Self-Fulfilling Prophecy (Ramalan yang Terpenuhi dengan Sendirinya) Robert K. Merton dan Relevansinya
Mengenal Self-Fulfilling Prophecy (Ramalan yang Terpenuhi dengan Sendirinya) Robert K. Merton
Self-fulfilling prophecy (ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya) adalah fenomena di mana harapan atau keyakinan seseorang tentang masa depan memengaruhi perilaku sehingga mengakibatkan terwujudnya ramalan tersebut.
Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh sosiolog Robert K. Merton pada tahun 1948, yang mendefinisikannya sebagai “pemahaman keliru atas situasi yang memicu perilaku sehingga membuat pemahaman semula yang keliru itu menjadi kenyataan”.
Dengan kata lain, prediksi atau ekspektasi (meskipun awalnya salah atau belum terbukti) akan mengarahkan tindakan dan interaksi yang pada akhirnya mewujudkan hasil sesuai prediksi tersebut. Fenomena ini menunjukkan hubungan sebab-akibat antara kepercayaan awal dan realitas yang terjadi.
Asal-Usul dan Definisi
Asal-usul SFP berasal dari bidang sosiologi, khususnya karya Merton, dan sejak itu digunakan luas dalam psikologi dan ilmu sosial. Merton (1948) menekankan bahwa SFP biasanya dimulai dari false definition of a situation yang memicu perilaku baru sehingga pandangan keliru itu menjadi kenyataan.
Dalam pengertian kontemporer, SFP adalah ramalan atau ekspektasi yang mengubah perilaku individu maupun lingkungan sehingga harapan tersebut terwujud. Terdapat dua bentuk SFP: self-imposed prophecy (didorong oleh keyakinan diri sendiri) dan other-imposed prophecy (didorong oleh ekspektasi orang lain).
Misalnya, seseorang yang yakin akan gagal dapat bertindak kurang siap sehingga ia memang gagal (self-imposed), sedangkan seorang guru yang mengharapkan muridnya berprestasi tinggi dapat memperlakukan murid tersebut secara khusus sehingga prestasi murid meningkat (other-imposed).
Jika ekspektasi awal bersifat positif dan mengangkat hasil, disebut efek Pygmalion (Rosenthal & Jacobson, 1960-an); sebaliknya, ekspektasi negatif yang memperburuk hasil dikenal sebagai efek Golem.
Secara umum, mekanisme SFP dapat dijelaskan melalui beberapa tahap kunci:
• Pembentukan Keyakinan/Ekspektasi: Seseorang membentuk ekspektasi tertentu tentang situasi, diri sendiri, atau orang lain (berdasarkan pengalaman, norma sosial, atau informasi yang diterima).
• Penyesuaian Perilaku: Keyakinan tersebut memengaruhi cara bertindak individu. Misalnya, ia mungkin berusaha lebih keras atau, sebaliknya, menarik diri sesuai ekspektasi.
• Pengaruh pada Lingkungan dan Orang Lain: Perubahan perilaku ini memengaruhi situasi dan orang-orang di sekitarnya. Orang lain merespons sesuai perlakuan yang diterima (misalnya, guru memberi perhatian lebih pada murid yang dianggap pintar).
• Terwujudnya Ekspektasi: Interaksi tersebut akhirnya menghasilkan hasil yang sesuai dengan ekspektasi awal (misalnya, murid yang mendapat perhatian lebih benar-benar berprestasi lebih baik).
• Penguatan Keyakinan Awal: Hasil yang terwujud memperkuat keyakinan awal, membuat individu semakin yakin bahwa ekspektasi itu benar, menciptakan siklus terus-menerus.
Mekanisme psikologisnya melibatkan distorsi kognitif dan bias. Keyakinan awal dapat menjadi confirmation bias di mana seseorang menafsirkan informasi sedemikian rupa agar mendukung ekspektasinya.
Dalam psikologi klinis, pola pikir seperti menganggap hal buruk pasti terjadi (catastrophizing) atau “membaca pikiran” orang lain (mindreading) adalah contoh distorsi yang bersifat SFP. Secara sosial, apabila seseorang diperlakukan berdasarkan stereotip atau label, ia cenderung menyesuaikan perilakunya agar sesuai label tersebut.
Misalnya, jika guru menganggap siswa pintar, guru itu akan memberi perhatian lebih sehingga siswa benar-benar berprestasi; sebaliknya, jika guru menganggap siswa tidak mampu, siswa tersebut mungkin tidak diberi tantangan yang layak dan akhirnya berkinerja rendah.
Dampak dalam Psikologi
Dalam bidang psikologi individu, SFP memengaruhi konsep diri, motivasi, dan kesehatan mental seseorang.
1. Konsep Diri dan Motivasi:
Ekspektasi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri dapat membentuk cara pandang pribadi (self-concept). Misalnya, seseorang yang meyakini dirinya pintar (ekspektasi positif) cenderung termotivasi belajar lebih giat (efek Galatea), sementara keyakinan bahwa dirinya bodoh dapat mengurangi usaha dan merendahkan prestasi.
Self-efficacy (rasa mampu diri) juga dipengaruhi oleh SFP; ekspektasi sukses meningkatkan kepercayaan diri dan usaha, sedangkan ekspektasi gagal menurunkan motivasi. Dengan demikian, harapan awal berfungsi sebagai dorongan atau hambatan internal.
2. Kesehatan Mental:
SFP terkait erat dengan kondisi psikologis seperti kecemasan dan depresi. Sebagai contoh, orang dengan depresi sering mengharapkan hal buruk terjadi, sehingga mereka tidak berusaha mencegahnya dan mengalami hasil negatif (merasa gagal dan memperkuat kecemasan/depresinya).
Demikian pula, seseorang dengan kecemasan sosial mungkin yakin orang lain tidak menyukainya; ekspektasi itu membuatnya bersikap cemas dan menarik diri dalam interaksi sosial, sehingga sulit bergaul dan memperkuat keyakinan awal. Pola ini sering kali disebut distorsi kognitif: memikirkan yang negatif seakan nyata.
Sebuah studi baru-baru ini bahkan menunjukkan bahwa kampanye kesadaran kesehatan mental dapat berkontribusi menciptakan SFP – ketika pengalaman stres kecil diidentifikasi sebagai gangguan mental, hal itu dapat mengubah konsep diri dan perilaku sehingga gejala sesungguhnya meningkat.
Temuan ini menegaskan bahwa pelabelan diri terlalu dini dapat memperparah masalah mental, sebagai akibat dari ramalan yang terpenuhi dirinya sendiri.
Dampak dalam Pendidikan
Di ranah pendidikan, SFP paling dikenal sebagai Efek Pygmalion, yaitu pengaruh harapan guru terhadap prestasi siswa. Guru yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap kemampuan muridnya cenderung memperlakukan murid tersebut lebih baik – memberikan perhatian lebih, tantangan akademik yang lebih banyak, umpan balik positif, dan kesempatan mengikuti kegiatan tambahan – sehingga mendorong peningkatan prestasi murid tersebut.
Sebaliknya, harapan rendah (efek Golem) dapat menyebabkan perlakuan kurang bersahabat, sehingga siswa melakukan sesuai ekspektasi negatif. Studi klasik Rosenthal dan Jacobson (1968) mengilustrasikan hal ini: ketika guru diberitahu bahwa 20% siswa (dipilih secara acak) adalah “Bloomers” (berbakat tinggi), mereka secara tidak sadar memfavoritkan siswa-siswa ini.
Akibatnya, setelah delapan bulan, skor IQ “Bloomers” rata-rata naik lebih signifikan daripada siswa lain meski kelompok itu sebenarnya acak belaka. Ini menunjukkan secara gamblang bahwa harapan guru (meskipun tanpa dasar objektif) mampu mengubah hasil belajar siswa.
Studi-studi kontemporer pun mendukung temuan ini. Misalnya, Cobos-Sanchiz dkk. (2022) meneliti pendidikan orang dewasa dan menemukan bahwa perlakuan negatif atau batasan negatif dalam proses belajar menghambat pengembangan sosial-emosi peserta didik.
Sebaliknya, intervensi pendidikan positif yang memberi dorongan (seperti pujian dan perhatian) dapat mengimbangi efek negatif tersebut. Ini menggarisbawahi bahwa memperkuat ekspektasi positif dalam pendidikan (baik di sekolah maupun pembelajaran dewasa) penting untuk memaksimalkan potensi peserta didik.
Dalam konteks sekolah, ekspektasi guru sangat berpengaruh. Seorang guru yang percaya seorang siswa pintar (seperti ilustrasi di atas) akan memberikan dukungan ekstra agar siswa itu memang berprestasi lebih baik. Sebaliknya, jika guru berprasangka negatif, siswa mungkin tidak mendapatkan perhatian memadai sehingga kinerjanya menurun.
Pada akhirnya, baik harapan tinggi maupun rendah dapat menjadi ramalan yang menggenapi dirinya sendiri di kelas.
Dampak dalam Hubungan Sosial
Dalam hubungan antarpribadi dan dinamika kelompok, SFP juga memainkan peran penting melalui persepsi awal dan stereotip.
1. Persepsi Awal (Interpersonal):
Dalam interaksi personal, harapan atau prasangka awal dapat mengubah cara kita berperilaku terhadap orang lain dan sebaliknya. Misalnya, jika seseorang memperkirakan ia akan ditolak dalam hubungan romantis, ia mungkin menjadi cemas dan bersikap tertutup. Sikap tertutup ini bisa membuat pasangannya menghindar, yang kemudian “membuktikan” kekhawatiran awalnya.
Situasi serupa terjadi dalam pertemanan atau kerja: asumsi negatif dapat menyebabkan komunikasi lebih dingin atau menghindar, sehingga orang lain benar-benar merespons dingin. Dengan demikian, siklus ekspektasi-sikap-balasan menciptakan kenyataan sesuai prasangka awal, memperkuat kepercayaan awal tersebut.
2. Stereotip dan Kelompok:
SFP sering muncul dalam bentuk stereotip sosial. Jika masyarakat memegang prasangka tertentu tentang kelompok (misalnya suku, ras, gender), individu dalam kelompok itu sering diperlakukan sesuai stereotip tersebut, sehingga mereka berperilaku sesuai ekspektasi.
Misalnya, jika ada anggapan luas bahwa suatu kelompok etnis “bersikap agresif”, aparat atau masyarakat bisa memperlakukan anggota kelompok tersebut dengan curiga; tindakan itu kemudian memancing sikap defensif atau agresif dari anggota kelompok tersebut, menegaskan stereotip awal.
Penelitian juga mendukung hal ini. Studi Qu et al. (2018) menunjukkan pada remaja bahwa memegang stereotip negatif tentang diri sendiri dapat berperan sebagai SFP berjenjang: prasangka negatif yang dibentuk oleh media atau orang lain memengaruhi norma perilaku remaja, sehingga mereka lebih cenderung mengadopsi perilaku berisiko seperti pemberontakan.
Akibatnya, norma baru ini (misalnya, impulsif sebagai hal biasa) menurunkan kemampuan kontrol kognitif otak remaja dalam jangka panjang. Singkatnya, stereotip sosial dapat menjadi ramalan yang menggenapi diri karena pandangan yang kita pegang tentang orang lain atau kelompoknya secara aktif membentuk cara kita memperlakukan mereka, dan pada akhirnya cara mereka bersikap.
Contoh Kontemporer dan Studi Kasus
Contoh-contoh terkini semakin menunjukkan SFP dalam berbagai konteks. Dalam psikologi klinis, Foulkes dan Andrews (2023) mengemukakan hipotesis inflasi prevalensi – bahwa kampanye kesadaran kesehatan mental justru dapat menyebabkan orang menafsirkan stres biasa sebagai masalah psikologis.
Label tersebut mengubah konsep diri orang, membuatnya mengadopsi perilaku sesuai label dan memperburuk gejala aslinya. Dalam pendidikan, selain penelitian klasik Rosenthal, riset Cobos-Sanchiz dkk. (2022) pada pendidikan dewasa menegaskan pentingnya reinforcement positif untuk mengatasi efek ekspektasi negatif.
Sementara itu, dalam studi sosial, Qu et al. (2018) memberi contoh empiris SFP pada stereotip remaja: prasangka negatif remaja terhadap diri mereka sendiri memicu perilaku risiko dan perubahan neurologis yang menghambat kontrol diri. Kesemua studi ini – dari jurnal peer-reviewed – memperkuat pemahaman bahwa SFP bukan hanya konsep teoretis, melainkan fenomena nyata yang terus relevan di era modern.
Referensi:
-
SimplyPsychology. (n.d.). Self-fulfilling prophecy in psychology: Definition & examples. https://www.simplypsychology.org/self-fulfilling-prophecy.html
-
Medical News Today. (n.d.). Self-fulfilling prophecy: Meaning, examples, and impact. https://www.medicalnewstoday.com/articles/self-fulfilling-prophecy
-
Mad in the UK. (2023, April). Mental health awareness campaigns may actually increase distress. https://www.madintheuk.com/2023/04/mental-health-awareness-campaigns-increase-distress/
-
Cobos-Sanchiz, D., Perea-Rodriguez, M. J., Morón-Marchena, J. A., & Muñoz-DÃaz, M. C. (2022). Positive adult education, learned helplessness and the Pygmalion effect. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(2), Article 778. https://doi.org/10.3390/ijerph19020778
Indonesiana. (n.d.). Stereotip tentang remaja yang bisa menyebabkan bahaya. https://www.indonesiana.id/read/158865/stereotip-tentang-remaja-yang-bisa-menyebabkan-bahaya

Post a Comment