Analisis Akademik Konsep Kekerasan dan Perdamaian dalam Karya Johan Galtung: Teori, Metodologi, dan Implikasi Ilmiah
BAB I: Paradigma Baru: Merumuskan Ulang Kekerasan dan Perdamaian
1.1. Konteks Intelektual dan Historis Galtung
Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia, dikenal sebagai Bapak Studi Perdamaian. Sumbangsih teoritisnya yang mendalam dan beragam telah meletakkan dasar untuk memahami konflik dan perdamaian dalam konteks global selama lebih dari enam dekade. Minatnya yang intens terhadap isu-isu ini dipicu oleh pengalaman pribadinya selama Perang Dunia II di Norwegia yang diduduki.
Pada tahun 1959, Galtung mendirikan Peace Research Institute Oslo (PRIO), yang diakui sebagai institusi pertama yang secara sistematis didedikasikan untuk mengkaji kondisi-kondisi yang kondusif bagi hubungan yang damai. Karya fundamentalnya, yang menjadi fokus utama kajian ini, adalah artikelnya pada tahun 1969, "Violence, Peace, and Peace Research." Artikel ini tidak hanya memperluas diskusi perdamaian dari studi tradisional tentang perang (war studies) menjadi kritik terhadap struktur sosial, tetapi juga menjadi fondasi bagi teori struktural kekerasan. Dalam mengembangkan gagasannya, Galtung diketahui dipengaruhi oleh pemikiran Mahatma Gandhi, terutama mengenai keyakinan pada dualitas perdamaian, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif.
1.2. Definisi Paradoks Perdamaian dan Kebutuhan Presisi Kognitif
Galtung menyadari bahwa kata 'perdamaian' sering digunakan secara berlebihan dan disalahgunakan dalam wacana publik. Istilah ini kerap dimanfaatkan untuk mencapai konsensus verbal dan mendukung beragam kebijakan—mulai dari bantuan teknis hingga perdagangan atau pariwisata—terlepas dari kaitan substantifnya dengan kondisi damai yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Galtung menekankan perlunya tingkat presisi dalam mendefinisikan perdamaian agar istilah tersebut dapat berfungsi sebagai alat kognitif yang efektif dalam penelitian.
Untuk memulai penelitian perdamaian (Peace Research), Galtung menetapkan tiga prinsip sederhana sebagai titik tolak:
1. Tujuan Sosial yang Disepakati: Istilah 'perdamaian' harus digunakan untuk tujuan sosial yang setidaknya disepakati secara verbal oleh banyak pihak.
2. Kemungkinan Realisasi: Tujuan sosial tersebut, meskipun kompleks dan sulit, haruslah mungkin untuk dicapai.
3. Absennya Kekerasan: Pernyataan bahwa "perdamaian adalah tidak adanya kekerasan" harus dipertahankan sebagai valid, yang secara dialektis menautkan konsep perdamaian dan kekerasan.
Prinsip ketiga ini bukanlah definisi akhir, melainkan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kedua konsep tersebut. Definisi akhir perdamaian, dalam strategi ilmiah Galtung, harus mengarahkan perhatian pada masalah-masalah sosial yang relevan pada masa kini dan masa depan.
1.3. Perluasan Konsep Kekerasan: Kesenjangan Aktual vs. Potensial (The Potentiality Gap)
Inti dari revolusi konseptual Galtung adalah perluasan definisi kekerasan. Ia secara eksplisit menolak konsep kekerasan yang sempit, yang hanya mencakup ketidakmampuan fisik atau perampasan kesehatan yang dilakukan dengan niat aktor. Menurut Galtung, jika definisi sempit ini yang dinegasikan, terlalu sedikit yang diubah ketika perdamaian diangkat sebagai cita-cita.
Definisi Inti Kekerasan Galtung:
Kekerasan didefinisikan sebagai situasi ketika manusia terpengaruh sedemikian rupa sehingga realisasi somatik (fisik) dan mental aktual mereka berada di bawah realisasi potensial mereka. Kekerasan, dalam pandangan ini, adalah penyebab perbedaan, atau kesenjangan, antara potensial (apa yang mungkin terjadi) dan aktual (apa yang ada). Kekerasan adalah kekuatan yang menghambat berkurangnya jarak antara potensi penuh manusia dan realitas hidup mereka.
Implikasi Revolusioner Kekerasan sebagai Kegagalan Sistemik
Dengan mendefinisikan kekerasan berdasarkan "potensi yang tidak terealisasi," Galtung secara fundamental mengubah kekerasan dari isu moral individu menjadi kegagalan sistemik yang terukur. Ini memaksa studi perdamaian untuk menjadi ilmu sosial yang kritis terhadap sistem, bukan sekadar studi militeristik atau studi perilaku kriminal. Implikasinya, negara atau sistem yang gagal menyediakan akses kesehatan, pendidikan, atau pangan yang secara teknologi dan sumber daya mungkin dicapai (potensial) adalah pelaku kekerasan, meskipun tidak ada tembakan yang dilepaskan.
Perubahan konsep kekerasan ini juga memperkenalkan dimensi tanggung jawab dinamis. Galtung mengilustrasikan ini dengan contoh tuberkulosis (TBC): Kematian karena TBC pada abad ke-18 sulit dianggap kekerasan karena keterbatasan wawasan dan sumber daya medis. Namun, jika kematian serupa terjadi hari ini, di mana sumber daya medis dan wawasan telah tersedia, maka kekerasan hadir dalam sistem, karena realisasi potensial individu untuk hidup sehat telah dihambat oleh sistem (kekerasan tidak langsung). Ini menunjukkan bahwa semakin besar potensi wawasan dan sumber daya yang dimiliki suatu masyarakat, semakin besar pula kekerasan yang dapat diatribusikan pada kegagalan struktural untuk memanfaatkannya.
Dimensi Tambahan Kekerasan
Galtung menguraikan dimensi kekerasan lebih lanjut:
1. Fisik vs. Psikologis: Kekerasan fisik (somatik) mencakup melukai hingga membunuh, termasuk 'biologis' (mengurangi kemampuan) atau 'fisik itu sendiri' (meningkatkan kendala gerakan, seperti dipenjara). Kekerasan psikologis bekerja pada jiwa, termasuk pencucian otak, indoktrinasi, ancaman, dan kebohongan, yang berfungsi mengurangi potensi mental.
2. Pendekatan Negatif vs. Positif: Kekerasan dapat terjadi melalui hukuman (pendekatan negatif) atau bahkan melalui penghargaan/imbalan (pendekatan positif). Galtung memperluas konsep ini hingga mencakup masyarakat konsumen, yang meskipun berorientasi pada imbalan (reward-oriented), ia dapat mengurangi jangkauan tindakan dan mencegah realisasi potensi manusia dengan membatasi pilihan yang tersedia.
BAB II: Segitiga Kekerasan (Violence Triangle): Tiga Wajah Penindasan
Konsep Segitiga Kekerasan Galtung (Violence Triangle) adalah model diagnostik yang sangat berpengaruh, berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kekerasan dalam masyarakat. Model ini sering dianalogikan dengan Model Gunung Es, di mana hanya sebagian kecil kekerasan yang terlihat, sementara akar penyebab yang lebih besar tersembunyi.
2.1. Kekerasan Langsung (Direct Violence)
Kekerasan langsung, atau sering disebut kekerasan personal, merupakan puncak gunung es yang paling mudah dikenali.
Definisi:
Kekerasan ini bersifat perilaku atau tindakan, terlihat secara jelas (visible), dan memiliki pelaku serta korban yang dapat diidentifikasi secara langsung. Kekerasan langsung berfokus pada penghancuran sarana realisasi potensi manusia secara langsung, seperti membunuh atau melukai.
