Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun: Analisis Komprehensif atas Landasan Sosiologi Sejarah, Politik, dan Ekonomi
I. Pendahuluan: Konteks Intelektual dan Genesis Ilm Al-Umran
A. Konteks Historis dan Biografis Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, atau Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun (1332–1406 M), adalah seorang intelektual Muslim dari Tunisia yang lahir dari keluarga aristokrat. Latar belakangnya tidak hanya memberinya pendidikan yang luas, tetapi juga memposisikannya langsung di tengah kancah politik. Beliau menghabiskan karirnya di Afrika Utara, menduduki jabatan tertinggi dalam administrasi negara, dan terlibat dalam hampir semua pertikaian politik di masanya. Pengalaman langsungnya menyaksikan naik turunnya dinasti, serta kegagalan dan kesuksesan pemerintahan, memberikan beliau perspektif empiris yang unik mengenai hukum perubahan sosial.
Pengalaman ini memotivasinya untuk menyusun karya monumentalnya, Muqaddimah (Prolegomena), yang sebenarnya berfungsi sebagai pengantar filosofis dan metodologis untuk karya sejarahnya yang lebih besar, Kitab al-Ibar (Kitab Pelajaran). Muqaddimah kemudian diakui sebagai karya fenomenal yang meletakkan dasar bagi ilmu sosiologi dan filsafat sejarah.
B. Revolusi Metodologis: Kritik Historiografi
Kontribusi paling fundamental dari Muqaddimah adalah kritik mendalamnya terhadap historiografi tradisional dan revolusi metodologis yang diusulkannya. Ibnu Khaldun menyadari bahwa penulisan sejarah pada masanya cenderung mengalami distorsi dan kebohongan, seringkali hanya menjadi sekumpulan berita mitologis yang dicatat kembali tanpa verifikasi.
Kritik beliau diarahkan pada para sejarawan yang hanya menukil (menulis kembali) berita yang mereka terima tanpa melakukan kritisasi sumber. Menurut analisis beliau, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kesalahan historiografi ini: pertama, adanya semangat fanatisme sejarawan terhadap mazhab atau kelompok tertentu, atau keterlibatan dalam kepentingan politik, yang mengorbankan kejujuran informasi. Kedua, terlalu percaya pada orang yang menukilkan berita, sehingga beliau berpendapat pentingnya personality criticism (kritik kepribadian) terhadap penukil. Ketiga, ketidaktahuan sejarawan tentang watak dasar peradaban dan kondisi-kondisi sosial yang sebenarnya sesuai dengan realitas. Kebohongan sejarah yang tak terhindarkan, menurut Ibnu Khaldun, adalah ketidaktahuan tentang berbagai watak kondisi yang muncul dalam peradaban.
Untuk mengatasi masalah ini, beliau mengusulkan bahwa sejarah harus diverifikasi melalui ilmu empiris yang mampu menganalisis kausalitas sosial. Dengan demikian, Muqaddimah mengubah sejarah dari sekadar catatan kronologis peristiwa menjadi ilmu kausalitas sosial, menjadikannya fondasi filsafat sejarah modern.
C. Pengantar Ilmu Baru: Ilm Al-Umran
Sebagai landasan metodologis untuk memahami sejarah, Ibnu Khaldun memperkenalkan ilmu baru yang disebut Ilm Al-Umran atau Ilmu Peradaban. Kata umran sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti mendiami, menghuni, bertumbuh, meningkat, membangun, berkembang maju, dan makmur.
Al-Umran didefinisikan sebagai ilmu yang mandiri (independent science), terpisah dari semua ilmu lain, karena ia membahas mengenai sifat-sifat dasar kenyataan alamiah, serta fenomena kemanusiaan, sosial, dan tamadun manusia. Objek studi Al-Umran adalah asosiasi manusia (human association) dan kebudayaan (civilization), berfokus pada analisis prinsip sejarah, yaitu perubahan masyarakat yang bergerak dari kelompok kecil menuju kelompok yang lebih besar. Ilmu ini bertujuan untuk memahami kemakmuran sejagat (umran al-alam) yang harus memenuhi tiga kriteria mendasar: masyarakat yang beragama dan berakhlak mulia, masyarakat yang bekerjasama dan bersatu padu, dan pemerintahan yang adil dan saksama.
II. Bab 1 & 2: Landasan Sosiologi Politik — Teori Ashabiyah dan Dualisme Peradaban
Bab-bab awal Muqaddimah menguraikan hakikat asosiasi manusia dan kekuatan pendorong di balik perubahan sosial dan politik: solidaritas kelompok, yang disebut Ashabiyah.
A. Keniscayaan Asosiasi Manusia (Ta'awun)
Ibnu Khaldun memulai dengan premis bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mereka tidak mampu bertahan hidup sendiri, melainkan secara alamiah cenderung hidup berkelompok, saling bergantung, dan membutuhkan gotong royong untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia akan makanan dan perlindungan dari kekerasan mendorong pembentukan organisasi kemasyarakatan. Oleh karena itu, negara adalah suatu keniscayaan bagi peradaban (Umran), berfungsi untuk memastikan orang hidup bersama-sama, aman, tenang, dan saling melengkapi dengan menciptakan berbagai kebudayaan.
B. Teori Ashabiyah: Dinamika Solidaritas Sosial
Ashabiyah adalah konsep sentral dalam sosiologi Khaldunian. Secara etimologis, ia berarti mengikat. Secara fungsional, Ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya atau solidaritas sosial yang menekankan kesadaran, kepaduan, dan persatuan kelompok.
Ashabiyah memiliki peran ganda dalam sejarah dan politik. Dalam makna positif, ia menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood) dan menjadi kekuatan dahsyat yang menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Semangat ini mendorong masyarakat untuk bekerja sama dan mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest). Namun, jika Ashabiyah diarahkan secara negatif menjadi fanatisme buta yang tidak didasarkan pada kebenaran atau agama, ia dapat membahayakan stabilitas dan keadilan pemerintahan.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa Ashabiyah adalah faktor esensial bagi kelanjutan sebuah negara atau dinasti. Suatu negara tidak dapat didirikan tanpa Ashabiyah yang kuat, dan besarnya pengaruh negara sangat bergantung pada kekuatan solidaritas pendukungnya. Agama memiliki peran penting dalam membentuk persatuan dalam Ashabiyah, bahkan melebihi faktor-faktor lain seperti suku atau keturunan.
C. Dialektika Umran Badawi dan Umran Hadhari
Perkembangan peradaban manusia (Umran) bergerak secara dialektis dari kultur tradisional (Umran Badawi) menuju kultur modern (Umran Hadhari), didorong oleh dua aspek utama manusia: Fikir (intelektualitas) dan Al-hayawaniyyah wa al-ghidza'iyyah (kebutuhan nutritif).
1. Umran Badawi (Kultur Nomad/Desa)
Masyarakat Badawi adalah kelompok pengembara atau desa yang belum mencapai kematangan (Tatamad dan Al-Madinah). Kehidupan mereka cenderung memusatkan diri pada usaha mencukupi kebutuhan dasar, terutama pertanian (al-aqwat). Ciri sosial mereka adalah kesederhanaan, kebebasan, kohesifitas, dan keberanian spontan. Di lingkungan yang keras ini, Ashabiyah sangat kuat karena kebutuhan mutlak untuk bertahan hidup dan saling melindungi.
2. Umran Hadhari (Kultur Kota/Civic)
Umran Hadhari adalah tahap peradaban yang matang (Al-Kamalat Min Al-Ma'ash), di mana kota-kota maju, lapangan kerja bermunculan, dan masyarakat mulai memanfaatkan surplus kekayaan (al-za'id). Ciri sosialnya adalah kompleksitas, pembedaan (inequality), dan peningkatan kepentingan pribadi (self-interest). Di kota, kaum kaya raya dan pedagang membutuhkan proteksi dan wibawa, yang mereka cari dari raja, menunjukkan hilangnya kohesi horizontal yang kuat.
3. Ironi Peradaban
Analisis Khaldunian menunjukkan bahwa puncak pencapaian Hadhari secara intrinsik membawa benih kehancuran. Ashabiyah yang kuat dari kaum Badawi adalah kekuatan yang menaklukkan dan mendirikan dinasti, membawa pada kemakmuran dan urbanisasi (Hadhari). Namun, kemewahan dan kompleksitas hidup Hadhari menghancurkan kesederhanaan dan kebutuhan mendesak yang menjadi sumber Ashabiyah itu sendiri. Solidaritas digantikan oleh ketergantungan pada penguasa, menyebabkan kemerosotan moral dan sosial-material. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, peradaban bersifat self-destructive karena mekanisme sosial-ekonomi yang muncul dari keberhasilannya sendiri.
Tabel berikut merangkum pergerakan dialektik sosial-politik yang menjadi inti Bab 1 dan 2 Muqaddimah.
Perbandingan Kritis Umran Badawi dan Umran Hadhari
III. Bab 3 & 4: Filsafat Politik dan Hukum Siklus Dinasti
Bab 3 dan 4 menganalisis proses pembentukan kekuasaan (Al-Mulk) dan merumuskan hukum alamiah yang mengatur siklus hidup setiap negara.
A. Keniscayaan Kekuasaan dan Tipologi Kepemimpinan
Kekuasaan (dominasi) adalah hasil alami dari asosiasi manusia yang didorong oleh Ashabiyah. Pemerintahan atau kerajaan tidak mungkin bertahan tanpa adanya dukungan dari kelompok yang memiliki semangat Ashabiyah. Tugas pemimpin adalah memastikan keamanan dan keadilan.
Ibnu Khaldun membagi tipologi negara berdasarkan sifat kekuasaan:
1. Al-Mulk al-Thabi'yy: Negara dengan sifat alami kekuasaan, yang cenderung otoriter. Pemimpin bertindak sewenang-wenang, mengabaikan keadilan, dan mengutamakan keunggulan serta kekuatan pribadi. Tipe ini adalah representasi "Raja" dalam pengertian kekuasaan yang tidak dibatasi etika.
2. Al-Mulk al-Siyaasiy: Negara bercirikan kekuasaan politik yang dibagi menjadi dua bentuk:
- Negara Hukum (Siyasah Diniyah): Ini adalah bentuk ideal yang didasarkan pada syariah (Al-Qur'an dan Hadits), di mana akal manusia juga berperan penting. Tipe ini membutuhkan pemimpin yang adil (seperti Khalifah/Imam) dan dianggap sebagai bentuk tatanan politik yang paling stabil dan bertahan lama.
- Hukum Sekuler (Syasah Aqliyah): Negara yang hanya bersandar pada hukum hasil akal manusia, tanpa memperhatikan hukum yang bersumber dari wahyu.
B. Siklus Kehancuran Dinasti dan Hukum Sejarah
Ibnu Khaldun merumuskan bahwa perubahan dan pengembangan sejarah adalah pokok dari Ashabiyah. Oleh karena itu, setiap dinasti memiliki siklus hidup yang mengikuti lima tahapan, yang secara fundamental didorong oleh degradasi Ashabiyah dan kemakmuran Hadhari.
1. Tahap Penaklukan (Primitif)
Pada tahap ini, Ashabiyah masih sangat kuat, berbasis kesukuan atau ikatan darah. Kelompok ini fokus pada kelangsungan hidup dan penaklukan kekuasaan, seringkali ditandai dengan sifat kekerasan.
2. Tahap Konsolidasi (Real Estat)
Kekuasaan terkonsentrasi di tangan satu individu atau keluarga. Penguasa mulai memisahkan diri dari kelompok pendiri dan mengubahnya dari gaya hidup hemat menjadi boros. Ashabiyah mulai melemah karena legitimasi dicari di luar ikatan suku asli.
3. Tahap Kemewahan (Puncak Hadhari)
Ini adalah puncak kesejahteraan peradaban. Penguasa dan masyarakat mulai mencari kesenangan dan melupakan kekerasan. Ashabiyah kelompok digantikan oleh loyalitas pribadi, seperti bawahan atau budak yang setia secara individual, bukan karena ikatan darah.
4. Tahap Stagnasi/Penyakit
Keterampilan para penguasa menurun, namun komitmen mereka terhadap kesenangan semakin meningkat. Gaya hidup yang boros membebani keuangan negara, memaksa penguasa menaikkan pajak. Peningkatan pajak ini merusak basis ekonomi rakyat dan menyebabkan ketidakpuasan.
5. Tahap Keruntuhan (Decline)
Negara berada dalam periode kelemahan total, ditandai oleh kemerosotan moral, ekonomi, dan hilangnya Ashabiyah. Dinasti menjadi sasaran serangan eksternal oleh kelompok Badawi baru yang memiliki Ashabiyah kuat, mengakhiri siklus tersebut.
Analisis Khaldunian menunjukkan sebuah kausalitas sosial yang tegas: kemakmuran kota (Hadhari) menghasilkan kemewahan penguasa. Kemewahan ini melemahkan Ashabiyah, dan kebutuhan dana untuk menopang kemewahan memaksa penguasa melakukan intervensi ekonomi yang merusak (seperti pajak tinggi atau perdagangan raja). Kerusakan pada basis ekonomi rakyat ini, pada gilirannya, mempercepat kejatuhan dinasti. Dengan kata lain, kehancuran negara disebabkan oleh penyakit internal yang disebarkan oleh kemewahan dan hilangnya kohesi sosial.
Tahapan Siklus Hidup Dinasti (Siklus Khaldunian)
IV. Bab 5: Fondasi Ekonomi Khaldunian dan Mata Pencaharian
Bab 5 membahas sosiologi ekonomi, yang menganalisis bagaimana kekayaan dihasilkan dalam konteks peradaban, serta bagaimana kebijakan fiskal negara mempengaruhi Umran.
A. Teori Nilai Kerja dan Klasifikasi Penghasilan
Ibnu Khaldun membedakan secara tegas antara dua jenis penghasilan atau keuntungan: Kasb dan Ribh.
1. Kasb: Nilai yang dihasilkan dari tenaga kerja. Ini merujuk pada nilai yang diperoleh dari pekerjaan atau produksi.
2. Ribh: Keuntungan kotor (gross earning) yang diperoleh dari perdagangan, yaitu selisih antara harga beli dan harga jual.
Penekanan Ibnu Khaldun pada Kasb menunjukkan adopsi awal konsep Labor Theory of Value (Teori Nilai Kerja), di mana nilai suatu barang ditentukan oleh tenaga kerja yang dimasukkan. Pemikiran ekonomi beliau ini mencakup bahasan komprehensif tentang nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, serta makroekonomi dari pajak dan pengeluaran. Kerajinan dan industri menduduki peringkat budaya yang lebih tinggi dan lebih luas ketimbang pertanian dan perdagangan, seringkali menjadi ciri khas masyarakat kota yang lebih maju dan konsumtif.
B. Mekanisme Pasar dan Fungsi Uang
Ibnu Khaldun telah memiliki pemahaman mendalam mengenai fungsi uang, yang memiliki relevansi dengan teori ekonomi makro modern. Beliau mengemukakan empat fungsi utama uang: sebagai Alat Ukur Nilai, Alat Tukar (medium of exchange) di pasar, Penyimpan Nilai (store of value), dan Alat Akumulasi Modal.
Dalam mekanisme pasar, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pasar memiliki mekanisme sendiri yang dipengaruhi oleh pembangunan masyarakat dan kelonggaran aktivitas pasar oleh pemerintah. Beliau secara eksplisit menyarankan agar intervensi pemerintah dalam penentuan harga diserahkan seluruhnya pada masyarakat dan kekuatan penawaran/permintaan. Harga yang stabil dengan biaya hidup yang relatif rendah sangat dibutuhkan karena memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang merupakan mayoritas populasi.
C. Prinsip Kebijakan Fiskal (Keadilan dan Pajak)
Ibnu Khaldun menyajikan analisis yang maju mengenai dampak kebijakan fiskal. Beliau menjelaskan bahwa pajak dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian dan penerimaan negara dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
1. Dampak Pajak Tinggi
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pembebanan pajak yang terlalu tinggi hanya akan meningkatkan penerimaan negara dalam waktu singkat. Namun, dalam jangka panjang, penerimaan pajak justru akan menurun, bahkan jika tarifnya tinggi. Hal ini terjadi karena pajak yang tinggi meningkatkan biaya produksi, yang kemudian menyebabkan harga jual tinggi. Akibatnya, permintaan menurun, tingkat penghasilan masyarakat menurun, dan pada akhirnya berimbas pada penurunan total penerimaan pajak yang dibayar oleh pengusaha. Fenomena ini, yang kini dikenal sebagai "Kurva Laffer", menunjukkan bahwa pemikiran Khaldun tentang pajak mendahului para ekonom Barat.
2. Kritik Terhadap Perdagangan Raja
Kritik paling keras Khaldun terkait intervensi negara adalah praktik Perdagangan Raja (perdagangan yang dilakukan oleh raja atau negara). Beliau berpendapat bahwa raja seharusnya memperoleh pendapatan cukup dari pajak, bukan dengan berdagang. Perdagangan raja sangat merusak ekonomi rakyat dan peradaban (Umran) karena beberapa alasan: raja memiliki modal tak terbatas, raja kadang memaksa pedagang menjual dagangan dengan harga murah atau merampasnya, dan barang dagangan raja bebas dari pajak dan bea-cukai. Kompetisi yang tidak seimbang ini secara kolektif memberikan implikasi destruktif bagi peradaban dan mengancam disintegrasi bangsa.
Secara keseluruhan, Ibnu Khaldun menekankan bahwa kesejahteraan dan kedamaian hanya dapat tercapai di bawah kepastian keadilan. Kekayaan rakyat berhubungan langsung dengan keuangan negara, di mana uang yang dikumpulkan melalui pajak (jibayah dan kharaj) harus kembali kepada rakyat melalui pemberian, menegaskan pentingnya konsep distributive justice untuk mewujudkan keadilan pembangunan.
V. Bab 6: Sosiologi Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Bab terakhir Muqaddimah menyajikan pandangan Ibnu Khaldun mengenai ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan, menunjukkan betapa besarnya perhatian beliau terhadap kapasitas intelektual sebagai penopang peradaban.
A. Keharusan Ilmu Pengetahuan bagi Umran
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan adalah suatu yang niscaya dan harus dimiliki oleh setiap bangsa. Hal ini bukan semata-mata untuk kemajuan spiritual, tetapi juga memiliki tujuan praktis: suatu bangsa atau negara dapat mengatur negaranya dengan baik, sehingga ilmu pengetahuan harus bermanfaat dalam kehidupan sosial. Beliau mengklasifikasikan ilmu menjadi Ilmu Agama (seperti Fiqh, Tafsir) dan Ilmu Rasional/Akal (seperti sosiologi, logika, matematika).
B. Kritik dan Metode Pengajaran Tiga Tahap
Ibnu Khaldun mengkritik keras metode pengajaran yang lazim pada zamannya, yaitu metode berulang (drill) dan hafalan (tahfidz). Metode ini menimbulkan gejala verbalistik dan membeo, di mana peserta didik sekadar meniru perkataan orang lain tanpa benar-benar memahami maknanya.
Kritik ini memiliki implikasi yang mendalam: apabila suatu peradaban, terutama di Tahap Stagnasi Hadhari, gagal mengembangkan akal kritis dan sintesis, masyarakatnya akan kehilangan kemampuan untuk mengatur negara dengan baik, yang pada akhirnya mempercepat keruntuhan dinasti.
Sebagai respons, Ibnu Khaldun menggagas metode pengajaran progresif tiga tahap yang menitikberatkan pada pemahaman dan aplikasi praktis:
1. Tahap Pertama (Sabil al-Ijmal): Penyajian global, memperkenalkan hal-hal pokok dan prinsip-prinsip dasar suatu disiplin ilmu secara ringkas.
2. Tahap Kedua: Penyajian detail, menghubungkan antar-cabang ilmu, dan memperluas cakupan pembahasan.
3. Tahap Ketiga (Pendalaman): Menekankan pada analisis dan sintesis mendalam, serta penggunaan akal untuk mencapai pemahaman yang matang. Tahap ini bertujuan membentuk masyarakat yang siap secara intelektual.
VI. Kesimpulan: Warisan Intelektual dan Relevansi Abadi
A. Warisan Muqaddimah
Muqaddimah telah diakui secara luas oleh sarjana Barat dan Timur sebagai salah satu hasil pemikiran manusia yang paling tinggi dan bernilai, jauh melampaui karya-karya historiografi Eropa pada abad ke-15. Karya ini memberikan kontribusi besar bagi pengembangan ilmu sejarah, ilmu-ilmu sosial, dan filsafat sejarah, menempatkan Ibnu Khaldun sebagai ahli filsafat sejarah terbesar pada zamannya.
Keberhasilan karya ini terletak pada metode analitis Ibnu Khaldun yang berani melakukan kritik terhadap berita sejarah yang diterima, meneliti setiap negara dan dinasti secara teliti dari permulaan hingga akhir, dan mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam tulisannya. Pendekatan ini memungkinkan beliau untuk merumuskan hukum kausalitas sosial yang berlaku universal bagi semua peradaban.
B. Relevansi Konsep Khaldunian Kontemporer
Meskipun ditulis pada abad ke-14, teori-teori dalam Muqaddimah tetap relevan untuk menganalisis dinamika politik dan ekonomi kontemporer.
1. Analisis Siklus Politik: Siklus dinasti Khaldunian memberikan kerangka kerja untuk memahami mengapa negara-negara modern mengalami kegagalan struktural, terutama ketika elite politik terperangkap dalam kemewahan (Hadhari) dan boros, yang mengikis Ashabiyah (kohesi sosial) dan loyalitas publik.
2. Kebijakan Ekonomi: Prinsip fiskal Khaldun memberikan landasan teoritis yang penting. Peringatannya mengenai dampak pajak yang berlebihan dan kritik tajamnya terhadap Perdagangan Raja (intervensi ekonomi negara yang merusak pasar) memberikan legitimasi bagi kebijakan yang berfokus pada keadilan distributif (distributive justice) dan pembangunan ekonomi rakyat, bukan hanya penerimaan negara jangka pendek.
3. Pendidikan dan Pembangunan: Kritik beliau terhadap metode hafalan menunjukkan bahwa keberlanjutan Umran modern sangat bergantung pada sistem pendidikan yang berorientasi pada pengembangan akal kritis, sintesis, dan kemampuan analisis, alih-alih sekadar peniruan verbal. Dengan demikian, Muqaddimah bukan hanya sekadar pendahuluan sejarah, tetapi cetak biru yang abadi tentang bagaimana peradaban didirikan, berkembang, dan pasti akan runtuh.
Referensi:
Dār al-Fikr. (2005). Al-Muqaddimah (Edisi Arab modern) / Ibn Khaldūn. Beirut, Lebanon. (Karya asli diterbitkan 1377 M)
Hidayatullah, I. (n.d.). Pemikiran Ibnu Khaldun tentang mekanisme pasar & penetapan harga. PROFIT 92. Diakses dari https://ejournal.unuja.ac.id
Hendra, J. (n.d.). Analisis strategi pengembangan ekonomi kreatif masyarakat Provinsi Riau menuju Revolusi Industri 4.0. Repository UIN Sumatera Utara. Diakses dari https://repository.uinsu.ac.id
Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah (Edisi Arab modern). Beirut, Lebanon: Dār al-Fikr. (Karya asli diterbitkan 1377 M)
Ibn Khaldūn. (2015). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press. (Original work published 1377)
Ibnu Khaldun. (2011). Mukadimah Ibnu Khaldun (Terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. (Karya asli diterbitkan 1377)
Jurnal STIAYAPPIM Makassar. (n.d.). Teori kenegaraan Ibnu Khaldun dan implikasi etisnya. Diakses dari https://journal-stiayappimakassar.ac.id
Neliti. (n.d.). Analisis teori ashabiyah Ibn Khaldun sebagai model perkembangan peradaban manusia. Diakses dari https://media.neliti.com
ResearchGate. (n.d.). Ibnu Khaldun dan pendidikan Islam: Telaah atas Al-Muqaddimah. Diakses dari https://www.researchgate.net
ResearchGate. (n.d.). Ilmu pengetahuan dan pembagiannya menurut Ibn Khaldun. Diakses dari https://www.researchgate.net
ResearchGate. (n.d.). (PDF) Konsep ekonomi Ibnu Khaldun dan relevansinya dengan ekonomi modern. Diakses dari https://www.researchgate.net
ResearchGate. (n.d.). (PDF) Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun sebagai model perkembangan peradaban manusia. Diakses dari https://www.researchgate.net
Rumah Jurnal IAIN Metro. (n.d.). Abstrak. Diakses dari https://e-journal.ejournal.metrouniv.ac.id
Scribd. (n.d.). Buku Mukaddimah-Ibnu Khaldun | PDF. Diakses dari https://id.scribd.com
Scribd. (n.d.). Kontribusi pemikiran Ibn Khaldun dalam ekonomi modern. Diakses dari https://id.scribd.com
Scribd. (n.d.). Laporan Ibnu Khaldun (Historiografi) | PDF | Ilmu Sosial | Sejarah. Diakses dari https://id.scribd.com
STIT Bima. (n.d.). Ibnu Khaldun dan pendidikan Islam: Telaah atas Al-Muqaddimah. Diakses dari https://ejournal.stitbima.ac.id
OJS Diniyah. (n.d.). Siklus ‘Umran / Peradaban. Diakses dari https://ojs.diniyah.ac.id



Post a Comment