Analisis Komprehensif Buku Peace by Peaceful Means Karya Johan Galtung: Konsep Perdamaian, Konflik, dan Peradaban

Table of Contents

Abstrak 

Karya fundamental Johan Galtung, "Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization" (1996), merupakan kontribusi signifikan yang melampaui batas-batas studi hubungan internasional konvensional. Buku ini menyajikan kerangka kerja holistik yang menghubungkan konsep perdamaian, konflik, pembangunan, dan peradaban dalam satu sintesis analitis yang koheren. Galtung, yang diakui sebagai figur pendiri utama dalam disiplin studi perdamaian dan konflik akademis, menantang definisi perdamaian yang sempit (ketiadaan perang) dan sebaliknya menganjurkan Perdamaian Positif—sebuah kondisi integrasi sosial yang dicapai melalui penghapusan kekerasan struktural dan kultural.

Artikel ini ini menguraikan secara mendalam empat pilar teoritis utama buku tersebut: Teori Perdamaian, yang memperkenalkan dualisme konseptual yang penting; Teori Konflik, yang menganalisis dinamika konflik di luar perilaku yang terlihat; Teori Pembangunan, yang mengidentifikasi kegagalan pembangunan sebagai bentuk kekerasan struktural; dan Teori Peradaban, yang menggali akar ideologis terdalam (kosmologi) yang melegitimasi kekerasan global. Inti dari metodologi Galtung adalah Transcendence (Transformasi Konflik Non-Kekerasan), sebuah proses kreatif yang bertujuan menciptakan solusi baru untuk kontradiksi yang tampaknya tidak kompatibel.

I. Kerangka Dasar Galtung: Teori Perdamaian dan Dualisme Konseptual (Part I: Peace Theory)

A. Visi Perdamaian untuk Abad ke-21 dan Metodologi

Johan Galtung bukan hanya seorang akademisi yang ekstensif—dengan lebih dari 80 buku dan 1000 artikel—tetapi juga seorang praktisi perdamaian yang terlibat dalam proses konsultatif di lebih dari 20 konflik internasional dan intra-nasional. Statusnya sebagai pendiri International Peace Research Institute (1959) dan Journal of Peace Research (1964) menjadikannya tokoh sentral dalam pendirian disiplin ilmu ini.

Dalam Peace by Peaceful Means, Galtung menyajikan dua definisi perdamaian yang saling kompatibel dan fundamental untuk pendekatan holistiknya:
1. Perdamaian adalah ketiadaan atau pengurangan kekerasan dari segala jenis.
2. Perdamaian adalah transformasi konflik yang bersifat non-kekerasan dan kreatif.

Pendekatan Galtung dalam studi perdamaian mencakup dua dimensi metodologis. Pertama, Studi Perdamaian Kritis, yang melibatkan perbandingan sistematis antara realitas empiris (data) dengan nilai-nilai yang ideal, dengan tujuan mengubah realitas jika tidak selaras dengan nilai-nilai tersebut. Kedua, Studi Perdamaian Konstruktif, yang berfokus pada penyesuaian teori terhadap nilai-nilai untuk menghasilkan visi realitas yang baru. Dalam kedua metodologi ini, Galtung secara tegas menempatkan nilai (yaitu, visi perdamaian dan keadilan) sebagai elemen yang lebih kuat dan penentu dibandingkan data empiris atau teori yang ada.

B. Perbedaan Krusial: Perdamaian Negatif versus Perdamaian Positif

Galtung memperkenalkan perbedaan konseptual yang paling berpengaruh dalam studi perdamaian—antara Perdamaian Negatif dan Perdamaian Positif—sebagai dimensi terpisah namun saling terkait.
Perdamaian Negatif (Negative Peace) didefinisikan sebagai ketiadaan perang dan kekerasan langsung. Perdamaian jenis ini bersifat kuratif, artinya berfokus pada pengobatan gejala konflik, seperti menghentikan pertempuran aktif atau mengendalikan senjata. Contoh kebijakan dalam tradisi ini meliputi multilateralisme, pengendalian senjata, konvensi internasional (seperti Konvensi Jenewa), dan strategi keseimbangan kekuasaan. Namun, Galtung menunjukkan sifat pesimis dari Perdamaian Negatif karena ia percaya bahwa metode ini tidak akan berhasil tanpa perlucutan senjata yang lengkap dan umum. Artinya, perdamaian yang didominasi oleh satu bangsa atau PBB yang dilengkapi dengan kekuatan koersif seringkali hanya bersifat sementara dan tidak stabil.

