Dramaturgi Kekuasaan di Ruang Pendidikan: Analisis Framing Media atas Kasus Penamparan Siswa oleh Kepala Sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak

Table of Contents

Dramaturgi Kekuasaan di Ruang Pendidikan: Analisis Framing Media atas Kasus Penamparan Siswa oleh Kepala Sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak
I. Pendahuluan dan Kontekstualisasi Teoretis

1.1 Latar Belakang Konflik Otoritas Pendidikan di SMAN 1 Cimarga

Insiden kekerasan yang melibatkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, Dini Pitria, dan seorang siswa berinisial ILP (17), menandai lebih dari sekadar kasus pelanggaran disiplin. Kasus ini, yang dipicu oleh siswa ketahuan merokok di lingkungan sekolah pada Oktober 2025, segera meluas menjadi krisis legitimasi otoritas yang bersifat publik dan institusional. Kepala sekolah mengakui menampar siswa tersebut, meskipun mengklaim tindakannya hanya "memukul pelan". Namun, klaim ini dikontradiksi oleh laporan orang tua korban ke Polres Lebak atas dugaan penganiayaan, yang mengindikasikan adanya kekerasan fisik yang tidak dapat diterima, termasuk dugaan penendangan.

Peristiwa ini segera memicu reaksi kolektif, termasuk aksi mogok belajar yang dilakukan oleh ratusan siswa SMAN 1 Cimarga, yang memprotes tindakan kepala sekolah. Insiden ini kemudian menarik perhatian otoritas tingkat tinggi, yang berpuncak pada rencana penonaktifan Kepala Sekolah oleh Gubernur Banten, Andra Soni. Kompleksitas kasus ini—mulai dari tindakan kekerasan, respons publik, hingga intervensi negara—menjadikannya subjek yang kaya untuk dianalisis melalui lensa sosiologi mikro dan makro.

1.2 Rasionalisasi Integrasi Dramaturgi Goffman dan Analisis Framing Media

Judul penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa kasus SMAN 1 Cimarga adalah sebuah "laboratorium sosial" yang ideal untuk mengamati siklus performa kekuasaan, kegagalan, dan konstruksi ulang narasi publik.
Pertama, Dramaturgi Kekuasaan (Goffman) memberikan kerangka kerja mikro-sosiologis untuk membedah interaksi antara Kepala Sekolah (aktor) dan siswa (audiens) di ruang kelas atau lingkungan sekolah (Panggung Depan). Analisis ini fokus pada bagaimana upaya Kepala Sekolah untuk menegaskan kembali otoritas melalui tindakan fisik (kekerasan) merupakan kegagalan manajemen kesan yang destruktif, yang kemudian diperburuk oleh upaya perbaikan yang lemah ("pukul pelan").

Kedua, Analisis Framing Media mengambil alih setelah kegagalan dramaturgis terjadi. Kegagalan kinerja di lokasi kejadian (melanggar naskah profesionalisme) berfungsi sebagai input mentah yang menarik perhatian media. Media kemudian bertindak sebagai mekanisme makro-sosiologis yang memilih fragmen-fragmen dari pertunjukan yang gagal tersebut—seperti protes siswa dan penonaktifan Gubernur—dan membingkainya menjadi narasi publik yang lebih luas. Melalui proses framing, media tidak hanya melaporkan kejadian; mereka berpotensi melegitimasi penolakan siswa atau mendelegitimasi identitas sosial bersituasi Kepala Sekolah yang gagal tersebut. Hubungan kausalitas ini penting: kegagalan di Panggung Depan adalah prasyarat bagi intervensi dan konstruksi framing media yang signifikan.

1.3 Struktur Laporan dan Kontribusi Akademis

Laporan ini disusun untuk memberikan justifikasi teoretis yang kuat. Bagian selanjutnya akan mengelaborasi konsep inti Dramaturgi dan kekuasaan institusional, menganalisis kegagalan performa Kepala Sekolah secara rinci, dan menguji hipotesis framing media yang mungkin diterapkan pada kasus ini. Kontribusi akademis utama terletak pada penjembatanan antara teori interaksi mikro Goffman dengan fenomena kekuasaan institusional formal dan dampaknya yang difasilitasi oleh media massa.

