonial Reason - UIC Institute for the Humanities. (2025, Desember 2). UIC Institute for the Humanities.
https://huminst.uic.edu/wp-content/uploads/sites/412/2021/02/06_Spivak.Critique.pdf
A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present by Gayatri Chakravorty Spivak | eBook | Barnes & Noble®. (2025, Desember 2). Barnes & Noble.
https://www.barnesandnoble.com/w/a-critique-of-postcolonial-reason-gayatri-chakravorty-spivak/1101975772
A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present - Gayatri Chakravorty Spivak - Google Books. (2025, Desember 2). Google Books.
https://books.google.com/books/about/A_Critique_of_Postcolonial_Reason.html?id=m2UIBAAAQBAJ
A Critique Of Postcolonial Reason - UCLA. (2025, Desember 2). UCLA.
https://aichat.physics.ucla.edu/index.jsp/browse/UsNTO3/A%20Critique%20Of%20Postcolonial%20Reason.pdf
Can ‘The Subaltern’ Be Read? (2025, Desember 2). GAPS – Association for Anglophone Postcolonial Studies.
https://g-a-p-s.net/wp-content/uploads/2019/02/Acolit-Sonderheft2.pdf
Deconstruction - Postcolonial Web. (2025, Desember 2). Postcolonial Web.
https://www.postcolonialweb.org/poldiscourse/spivak/deconstruction.html
Deconstruction in Postcolonial Critique | PDF | Deconstruction | Jacques Derrida - Scribd. (2025, Desember 2). Scribd.
https://www.scribd.com/document/179223064/Critique-Complicity-Responsibility-Hentrup-doc
Feminism in/and postcolonialism (Chapter 11) - The Cambridge Companion to Postcolonial Literary Studies. (2025, Desember 2). Cambridge University Press.
https://www.cambridge.org/core/books/cambridge-companion-to-postcolonial-literary-studies/feminism-inand-postcolonialism/B019E305DEA6D145BED23F40FB14BF30
Gayatri Chakravorty Spivak: Relevance for Communication Studies - Oxford Research Encyclopedias. (2025, Desember 2). Oxford Research Encyclopedia of Communication.
https://oxfordre.com/communication/display/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore-9780190228613-e-600
Gayatri Spivak. (2025, Desember 2). Università di Roma Tor Vergata.
https://economia.uniroma2.it/ba/globalgovernance/corso/asset/YTo0OntzOjI6ImlkIjtzOjQ6IjEwNjAiO3M6MzoiaWRhIjtzOjU6IjU5NjU1IjtzOjI6ImVtIjtOO3M6MToiYyI7czo1OiJmOTExOCI7fQ==
Gayatri Spivak: Ethics, Subalternity and the Critique of Postcolonial Reason | Wiley. (2025, Desember 2). Wiley.
https://www.wiley.com/en-us/Gayatri+Spivak%3A+Ethics%2C+Subalternity+and+the+Critique+of+Postcolonial+Reason-p-9780745632858
Gayatri Spivak: ethics, subalternity and the critique of postcolonial reason - ePrints Soton. (2025, Desember 2). University of Southampton ePrints.
https://eprints.soton.ac.uk/47999/
Kant's ‘raw man’ and the miming of primitivism: Spivak’s Critique of Postcolonial Reason. (2001). Radical Philosophy. Diakses 2 Desember 2025.
https://www.radicalphilosophy.com/article/kants-raw-man-and-the-miming-of-primitivism
Key Theories of Gayatri Spivak. (2025, Desember 2). Literariness.
https://literariness.org/2017/04/07/key-theories-of-gayatri-spivak/
Postcolonial critique of reason: Spivak between Kant and Matilal - Deakin University. (2025, Desember 2). Deakin Research Online.
https://dro.deakin.edu.au/articles/journal_contribution/Postcolonial_critique_of_reason_Spivak_between_Kant_and_Matilal/20531388
Postcolonial Reading - Postmodern Culture. (2025, Desember 2). Postmodern Culture.
https://www.pomoculture.org/2013/09/19/postcolonial-reading/
Spivak, G. C. (1999). A critique of postcolonial reason: Toward a history of the vanishing present. Harvard University Press.
Summary of A Critique of Postcolonial Reason by Gayatri Chakravorty Spivak – YouTube. (2025, Desember 2). YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=jimnaXGkDW0
The Ethnographic Sublime. (2025, Desember 2). The University of Chicago Press Journals.
https://www.journals.uchicago.edu/doi/pdfplus/10.1086/RESv47n1ms20167669
What does Spivak mean by “epistemic violence” in her paper ‘Can the Subaltern Speak’? – History Stack Exchange. (2025, Desember 2). StackExchange.
https://history.stackexchange.com/questions/12423/what-does-spivak-mean-by-epistemic-violence-in-her-paper-can-the-subaltern-sp
Young, R. (n.d.). Robert Young and the ironic authority of postcolonial criticism. Manchester Hive. Diakses 2 Desember 2025.
https://www.manchesterhive.com/display/9781526137579/9781526137579.00015.pdf
%20karya%20Gayatri%20Chakravorty%20Spivak.png)


Post a Comment