Karakteristik dan Contoh:
Kekerasan langsung mencakup tindakan fisik (misalnya, kekerasan pada demonstran oleh aparat keamanan) dan verbal/psikologis (ancaman atau pencucian otak). Dalam konteks gender, ini merujuk pada perilaku kekerasan eksplisit, seperti penyerangan fisik atau pelecehan seksual, di mana perempuan dihadapkan pada permusuhan langsung. Jika dibandingkan dengan perang, kekerasan langsung adalah bentrokan fisik yang terlihat di lapangan.
2.2. Kekerasan Struktural (Structural Violence)
Kekerasan struktural adalah lapisan es di bawah permukaan air yang jauh lebih besar dan sulit dideteksi.
Definisi Mendalam:
Kekerasan struktural adalah kekerasan yang melekat dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi, di mana tidak ada pelaku tunggal yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara personal. Kekerasan ini terjadi ketika sistem atau lembaga kekuasaan membuat kebijakan atau menjalankan mekanisme yang secara sengaja atau tidak sengaja menyingkirkan kelompok tertentu dari akses dan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Secara esensial, kekerasan struktural adalah ketidakadilan sosial (social injustice).
Mekanisme dan Dampak:
Kekerasan struktural menghambat pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan keamanan. Korban kekerasan struktural sering kali mengalami kesulitan hidup yang kronis dan dapat berujung pada kematian karena ketidakmampuan mereka mengakses kebutuhan hidup secara normal, yang disebabkan oleh aturan atau kebijakan yang membatasi ruang kebebasan dan kreativitas.
Contoh Ilustratif:
- Kemiskinan Sistemik: Ketidakadilan distribusi kekuasaan dan sumber daya yang melanggengkan sistem kerja eksploitatif, seperti yang dialami oleh pekerja sektor informal.
- Diskriminasi Politik dan Ekonomi: Kasus pembatasan akses bagi anggota keluarga tahanan politik (tapol) masa Orde Baru untuk menjadi birokrat atau tentara. Pembatasan ini merampas ruang mereka untuk bekerja di sektor formal, secara otomatis mengganggu kebutuhan ekonomi mereka, yang merupakan manifestasi jelas dari kekerasan struktural.
- Rasisme dan Seksime Institusional: Struktur patriarki yang ada dalam masyarakat merupakan kekerasan struktural. Dalam kasus Jepang, seksisme institusional melanggengkan pembagian gender yang asimetris dalam urusan rumah tangga, meskipun perempuan memiliki latar belakang pendidikan tinggi, membebani mereka dengan sebagian besar tanggung jawab, yang merupakan penghambatan potensi realisasi.
2.3. Kekerasan Kultural (Cultural Violence)
Kekerasan kultural adalah dasar gunung es yang tersembunyi paling dalam, memberikan landasan kognitif dan moral bagi dua bentuk kekerasan lainnya.
Definisi:
Kekerasan kultural terdiri dari nilai, norma, simbol, dan aspek kebudayaan—seperti ideologi, agama, bahasa, seni, bahkan ilmu pengetahuan—yang digunakan untuk membenarkan (melegitimasi) aksi kekerasan langsung maupun struktural.
Fungsi dan Peran Sentral:
Kekerasan kultural berperan sebagai motor yang memungkinkan dan memelihara kekerasan struktural dan langsung. Fungsi utamanya adalah memberikan legitimasi moral, sehingga penindasan yang melekat dalam struktur terasa wajar, alami, atau bahkan suci.
Contoh Ilustratif:
- Patriarki dan Agama: Posisi perempuan seringkali dianggap tidak menguntungkan dalam budaya yang bersumber dari keyakinan-keyakinan tertentu, bahkan dianggap bernilai negatif dari sudut pandang agama tertentu. Bahasa itu sendiri dapat menjadi alat yang efektif untuk meminggirkan perempuan.
- Justifikasi Diskriminasi: Diskriminasi terhadap kelompok minoritas (agama, etnis) di Indonesia yang dilegitimasi oleh norma atau pandangan budaya tertentu merupakan kekerasan kultural. Contoh lain adalah tuduhan palsu terhadap kelompok rival (misalnya, dituduh tidak loyal atau sekutu kekuatan luar) yang digunakan sebagai alat justifikasi ideologis untuk memulai genosida (kekerasan langsung) dan kebijakan politik (kekerasan struktural).
2.4. Dinamika Interdependensi: Siklus Vicious Kekerasan
Ketiga bentuk kekerasan Galtung saling terkait dan berinteraksi dalam sebuah siklus. Kekerasan langsung hanyalah manifestasi luar yang terlihat dari akar yang jauh lebih dalam.
Struktur teoritis ini menjelaskan siklusnya: Kekerasan Kultural memberikan "izin moral" dan legitimasi pada Kekerasan Struktural. Kekerasan Struktural kemudian menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan yang mendasar, yang pada akhirnya memicu Kekerasan Langsung (misalnya, konflik terbuka, pemberontakan, atau kekerasan personal).
Jika upaya resolusi konflik hanya berfokus pada Kekerasan Langsung (misalnya, melalui gencatan senjata atau diplomasi sederhana), tanpa mengubah Struktur atau Budaya yang menopangnya, siklus kekerasan akan terus terulang. Kekerasan kultural, yang menanamkan penindasan dalam identitas kolektif (agama, bahasa, ideologi), merupakan domain yang paling deeply invisible dan, oleh karena itu, merupakan tantangan paling mendalam bagi upaya resolusi. Transformasi sejati, yang mengarah pada Perdamaian Positif, harus dimulai dari pembongkaran Kekerasan Kultural dan Struktural.
BAB III: Dualitas Perdamaian: Dari Absennya Perang menuju Keadilan Sosial
Galtung membedakan Perdamaian berdasarkan negasi dua sisi kekerasan (Personal dan Struktural), menghasilkan dualitas yang menjadi pilar inti Studi Perdamaian.
3.1. Perdamaian Negatif (Negative Peace)
Perdamaian Negatif didefinisikan sebagai ketiadaan kekerasan personal atau langsung. Fokus utama dari konsep ini adalah penghentian konflik atau perang terbuka.
Karakteristik dan Pendekatan:
Perdamaian negatif dicirikan sebagai pendekatan yang kuratif (curative)—hanya mengobati konflik yang sudah terjadi, dan cenderung pesimis karena hanya bertujuan pada status quo ketiadaan konflik tanpa mengatasi akar penyebab ketidakadilan. Contoh kebijakan dalam tradisi ini meliputi gencatan senjata (ceasefire), kontrol senjata, Konvensi Jenewa, dan strategi keseimbangan kekuasaan. Dalam analogi kesehatan, ini seperti memberikan obat untuk menghentikan gejala penyakit, tetapi tidak mencegahnya.
3.2. Perdamaian Positif (Positive Peace)
Perdamaian Positif dipandang Galtung sebagai cita-cita yang lebih tinggi. Konsep ini didefinisikan sebagai ketiadaan kekerasan struktural, yang secara positif diartikan sebagai keadilan sosial dan integrasi masyarakat manusia.
Karakteristik dan Pendekatan:
Perdamaian positif adalah kondisi yang didefinisikan secara positif, yaitu distribusi kekuasaan dan sumber daya yang egaliter. Pendekatannya bersifat preventif (preventive), bertujuan menciptakan struktur sosial yang mampu menahan penyakit sosial. Filosofinya optimis, berfokus pada peningkatan potensi manusia dan pembangunan struktural (vertical development). Kebijakan yang relevan meliputi pendidikan perdamaian, kerja sama internasional, resolusi sengketa, dan, yang paling penting, transformasi struktural.