Perdamaian Positif (Positive Peace) didefinisikan sebagai "integrasi masyarakat manusia"  atau, dalam definisi yang lebih matang, perdamaian yang lebih langgeng, dibangun di atas investasi berkelanjutan dalam pembangunan ekonomi, institusi, dan sikap sosial yang memupuk perdamaian. Konsep ini terinspirasi dari ilmu kesehatan, di mana kesehatan bukan hanya ketiadaan penyakit, tetapi kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Dengan demikian, Perdamaian Positif bersifat preventif, menargetkan pembangunan sistem yang tahan konflik. Kebijakan yang mendukungnya meliputi peningkatan pemahaman antarmanusia melalui komunikasi, pendidikan perdamaian, kerja sama internasional, dan transformasi konflik. Perdamaian Positif dicirikan sebagai pandangan yang optimis.

Penggunaan analogi kesehatan ini menunjukkan bahwa perdamaian harus dilihat sebagai masalah kesehatan masyarakat dan sistemik. Agar masyarakat tahan terhadap kekerasan (reintroduksi konflik), ia harus memiliki integrasi dan keadilan struktural yang memadai. Perdamaian Positif, oleh karena itu, adalah prasyarat keberlanjutan, karena Perdamaian Negatif yang hanya bersifat kuratif akan selalu rentan terhadap kekambuhan konflik.

C. Tipologi Kekerasan: Segitiga Kekerasan (The Violence Triangle)

Untuk menjelaskan mengapa Perdamaian Negatif tidak cukup, Galtung mengembangkan tipologi yang mengklasifikasikan kekerasan ke dalam tiga bentuk yang saling tergantung, yang sering diilustrasikan sebagai Segitiga Kekerasan.
1. Kekerasan Langsung (Direct Violence): Merupakan bentuk kekerasan yang paling terlihat (manifes). Ini mencakup perilaku yang mengancam kehidupan itu sendiri atau mengurangi kapasitas individu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Contohnya adalah perang, penyerangan fisik, atau pembunuhan.
2. Kekerasan Struktural (Structural Violence): Merupakan cara sistematis di mana kelompok-kelompok tertentu dihalangi dari akses yang setara terhadap peluang, barang, dan layanan yang penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bentuk kekerasan ini bersifat laten, beroperasi melalui struktur sosial yang eksploitatif dan alienatif. Kekerasan struktural, seperti ketidakadilan ekonomi yang parah, beroperasi di bawah radar sosial dan dapat menghindari proses perubahan yang disadari.
3. Kekerasan Kultural (Cultural Violence): Merupakan dimensi ideologis yang laten. Ini terdiri dari norma-norma sosial, agama, atau ideologi yang dominan yang menjadikan kekerasan langsung dan kekerasan struktural tampak "alami," "benar," atau setidaknya dapat diterima.

Ketiga bentuk kekerasan ini saling terkait secara dinamis. Kekerasan kultural berfungsi sebagai pembenaran moral atau intelektual yang melegitimasi keberadaan kekerasan struktural, yang pada gilirannya menghasilkan kondisi yang memicu kekerasan langsung. Kekuatan kekerasan struktural dan kultural terletak pada kemampuannya untuk beroperasi di bawah kesadaran sosial.

