Jean Paul Sartre. Kebebasan

Table of Contents
Kebebasan Menurut Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre
Sudah kita lihat pada postingan sebelumnya bahwa kesadaran yang menidak sama dengan kebebasan. Dalam filsafat Sartre kebebasan merupakan suatu kata kunci. Kebebasan tidak merupakan salah satu ciri yang menandai manusia, di samping sekian banyak ciri lainnya. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Suatu cara lain untuk mendefinisikan manusia pada dasarnya menunjuk kepada hal yang sama, yaitu manusia adalah satu-satunya makhluk di mana eksistensi mendahului esensi. Pada taraf bawah-manusiawi esensi mendahului eksistensi. Misalnya, gelas minum yang ada di depan saya mempunyai ciri-ciri tertentu. Benda ini dibuat dengan tujuan tertentu. Tukang membuat gelas sebelumnya sudah mengetahui apa yang akan ia buat (tentang esensinya).

Tetapi apakah manusia itu? Apakah esensi atau kodratnya? Hal tersebut tidak pernah dapat ditentukan, sebab manusia selalu mempunyai kemungkinan untuk mengatakan tidak. Tentang seorang pengarang, Jean Genet dulu orang mengatakan bahwa ia seorang pencuri dan homoseks, bahwa itu esensinya. Tetapi selagi manusia masih hidup selalu ia dapat mengatakan, tidak atau ya sampai sekarang, tetapi tidak lagi. Manusia is not what he is. ketiadaan memisahkan manusia dari esensinya. Baru setelah ia mati, dapat kita lukiskan ciri-ciri hakiki yang menandai hidupnya. Perumusan bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi, menurut Sartre, menunjukkan dengan baik intisari aliran eksistensialisme (dalam Eksistensialisme adalah suatu Humanisme).

Kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Kecemasan menandakan kebebasan, sama seperti rasa muak menyatakan Ada. Sebagaimana menjadi kebiasaan di kalangan para eksistensialis sejak Kierkegaard, Sartre pun membedakan antara ketakutan (fear) dari kecemasan (anxiety). Ketakutan mempunyai salah satu objek, yaitu benda-benda dalam dunia. Sementara kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya tergantung pada diri saya. Sebuah contoh yang diberikan Sartre sendiri adalah sebagai berikut. Saya menghadapi tepi jurang yang tinggi dan terjal. Saya menoleh ke bawah. Saya merasa cemas. Sudah dapat saya bayangkan apa yang akan terjadi bila saya menerjunkan diri ke dalam jurang. Hal tersebut sama sekali tergantung pada diri saya apa yang akan saya perbuat, terjun ke bawah atau dengan hati-hati melangkah mundur ke tempat yang aman. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan hidup saya sendiri dan tidak ada yang menghalangi saya untuk terjun ke dalam jurang. Bahwa hanya saya sendirilah yang bertanggungjawab atas perbuatan saya, hal tersebut mengakibatkan kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya.

Ada juga kecemasan yang menyangkut masa lampau. Sartre memberi contoh berikut ini. Seorang pemain judi telah mengambil keputusan tidak akan main lagi. Tetapi keesokan harinya ia berada lagi di tempat perjudian. Ia teringat akan keputusannya pada hari sebelumnya dan menginsyafi bahwa ketiadaan memisahkan ia dari masa lampaunya. Ia harus memutuskan sekarang ini seolah-olah tidak pernah ada keputusan sebelumnya. Ia merasa cemas karena keputusannya yang kemarin sama sekali tidak efektif. Ia merasa cemas karena keputusan yang harus diambil sekarang tidak mempunyai fundamen, juga tidak dalam masa lampau. Pertanggungjawaban atas perbuatannya seluruhnya bergantung pada ia pada saat sekarang. Kecemasannya menyatakan kebebasannya.

Sartre mengakui bahwa kecemasan ini jarang terjadi. Ini disebabkan karena biasanya manusia terhanyut oleh urusan-urusan sehari-hari. Kemungkinan-kemungkinannya tidak menjadi objek refleksi, tetapi ia merealisasikannya secara prarefleksif. Tetapi sedari ia insaf bahwa tingkah lakunya seluruhnya bergantung pada dirinya, bahwa ia sendirilah satu-satunya sumber segala nilai dan makna, maka kecemasan timbul dalam hidupnya. Walaupun demikian, manusia bias menutup matanya bagi kebebasan, dan melarikan diri dari kecemasan dan sering kali terjadi begitu.

Untuk dapat menyembunyikan kecemasannya dan melarikan diri dari kebebasannya, manusia tentu saja harus mengetahui baik-baik apa yang disembunyikan dan dijauhkan. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan, kecemasan dan pelarian. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya dan serentak menyangkal kebebasan tersebut. Sikap tidak otentik ini oleh Sartre disebut mauvaise foi (bad faith;sikap malafide). Dalam sikap malafide menjadi kentara kemungkinan bagi manusia untuk mengakui dan menyangkal apa yang dihayatinya. Jadi, dalam sikap malafide ini manusia menipu dirinya. Hal tersebut terjadi, misalnya, jika orang mengatakan, sifat saya begitu, apa boleh buat.

Sangat bertentangan dengan kebebasan adalah apa yang oleh Sartre disebut esprit de serieux (spirit of seriousness, suasana pikiran serius). Sudah kita lihat bahwa kecemasan menyatakan kebebasan saya yang tidak fundamen. Segala nilai dan makna bergantung pada kebebasan saya. Tetapi esprit de serieux memandang nilai dan makna sebagai data-data objektif, tidak tergantung dari subjek yang menilai. Orang beragama misalnya menerima adanya perintah-perintah Tuhan. Dalam konteks ilmu pengetahuan, suasana pikiran serius tersebut tampak pada mereka yang menganut salah satu bentuk determinisme psikologis. Kalau begitu, manusia dijadikan suatu objek yang ditentukan oleh faktor objektif lainnya. Manusia diberi suatu kodrat yang dianggap merupakan asal mula semua perbuatan, keinginan dan penghayatannya. Kiranya sudah jelas bahwa esprit de serieux merupakan salah satu sikap malafide.

Bagaimana kebebasan berfungsi dalam tingkah laku manusia, dalam apa yang ia perbuat? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah mulai dengan mengakui bahwa kebebasan tidak merupakan suatu kemampuan manusia, pun bukan salah satu sifat kehendak. Manusia adalah kebebasan, sudah kita dengar. Kebebasan tidak dapat bertumpu pada sesuatu yang lain dari pada kebebasan itu sendiri. Kita dihukum untuk bertindak bebas, kata Sartre. Kita tidak bebas untuk bertindak bebas atau tidak. Melarikan diri dari kebebasan, juga merupakan salah satu cara untuk merealisasikan kebebasan kita. Dalam tindakan-tindakan, kita mengadakan proyek-proyek. Bertindak berarti merancang diri. Sartre berpendapat bahwa setiap manusia merealisasikan suatu proyek fundamental dalam hidupnya. Kadang-kadang proyek fundamental tersebut dipilih satu kali secara definitif (sebagai contoh Sartre menunjuk kepada kehidupan sastrawan Prancis Baudelaire), kadang-kadang pula proyek fundamental tersebut diubah sampai beberapa kali (sebagai contoh ditunjuk kehidupan Jean Genet). Sartre menciptakan sitilah psikoanalisa eksistensial bagi analisa yang berusaha menunjukkan proyek fundamental tersebut secara konkret. Psikoanalisan eksistensial ini dapat membebaskan manusia dengan membongkar mauvaise foi. Studi-studi Sartre tentang Baudelaire dan Genet dapat dianggap sebagai psikoanalisa eksistensial. Studi besar tentang Flaubert dikemudian hari sudah dilatarbelakangi oleh suatu konteks lain, yaitu analisa Marxistis.

Pembahasan singkat ini kiranya sudah mengizinkan kesimpulan bahwa dalam filsafat modern tidak ada filsuf kedua yang mempunyai pandangan begitu ekstrim tentang kebebasan manusia seperti Sartre. Menurutnya, kita menghadapi dilema berikut ini, manusia sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas. Tidak ada kemungkinan yang ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut. Tidak ada batas-batas bagi kebebasan, kata Sartre, selain batas-batas yang ditentukan oleh kebebasan itu sendiri. Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas. Allah itu Maha Tahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya melakukan dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Kalau begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas kebebasan. Allah sebagai Ada absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.

Banyak kelemahan dan kritik yang terletak di sini, saya sebagai manusia yang beragama, tentang Qada dan Qadar Allah, ataupun tentang pendapat kaum jabariah dan qodariah. Namun kiranya demikianlah pendapat seorang filsuf Perancis kenamaan Jean Paul Sartre, yang tentunya selain yang bertentangan dan juga kurang begitu masuk akal, dapat pula kita petik hikmah darinya. Amiin. Semoga Bermanfaat.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer, Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta

Baca Juga
1. Jean Paul Sartre. Biografi
2. Jean-Paul Sartre. Relasi Antarmanusia 
3. Eksistensialisme Jean-Paul Sartre 
4. Aliran Filsafat. Eksistensialisme
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment