Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji al-Faruqi: Prinsip, Tujuan, dan Rencana Kerja Sistematis
I. Konteks Intelektual dan Diagnosis Krisis Peradaban Muslim
Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan (IOK) yang digagas oleh Isma'il Raji al-Faruqi adalah sebuah respons sistemik dan radikal terhadap krisis peradaban Muslim kontemporer. Karya utamanya, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982), berfungsi sebagai cetak biru metodologis untuk merekonstruksi seluruh struktur pengetahuan manusia di bawah kerangka visi Islam. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk sekadar menambahkan nilai-nilai moral pada ilmu modern, melainkan melakukan operasi bedah epistemologis untuk mengatasi akar permasalahan struktural yang diidentifikasi oleh Al-Faruqi.
Latar Belakang Intelektual Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi (1921–1986) memiliki latar belakang pendidikan yang memberinya posisi unik untuk merumuskan proyek integrasi ilmu. Lahir di Palestina, ia menjalani pendidikan formal Barat, memperoleh gelar Bachelor of Arts (BA) di bidang filsafat dari American University, Beirut, pada tahun 1941. Setelah itu, ia melanjutkan studi filsafat di Amerika Serikat, meraih gelar Master dari Indiana University (1949) dan Master kedua dari Harvard University, sebelum akhirnya memperoleh gelar Ph.D. dari Indiana University pada tahun 1952 dengan disertasi berjudul On Justifying the God; Metaphysic and Epistemology of Value.
Penguasaan mendalam terhadap filsafat dan epistemologi Barat ini dilengkapi dengan pendalaman intensif terhadap ilmu-ilmu keislaman. Merasa hasil studinya di Barat belum memuaskan, Al-Faruqi pindah ke Mesir untuk belajar ilmu-ilmu keislaman di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dualitas intelektual ini—menguasai kerangka berpikir liberal Barat sekaligus otoritatif dalam khazanah Islam tradisional—menjadi prasyarat vital bagi proyek IOK. Latar belakang ganda ini memungkinkannya untuk melakukan kritik terperinci terhadap asumsi sekuler ilmu modern (Langkah 6) dan menganalisis warisan Islam secara analitis (Langkah 4), menjadikannya jembatan yang diperlukan untuk mengatasi dikotomi pendidikan. Pengalaman politiknya yang singkat sebagai Gubernur di Galelia, Palestina, sebelum dipaksa hijrah ke Amerika akibat jatuhnya wilayah tersebut ke tangan Israel pada tahun 1947, juga menanamkan kesadaran yang kuat mengenai kelemahan struktural dan politis umat Islam.
Diagnosis Malaise Umat Islam dan Dampak Sekularisasi
Al-Faruqi mendiagnosis bahwa kelesuan atau kemunduran (malaise) umat Islam pada abad ke-20 merupakan gejala dari masalah yang lebih mendasar. Ia melihat kemunduran ini bermanifestasi dalam tiga bidang utama:
1. Bidang Politik: Umat Islam terfragmentasi dan terpecah-belah ke dalam berbagai kelompok kepentingan, yang justru memicu konflik internal.
2. Bidang Ekonomi: Umat Islam tertinggal secara signifikan, tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi barang kebutuhannya sendiri, dan sangat bergantung pada sistem dan produksi Barat.
3. Bidang Religio-Kultural: Abad-abad kemunduran telah menyebabkan meluasnya kebodohan, buta huruf, dan takhayul di kalangan Muslim.
Menurut Al-Faruqi, inti dari malaise ini adalah ketertinggalan umat Islam dalam bidang pendidikan. Krisis ini diperparah oleh dualisme sistem pendidikan yang memisahkan pendidikan agama (tradisional) dari pendidikan modern (Barat). Pemisahan ini melahirkan dua tipe intelektual yang tidak terhubung: cendekiawan agama yang tidak memahami ilmu modern, dan ilmuwan modern yang kehilangan visi Islami. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang diajarkan di dunia Muslim membawa nilai-nilai non-Islam, khususnya materialisme dan sekularisme, yang mengikis nilai-nilai keagamaan, memicu individualisme, dan konsumerisme di kalangan pemuda Muslim.
Definisi dan Visi Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan
IOK adalah solusi strategis Al-Faruqi untuk mengatasi dualisme pendidikan dan sekularisasi pengetahuan. Tujuan utama IOK adalah memasukkan pandangan-dunia (worldview) dan nilai-nilai Islam ke dalam tubuh ilmu pengetahuan modern yang berasal dari Barat, yang membawa muatan nilai-nilai non-Islam. Al-Faruqi secara spesifik menyebut proyeknya sebagai "Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern Sekuler Barat", mengakui bahwa ilmu modern secara inheren tidak netral (value-free), melainkan terikat pada pandangan dunia sekuler dan materialis.
