Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam

Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam Ibnu Thufail
Ibnu Thufail
Apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Inilah salah satu masalah paling menantang dalam filsafat Muslim. Ibnu Thufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah tersebut dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, Ibnu Thufail tidak menganut salah satu doktrin saingannya dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Pada pihak lain, ia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tidak terbatas yang tidak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tidak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian yang diciptakan dan karena itu, tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu; dan yang tidak akan ada sebelum kejadian-kejadian yang tercipta pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula, konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.

Sebagaimana Al-Ghazali, Ibnu Thufail mengemukakan bahwa gagasan mengenai ke-maujud-an sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada. Waktu merupakan kejadian yang tidak terpisahkan dari dunia sehingga kemaujudannya yang mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Lagi pula, segala yang tercipta pasti membutuhkan Pencipta. Jika demikian, mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu disebabkan oleh sesuatu hal yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatu pun maujud sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu harus dianggap bersumber dari perubahan yang terjadi atas sifatnya? Akan tetapi, adakah yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Oleh karena itu, Ibnu Thufail tidak menerima pandangan mengenai kekekalan ataupun penciptaan sementara dunia ini. Antinomi ini dengan jelas meramalkan sikap para pengikut Kant bahwa nalar memiliki batas dan bahwa argumentasinya akan mendatangkan kontradiksi yang membingungkan.

Baik kekekalan dunia maupun creatio ex nihilo-nya membawa pada eksistensi suatu ke-maujud-an nonfisik yang kekal. Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu Pencipta, sebab dunia tidak dapat maujud dengan sendirinya. Sang Pencipta harus bersifat imaterial sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu Pencipta. Pada pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat materiel membawa kemunduran yang tiada akhir adalah musykil. Oleh karena itu, dunia pasti mempunyai Penciptanya yang tidak berwujud benda. Karena Dia bersifat imaterial, kita tidak dapat mengenali-Nya melalui indra kita ataupun imajinasi; sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indra.

Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga; dan gerak, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan pengaruh yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat imaterial. Ia tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada dalam materi itu atau tanpa materi itu; sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda materiel, sedangkan penyebab efisien itu terlepas dari semua itu.

Bagaimanapun, ada sebuah pertanyaan di sini. Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi, tetapi tidak dalam hal waktu. Sebagai contoh, jika Anda memegang sebuah benda dengan tangan Anda, kemudian Anda menggerakkan tangan, benda itu akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu. Jadi, gerak itu bergantung pada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam hal esensi dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut meskipun dalam masalah waktu, keduanya tidak saling mendahului.

Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Thufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia bukanlah sesuatu yang berbeda dengan Tuhan. Adapun mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensinya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al-Ghazali, Ibnu Thufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan dan bayangan cahaya-Nya yang tidak berawal ataupun tiada akhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentuan. Kehancuran berupa keberalihannya menjadi bentuk lain, bukan merupakan kehancuran sepenuhnya. Dunia terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.

Sebagaimana diperlihatkan dalam fiksi Ibnu Thufail, Tuhan dapat ditemukan dengan dorongan batin, keselamatan, dan kebahagiaan manusia. Ia juga merupakan penemuan makna kenikmatan: Jika ada Wujud yang kesempurnaan-Nya tidak terhingga, kemegahan dan kebaikan-Nya tidak mengenal batas, yang melampaui kesempurnaan, kebaikan, dan keindahan, suatu Wujud yang tidak ada kesempurnaan, kebaikan, keindahan, dan kemegahan yang tidak berasal dari-Nya, kehilangan pegangan terhadap Wujud itu dan telah mengenal-Nya, tetapi tidak bisa menemukan-Nya, berarti suatu penyiksaan yang tidak terhingga sepanjang Dia tidak ditemukan. Begitu juga, mempertahankan kesadaran terus-menerus tentang-Nya berarti mengenal kegembiraan tidak berselang, kebahagiaan tidak berujung, suatu kenyamanan dan kenikmatan yang tidak terkira.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Thufail. Riwayat Hidup
2. Ibnu Thufail. Karya Filsafat
3. Ibnu Thufail. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Thufail. Tentang Materi dan Jiwa
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Ibnu Thufail. Tentang Tuhan dan Kekekalan Alam"