Perbandingan antara kedua paradigma perdamaian ini dapat disintesiskan sebagai berikut:
Tabel Perbandingan Paradigma Perdamaian: Negatif vs. Positif
3.3. Jalan Menuju Perdamaian Positif: Spiral Kebajikan (Virtuous Spiral)
Galtung percaya bahwa penanggulangan jangka panjang hanya dapat dicapai melalui pendekatan perdamaian positif9 Untuk mencapai kondisi ini, diperlukan transformasi mendalam, yang dijelaskan melalui Spiral Kebajikan Perdamaian. Spiral ini menunjukkan urutan strategis di mana transformasi harus terjadi:
1. Perdamaian Kultural: Ini adalah langkah pertama, yang melibatkan perubahan nilai, simbol, dan keyakinan (misalnya, menghapus ideologi diskriminatif atau patriarki) yang digunakan untuk membenarkan kekerasan.
2. Perdamaian Struktural: Menciptakan sistem yang adil, yaitu melalui reformasi ekonomi, politik, dan sosial untuk mencapai distribusi kekuasaan dan sumber daya yang egaliter.
3. Perdamaian Langsung: Hasil alami dari dua transformasi di atas, yang termanifestasi sebagai absennya konflik terbuka.
Proses yang mengalir dari perdamaian kultural melalui perdamaian struktural menuju perdamaian langsung inilah yang akan menghasilkan perdamaian positif.
3.4. Koneksi dengan Teori Pembangunan dan Kritik Imperialisme
Konsep perdamaian Galtung sangat erat kaitannya dengan teori pembangunan (development theory). Ketiadaan kekerasan struktural adalah prasyarat dan sekaligus definisi dari pembangunan vertikal (vertical development) yang sejati.
Galtung memosisikan Perdamaian Positif sebagai kritik ideologi pembangunan. Ia mengkritik model pembangunan Kapitalis dan Sosialis konvensional karena cenderung melayani kepentingan kelompok berkuasa, menghasilkan surplus ekonomi yang memerlukan kekuatan koersif (kekerasan struktural) untuk dipertahankan.
Model Pusat-Periferi dan Kritik Struktural
Kerangka teoritis Galtung yang paling jelas menjelaskan manifestasi kekerasan struktural adalah model Pusat-Periferi (Center-Periphery). Model ini adalah metafora spasial yang menggambarkan hubungan struktural yang asimetris antara "pusat" (metropolitan, negara maju) dan "periferi" (negara kurang berkembang).
Hubungan ini ditandai oleh ketidaksetaraan dalam pembagian kerja, di mana sumber daya dialihkan dari periferi oleh pusat, menyebabkan tingginya indeks pengangguran dan pembangunan yang tidak merata di periferi. Galtung menyiratkan bahwa Perdamaian Positif bukanlah hasil sampingan dari pertumbuhan ekonomi, melainkan pra-kondisi yang mengharuskan pembongkaran struktur eksploitatif global dan domestik yang dilanggengkan oleh hubungan Pusat-Periferi.
BAB IV: Metodologi Penelitian Perdamaian Non-Kekerasan
Galtung tidak hanya menetapkan tujuan sosial yang radikal (Perdamaian Positif), tetapi juga menuntut sebuah revolusi dalam cara ilmu sosial dijalankan. Ia berpendapat bahwa proses penelitian itu sendiri haruslah non-kekerasan untuk memastikan bahwa metodologi yang digunakan tidak melanggengkan kekerasan struktural yang sama yang berusaha ia kritik.
4.1. Kritik Terhadap Metodologi Ilmu Sosial Konvensional
Metodologi konvensional ilmu sosial, termasuk dalam penelitian perdamaian, menurut Galtung, cenderung mereproduksi dan memperkuat struktur kekerasan struktural. Hal ini terjadi melalui asimetri hubungan antara peneliti dan yang diteliti.
Galtung menuntut agar setiap ilmuwan sosial harus eksplisit (jujur) mengenai basis nilai tempat mereka berdiri, dan jenis masyarakat seperti apa yang ingin mereka promosikan melalui alat ilmu sosial yang dipilih. Selain itu, setiap ilmuwan harus memiliki reversibility (timbal balik), yaitu kemauan untuk berdiskusi dan berpartisipasi.
