Michel Foucault. Pemikiran Tentang Kuasa

Pemikiran Tentang Kuasa Michel Foucault
Michel Foucault
Yang dimaksud Foucault dengan kuasa disini adalah mekanisme-mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Tema ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, dalam filsafat Yunani Kuno, Kaum Sofis sudah mempelajari strategi kuasa, khususnya kuasa bahasa. Machiavelli adalah nama lain yang tidak boleh dilupakan. Akan tetapi, filsuf yang penting dan merupakan sumber inspirasi utama bagi Foucault adalah Nietzsche. Terutama karya Nietzsche tentang Genealogi dari Moral.

Foucault ingin menganalisa strategi kuasa yang faktual. Ia tidak menyajikan suatu metafisika tentang kuasa, tetapi suatu mikrofisika, yaitu bahwa letak permasalahannya adalah bukan pada apa itu kuasa, melainkan bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang yang tertentu. Kuasa bagi Foucault sama dengan seberapa banyak relasi kuasa yang bekerja di suatu tempat atau waktu. Dengan mikrofisika tersebut Foucault dapat menghasilkan beberapa pendapat umum tentang kuasa yang agak berbeda dengan kebanyakan pendapat sebelumnya tentang tema yang sama. 


Pendapat Pertama. Kuasa bukanlah milik melainkan strategi
Biasanya kuasa disamakan dengan milik (yang berkuasa). Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh (misal, lewat pemilihan), disimpan, dibagikan, ditambah ataupun dikurangi. Dalam pandangan Foucault, kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktekan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kuasa tidak dimiliki melainkan dipraktekan atau diterapkan, artinya orang yang mempraktekan strategi kuasa tersebut bisa jadi bukanlah orang yang memiliki kekuasaan (jabatan/status) namun orang yang mengerti jaringan atau relasi dari posisi strategis yang membentuk kekuasaan dalam suatu ruang lingkup tertentu dan bisa mempengaruhi serta memanfaatkan jalannya relasi-relasi kekuasaan tersebut, dipihak lain ia pun demikian jeli dalam mengamati pergeseran-pergeseran relasi posisi strategis yang membentuk kekuasaan yang merupakan bentuk lain dari dinamika kekuasaan yang ada, karena memang relasi kekuasaan adalah motor penggerak perubahan kekuasaan yang ada.

Pendapat kedua. Kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat dimana-mana
Biasanya kuasa dikaitkan dengan orang atau lembaga tertentu, misalnya aparat negara. Tetapi menurut Foucault strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ pun kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Artinya, agar bisa memiliki kekuasaan untuk mengatur serta mempengaruhi relasi strategis kuasa yang ada, maka ia harus menjadi orang dalam atau dianggap orang dalam, selama ia dianggap orang luar atau pihak lain (the other) maka tidak memungkinkan baginya untuk melakukan semua itu.

Contoh lain, hubungan-hubungan sosial-ekonomis, hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Atau mungkin contoh lain yang saya alami sendiri ialah bahwa setiap masyarakat atau relasi sosial tertentu pasti memiliki beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus (wacana) diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar (salah). Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Jadi dalam kenyataannya kebenaran tertentu (penafsiran yang dianggap benar sehingga didogmakan) itu bukan nyata merupakan hakikat kebenaran melainkan hasil dari relasi-relasi kekuasaan yang didukung oleh aparat-aparat kuasa tertentu.

Secara khusus perlu kita perhatikan perkaitan antara kuasa dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan tidak berasal dari salah satu subjek yang mengenal, tetapi relasi-relasi kuasa yang menandai subjek itu. Bukan siapa yang berbicara atau mengeluarkan ide-ide atau gagasan tertentu, atau kalau dalam bahasa kita bukan terletak pada pandai atau demikian pintarnya seseorang, melainkan pada relasi-relasi kuasa yang mengitari orang tersebut, sehingga pendapatnya didengar atau dianggap sebagai pengetahuan yang baru. 

Pengetahuan tidak mencerminkan relasi-relasi kuasa, pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi-relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tentu saja, pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan menyediakan kuasa (science is power, seperti yang dikatakan oleh Francis Bacon). Tetapi oleh Foucault dimaksudkan sesuatu yang lebih umum: tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Serentak juga harus dikatakan bahwa tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Di sini terdapat suatu korelasi: pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa pengandung pengetahuan. Kuasa dan pengetahuan merupakan dua sisi yang menyangkut proses yang sama. Tidak mungkin pengetahuan itu netral atau murni. Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi-konsekuensi politis atau dapat dipergunakan dalam percaturan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan oleh relasi-relasi kuasa. Tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat menciptakan dasar kemungkinannya sendiri, suatu ilmu dimungkinkan oleh transformasi-transformasi di antara relasi-relasi kuasa.

Demikian kalau kita permisalkan dengan pendapat Al-Gozali yang mengharamkan filsafat ataupun buku-buku Al-Gozali tentang tasawuf di mana diwarnai dengan perdebatan sengit dengan averoes (Ibn Rusdi dan Ibn Sina) yang kemudian difinali dengan tahaful falasifah Al-Gozali yang ternyata mendapatkan sambutan dan menenggelamkan pendapat averoes dan avicena, bukan karena Al-Gozali lah yang benar dan mereka salah, namun dikarenakan mekanisme relasi-relasi kekuasaan ketika itu, pada konteks terjadinya peristiwa tersebut secara kebetulan terjadi peralihan kekuasaan dari Dinasti Ummayah yang demikian memberikan kedudukan istimewa terhadap ilmu kalam ke kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang memberikan kedudukan istimewa sebaliknya. Misal yang lain adalah tentang The Origin of Species nya Charles Darwin, di mana sebelumnya usaha-usaha untuk melepaskan diri dari dogma gereja telah dilakukan oleh copernicus dan galileo galeli, Darwin menandai dimulainya abad pencerahan barat (enlightement) di mana manusia semakin percaya diri untuk membangun kemerdekaan rasionalitasnya tanpa pembatas yang didogmakan oleh gereja. Jadi memang demikianlah adanya, ilmu pengetahuan tidak bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, melainkan bekerja dengan demikian baik di dalam relasi-relasi kekuasaan yang ada.

Pendapat ketiga. Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi
Kuasa sering kali dianggap subjek yang berkuasa (raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum) dan subjek tersebut dianggap melarang, membatasi, menindas dan lain sebagainya. Menurut Foucault kuasa tidak bersifat subjektif (dimiliki seseorang atau kelompok orang). Kuasa tidak dapat dilihat sebagai sebuah proses dialektis di mana si A menguasai si B dan kemudian sesudah beberapa syarat terpenuhi si B menguasai si A. Selain itu, kuasa juga tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif (baca juga konsep hegemoni Gramschi). Dalam kenyataannya, kuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas ( kajian media melalui konsepnya baudillard tentang realitas simularka); kuasa memproduksi lingkup objek dan ritus-ritus kebenaran. Demikian contoh paling dekat adalah konsep politisnya Belanda dalam memecah belah orang Sunda dengan Jawa dengan merekayasa peristiwa perang Bubat, ataupun penciptaan sejarah tanah jawa melalui Babat Tanah Jawa, atau contoh-contoh lainya, mereka sengaja memproduksi realitas dengan cara merekayasa sejarah yang ada.

Strategi kuasa sebenarnya tidaklah bekerja melalui penindasan, karena orang yang ditindas atau ditundukkan bisa jadi secara fisik takluk, namun hati mereka sebenarnya memberontak. Namun strategi kuasa bekerja melalui normalisasi dan  regulasi, melalui apa yang dinamakan dengan menjaga dan menghukum sebagai disiplin. Normalisasi dan regulasi ini bekerja pada suatu taraf kehidupan manusia serta masyarakat dan berfungsi bagaikan semacam alat penyaring atau mesin sortir. Salah satu bidang normalisasi adalah tubuh. Senam dan latihan-latihan militer, kelincahan dan keluwesan yang menyangkut tingkah laku dan gerak gerik, mengikuti norma-norma tentang keadaan tubuh (langsing misalnya melalui diet ketat dan pendisiplinan tubuh), cara berpakaian, dan kesehatan: dalam semuanya itu berlangsung normalisasi dan dengan itu juga strategi kuasa bekerja dengan baik. Suatu contoh lain yang amat jelas tentang strategi kuasa adalah seluruh wilayah yang menyangkut kesehatan badani dan psikis dengan norma-normanya untuk menyatakan seseorang sakit atau sehat. Juga aturan-aturan yang mengiringi cara kita berbicara dengan ketentuan-ketentuan tentang lafalan dan ejaan merupakan contoh normalisasi, misalnya pemakaian ana antum, abi umi, ikhwan akhwat bagi komunitas tertentu. Suatu wilayah lain di mana normalisasi memegang peran penting adalah pekerjaan. Pekerjaan hanya dimungkinkan karena normalisasi yang menjadikan manusia tenaga kerja. Di samping fungsi-fungsi lain (misalnya fungsi produktif), pekerjaan terutama memiliki fungsi disipliner. Pekerjaan merupakan salah satu cara untuk melatih dan menanamkan disiplin.

Pendapat keempat. Kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif
Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu. Tidak jarang ditemui pendapat bahwa kuasa itu sendiri sesuatu yang jahat dan harus ditolak. Tetapi menolak kuasa termasuk strategi kuasa itu sendiri, dan tidak mungkin memilih tempat di luar kawasan strategi itu. Kuasa itu produktif; kuasa memungkinkan segala sesuatu. Coba Anda pahami sendiri pendapat Foucault yang terakhir dikaitkan dengan pergumulan politis Jokowi dan Prabowo atau relasi-relasi kuasa dalam lingkup kehidupan Anda sendiri. Sekian, semoga bermanfaat.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan
4. Strukturalisme dan Poststrukturalisme 
5. Michel Foucault. Sejarah Kegilaan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Michel Foucault. Pemikiran Tentang Kuasa"