Apabila pekerja perdamaian hanya berfokus pada penghentian Kekerasan Langsung (mencapai Perdamaian Negatif), namun membiarkan struktur kekerasan dan budaya pembenaran tetap utuh, masyarakat berada dalam kondisi konflik laten. Dalam situasi ini, kekerasan struktural terus ada sebagai "cetak biru" yang dapat digunakan untuk mengancam atau menundukkan, yang membuat ketidakadilan terus berlangsung. Oleh karena itu, tujuan utama Perdamaian Positif adalah menghilangkan semua bentuk kekerasan, dengan penekanan kritis pada penghapusan akar struktural dan kultural.

D. Konsepsi Ganda Perdamaian Galtung

Konsepsi Ganda Perdamaian Galtung

Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization karya Johan Galtung

II. Teori Konflik Galtung: Dinamika, Siklus Hidup, dan Formasi Kontradiksi (Part II: Conflict Theory)

A. Anatomi Konflik: Segitiga ABC

Dalam bagian kedua bukunya, Galtung membedah anatomi konflik sebagai proses yang dinamis. Konflik dicirikan oleh Segitiga ABC, yang terdiri dari tiga komponen yang saling memengaruhi dan berulang:
1. Kontradiksi (Contradiction/C): Merupakan akar konflik yang bersifat laten. Ini merujuk pada situasi objektif di mana ada tujuan yang tidak kompatibel di antara para pihak. Contohnya adalah alokasi sumber daya langka, sengketa wilayah, atau representasi politik yang tidak setara.
2. Sikap (Attitudes/A): Merupakan kondisi psikologis yang laten. Ini mencakup perasaan dan pandangan pihak yang bertikai, seperti kebencian agama atau etnis, ketakutan akan kehilangan kekuasaan, atau prasangka yang tidak menguntungkan.
3. Perilaku (Behavior/B): Merupakan aspek konflik yang manifes (terlihat). Ini mencakup tindakan aktual, baik yang bersifat kekerasan (negatif) maupun upaya dialog (positif).

Titik sentral dalam teori konflik Galtung adalah bahwa konflik pada dasarnya harus dipahami sebagai masalah yang harus diselesaikan (tujuan yang tidak kompatibel), dan bukan sebagai pihak yang tidak kompatibel (individu atau negara) yang harus dikendalikan—suatu pendekatan yang seringkali memerlukan kekerasan atau paksaan.

B. Siklus Hidup Konflik dan Dimensi Laten

Galtung menjelaskan bahwa konflik memiliki siklus hidupnya sendiri. Konflik dasar (basic conflicts) yang dihasilkan dari kombinasi budaya, struktur, dan aktor kekerasan, jika tidak ditangani, dapat meningkat menjadi meta-konflik—konflik mengenai bagaimana konflik itu harus diselesaikan atau ditangani.

Penekanan pada dimensi laten (Kontradiksi dan Sikap) sangat penting. Karena Kekerasan Struktural dan Kultural cenderung "menghindari perdebatan sosial," analisis konflik yang efektif harus melampaui perilaku yang terlihat. Jika pekerja perdamaian hanya mengubah Perilaku (misalnya, menandatangani perjanjian gencatan senjata), energi konflik tetap ada. Galtung menyatakan secara kategoris bahwa konflik umumnya tidak diselesaikan (not solved), tetapi ditransformasikan, karena energi konflik yang dihasilkan dan direproduksi oleh konflik itu sendiri akan bertahan.

Konflik terbuka yang tidak tertangani dapat menghasilkan trauma yang mendalam pada individu yang berduka, yang kemudian diubah menjadi kebencian, bahkan "kecanduan balas dendam". Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang hanya bersifat kuratif akan gagal mengatasi akar konflik (C) dan luka psikologis yang diakibatkannya (A). Oleh karena itu, pendekatan yang dinamis dan berkelanjutan yang dipelopori oleh Galtung dan Lederach, yang menekankan transformasi psikososial, diperlukan untuk menghadapi proses yang mengakar ini.

C. Transformasi Konflik Non-Kekerasan (The Transcend Method)

Transformasi Konflik Non-Kekerasan adalah solusi operasional utama dalam Peace by Peaceful Means, yang dipraktikkan melalui jaringan TRANSCEND Galtung. Metode ini bertujuan untuk mencegah kekerasan dan mengembangkan potensi kreatif konflik.