4.2. Empat Dimensi Kekerasan Struktural dalam Penelitian (Asimetri)
Galtung mengidentifikasi empat asimetri dalam ilmu sosial tradisional yang mencerminkan kekerasan struktural:
1. Eksploitasi (Anti-Kesetaraan): Penelitian dilakukan atas orang, bukan bersama orang. Ini menciptakan pembagian kerja vertikal, di mana peneliti di "pusat" berspesialisasi dalam pemrosesan data (menghasilkan wawasan), sementara peneliti atau pihak di "pinggiran" hanya mengekstrak data mentah. Ini menghasilkan ketidaksetaraan dalam distribusi manfaat, khususnya dalam pembentukan kesadaran.
2. Penetrasi (Anti-Horizontalitas): Peneliti memiliki lebih banyak pengetahuan tentang yang diteliti daripada sebaliknya. Asimetri ini mengandalkan asumsi bahwa yang diteliti harus terbuka dan telanjang (membuka diri), sementara peneliti tetap tertutup, rahasia, dan misterius.
3. Fragmentasi (Anti-Holistik): Teknik penelitian yang disukai, seperti kuesioner dan wawancara, cenderung memecah-belah individu dan menyajikan gambaran realitas yang teratomisasi. Struktur ini diyakini mendukung kontrol dari atas dan fragmentasi masyarakat.
4. Marjinalisasi/Vertikalisasi (Anti-Dinamis): Peneliti menempatkan diri mereka sebagai "warga kelas satu" atau titik tetap dalam jagat sosial, dari mana perubahan pada "kelas dua" (yang diteliti) dapat diamati. Peneliti mengambil peran sebagai semacam campuran guru dan hakim, menguji yang diteliti tanpa menguji diri mereka sendiri.
Koherensi antara Teori dan Praksis
Kritik ini menunjukkan bahwa bagi Galtung, Penelitian Perdamaian adalah praktik moral. Jika metodologi tidak diubah, peneliti dari "Pusat" yang mengekstrak "data mentah" dari "Periferi" tanpa timbal balik atau pembentukan kesadaran pada dasarnya mereplikasi hubungan Pusat-Periferi di tingkat epistemologis. Oleh karena itu, Galtung menuntut koherensi antara teori (apa yang dipelajari) dan praksis (bagaimana ia dipelajari).
4.3. Metodologi Alternatif: Ilmu Sosial yang Non-Kekerasan
Metodologi non-kekerasan yang diusulkan oleh Galtung harus secara langsung berlawanan dengan empat asimetri di atas. Penelitian harus berorientasi pada partisipasi dan horizontalitas:
- Anti-Eksploitasi (Kesetaraan): Penelitian harus dilakukan bersama orang, melibatkan dialog dialektis. Pembagian kerja vertikal harus dihapus. Mereka yang terlibat langsung dalam masalah sosial harus dimasukkan ke dalam tim peneliti sejak awal, dan produk penelitian harus menjadi urusan bersama, tersedia bagi mereka yang diteliti. Penelitian dipandang sebagai cara pembentukan kesadaran.
- Anti-Penetrasi (Horizontalitas): Peneliti harus bersedia melihat diri mereka sebagai peserta dalam proses penelitian, bukan hanya sebagai pengamat dari luar. Ini secara praktis berarti membenamkan diri dalam situasi konkret dan mengalami dinamisme realitas sosial bersama dengan subjek penelitian.
- Anti-Fragmentasi (Holistik): Penggunaan teknik atomistik harus dikurangi secara signifikan. Metodologi harus menghindari tujuan manipulatif. Sebaliknya, peneliti harus menyajikan masalah kepada populasi terkait, mendiskusikannya secara terbuka, dan kemudian bersama-sama memutuskan tindakan eksperimental.
- Anti-Marjinalisasi (Partisipatif/Dinamis): Peneliti harus melepaskan peran sebagai titik tetap dan bertindak sebagai mitra yang hidup dan dinamis. Investigasi harus menjadi proses di mana yang diteliti dan peneliti bersama-sama bertindak sebagai bagian dari eksperimen dan membuat laporan bersama.
Setiap ilmuwan yang terlibat dalam penelitian perdamaian harus terus mengajukan dua pertanyaan kunci: "Apa visi kita tentang yang alternatif?" dan "Apa strategi kita yang mengarah pada realisasinya?".
BAB V: Aplikasi, Kritik, dan Warisan Teoritis
5.1. Aplikasi Teoritis dalam Isu Gender dan Feminisme
Konsep Segitiga Kekerasan Galtung terbukti cukup komprehensif untuk menganalisis kekerasan berbasis gender di semua tingkatan. Feminisme melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai mekanisme sentral subordinasi perempuan, dan kerangka Galtung memberikan alat diagnostik yang kuat:
- Kekerasan Langsung: Kekerasan fisik atau psikologis yang jelas, di mana perempuan dihadapkan pada permusuhan langsung.
- Kekerasan Struktural: Struktur patriarki yang ada dalam masyarakat merupakan kekerasan struktural. Ini termanifestasi sebagai seksisme institusional dalam lingkungan kerja atau pembagian tanggung jawab rumah tangga yang asimetris, seperti di Jepang, di mana perempuan masih dibebankan sebagian besar tanggung jawab, menghambat realisasi potensi mereka di bidang lain.
- Kekerasan Kultural: Nilai-nilai patriarki yang bersumber dari keyakinan tertentu (misalnya, agama atau ideologi) seringkali memosisikan perempuan secara tidak menguntungkan atau menggunakan bahasa untuk meminggirkan mereka. Kekerasan kultural ini melegitimasi subordinasi, menjadikannya terasa normal.
Dalam upaya mewujudkan perdamaian, Galtung mendambakan kesetaraan antar-jenis kelamin, di mana ada kerja sama dan keseimbangan peran antara pria dan wanita, yang semuanya mengarah pada proses perdamaian yang inklusif.
5.2. Kritik Akademis terhadap Kerangka Galtung
Meskipun sangat berpengaruh, kerangka teoritis Galtung tidak lepas dari kritik akademis:
1. Definisi Terlalu Luas (Conceptual Stretching): Kritik utama adalah bahwa definisi kekerasan Galtung—berdasarkan perbedaan antara realisasi aktual dan potensial—sangat luas. Dengan memasukkan setiap kegagalan sistemik yang menghambat potensi manusia (misalnya, kemiskinan, penyakit yang dapat disembuhkan), konsep ini berisiko kehilangan kekuatan analitisnya dan menjadi kabur. Ketika segala sesuatu adalah "kekerasan," kekuatan eksplanatif konsep tersebut untuk mengisolasi fenomena kekerasan tertentu dapat berkurang.
2. Asumsi Positivistik dalam Pembangunan Awal: Beberapa akademisi, seperti Sorensen, mengkritik pandangan Galtung tentang pembangunan pada awalnya dinilai masih mengandung asumsi yang agak positivistik. Meskipun demikian, Galtung sendiri kemudian mendorong "pembangunan alternatif" yang berorientasi pada kebutuhan dan transformasi struktural menuju positive peace development.
5.3. Kesimpulan: Warisan Abadi Galtung
Johan Galtung telah meninggalkan warisan intelektual yang mengubah lanskap studi hubungan internasional dan konflik. Melalui konsep segitiga kekerasan dan dualitas perdamaian, Galtung menjadi pemikir yang paling berpengaruh abad ini dalam domain perdamaian dan konflik, dengan karyanya digunakan secara luas oleh akademisi, LSM, dan pembuat kebijakan.