II. Landasan Teori: Dramaturgi Goffman dan Perluasan Konsep Kekuasaan Institusional

2.1 Konsep Inti Dramaturgi: The Presentation of Self in Everyday Life

Teori Dramaturgi Erving Goffman, yang diperkenalkan dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), memandang kehidupan sosial sebagai serangkaian pementasan drama. Individu adalah aktor yang berusaha menyajikan definisi diri yang ideal—identitas sosial yang diinginkan—kepada audiens pada suatu acara dan tempat tertentu. Keberhasilan interaksi sosial sangat bergantung pada Manajemen Kesan (Impression Management), yaitu proses sadar atau tidak sadar di mana aktor berupaya mengontrol bagaimana orang lain memandang diri mereka.

  • Panggung Depan (Front Stage): Ini adalah wilayah performa formal di mana aktor memainkan peran yang sesuai dengan norma sosial dan institusional yang berlaku. Dalam konteks pendidikan, Panggung Depan meliputi ruang kelas, lapangan upacara, atau kantor Kepala Sekolah, tempat di mana Kepala Sekolah diharapkan menampilkan peran otoritas yang tegas namun etis.
  • Panggung Belakang (Back Stage): Area privat di mana aktor dapat melepas peran mereka, rileks, dan mempersiapkan diri untuk performa berikutnya. Perilaku di Panggung Belakang seharusnya berbeda dari perilaku di Panggung Depan. Jika perilaku Panggung Belakang bocor ke Panggung Depan, hal ini berpotensi merusak kredibilitas performa.

2.2 Situated Social Identity dan Peran Institusional

Goffman menekankan bahwa identitas bukanlah sifat bawaan yang statis, melainkan sesuatu yang disajikan kepada audiens. Situated Social Identity didefinisikan sebagai identitas sosial yang dilekatkan pada individu berdasarkan peran spesifik yang mereka mainkan dalam situasi tertentu, seperti "Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga". Identitas ini sangat rapuh; legitimasi dan pengakuannya bergantung sepenuhnya pada keberhasilan performa peran yang konsisten dan sesuai naskah.

Dalam kerangka Dramaturgi, kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai properti individu, tetapi sebagai atribut yang disematkan pada peran institusional. Seorang Kepala Sekolah memiliki kekuasaan bukan karena kualitas personalnya, tetapi karena ia menduduki peran yang diakui oleh struktur sekolah dan negara.

2.3 Perluasan Teoretis: Dramaturgi Kekuasaan di Ruang Pendidikan

Meskipun Goffman dikenal karena analisis interaksi mikro, aplikasinya pada kekuasaan institusional memerlukan perluasan teoretis. Data pendukung mengindikasikan bahwa Goffman tidak secara eksplisit membahas kekuasaan institusional dalam konteks aslinya. Namun, dalam konteks sekolah, kekuasaan institusional Kepala Sekolah dapat diinterpretasikan sebagai kemampuan untuk mendikte naskah (skenario) dan mengontrol Panggung Depan (lingkungan sekolah, termasuk penggunaan properti dan setting).

Kegagalan kekuasaan dramaturigis terjadi ketika aktor melanggar naskah yang diharapkan (misalnya, melanggar etika profesional melalui kekerasan fisik) dan kehilangan kontrol atas panggung, yang memungkinkan audiens (siswa) untuk mengubah naskah atau menghentikan pertunjukan.

Tindakan kekerasan fisik oleh Kepala Sekolah dalam kasus ini dapat dilihat bukan sekadar penegakan disiplin, melainkan sebagai performa kekuasaan yang kelebihan beban (overload performance). Tindakan tamparan atau tendangan menunjukkan bahwa metode manajemen kesan yang formal—seperti teguran verbal, sanksi administratif, atau surat peringatan—dianggap gagal atau tidak memadai untuk menegaskan kembali otoritas. Kepala Sekolah beralih ke cara non-verbal dan fisik untuk secara mendesak menegaskan kembali posisinya, yang secara ironis justru menghancurkan sisa-sisa legitimasi yang tersisa pada peran institusionalnya. Kegagalan ini, yang timbul dari penyimpangan emosional, menjadi titik awal runtuhnya legitimasi otoritas tersebut di mata publik.

III. Ruang Pendidikan sebagai Panggung Otoritas: Analisis Pra-Krisis

3.1 Sekolah sebagai Panggung Depan Formal

SMAN 1 Cimarga berfungsi sebagai setting formal Panggung Depan untuk performa otoritas pendidikan. Di lingkungan ini, hierarki peran yang kaku (Kepala Sekolah, Guru, Siswa) harus dipertahankan. Institusi sekolah menyediakan semua properti dan perlengkapan yang diperlukan untuk memperkuat peran otoritas, seperti kantor Kepala Sekolah, seragam, papan pengumuman peraturan, dan ruang kelas.

