Ibnu Rusyd. Tentang Pengetahuan Tuhan

Tentang Pengetahuan Tuhan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd
Masih untuk menangkis serangan Al-Ghazali terhadap para filsuf Muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang terjadi) pada alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama Islam, para filsuf Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz’i itu tidak seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat dari memerhatikan hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i. Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yaitu sejak azali Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut, sedangkan manusia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, tetapi secara berangsur-angsur memperoleh pengetahuan setelah memerhatikan bagian demi bagian alam secara seksama.

Kritik Al-Ghazali kedua adalah tentang apakah Tuhan mengetahui hal-hal kecil atau tidak? Al-Ghazali memandang bahwa Tuhan Mahatahu segalanya, baik besar maupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan perkara yang kecil (partikular). Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka, Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular. Pernyataan ini menunjukkan ketidakimanan mereka. Sebaliknya, yang benar adalah tidak ada sebutir atom pun di langit ataupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.

Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadits terhadap peristiwa kecil itu. ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut. Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan adalah mengetahui bahwa keadaan ilmu-qadim terhadap wujud, berbeda dengan keadaan ilmu-baru terhadap wujud. Adanya wujud tersebut menjadi sebab dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu-qadim menjadi illat dan sebab bagi wujud. Jika wujud tersebut terjadi setelah tidak ada, timbullah ilmu tambahan terhadap ilmu yang qadim, yang menjadi musabbab (akibat) dari wujud, bukan menjadi illatnya. Oleh karena itu, tidak bisa terjadi perubahan, seperti yang terjadi pada ilmu yang baru. Kesalahan ini disebabkan pengiasan (mempersamakan) perkara yang gaib (Tuhan) atas perkara yang nyata (manusia), sedangkan pengiasan semacam itu tidak benar. Sebagaimana pada diri pembuat tidak terjadi perubahan ketika perkara yang dibuatnya itu terjadi, yaitu perubahan yang sebelumnya tidak ada, demikianlah pada ilmu-qadim tidak perlu terjadi perubahan ketika perkara yang diketahuinya keluar dari padanya. Dengan demikian, keragu-raguan telah dapat dihilangkan, dan kita tidak perlu memegangi pendirian bahwa apabila pada ilmu yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya Tuhan tidak mengetahui perkara tersebut dengan ilmu yang baru, tetapi dengan ilmu yang qadim, karena adanya perubahan pada ilmu ketika terjadi perubahan pada perkara yang wujud hanya menjadi syarat bagi ilmu yang diakibatkan (menjadi musabbab) dari perkara yang wujud, yaitu bagi ilmu yang baru. Jadi, ilmu-qadim hanya berhubungan dengan perkara yang wujud menurut keadaan yang tidak berlaku bagi hubungan ilmu-hadits dengan perkara yang wujud, bukannya tidak berhubungan sama sekali, seperti yang biasa dikatakan bahwa karena adanya keragu-raguan tersebut, para filsuf mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil...

Pernyataan di atas mengisyaratkan perlunya pemetaan terhadap eksistensi Tuhan ketika dihadapkan pada realitas setelah alam ini terbentuk. Tuhan bukan berarti tidak tahu, bukan berarti lepas tangan terhadap partikular. Semua ini bergantung pada cara melihat apakah partikular itu muncul setelah alam itu terbentuk atau sejak azali (dulu kalanya). Ibnu Rusyd memisahkan pengetahuan Tuhan sejak azali dan pengetahuan Tuhan sejak alam itu terbentuk. Misalnya, Tuhan telah menentukan nasib seseorang sejak qidam, lalu apakah Tuhan juga menentukan proses nasib seseorang ketika orang tersebut lahir? Gambaran ini tersurat dari ungkapan Ibnu Rusyd, sebagai berikut: ... Keadaannya bukan seperti yang mereka sangka, melainkan filsuf tersebut mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa kecil dengan ilmu-baru. Syaratnya adalah kebaharuan ilmu itu dengan kebaharuannya peristiwa-peristiwa kecil tersebut bukan menjadi akibat (musabab) darinya, seperti halnya dengan ilmu-baru. Ini adalah penyucian yang setinggi-tingginya yang harus diakui karena Tuhan mengetahui segala sesuatu, karena keluarnya segala sesuatu tersebut karena kedudukan-Nya sebagai Dzat yang mengetahui, bukan dari kedudukan-Nya sebagai Dzat yang wujud saja, atau wujud dengan sifat tertentu, melainkan kedudukannya sebagai Dzat yang mengetahui.

Menarik untuk dikutip di sini, tulisan Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Menurutnya, pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan; pengetahuan Tuhan dan manusia. Tuduhan yang menarik ini timbul dari cara filsuf membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dari sudut pandang agama, Islam mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Orang boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta kemudian melupakannya bukanlah pikiran yang menarik bagi paham ortodoks Islam. Dapat saja ada keraguan, bagaimanakah pandangan Al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan Tuhan (Quadrat. Pen). Bahkan Tuhan mengetahui semua pikiran Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Dia mengetahui setepatnya individu-individu baru yang dilahirkan.

Ringkasnya, dalam tulisan Harun Nasution, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa Al-Ghazali salah paham; karena kaum filsuf tidak pernah mengatakan demikian (kutipan di atas). Mereka mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu sejak azali, Tuhan mengetahui hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya.

Ibnu Rusyd mengakhiri penjelasannya dengan tema-tema psikologis dan epistemologis filsafat peripatetik. Ini patut dicatat karena, dalam bagian filsafat lainnya, Ibnu Rusyd memahami perbedaan tajam antara Plato dan Aristoteles dan tidak mencoba menyelaraskan kedua pemikiran itu seperti dilakukan Al-Farabi. Ia mengikuti cara Al-Farabi dalam hal memperlakukan kesesuaian antara filsafat politik dan hukum agama. Akan tetapi, sebagai seorang faqih, ia menekankan keunggulan yang terakhir. Ia menerima kesimpulan penting politik Plato, walaupun Aristoteles mengoreksinya, bahkan mengklaim bahwa gagasan politik Plato dapat diterapkan, tetapi bagi Plato, syarat-syarat yang diperlukan tidak dapat direalisasikan jika tidak ada penguasa yang tercerahkan. Ia mengadaptasi uraian tentang degradasi rezim-rezim politik dengan sejarah negerinya. Ia melihat peperangan tidak kenal henti sebagai syarat bagi pelaksanaan kebajikan negerinya. Bahkan, ia lebih menyukai pilihan Plato yang sangat radikal, bukan hanya berkenaan dengan Aristoteles, melainkan juga bagi tradisi Muslim. Ia juga mencela keras, misalnya ketidakmanfaatan wanita yang dipaksakan pada masanya.

Pemikiran politik juga merupakan sarana untuk menyatukan analisis-analisis yang dibuat sebelumnya dalam bidang logika dan retorika (yang pada abad pertengahan dijadikan sebagai bagian dari Organon). Dengan menyepakati cara paham Al-Muwahhidun dalam membentuk hierarki, Ibnu Rusyd yang menolak hal-hal yang tidak meyakinkan dalam filsafat, tetapi mempertahankan—bagi orang awam—sebagian besar argumen retoris untuk membimbing mereka pada kepercayaan yang baik sehingga menimbulkan perbuatan baik. Karena itu, warga negara yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab harus berjuang melawan argumen-argumen persuasif yang pada mulanya melatih mereka, dengan membangkitkan argumen-argumen demonstratif. Ini, sekali lagi merupakan serangan atas metode-metode kalam. Misalnya, teori tentang hukuman seharusnya ditafsirkan dengan cermat. Menurut Ibnu Rusyd, jika diartikan secara harfiah, teori itu bertentangan dengan keseimbangan baik dan buruk karena ia berubah menjadi tindakan jika pahalanya tampak cukup atau ketakutan itu cukup mengganggu.

Pernyataan Platonik tentang keniscayaan pengetahuan yang tetap untuk menjaga bahasa bersama sehingga komunitas sosial, jelas-jelas menjadi basis pemikiran Rusydian. Dari yang tertuang dalam risalah tentang hukum hingga komentarnya atas Republic, pemikiran Ibnu Rusyd tidak hanya mencakup karya-karya logika, tetapi juga karya ilmiah. Seperti Plato, Ibnu Rusyd juga membandingkan penguasa politik dengan dokter, dan yang terakhir ini (menurut Kulliyat) bertindak sesuai dengan masing-masing kasus, seraya mempertimbangkan tatanan alam, dalam rangka memberikan pendekatan yang diatur oleh hukum-hukum untuk menemukan kebenaran. Semua itu berpuncak pada penegasan terhadap kesatuan akal yang mengejawantahkan stabilitas pemikiran ini dalam diri manusia.

Sekalipun demikian, sintesis ini tetap mengandung paradoks dalam dirinya sendiri karena bersifat publik sekaligus elitis. Paradoks dalam pengungkapannya, karena Ibnu Rusyd berhasil membawa filsafat keluar dari kekumuhan tempat yang selama ini dipasung. Hal ini memperlihatkan bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang guru yang sangat menonjol karena jumlah muridnya, tetapi kurang berhasil dalam menyesuaikan dengan sistem pendidikan, dan tetap terkucil sekalipun cukup populer (Urvoy, 1978:178-179). Bahkan, murid-muridnya tidak menyebarkan filsafatnya. Ahli logika, Ibn Thumlus, salah satu muridnya, tidak mengutipnya, bahkan mengaku sebagai murid Al-Farabi, atau melakukan penggabungan paham Al-Muwahhidun dan ajaran Al-Ghazali. Ibn Sab’in menyatakan bahwa Ibnu Rusyd mudah menerima apa saja dari Aristoteles. Ibnu Arabi menceritakan kepada kita kisah ketika ia pada masa belianya pernah menyerang filsuf tua itu dengan menunjukkan kontradiksinya dalam semua karyanya. Baru pada abad ke-13 H/abad ke-19 M, orang-orang Arab tertarik lagi pada Ibnu Rusyd dan dalam iklim polemik yang telah lama menyelewengkan makna penemuan kembali ini. Keistimewaannya hanya karena ia diterima d luar dunia Muslim, khususnya di kalangan penulis Yahudi, yang mempunyai andil dalam memperkenalkannya ke Barat Latin, yang akhirnya mengkhianatinya, meskipun mereka juga tahu cara memberikan penghargaan yang semestinya baginya.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Rusyd. Riwayat Hidup
2. Ibnu Rusyd. Karya Filsafat
3. Ibnu Rusyd. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Rusyd. Tentang Qadim-nya Alam
5. Ibnu Rusyd. Tentang Kebangkitan Jasmani
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Ibnu Rusyd. Tentang Pengetahuan Tuhan"