Prinsip Transcendence: Melampaui Kontradiksi
Transcendence berarti mendefinisikan kembali situasi konflik sehingga apa yang sebelumnya terlihat tidak kompatibel menjadi kompatibel. Hal ini dicapai dengan:
1. Mendefinisikan tujuan-tujuan lain yang baru.
2. Melepaskan konflik dari situasi aslinya (de-embedding) dan menanamkannya di tempat yang lebih menjanjikan (re-embedding).

Proses transformasi ini menuntut kreativitas (mencari "Jalan Ketiga"), di mana solusinya bukanlah kompromi atau kemenangan/kekalahan (yang menghasilkan resolusi tradisional), tetapi solusi inovatif di mana kebutuhan dan tujuan semua pihak terpenuhi dengan cara yang baru.

Mekanisme Kunci dan Aspek Terapeutik
Transformasi konflik harus fokus secara terpadu pada tiga komponen: aktor (mengatasi perilaku dan trauma), struktur (mengatasi kontradiksi), dan budaya (mengatasi sikap dan pembenaran). Dialog menjadi alat utama, didasarkan pada empati, non-kekerasan, dan kreativitas bersama.

Metode TRANSCEND bersifat etis dan terapeutik. Galtung membandingkan pekerja perdamaian dengan dokter medis, yang menerapkan diagnosis, prognosis, dan terapi pada "pasien" konflik. Karena kekerasan, terutama kekerasan struktural, meninggalkan luka dan trauma yang mendalam, transformasi harus melibatkan penyembuhan psikososial. Empati diperlukan untuk mengatasi kebencian (Sikap/A) dan memungkinkan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai proses mandiri yang berkelanjutan.

Aplikasi Praktis dan Perlawanan Institusional
Metode Transcendence diterapkan Galtung dalam berbagai skala, dari konflik mikro (antar-individu) hingga mega-konflik (antar-peradaban).

Dalam konteks Jurnalisme Perdamaian (sebuah aplikasi dari Transcendence), Galtung menekankan pentingnya pelaporan yang berfokus pada solusi positif. Contohnya, dalam kasus konflik Korea Utara dan Selatan, pendekatan transformasi menuntut jurnalis untuk tidak mengabaikan suara masyarakat akar rumput dan untuk mempertimbangkan perspektif yang inovatif, seperti dialog dengan negara-negara Asia Timur atau perbandingan dengan penyatuan kembali Jerman, daripada memaksakan jawaban definitif.

Pendekatan ini merupakan tantangan langsung terhadap proses Conflict Resolution tradisional yang berbasis kekuatan atau negosiasi kepentingan. Transformasi menuntut pergeseran dari pengendalian ke penciptaan solusi bersama. Upaya perdamaian yang menargetkan perubahan struktural dan kultural semacam ini akan selalu menghadapi perlawanan dari "struktur negara reaksioner" yang sudah tertanam.

Perbandingan: Resolusi Konflik versus Transformasi Konflik (Transcendence)

Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization karya Johan Galtung

IV. Teori Pembangunan: Analisis Struktural dan Kebutuhan Dasar Manusia (Part III: Development Theory)

Galtung mengintegrasikan teori pembangunan ke dalam kerangka perdamaiannya dengan menyatakan bahwa kegagalan pembangunan adalah manifestasi langsung dari kekerasan struktural. Bagian ini berfungsi sebagai diagnosis mendalam terhadap Kontradiksi (C) yang membentuk Segitiga Konflik.

A. Pembangunan dan Kebutuhan Dasar Manusia

Galtung menempatkan pembangunan sejati sebagai pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia (KDM). Kekerasan, dalam konteks ini, didefinisikan sebagai serangan terhadap KDM, yang mencakup Kelangsungan Hidup (Survival), Kesejahteraan (Well-being), Kebebasan (Freedom), dan Identitas (Identity). Oleh karena itu, tujuan Pembangunan adalah menghilangkan hambatan struktural yang menghalangi pemenuhan kebutuhan ini, yang berarti menghilangkan Kekerasan Struktural.

Galtung mengkritik model pembangunan dominan (termasuk enam sekolah ekonomi yang dibahas dalam bukunya) yang cenderung mengabaikan kekerasan struktural dan justru mempromosikan model yang didorong oleh ekspansionisme dan eksploitasi.

B. Analisis Struktural Kemunduran Kekaisaran

Untuk memahami patologi struktural dalam pembangunan, Galtung menggunakan analisis sejarah makro mengenai kemunduran kekaisaran, yang diterapkan pada Kekaisaran Romawi dan Soviet. Dia berpendapat bahwa kemunduran sistem kekuasaan yang luas disebabkan oleh sindrom dari empat faktor yang saling terkait, bukan satu faktor tunggal:
1. Pembagian Kerja yang Tidak Adil: Negara-negara asing atau kelompok minoritas di dalam negeri mengambil alih tugas yang paling menantang dan mengembangkan.
2. Defisit Kreativitas dan Inovasi: Kurangnya teknologi, manajemen, atau pandangan ke depan.
3. Sektor Ekonomi yang Terabaikan: Satu atau beberapa sektor ekonomi tertinggal atau diabaikan.
4. Ekspansionisme sebagai Ideologi-Kosmologi: Ideologi yang membenarkan eksploitasi negara asing atau rakyat sendiri, yang pada akhirnya mengundang reaksi negatif dan destruktif.

Kegagalan pembangunan, seperti yang terlihat dalam sindrom kemunduran ini, pada dasarnya adalah produk dari struktur sosial dan politik yang kaku. Galtung secara khusus mengkritik keras kekerasan struktural yang dipimpin oleh AS dan negara-negara Barat, karena model ekspansionis ini menurunkan kepuasan kebutuhan dan kebebasan masyarakat.

C. Pembangunan sebagai Keadilan Struktural

Dengan menghubungkan serangan terhadap kebutuhan dasar di tingkat individu dengan kegagalan sistemik (kekaisaran) di tingkat makro, Galtung menciptakan kerangka kerja holistik yang menunjukkan bahwa nasib individu dan struktur peradaban saling terkait.

Jika pembangunan sejati adalah penghilangan kekerasan struktural, maka ia harus dilihat sebagai proses penataan ulang struktur yang eksploitatif. Pembangunan yang berkelanjutan menuntut masyarakat bergerak menuju Keadilan yang Adil (fair justice) yang mentransformasi konflik, yang secara esensial menyamakan Perdamaian Positif dengan keadilan sosial. Defisit kreativitas yang ditemukan dalam sindrom kemunduran menegaskan kembali perlunya pendekatan non-kekerasan dan kreatif (Transcendence) untuk menghasilkan solusi struktural yang inovatif.

V. Teori Peradaban: Kosmologi, Ideologi Mendalam, dan Hambatan Perdamaian (Part IV: Civilization Theory)

Bagian keempat buku ini, Teori Peradaban, merupakan puncak analisis Galtung, karena ia menggali akar terdalam dari Kekerasan Kultural—yaitu kosmologi atau pandangan dunia yang fundamental.

A. Kosmologi sebagai Akar Konflik

Kekerasan Kultural mewakili ideologi mendalam yang menyediakan justifikasi moral dan intelektual bagi Kekerasan Langsung dan Kekerasan Struktural. Galtung memperingatkan bahwa siapa pun yang menentang "kemapanan perang Occidental" dan pendekatan militeristik terhadap keamanan harus menyadari bahwa perjuangan ini berada pada tingkat ideologi mendalam dan budaya mendalam, tingkat kosmologi.

Kegagalan upaya diplomatik atau resolusi konflik yang dangkal seringkali disebabkan karena mereka tidak berani menghadapi kerangka nilai dan narasi sosial yang melegitimasi konflik itu sendiri. Jika budaya kekerasan menganggap diskriminasi struktural atau penggunaan perang sebagai "alami" atau "benar," maka tidak ada perjanjian damai jangka pendek yang dapat menciptakan perdamaian abadi. Kekerasan Kultural akan terus meregenerasi Kekerasan Struktural, yang pada gilirannya akan memicu Kekerasan Langsung.

B. Kritik Kosmologi Occidental dan Terapi

Galtung menyajikan analisis "Impresionistik" terhadap Enam Kosmologi, dengan fokus pada kritik terhadap pandangan dunia Occidental (Barat). Ia mengkritik kosmologi Barat karena telah menginternalisasi model konflik dan keamanan yang secara inheren bergantung pada kekerasan. Kritik ini mencakup eksplorasi patologi peradaban seperti Hitlerism, Stalinism, dan Reaganism—analisis yang mencoba mengungkap akar kosmologis yang sama dalam fenomena kekuasaan yang berbeda.

Kosmologi Barat seringkali melegitimasi penggunaan paksaan dan kekerasan—termasuk kekerasan struktural (ekspansionisme)—sebagai cara untuk mempertahankan ketertiban (yaitu, Perdamaian Negatif yang dipaksakan).

Karena peradaban dapat memiliki "kosmologi patologis" yang membenarkan kekerasan, Galtung menyarankan perlunya "terapi" yang efektif untuk mengubah norma dan narasi sosial terdalam tersebut. Salah satu elemen terapi yang ia tekankan, yang diambil dari kosmologi spiritual yang lebih luas (non-Occidental), adalah Kompasivitas (Compassion). Galtung menyatakan bahwa belas kasih "bukan urusan agama, itu urusan manusia; itu bukan kemewahan, itu penting untuk perdamaian dan stabilitas mental kita sendiri; itu penting untuk kelangsungan hidup manusia".

Transformasi kultural memerlukan pergeseran dari kosmologi yang didominasi oleh kekuasaan dan ekspansionisme ke etika universal. Untuk mencapai Transcendence, yang menuntut kreativitas, dialog, dan empati, peradaban harus menerima perspektif yang lebih pluralistik dan multikultural.

C. Tipologi Segitiga Kekerasan Galtung

Tipologi Segitiga Kekerasan Galtung

Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization karya Johan Galtung

VI. Kesimpulan: Sintesis Perdamaian, Konflik, Pembangunan, dan Peradaban

Buku "Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization" adalah monograf akademis yang menuntut pembacaan yang cermat karena prosa yang padat dan argumen yang terperinci. Namun, kedalaman ini diperlukan karena Galtung secara fundamental menempatkan studi perdamaian dalam konteks sosial dan intelektual yang jauh lebih luas daripada bidang ilmu politik atau hubungan internasional konvensional.

A. Sintesis Holistik Empat Pilar

Analisis Galtung menyatukan empat pilar utama dalam sebuah rantai logika yang utuh:
1. Teori Perdamaian menetapkan tujuan: mencapai Perdamaian Positif.
2. Teori Konflik memberikan diagnosis: konflik disebabkan oleh Kontradiksi Struktural dan Sikap Kultural yang bersifat laten.
3. Teori Pembangunan mengidentifikasi Kegagalan Pembangunan sebagai perwujudan Kekerasan Struktural, yaitu penghalang sistemik terhadap Kebutuhan Dasar Manusia.
4. Teori Peradaban mengungkap akar terdalam, yaitu Kosmologi Patologis yang melegitimasi kekerasan kultural.

Perdamaian Positif hanya dapat dicapai melalui Transformasi Konflik yang kreatif dan non-kekerasan (Transcendence), yang secara simultan mengatasi aktor, struktur, dan budaya.

B. Imperatif Keadilan dan Ketekunan

Penekanan Galtung pada penghapusan Kekerasan Struktural berarti ia secara definitif menyamakan Perdamaian Positif dengan Keadilan Sosial. Tidak ada perdamaian yang berkelanjutan tanpa keadilan struktural. Perdamaian yang hanya didefinisikan sebagai ketiadaan perang (Negatif) hanya melanggengkan ketidakadilan yang dilembagakan. Peace by Peaceful Means adalah manifesto bahwa cara non-kekerasan (Transcendence) harus sejalan dengan tujuan itu sendiri: masyarakat yang adil.