Naskah yang diharapkan dari Kepala Sekolah adalah menampilkan diri sebagai penegak disiplin yang tegas namun adil dan profesional, menjamin lingkungan edukatif. Sebaliknya, peran siswa adalah kepatuhan dan penerimaan sanksi yang proporsional sesuai dengan etika pendidikan.

3.2 Analisis Keterlibatan Peran (Role Involvement) dan Jarak Peran (Role Distance)

Krisis terjadi ketika terjadi jarak peran yang signifikan dari naskah yang ideal, baik dari pihak siswa maupun Kepala Sekolah.

  • Jarak Peran Siswa: Siswa ILP (17) sudah menunjukkan jarak peran dari peran siswa ideal dengan kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Tindakan merokok adalah pelanggaran naskah yang menuntut koreksi oleh otoritas.
  • Jarak Peran Kepala Sekolah: Kepala Sekolah, Dini Pitria, seharusnya mempertahankan role involvement yang profesional dan terkontrol. Namun, insiden merokok ini memicu reaksi yang dipengaruhi oleh penyimpangan emosional. Tindakan kekerasan fisik secara definitif menunjukkan role distance dari naskah profesional Pendidik/Kepala Sekolah yang etis, dan pergeseran ke performa personal yang tidak terkontrol.


Penting untuk dicatat bahwa meskipun pelanggaran siswa merupakan pemicu, reaksi Kepala Sekolah yang berlebihan—yang melanggar batas etika dan hukum—segera memindahkan fokus krisis dari pelanggaran kedisiplinan siswa ke kegagalan otoritas institusional.

IV. Dramaturgi Kekuasaan yang Gagal: Kasus SMAN 1 Cimarga

4.1 Pemicu Kegagalan dan Front Stage Breakdown

Pemicu insiden adalah terungkapnya siswa merokok, yang memerlukan respons cepat dari Kepala Sekolah. Front Stage Breakdown, atau kegagalan pertunjukan, terjadi ketika Kepala Sekolah beralih menggunakan kekerasan fisik, yakni menampar dan diduga menendang siswa. Tindakan ini melanggar norma institusional yang berlaku bagi pendidik profesional, mengubah interaksi disipliner yang diharapkan menjadi insiden kekerasan fisik yang tidak dapat diterima. Kegagalan ini bersifat definitif karena melanggar batas hukum (berujung pada pelaporan polisi oleh orang tua korban).

4.2 Upaya Repair Work dan Manajemen Kesan Pasca-Krisis

Pasca-insiden, Kepala Sekolah Dini Pitria berupaya melakukan repair work atau perbaikan kesan. Upaya ini dilakukan melalui klaim verbalisasi minimisasi: ia mengakui insiden tersebut tetapi mereduksi dampaknya dengan menyatakan, "Saya Pukul Pelan".

Klaim "pukul pelan" dapat diinterpretasikan sebagai upaya putus asa untuk menggeser insiden kekerasan dari kategori "penganiayaan" (yang tidak dapat diterima secara sosial dan hukum) kembali ke kategori "perilaku disiplin yang dapat diterima" atau "teguran keras." Tindakan ini dimaksudkan untuk menjaga sisa-sisa kredibilitas situated social identity sebagai Kepala Sekolah. Namun, upaya repair work ini segera runtuh karena narasi kontradiktif dari audiens: orang tua korban tidak terima dan membawa kasus ini ke jalur hukum, menegaskan bahwa kerusakan performa yang terjadi terlalu parah untuk diperbaiki hanya melalui verbalisasi minimisasi.

4.3 Pembongkaran Panggung Belakang (Backstage Exposure)

Kegagalan manajemen kesan semakin diperburuk oleh pembongkaran Panggung Belakang. Seorang guru SMAN 1 Cimarga, yang berinisial N, membongkar "tabiat" Kepala Sekolah. Menurut guru tersebut, Dini Pitria dikenal sebagai pribadi yang mudah marah dan emosinya sering meluap, baik kepada siswa maupun dewan guru. Guru N menyimpulkan bahwa perilaku tersebut mungkin sudah menjadi karakternya.

Pengungkapan ini, yang berasal dari rekan satu team performa Kepala Sekolah, bersifat fatal karena mengubah persepsi publik. Insiden penamparan kini tidak lagi dilihat sebagai kesalahan sesaat, melainkan sebagai bukti dari pola perilaku dan character flaw yang sudah melekat. Eksposur Panggung Belakang ini secara permanen mendelegitimasi performa otoritas Kepala Sekolah, memastikan bahwa performa formalnya di Panggung Depan tidak lagi kredibel di mata publik dan institusi.

4.4 Peran Audiens Kritis: Kontra-Performans Kolektif Siswa

Reaksi audiens—para siswa SMAN 1 Cimarga—adalah komponen dramaturgis yang paling menentukan dalam eskalasi krisis ini. Ratusan siswa melakukan aksi mogok belajar, yang mengakibatkan 19 ruang kelas kosong. Aksi mogok ini adalah bentuk kontra-performans kolektif yang secara aktif menolak untuk mengakui otoritas Kepala Sekolah.

Spanduk yang terbentang di gerbang sekolah bertuliskan: "Kami Tidak Akan Sekolah, Sebelum Kepsek Dilengserkan", merupakan penolakan eksplisit audiens terhadap naskah otoritas yang ada. Siswa, sebagai audiens, menggunakan kekuasaan kolektif mereka untuk memaksa penghentian performa. Penolakan kolektif ini memberikan tekanan substansial pada otoritas yang lebih tinggi (Pemerintah Provinsi). Keputusan Gubernur Banten, Andra Soni, untuk segera menonaktifkan Kepala Sekolah adalah putusan akhir institusional yang menandai berakhirnya situated social identity Kepala Sekolah Dini Pitria secara resmi.

Analisis Dramaturgis Kegagalan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga

V. Analisis Framing Media atas Pertunjukan Kekuasaan yang Gagal

Setelah kegagalan dramaturgis terjadi di SMAN 1 Cimarga, media massa mengambil peran sebagai auditor performa dan mekanisme konstruksi sosial. Media menyaring peristiwa yang kompleks ini dan merekonstruksinya untuk konsumsi publik. Berdasarkan teori Framing (Entman), media menggunakan skema interpretasi (frame) untuk mendefinisikan masalah, mengidentifikasi pelaku, mengevaluasi moralitas, dan mengusulkan resolusi. Kegagalan otoritas yang dramatis (seperti yang diuraikan di Bagian IV) berfungsi sebagai bahan baku yang sangat menarik untuk dibingkai.

5.1 Analisis Frame Media terhadap Kepala Sekolah (Aktor Gagal)

Media cenderung menggunakan frame yang mengesahkan delegitimasi Kepsek, memanfaatkan bocoran Panggung Belakang dan kegagalan Front Stage.

  • Frame 1: Penyalahgunaan Kekuasaan (Abusive Authority Frame): Frame ini menyoroti aspek kriminal dan etika dari insiden tersebut. Media fokus pada pelaporan polisi oleh orang tua, dugaan penendangan, dan konsekuensi hukum. Frame ini menempatkan Kepala Sekolah sebagai pejabat publik yang menyalahgunakan otoritas dan melanggar kode etik pendidik.
  • Frame 2: Karakter yang Cacat (Character Flaw Frame): Media menonjolkan pengungkapan dari guru yang menyebutkan bahwa Kepala Sekolah mudah emosi dan sering meluap-luap kepada siswa maupun guru. Frame ini menggunakan informasi dari Backstage Exposure untuk menjelaskan dan mempersonalisasi kegagalan performa di Panggung Depan. Jika media (seperti TribunNews yang fokus pada 'Sosok' Kepsek) memilih dramatizing frame ini, fokus dialihkan dari isu struktural menjadi kelemahan personal Kepala Sekolah.

5.2 Analisis Frame Media terhadap Siswa dan Komunitas (Audiens yang Bereaksi)

Reaksi audiens yang kuat memberikan narasi moral yang jelas bagi media.

  • Frame 3: Solidaritas Korban (Victim Solidarity Frame): Media fokus pada aksi mogok ratusan siswa dan spanduk tuntutan pelengseran. Frame ini membingkai siswa bukan sebagai pelanggar disiplin, melainkan sebagai kekuatan moral yang bersatu dan menolak tirani otoritas yang salah. Narasi ini memberikan legitimasi pada kontra-performans siswa.
  • Frame 4: Krisis Institusional (Institutional Crisis Frame): Media menyoroti kekosongan 19 ruang kelas akibat mogok dan intervensi yang diperlukan dari Gubernur. Frame ini membingkai insiden tersebut sebagai kegagalan sistemik dalam manajemen pendidikan di tingkat provinsi, yang membutuhkan resolusi dari tingkat otoritas yang lebih tinggi (Andra Soni). Media yang fokus pada penonaktifan Gubernur cenderung menggunakan policy frame ini.

5.3 Perbandingan Lintas Media dan Implikasi Framing

Perbedaan fokus media menentukan bagaimana kegagalan dramaturgis ini dipersepsikan publik. Misalnya, liputan yang menekankan 'Sosok Dini Pitria' dan klaim 'pukul pelan' cenderung memfokuskan perdebatan pada niat pribadi sang Kepala Sekolah (Frame 2), sementara liputan yang menyoroti 'Duduk Perkara' dan penonaktifan oleh Gubernur  cenderung mengarahkan perhatian pada konsekuensi kebijakan dan administrasi (Frame 4).

Perbedaan framing ini memiliki implikasi signifikan. Jika Frame 1 dan Frame 2 yang menang, publik melihat Kepsek sebagai individu yang cacat. Jika Frame 3 dan Frame 4 yang menang, publik melihat insiden ini sebagai bukti adanya masalah struktural yang lebih dalam dalam pengawasan dan mekanisme penegakan disiplin sekolah.

Perbandingan Framing Media atas Insiden Kekerasan (Hipotesis Awal)

Perbandingan Framing Media atas Insiden Kekerasan (Hipotesis Awal)

VI. Sintesis, Implikasi Teoritis, dan Rekomendasi

6.1 Integrasi Temuan: Hubungan Resiprokal antara Dramaturgi dan Framing

Hubungan antara Dramaturgi Kekuasaan di SMAN 1 Cimarga dan Framing Media bersifat resiprokal dan kausal.
1. Pemicu Peristiwa: Kegagalan performa kekuasaan di Panggung Depan (tindakan kekerasan dan overload performance) adalah peristiwa pemicu (trigger event) yang tidak dapat diabaikan oleh media.
2. Narasi Mikro yang Bersaing: Upaya repair work Kepsek ("pukul pelan") dan kontra-performans kolektif siswa (mogok) menciptakan dua narasi mikro yang bersaing yang berebut definisi insiden.
3. Mekanisme Evaluasi Publik: Media melalui framing bertindak sebagai mekanisme amplifikasi dan evaluasi publik yang menentukan narasi mana yang dominan. Dalam kasus ini, frame yang menang adalah frame yang mengesahkan delegitimasi otoritas (yaitu, Abusive Authority Frame dan Victim Solidarity Frame), yang kemudian memaksa intervensi institusional (penonaktifan).

Oleh karena itu, keberhasilan judul penelitian ini terletak pada analisis bagaimana kegagalan Dramaturgi—keruntuhan performa peran yang disebabkan oleh eksposur Panggung Belakang dan penolakan audiens—memberikan fondasi empiris yang memungkinkan media untuk secara efektif membingkai dan menghukum otoritas yang gagal.

6.2 Implikasi Akademis bagi Kajian Sosiologi Pendidikan

Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi studi Sosiologi Pendidikan dan Goffmanian. Secara tradisional, Dramaturgi diterapkan pada interaksi sehari-hari. Penelitian ini membuktikan bahwa teori Goffman sangat relevan dalam menganalisis krisis otoritas dalam institusi formal yang hierarkis seperti sekolah.

Model Kekuasaan Dramaturgis yang muncul dari kasus ini menegaskan bahwa kekuasaan institusional di ruang pendidikan bersifat fundamental performatif. Legitimasi seorang Kepala Sekolah tidak hanya bergantung pada jabatannya, tetapi pada keberhasilannya secara konsisten memerankan naskah profesionalisme. Ketika performa kekuasaan gagal, terutama melalui tindakan yang melanggar norma moral dan hukum (kekerasan), legitimasi peran runtuh. Keruntuhan ini dipercepat secara eksponensial ketika audiens menolak untuk mengakui performa yang gagal tersebut, dan media massa mengamplifikasi keruntuhan itu melalui framing yang berfokus pada penyalahgunaan kekuasaan.

6.3 Rekomendasi Penelitian Lanjut dan Saran Kebijakan

Berdasarkan analisis teoretis ini, terdapat beberapa rekomendasi:
1. Rekomendasi Penelitian Lanjut: Penelitian harus bergerak maju dengan melakukan analisis framing kuantitatif dan kualitatif mendalam terhadap cakupan media nasional dan regional. Hal ini diperlukan untuk mengukur secara definitif prevalensi Victim Solidarity Frame dan Institutional Crisis Frame dibandingkan dengan Disciplinary Enforcement Frame (jika ada media yang mencoba membela tindakan Kepsek). Analisis ini akan mengungkap bagaimana konstruksi sosial kekerasan pendidikan dipengaruhi oleh dinamika Dramaturgis.
2. Saran Kebijakan: Hasil penelitian ini menunjukkan kerapuhan otoritas performatif. Institusi pendidikan perlu mendesain ulang program pelatihan kepemimpinan sekolah untuk memasukkan modul "Manajemen Kesan Otoritas" dan "Komunikasi Krisis." Pelatihan ini bertujuan untuk membekali para pemimpin sekolah dengan alat untuk mencegah Front Stage Breakdown yang bersifat destruktif dan memberikan mekanisme penegakan disiplin yang menjaga jarak peran profesionalisme.

VII. Lampiran (Metodologi Penelitian yang Diusulkan)

Untuk mengoperasionalkan judul penelitian ini, metodologi penelitian kualitatif interpretif disarankan, menggabungkan analisis Dramaturgis kualitatif dengan analisis Framing media.

Analisis Dramaturgi Kekuasaan: Metode ini akan menggunakan data pemberitaan sebagai "observasi media" untuk merekonstruksi urutan performa Kepala Sekolah (DF), tim pendukung (guru), dan audiens (siswa/orang tua). Fokus kualitatif adalah pada identifikasi setting (sekolah), naskah yang dilanggar, properti (klaim verbalisasi), dan momen Front Stage Breakdown (kekerasan) serta Backstage Exposure (tabiat emosional).

Analisis Framing Media: Penelitian akan menggunakan model Framing kualitatif (misalnya, Model Entman) untuk membedah berita dari beberapa platform media utama (misalnya, TribunNews, Liputan6, Kompas, dan lainnya 1). Unit analisis adalah keseluruhan artikel berita. Kategori analisis meliputi: definisi masalah, identifikasi pelaku, evaluasi moral, dan usulan resolusi. Tujuannya adalah membandingkan bagaimana frame yang berbeda muncul sebagai respons langsung terhadap kegagalan Dramaturgi yang terekspos, dan bagaimana frame tersebut berkontribusi pada delegitimasi institusional Kepala Sekolah.

Referensi:

Kompas.com. (2025, Oktober 14). 6 fakta kasus kepala sekolah SMAN 1 Cimarga diduga tampar siswa, berakhir dinonaktifkan. Diakses Oktober 14, 2025, dari https://www.kompas.com/tren/read/2025/10/14/181500165/6-fakta-kasus-kepala-sekolah-sman-1-cimarga-diduga-tampar-siswa-berakhir?page=all

Liputan6.com. (2025). Duduk perkara kepsek SMAN 1 Cimarga tampar murid ketahuan merokok di sekolah, terancam dinonaktifkan gubernur. Diakses Oktober 14, 2025, dari https://www.liputan6.com/regional/read/6184138/duduk-perkara-kepsek-sman-1-cimarga-tampar-murid-ketahuan-merokok-di-sekolah-terancam-dinonaktifkan-gubernur

Bengkel Narasi. (2021, Mei 26). Teori dramaturqi (Erving Goffman 1959). Diakses Oktober 14, 2025, dari https://bengkelnarasi.com/2021/05/26/catatan-politik-hari-ini-menudramaturqi-erving-goffman-pada-tahun-1959/

Tribunnews.com. (2025). Sosok Dini Pitria, kepala SMAN 1 Cimarga Lebak disebut tampar siswa karena merokok: Saya pukul pelan. Diakses Oktober 14, 2025, dari https://www.tribunnews.com/regional/7741337/sosok-dini-pitria-kepala-sman-1-cimarga-lebak-disebut-tampar-siswa-karena-merokok-saya-pukul-pelan

Tribunnews.com. (2025). Tabiat kepala SMAN 1 Cimarga dibongkar, disebut emosi sering meluap pada siswa maupun guru. Diakses Oktober 14, 2025, dari https://www.tribunnews.com/regional/7741779/tabiat-kepala-sman-1-cimarga-dibongkar-disebut-emosi-sering-meluap-pada-siswa-maupun-guru

UIN Malang. (2021). Panggung depan, belakang, dan luar. Diakses Oktober 14, 2025, dari https://uin-malang.ac.id/r/100301/panggung-depan-belakang-dan-luar.html

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment