Mulla Shadra. Pemikiran Filsafat

Pemikiran Filsafat Mulla Shadra
Mulla Shadra
Dalam tulisan Abdul Hadi, ada empat pokok masalah kefilsafatan yang dibahas Mulla Shadra dalam karyanya.
a. Berkenaan dengan teori pengetahuan atau epistemologi Mulla Shadra membahas masalah pengetahuan dan hubungan yang mengetahui (alim) dan yang diketahui (ma’lum).
b. Metafisika atau ontologi Mulla Shadra membahas masalah kesatuan transenden wujud (wahdah al-wujud), dan berbagai wujud yang dibahas oleh para sufi, khususnya sejak Ibnu Arabi dan oleh filsuf Masya’iyah, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.
c. Gerakan substansial atau al-harakah al-jauhariyyah yang dibahas dalam filsafat Isyraqiyah sejak As-Suhrawardi.
d. Masalah jiwa dan faculty-nya, generasi, kesempurnaan, dan kebangkitan pada hari akhir yang dibahas, baik oleh filsuf Masya’iyah maupun Isyraqiyah dan Wujudiah.

Dalam teori pengetahuannya, Mulla Shadra menetapkan tiga jalan utama mencapai kebenaran atau pengetahuan, yaitu jalan wahyu, jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al-burhan (pembuktian), serta jalan musyahadah dan mukasyafah, yaitu jalan penyaksian kalbu dan penyingkapan mata hati, yang dicapai melalui penyucian diri dan penyucian kalbu. Dengan menggunakan istilah lain, Mulla Shadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan Al-Qur’an, jalan al-burhan, dan jalan al-‘Irfan (makrifat). Istilah husuli (konseptual) tersebut merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan Mulla Shadra.

Dalam teori pengetahuannya, Mulla Shadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu pengetahuan husuli atau konseptual (al-‘ilm al-husuli) dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu pada seorang muta’alli, yaitu seseorang yang telah mencapai pengetahuan berperingkat tinggi, yang disebut oleh As-Suhrawardi sebagai al-hakim al-muta’ali.

Dikaitkan dengan teori pengetahuannya, tampak bahwa titik pusat filsafat Mulla Shadra adalah pengalaman makrifat (al-‘irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau kenyataan tertinggi. Pengalaman biasa tentang alam dunia, tempat benda, dan semua ciptaan mengada (maujud), dalam metafisika Aristoteles berperan sebagai asas utama. Hal ini dapat dipahami karena asas metafisika Aristoteles adalah keberadaan atau kewujudan benda dan ciptaan. Bagi Mulla Shadra, bukan keberadaan benda itu yang penting, melainkan penglihatan batin subjek yang mengamati alam keberadaan atau kewujudan.

Dalam alam keberadaan itu, Mulla Shadra melihat bahwa seluruh yang maujud bukan sekedar objek yang maujud, melainkan juga kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibatasi oleh berbagai mahiyah (quddilas) yang memberinya berbagai penampakan sehingga maujud dengan beragam wujud dan masing-masing kewujudan itu bebas dari yang lain. Metafisika wujud Mulla Shadra ini dikembangkan berdasarkan pengalaman tentang hakikat dan pembedaan khusuli tentang wujud sebagai ada atau yang ada, dan gradasi yang dialaminya. Berdasarkan hal tersebut, Mulla Shadra membedakan antara konsep wujud (mafhum al-wujud) dan hakikat wujud (haqiqah al-wujud).

Filsafat Mula Shadra berkenaan dengan metafisika atau ontologi yang membahas proses panjang sesuatu sampai pada tingkat kesatuan maujud. Hal itu dimulai dengan pemahaman yang utuh tentang makna eksistensi dan esensi. Mulla Shadra memberikan finalisasi konsep tersebut. Realitas sejarah menunjukkan hampir semua filsuf menjadikan objek pertama pembahasannya adalah tentang eksistensi dan esensi tentang Ketuhanan dan sebagimana Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa: Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tidak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subjek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya. Begitu pula sifat-sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?.

Mulla Shadra adalah filsuf penyempurna terakhir teori eksistensi dan esensi. Berikut ini tabel perbedaan masing-masing mazhab filsafat Islam dalam masalah eksistensi dan esensi.

Penjelasan tabular tersebut memperlihatkan graduasi tentang eksistensi dan esensi dari satu tokoh (mazhab) sampai sintesis Mulla Shadra. Hal itu terlihat dari beragam pandangan yang berbeda antara masing-masing mazhab/tokoh di atas, sebagai berikut:
1. Mu’tazilah. Bagi kaum Mu’tazilah, sebagian sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ilmu, dan sebagainya. Timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawaban yang umum adalah benar bahwa sifat-sifat itu abadi. Kalau sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak? Tentu saja jawabannya adalah sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu akan disebut dalam firman-firman-Nya? Di sinilah kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, Tuhan mempunyai sekutu alias syirik. Tentu saja, ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang paling pokok, yaitu keesaan-Nya. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan manthiq (logika) untuk menafsirkan ayat-ayat Qur’an suci. Dari penalaran seperti itu, mereka hanya mengenal dua realitas. Yang mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tidak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.
2. Berbeda dengan Hikmatul Masya’iyyah, kaum filsuf Masya’iyyah, seperti Ibnu Sina, memiliki pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan sifat-sifatnya juga ada. Hanya, keberatan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan sifat-sifat Tuhan. Dzat atau substansi, keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan sifat-sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tidak terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya, tidak demikian. Jadi, eksistensi Ilahi mendahului esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu kalam, Dzat mendahului sifat. Dzat dan sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab Peripatetisme Islam atau Hikmatul masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para filsuf mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya, seperti kaum Neoplatonis.
3. Hikmatul Wahdatiyah (wujudiyah), para ahli sufi aliran wujudiyah, misalnya Ibn ‘Arabi, berlawanan dengan pandangan para filsuf. Menurutnya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tidak mempunyai wujud apalagi sifat-sifat. Sifat-sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya. Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan Muslim dan non-Muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn ‘Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tidak lain dari bayangan realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan wihdatul wujud alias kesatuan realitas. Dalam pandangan ini wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunaan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuannya di samping wahyu tentunya. Dari pengalaman mistik mereka menyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.
4. Hikmatul Isyraqiyah. Seorang sufi lainnya dari Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibnu Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain. Menurutnya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tidak lain dari bentuk-bentuk cahaya dari Mahacahaya, yaitu Tuhan. Cahaya itu satu dan benda-benda yang banyak dan berbeda-beda itu hanya gradasi intensitasnya atau kecenderungannya. Dalam pandangan metafisika cahaya Persi ini, wujud bersifat sekunder, sedangkan sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulan melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metode intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai pelengkapnya.
5. Hikmatul Muta’alliyah (sintesa). Pandangan Suhrawardi itu menjadi dominan di kalangan filsuf Persia pada masa kejayaan Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Demikian juga, Mulla Shadra diajarkan oleh gurunya, Mir Damad. Akan tetapi, dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn ‘Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu, ia membalik ajaran Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibn ‘Arabi tentang prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, tetapi ia menolak pandangan Ibn ‘Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Shadra, benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, melainkan ada seperti adanya Tuhan, sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda juga ada, tidak dapat dihindarkan secara logika kesimpulan bahwa segala benda adalah Tuhan atau panteisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Shadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi. Jadi, menurut Mula Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi ada-ada nisbi yang tidak terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada mutlak ke kutub Ada mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebutnya Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan sintesis besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.

Menarik untuk dikutip di sini akhir dari petualangan Mulla Shadra yang melakukan perubahan radikal  dalam tradisi Peripatetik sampai puncak tertinggi, Shadra mengatakan: Janganlah membayangkan dengan akal Anda yang keliru bahwa sasaran para gnostik besar ini (seperti Ibn ‘Arabi) tidak dapat dibuktikan dan hanya kira-kira atau imajinasi puitis. Jauh dan ini semua: ketidaksesuaian pernyataan mereka (yang tampak) dengan bukti-bukti dan prinsip-prinsip pembuktian yang benar... hanyalah karena kedangkalan pandangan para filsuf yang mempelajarinya dan karena ketiadaan kesadaran dan pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip pembuktian tersebut. Jika bukan status pengalaman mereka yang jauh lebih tinggi daripada bukti-bukti formal tersebut dalam memberikan kepastian, pembuktian logis merupakan sarana mengakses dan mempresepsi langsung hal-hal yang mempunyai sebab, karena... berdasarkan prinsip-prinsip para filsuf tentang hal-hal yang mempunyai sebab ini hanya dapat diketahui dengan pasti melalui sebab-sebab mereka. Jika demikian, bagaimana pembuktian logis dan pengalaman langsung dapat bertentangan satu sama lain? Para sufi yang mengungkapkan (dalam upaya mempertahankan pengalaman orang-orang semisal Ibn ‘Arabi) kata-kata seperti ‘Jika Anda dengan pengalaman’ sebenarnya berarti ‘jika Anda menolak mereka dengan apa yang Anda sebut argumen... jika tidak demikian, bukti-bukti rasional yang benar tidak dapat bertentangan dengan pengalaman intuitif.

Pernyataan tersebut dengan sangan eksplisit menegaskan bahwa pengalaman intuitif, seperti yang dipikirkan Shadra, jauh dari menolak penalaran, bahkan merupakan bentuk penalaran yang lebih tinggi, yaitu bentuk yang lebih positif dan konstruktif dibandingkan dengan penalaran formal. Sebaliknya, Shadra juga sepenuhnya mengakui wujud aktual dan, karenanya, merupakan realitas-realitas yang konkret. Dalam kehidupan ini, kita mengetahui wujud yang sebenarnya melalui ide-ide umum (yakni, esensi), yang berarti, tidak langsung dalam cara yang diperantarai.

Oleh sebab itu, dalam kehidupan ini, meskipun memiliki beberapa jenis pengetahuan dalam alam rasional, kita tidak dapat merasakan kenikmatan yang kita rasakan melalui pengalaman indriawi langsung dan akibatnya termotivasi untuk mengarah ke alam rasional, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Akan tetapi, dalam kehidupan sesudah mati, alam rasional tersebut diubah menjadi objek pengalaman yang hidup-ide-ide yang menjadi wujud sebenarnya bagi para filsuf murni. Menurut Shadra, mengikuti Neoplatonisme (yakni, Theologia Aristoteles), bada juga ada dalam alam rasional dan akan menemani jiwa rasional. Sekalipun demikian, ia akan benar-benar terinteriorisasi dan dikonsumsi oleh badan. Ajaran ini merupakan kompromi Shadra antara ajaran Aristoteles tentang kehidupan intelek seperti diinterpretasikan oleh Alexander dan Ibn Sina, pada satu sisi, dan keputusan Shadra yang jelas mengenai kehidupan fisik, pada sisi lain. Bagi Shadra, hal itu merupakan konsekuensi dari ajaran bahwa bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi tidak menghilangkan dan menegasikan, tetapi meliputi dan menggabungkan bentuk-bentuk yang lebih rendah. Oleh sebab itu, ia menolak ajaran abstraksi kognitif, seperti dalam teorinya tentang pengetahuan.

Filsafat ketiga Mulla Shadra adalah gerakan substansial atau al-harakah al-jauhariyyah (substantial motion). Para filsuf Muslim terdahulu mengikuti Aristoteles, yang menggolongkan gerakan (harakah) termasuk dalam kategori bilangan (kamm), sifat (kaif), keadaan (wad’), dan tempat (makan). Mulla Shadra mengatakan bahwa yang disebut itu merupakan aksiden (ard), dan aksiden ada karena harakah. Setiap perubahan yang terjadi dalam ‘ard atau aksiden merupakan akibat dari perubahan yang terjadi dalam jauhar (substansi), karena ‘ard dalam dirinya tidak memiliki kewujudan atau keberadaan dan kewujudannya tidak bebas dari perubahan atau gerak substansi.

Menurut Mulla Shadra, berdasarkan hal tersebut, dalam setiap perubahan selalu ada beberapa maudu’ atau subjek yang menggerakkan walaupun tidak dapat ditetapkan dan diterangkan secara mantik. Mulla Shadra mengatakan bahwa seluruh jagat jasadi, bahkan jagat jiwa dan alam misal, yang melanjutkan kewujudannya menjadi a’yan sabitah (pola dasar), selalu berada dalam keadaan berubah dan menjadi. Gagasan al-harakah at-jauhariyyah (gerakan transsubstansial) merujuk pada kewujudan atau keberadaan jagat yang peringkatnya rendah, yang berada di bawah peringkat a’yan sabitah. A’yan sabitah disebut juga oleh para sufi sebagai al-haqiqah al-asyya’a (hakikat segala sesuatu) dan as-suwari al-‘ilmiyyah (gambaran ilmiah), yakni gambaran yang ada dalam pengetahuan wujud tertinggi.

Pandangan Mulla Shadra tentang gerakan berubah dan menjadi yang berkelanjutan, tidak sama dengan pandangan sufi yang menyatakan bahwa segala sesuatu binasa dan dicipta kembali. Menurut para sufi, dalam gerakan penciptaan bentuk berjalan untuk kembali pada titah Tuhan (al-amr) dan bentuk baru dijelmakan sebagai tajalli-Nya (teofani). Ajaran ini disebut al-labs ba’d al-labs, yaitu membinasakan setelah menyingkap bentuk-bentuk. Ajaran Mulla Shadra disebut al-labs ba’d al-labs, yaitu memakai bentuk baru setelah diberi bentuk.

Fazlur Rahman mempertegas bahwa badan manusia dalam perubahan terus-menerus dari embrio ke masa tua merupakan gagasan lama dan Van den Bergh telah mengutip sejumlah bagian yang menarik mengenai masalah tersebut dari Plutarch dan Seneca. Ibn Sina menggunakan perubahan badan ini untuk membuktikan ketidakmaterialan jiwa yang menjelaskan identitas manusia yang abadi meskipun fisiknya berubah. Al-Ghazali dan Ibn Rusyd menolak argumen ini atas dasar bahwa dalam tumbuh-tumbuhan dan binatang, identitas ini tetap meskipun kenyataannya mereka berada dalam perubahan yang terus-menerus. Shadra berbeda dari pandangan ini dalam dua hal penting. Pertama, menurutnya seluruh wujud manusia, yakni badan dan pikiran berada dalam perubahan, tidak hanya badan. Contoh eksplisit adalah hilangnya kesadaran, bukan perubahan dalam badan. Kedua, perubahan tidak sekadar perubahan, tetapi perubahan perkembangan entitas yang bergerak secara progresif merealisasikan kesempurnaan hingga badan mencapai suatu wujud yang abadi. Inilah yang dimaksud oleh Shadra dengan ajaran gerak yang terus-menerus (harakat al-ittishal).

Oleh karena itu, dalam ajaran Mulla Shadra, bentuk dan maddah (materi) dari sesuatu yang maujud dapat menjelma menjadi maddah mereka sendiri demi bentuk baru yang merupakan kemungkinannya. Gerakan menjadi bentuk baru ini berkelanjutan seakan-akan orang yang memakai baju pada bajunya yang lain. Semua wujud di dunia ini bergerak secara vertikal (menaik), sebagai akibat al-harakah al-jauhariyyah sehingga wujud itu mencapai puncak hakikat a’yan sabitah. Setiap gerakan mengandung bentuk dari keadaan wujud sebelumnya.

Sementara gerakan transsubstansial (jauhariyyah) berlangsung dalam tahap yang dilalui secara menaik atau vertikal. Wujud dunia ini merupakan mazahir (manifestasi) dari cahaya wujud yang pada mulanya berupa a’yan sabitah, kemudian a’yan sabitah melakukan menurunan (al-qaus an-nuzuli) yang menyebabkan ciptaan hadir dalam alam kewujudan zahir. Al-harakah al-jauhariyyah menandakan pancaran menaik atau vertikal (al-qaus as-su’udi), yang melaluinya intensitas cahaya wujud yang selalu bertambah membawa kembali ciptaan itu ke pangkuan a’yan sabitah-nya di alam jabarut (supernatural).

Dalam hal teori ini, Mulla Shadra telah memberikan landasan filosofis yang kukuh bagi evolusionisme spiritual Jalaluddin Rumi, yakni suatu pandangan falsafi bersifat umum yang meliputi seluruh semesta, sedangkan pandangan evolusionisme materialis hanya mencakup dunia kehidupan atau dunia biologis.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Mulla Shadra. Riwayat Hidup
2. Mulla Shadra. Karya Filsafat
3. Mulla Shadra. Kebangkitan Jasmani 
4. Kunci Filsafat Mulla Shadra
5. Mulla Shadra. Pemikiran Teologis
6. Mulla Shadra. Dasar-Dasar Filsafat Hikmah
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Mulla Shadra. Pemikiran Filsafat"