Galtung mengakhiri kontribusinya dengan seruan untuk ketekunan: perdamaian harus diusahakan secara terus-menerus, dan para pekerja perdamaian harus siap menghadapi perlawanan dari "struktur negara reaksioner" yang telah tertanam dalam. Pendekatan holistik ini menantang model dominan di seluruh dunia dan menuntut pergeseran paradigma dari pengendalian ke penciptaan struktur yang adil, yang membutuhkan perpaduan unik antara analisis sosiologis mendalam, komitmen etis universal (belas kasih), dan kreativitas berkelanjutan. Jaringan TRANSCEND Galtung menyediakan model operasional tentang bagaimana teori transformasi ini dapat diimplementasikan, menyediakan aksi, pendidikan, dan penelitian yang diperlukan untuk mengubah kosmologi kekerasan menjadi kosmologi perdamaian.

Sumber Referensi:

Building Peace Forum. (n.d.). Positive and negative peace – Johan Galtung. BuildingPeaceForum.com. https://buildingpeaceforum.com

Ecdpeace.org. (n.d.). Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization. https://ecdpeace.org

Galtung, J. (1996). Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization. London: SAGE Publications & International Peace Research Institute, Oslo (PRIO).

Galtung, J. (1996). Peace by peaceful means: Peace and conflict, development and civilization [eBook]. London: SAGE Publications. https://doi.org/10.4135/9781446228470

Galtung-Institut. (n.d.). The Transcend track record. Galtung-Institut.de. https://galtung-institut.de

GSDRC. (n.d.). Conflict transformation by peaceful means (The Transcend method). GSDRC.org. https://gsdrc.org

INKOVEMA. (n.d.). Galtung’s triangle of violence: A model for understanding social conflicts. INKOVEMA.de. https://inkovema.de

Jus, H. J. I. (n.d.). A transformative approach to conflict and violence. Journal of Unification Studies. https://jus.hji.edu

Ndl.ethernet.edu.et. (n.d.). Johan Galtung: Pioneer of peace research. National Academic Digital Library of Ethiopia. https://ndl.ethernet.edu.et

NSUWorks. (n.d.). Beyond resolution: What does conflict transformation actually transform? NSUWorks.nova.edu. https://nsuworks.nova.edu

Peace Magazine. (n.d.). Review: Peace by peaceful means: Peace, conflict, development and civilization. Peace Magazine, 14(2), 30. https://peacemagazine.org

Perlego. (n.d.). Peace by peaceful means by Johan Galtung | 9780803975118, 9781446228470. Perlego.com. https://perlego.com

Religion and Public Life at Harvard. (n.d.). Peace and violence. Harvard Divinity School. https://rpl.hds.harvard.edu

Revista de Cultura de Paz. (n.d.). Interweaving theory and practice: The significance of Galtung’s editorials. https://revistadeculturadepaz.com

SAGE Publications Inc. (n.d.). Peace by peaceful means. US.SAGEpub.com. https://us.sagepub.com

Transcend. (n.d.). Conflict transformation by peaceful means (The Transcend method). Transcend.org. https://transcend.org

Transcend. (n.d.). Johan Galtung’s conflict transformation theory for a peaceful world. Transcend.org. https://transcend.org

Vision of Humanity. (n.d.). Johan Galtung and the quest to define the concept of peace. VisionofHumanity.org. https://visionofhumanity.org

Wikipedia. (n.d.). Peace journalism. Wikipedia, The Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Peace_journalism

WordPress. (n.d.). Lesson 7: Conflict dynamics | IB Global Politics. Glopocish.WordPress.com. https://glopocish.wordpress.com

www2.kobe-u.ac.jp. (n.d.). Violence, peace, and peace research [PDF]. Kobe University. https://www2.kobe-u.ac.jp

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment