Ringkasan Materi TKA Sosiologi 2025: Kesetaraan dan Ketidakadilan Sosial (Gender, Diskriminasi, Ketimpangan
📘 Kisi-Kisi TKA Sosiologi SMA 2025 (Resmi – Perka BSKAP No. 045)
Pembahasan Kompetensi 6:
Kompetensi Utama:
Kesetaraan & Ketidakadilan Sosial
Indikator / Cakupan Materi
- Isu marginalisasi, diskriminasi, eksklusi sosial
- Gender & kesetaraan hak
- Ketimpangan sosial ekonomi, politik, pendidikan
Kesetaraan dan Ketidakadilan Sosial
Sosiologi menelaah bagaimana kesetaraan (persamaan kesempatan dan hak) dan ketidakadilan sosial (perbedaan yang merugikan kelompok tertentu) terbentuk dalam masyarakat. Menurut Peraturan Kepala BSKAP No. 045/H/AN/2025 (kerangka TKA Sosiologi), salah satu elemen penting materi TKA Sosiologi adalah “Kelompok Sosial, Kesetaraan, dan Konflik Sosial”[1]. Artinya, siswa diharapkan memahami konsep kelompok sosial, prinsip kesetaraan, serta penyebab dan dampak konflik (termasuk ketidakadilan) dalam masyarakat. Ketidakadilan sosial meliputi kondisi marginalisasi dan diskriminasi di mana sekelompok orang diperlakukan tidak setara.
Marginalisasi dan eksklusi sosial terjadi ketika sekelompok orang (misalnya masyarakat adat, penyandang disabilitas, atau minoritas agama) tersingkir dari akses sumber daya, pendidikan, atau pekerjaan. Contohnya, pembangunan tanpa pengakuan hak tanah adat sering membuat masyarakat adat kehilangan mata pencaharian dan budayanya.
Diskriminasi gender, ras, suku, atau kelas sosial dapat menghalangi seseorang berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Stereotip dan prasangka (misalnya patriarki yang memposisikan perempuan di peran “tradisional”) memperkuat marginalisasi kelompok rentan[2][3]. Akibatnya mereka sering mengalami kesulitan ekonomi dan sosial: tingkat kemiskinan, putus sekolah, atau kurangnya layanan kesehatan cenderung lebih tinggi pada kelompok termiskin atau terpinggirkan[4].
Kesetaraan Gender dan Hak
Isu gender adalah bentuk khusus ketidakadilan sosial. Kesetaraan gender berarti perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, dan tanggung jawab yang sama. Namun di Indonesia masih banyak ketimpangan gender di berbagai bidang. Sebagai contoh, data BPS (2023) menunjukkan 40% perempuan mengaku kesulitan mengakses pekerjaan setara dengan laki-laki, sementara perbedaan upah mencapai sekitar 20% di beberapa sektor[5].
Rata-rata upah bulanan pekerja perempuan (Rp2,434 juta) jauh di bawah pekerja laki-laki (Rp3,138 juta)[6]. Perempuan juga sering menghadapi beban ganda (karier dan urusan rumah tangga), serta peluang promosi yang lebih kecil. Legislasi nasional (seperti ratifikasi Konvensi CEDAW) dan kebijakan afirmatif (misalnya kuota calon legislatif) berupaya mengurangi ketidaksetaraan ini, tetapi tantangan masih besar.
Contoh nyata ketidakadilan gender: perbedaan upah. Misalnya, BPS melaporkan upah rata-rata per jam perempuan di Indonesia (Rp16.779) jauh di bawah laki-laki (Rp20.125)[7], dan selisih upah nasional mencapai puluhan persen[5].
Diskriminasi dalam pekerjaan: perempuan sering kali mendapatkan gaji lebih rendah untuk pekerjaan sejenis. Budaya patriarki masih memposisikan perempuan di pekerjaan “lembut” sehingga secara struktural upah mereka lebih kecil[7].
Kesetaraan politik: keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan juga belum merata. Hasil Pemilu 2024 menunjukkan hanya ~22,1% anggota DPR RI adalah perempuan[8], di bawah ambang 30% yang dianggap kritik. Padahal peran perempuan dalam politik penting untuk mewujudkan kebijakan inklusif.
Ketimpangan Sosial di Ekonomi, Politik, dan Pendidikan
Ketimpangan sosial tampak dari jurang perbedaan akses dan hasil di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dalam ekonomi, masyarakat miskin dan lemah cenderung sulit keluar dari kemiskinan karena akses pekerjaan dan modal dibatasi. Misalnya, sebagian besar kekayaan dan kesempatan bisnis masih dikuasai kelompok minoritas atau kaum elitis.
Data menunjukkan kesenjangan pendapatan: pekerja dengan pendidikan rendah (yang umumnya berasal dari keluarga miskin) menerima upah jauh di bawah yang berpendidikan tinggi[9]. Krisis ekonomi akibat pandemi juga memperburuk kesenjangan – banyak perempuan dan pemuda kehilangan pekerjaan lebih banyak daripada laki-laki.
Ekonomi: Ketimpangan pendapatan dan kekayaan sangat nyata. Laki-laki umumnya berpenghasilan lebih tinggi daripada perempuan untuk pekerjaan serupa[5][6]. Pekerja informal (misalnya pedagang kaki lima, buruh harian) – sering dari kalangan termiskin – mendapat perlakuan ekonomi tidak adil: upah rendah, hak buruh minimal, tanpa jaminan sosial.
Politik: Selain wakil perempuan yang masih minoritas di legislatif[8], ketimpangan politik juga terlihat di tingkat lokal. Kelompok marjinal (misalnya pendatang baru, warga miskin, atau kelompok etnis minoritas) sulit mengakses jalur kekuasaan. Mereka kurang mendapatkan perhatian kebijakan karena kurangnya keterwakilan dan akses informasi.
Pendidikan: Anak-anak dari keluarga miskin sering menghadapi kendala besar dalam pendidikan. Misalnya, banyak anak di daerah terpencil yang terpaksa putus sekolah karena biaya operasional atau minimnya fasilitas. Kisah Faldo (13 tahun) di Nusa Tenggara Timur menjadi contoh nyata: ia putus sekolah karena keluarganya tidak mampu membayar iuran komite sekolah sebesar Rp50.000 per bulan[10]. Data BPS juga mencatat tingkat putus sekolah lebih tinggi di daerah miskin. Ketimpangan pendidikan ini kemudian memperlebar kesenjangan ekonomi generasi berikutnya.
Upaya mengatasi ketidakadilan sosial dan kesenjangan memerlukan kesadaran kolektif serta kebijakan afirmatif. Menurut kerangka TKA Sosiologi, siswa diharapkan dapat menganalisis fenomena tersebut secara kritis[1].
Dengan memahami akar masalah seperti diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural, siswa dapat mengevaluasi upaya solusi (misalnya kuota perempuan, program beasiswa miskin, perlindungan hukum anti-diskriminasi) dan mengembangkan argumen berdasarkan data. Pengetahuan ini penting agar generasi muda dapat berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Sumber:
Dokumen resmi BSKAP/Kemendikbud tentang Kerangka Asesmen TKA 2025[1]; data resmi BPS dan kajian terkait (misalnya laporan upah BPS 2022[6], dan hasil riset gender BPS/UN Women[5][8]) menunjukkan nyata adanya ketidaksetaraan gender dan sosial di Indonesia. Informasi tambahan diambil dari studi kasus dan laporan terpercaya untuk menggambarkan situasi aktual.
[1] Perka BSKAP 45-H-AN-2025 tentang Kerangka Asesmen Tes Kemampuan Akademik | PDF
https://id.scribd.com/document/904642585/Perka-BSKAP-45-H-AN-2025-tentang-Kerangka-Asesmen-Tes-Kemampuan-Akademik
[2] [3] [4] Contoh Marginalisasi, Berikut Bentuk, Penyebab, dan Dampaknya di Masyarakat - Feeds Liputan6.com
https://www.liputan6.com/feeds/read/5942989/contoh-marginalisasi-berikut-bentuk-penyebab-dan-dampaknya-di-masyarakat
[5] PLN MCTN Menyambut Tahun Baru dengan Upaya Mengatasi Diskriminasi Gender dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja
https://aceh.navigasi.co.id/amp/287599/pln-mctn-menyambut-tahun-baru-dengan-upaya-mengatasi-diskriminasi-gender-dan-pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kerja
[6] [9] Rata-rata Gaji Karyawan di Indonesia Rp2,86 Juta, Pria Lebih Tinggi - Makro Katadata.co.id
https://katadata.co.id/finansial/makro/627a0862aa08f/rata-rata-gaji-karyawan-di-indonesia-rp2-86-juta-pria-lebih-tinggi
[7] Ketika Patriarki Membuat Perempuan Dibayar Lebih Murah | kumparan.com
https://kumparan.com/dedy-agung-rovalentino/ketika-patriarki-membuat-perempuan-dibayar-lebih-murah-25GNBSnoHuM
[8] Proyeksi Keterwakilan Perempuan di DPR Hasil Pemilu 2024 - Bincang Perempuan
https://bincangperempuan.com/proyeksi-keterwakilan-perempuan-di-dpr-hasil-pemilu-2024/
[10] Ketimpangan Akses Pendidikan: Anak dari Keluarga Miskin Terkendala Biaya | kumparan.com
https://kumparan.com/yulia-ningsih-1732344564019636263/ketimpangan-akses-pendidikan-anak-dari-keluarga-miskin-terkendala-biaya-23y9hwxbYJ8
Lihat Juga:
Paket 100 Soal Latihan TKA Sosiologi SMA 2025 Lengkap Sesuai Kisi-Kisi Resmi
Ringkasan Materi 8 Kompetensi & 100 Latihan Soal TKA Sosiologi SMA 2025 (Resmi Perka BSKAP No. 045)
Post a Comment