Warisan abadi Galtung terletak pada kemampuannya untuk mendefinisikan perdamaian bukan hanya sebagai ketiadaan perang, tetapi sebagai upaya transformasi radikal struktural dan kultural demi mencapai Keadilan Sosial (Perdamaian Positif). Pendekatan ini secara inheren menuntut bahwa solusi jangka panjang untuk konflik harus mengatasi massa es tersembunyi—kekerasan struktural dan kultural—bukan hanya puncak yang terlihat (kekerasan langsung). Transformasi menuju Perdamaian Positif memerlukan perubahan normatif yang mendalam (Perdamaian Kultural) yang akan menopang reformasi sistem yang adil (Perdamaian Struktural) untuk memastikan potensi kemanusiaan dapat terealisasi sepenuhnya.
Sumber:
Akar-akar kekerasan menurut Johan Galtung. (2025, Oktober 22). Indonesiana.id. https://www.indonesiana.id/read/182764/akar-akar-kekerasan-menurut-johan-galtung
Centre-periphery model. (2025, Oktober 22). Oxford Reference. https://www.oxfordreference.com/abstract/10.1093/acref/9780199683581.001.0001/acref-9780199683581-e-239
CENTRE PERIPHERY RELATIONSHIP. (2025, Oktober 22). ICIDR. https://icidr.org/ijedri_vol2no1_april2011/Centre-periphery%20Relationship%20in%20the%20Understanding%20of%20Development%20of%20Internal%20Colonies.pdf
DONE_SAA_Fajriatun Nisa Islami_1191020026_Perempuan penghayat kepercayaan dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan (Studi kasus). (2025, Oktober 22). UIN Sunan Gunung Djati Digital Library. https://digilib.uinsgd.ac.id/67928/4/4_bab1.pdf
Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167–191. London: SAGE Publications.
Johan Galtung, 1930–2024: A life dedicated to peace. (2025, Oktober 22). Vision of Humanity. https://www.visionofhumanity.org/johan-galtung-1930-2024/
Konsep kekerasan Johan Galtung. (2025, Oktober 22). ResearchGate. https://www.researchgate.net/profile/Gili-Argenti/publication/378306112_Konsep_Kekerasan_Johan_Galtung/links/65d34a4101325d465211c5a0/Konsep-Kekerasan-Johan-Galtung.pdf
Negative versus positive peace. (2025, Oktober 22). Irénées. https://www.irenees.net/bdf_fiche-notions-186_en.html
Pemikiran Johan Galtung tentang kekerasan dalam perspektif feminisme. (2025, Oktober 22). Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/228968-pemikiran-johan-galtung-tentang-kekerasa-c0792310.pdf
Pemikiran Johan Galtung tentang kekerasan dalam perspektif feminisme. (2025, Oktober 22). ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/325401227_Pemikiran_Johan_Galtung_tentang_Kekerasan_dalam_Perspektif_Feminisme
REFLEKSI tentang kekerasan pembangunan: Menuju pembangunan perspektif HAM. (2025, Oktober 22). Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11147/8387
TRANSCEND Media Service. (2025, Oktober 22). Johan Galtung: Positive and negative peace. https://www.transcend.org/tms/2024/07/johan-galtung-positive-and-negative-peace/
Untitled – Is peace research possible? On the methodology of peace research. (2025, Oktober 22). TRANSCEND International. https://www.transcend.org/galtung/papers/Is%20Peace%20Research%20Possible%20-%20On%20the%20Methodology%20of%20Peace%20Research.pdf
Violence, peace, and peace research (Author: Johan Galtung). (2025, Oktober 22). Kobe University Repository. https://www2.kobe-u.ac.jp/~alexroni/IPD%202015%20readings/IPD%202015_7/Galtung_Violence,%20Peace,%20and%20Peace%20Research.pdf
11 BAB II Bentuk ketidaksetaraan sebagai kekerasan gender di Jepang. (2025, Oktober 22). Universitas Diponegoro Institutional Repository. https://eprints2.undip.ac.id/8364/3/BAB%202.pdf



Post a Comment