Konsep Khilafah dalam Islam
Table of Contents
Konsep Khilafah |
Praktik tersebut berarti negara disatukan dengan agama, dan oleh karenanya, Islam tidak memisahkan antara gereja dengan negara. Nabi, demikian juga Rasyidun, tidak memiliki masalah dalam menjalankan idealitas tersebut dalam bentuk negara Madinah. Meskipun setelah periode Rasyidun integrasi tersebut tidak terlaksana secara penuh, secara formal bentuk tersebut dilanjutkan sampai penghapusan ke-Khalifah-an masa Ustmaniyah. Relasi integrasi itu, diyakini oleh semua Muslim di dunia sampai akhir abad sembilan belas. Oleh karena itu, semua ulama yang menyampaikan teori-teori politik tidak mempertanyakan apakah Islam mencakup urusan negara atau tidak; dan apakah negara harus disatukan atau dipisahkan dengan agama. Karena doktrin Islam berisi ide-ide politik secara umum, terdapat bermacam-macam pendapat ulama tentang teori-teori politik Islam, seperti: konsep negara, otoritas negara, institusi-institusi pemerintahan dan sebagainya. Teori-teori tersebut merupakan ijtihad mereka (interpretasi terhadap doktrin-doktrin Islam) berdasarkan Qur’an, sunah dan praktik-praktik para Khalifah Islam. Di samping itu, ijtihad juga dicapai dengan mengadopsi filsafat Yunani juga Bizantium dan prinsip-prinsip dasar dari Persia.
Teori-teori politik yang penting dalam periode klasik dan pertengahan adalah konsep negara, otoritas (kekuasaan), institusi pemerintah, kepala negara, dan hubungan antara Muslim dengan non-Muslim. Semua sepakat bahwa mendirikan sebuah negara adalah kewajiban bagi masyarakat Muslim, meskipun terdapat perbedaan antara mereka tentang sifat wajib tersebut, kewajiban agama (wajib Syar’i) atau kewajiban rasional (wajib ‘Aqli) dan kewajiban individual (fard ‘Ain) atau kewajiban kolektif (fard Kifayah). Meskipun demikian, mereka melegitimasi negara kerajaan dan tidak mempertanyakannya, meskipun hal itu tidak sesuai dengan negara republik yang dikembangkan oleh Rasyidun. Tentu saja, beberapa di antara mereka juga memperkenalkan teori-teori politik berdasarkan praktik-praktik Rasyidun, meskipun mereka sebenarnya terus mendukung sistem politik yang ada. Al-Mawardi, misalnya, memperkenalkan dua jenis suksesi, yaitu melalui pemilihan oleh ahl Hal wal aqd (orang yang berkompetensi dalam mempertahankan adat/melepaskan urusan publik), atau melalui penunjukan dari khalifah sebelumnya. Tetapi secara praktis dia mendukung metode suksesi yang kedua, karena sebagai seorang hakim yang dipilih oleh khalifah dia harus mendukung sistem politik yang ada.
Tema utama dalam teori-teori politik pada periode klasik dan pertengahan adalah konsep khilafah, meskipun beberapa ulama seperti Ibn Jama’ah dan Ibn Taimiyah tidak mendukung institusi ini. Institusi ini bersifat universal, artinya bahwa khalifah Islam tidak mempunyai batas negara tertentu, juga ras atau kelompok tertentu. Tentu saja, semua ulama sepakat tentang keberadaan negara juga kepala negara yang disebut Imam, khalifah, shultan, atau malik yang memiliki otoritas sentral dalam negara. Ibn Abi Rabi’, misalnya, mendeskripsikan lima kondisi yang harus dipenuhi oleh seorang raja yaitu: (1) keluarga kerajaan, (2) aspirasi yang besar, (3) pemikiran yang kuat, (4) kesabaran menghadapi tantangan, (5) kekayaan yang banyak dan (6) pendukung yang loyal. Al-Mawardi dalam hal ini mendeskripsikan sepuluh tugas publik yang harus dilaksanakan oleh kepala negara (Imam): (1) mempertahankan agama, (2) memutuskan hukum, (3) menjaga keamanan dan wilayah, (4) melaksanakan hukum legal, (5) melengkapi batas wilayah dengan suplai makanan dan pasukan, (6) melaksanakan jihad, (7) mengumpulkan fai dan shadaqah, (8) menetapkan pajak dan pembayaran denda, (9) mencari orang yang bisa dipercaya, dan (10) mempelajari secara personal dan mempertimbangkan urusan-urusan secara personal dan memutuskan urusan tersebut dengan hati-hati.
Tugas-tugas di atas menunjukkan posisi khalifah sebagai sahabat Nabi dalam mempertahankan agama dan mengatur hal-hal sekuler (khilafah an-nubuwah fi dirasah ad-din wa syasah an-diniyah). Dalam posisi ini secara prinsipil tidak ada masalah untuk mengintegrasikan agama ke dalam negara, khususnya untuk mengimplementasikan doktrin-doktrin Islam dalam kehidupan negara. Dalam sejarah Islam, doktrin-doktrin Islam ini kebanyakan dipraktikkan dalam kehidupan personal, sosial dan politik sejak periode Nabi sampai kedatangan kolonialisme Barat. Hukum Islam (Syari’ah) pernah menjadi hukum positif, dalam kekhalifahan, kesultanan dan kerajaan Islam, meskipun terdapat juga sejumlah penyimpangan dalam tataran praktis, khususnya karena intervensi pemerintah dalam praktik yudisial. Meskipun demikian, dalam periode klasik dan pertengahan, praktik negara dalam kekhalifahan Islam lebih baik dari pada praktik negara di daerah lain hingga munculnya periode pencerahan pada abad ke-17.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Masykuri Abdillah. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download
Post a Comment