IOK didefinisikan sebagai proses penyusunan kembali dan pembinaan seluruh skop ilmu manusia secara teratur dan sistematis agar selaras dengan Islam. Ini mencakup humaniora, ilmu sosial, dan ilmu alam. Proyek ini bukan sekadar pemaksaan label Islam, tetapi rekonstruksi paradigma pemikiran. Visi akhirnya adalah mewujudkan bangunan keilmuan yang berbasis Tawhid, yang akan memimpin pada harmoni sejati dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin). Hal ini menunjukkan bahwa IOK adalah respons strategis; karena akar masalah adalah dikotomi kurikuler, solusinya harus bersifat kurikuler dan epistemologis, yang menargetkan sumber pengetahuan dan saluran penyebarannya.
II. Fondasi Epistemologis dan Ontologis: Tawhid sebagai Paradigma
Seluruh proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Al-Faruqi bertumpu pada satu poros sentral: Tawhid (Kesatuan Allah). Tawhid berfungsi sebagai prinsip metafisik (ontologi) yang mendefinisikan realitas, dan sebagai prinsip metodologis (epistemologi) yang membingkai cara manusia memperoleh dan mengatur pengetahuan.
Supremasi Tawhid
Tawhid adalah prinsip pertama dan utama dalam Islam, menjadi dasar bagi setiap aspek kehidupan Islami. Dalam konteks ilmu pengetahuan, Al-Faruqi menempatkan Tawhid sebagai konsep dasar yang mendasari penafsiran rasional atas semua fenomena alam semesta.
Dimensi Ontologis
Secara ontologis, Tawhid menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya realitas mutlak dan sumber tunggal dari segala kebenaran dan eksistensi. Konsep ini menolak dualisme metafisik, seperti pemisahan total antara materi dan roh, atau antara dunia dan Tuhan. Penegasan ini secara otomatis menafikan pandangan dunia sekuler dan materialis yang menganggap alam semesta sebagai entitas otonom atau tanpa tujuan ilahi.
Dimensi Epistemologis
Secara epistemologis, Tawhid berimplikasi pada Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Ilmu Pengetahuan. Jika Allah adalah sumber tunggal kebenaran, maka kebenaran yang diturunkan melalui wahyu (kebenaran agama) tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan melalui akal dan observasi (ilmu pengetahuan empiris). Karena itu, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai (value-free), melainkan harus terikat nilai (value-bound) pada Tawhid. Prinsip ini memberikan justifikasi teoretis bagi proyek integrasi dan menuntut bahwa semua disiplin ilmu harus diarahkan untuk menegakkan kehendak ilahi.
Lima Prinsip Metodologi yang Diturunkan dari Tawhid
Al-Faruqi merumuskan lima prinsip metodologi fundamental yang diturunkan dari Tawhid. Prinsip-prinsip ini bertindak sebagai kerangka acuan untuk menilai dan menyusun kembali setiap disiplin ilmu:
1. Kesatuan Allah (Tawhid): Prinsip induk yang mengharuskan semua teori, metode, prinsip, dan tujuan ilmu pengetahuan disubordinasikan pada visi Ilahi.
2. Kesatuan Penciptaan (Unity of Creation): Alam semesta dipandang sebagai kesatuan yang terintegrasi dan memiliki tujuan. Ilmu alam dan ilmu sosial adalah studi mengenai manifestasi Pencipta yang sama. Prinsip ini menolak pandangan mekanistik Barat yang menganggap alam sebagai kebetulan belaka.
3. Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan (Unity of Truth and Knowledge): Prinsip ini menegaskan bahwa kebenaran yang didapat dari sains dan agama adalah satu. Ini adalah prinsip kunci yang menjamin integrasi dapat dilakukan dan menolak adanya dikotomi antara ilmu sacred dan secular.
4. Kesatuan Kehidupan (Unity of Life): Kehidupan manusia tidak terbagi antara urusan duniawi dan akhirat; Din (Islam) mencakup semua aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial). Implikasinya adalah penolakan terhadap sekularisme yang membatasi peran agama. Setiap pengetahuan harus berorientasi pada amal (tindakan) dan tanggung jawab moral.
5. Kesatuan Kemanusiaan (Unity of Humanity): Seluruh umat manusia adalah satu Ummah yang diciptakan oleh Tuhan. Prinsip ini menekankan universalitas etika Islam dan perlunya keadilan (al-Adl) dalam semua sistem sosial dan politik, menolak rasisme dan nasionalisme sempit. Prinsip ini mengarahkan hasil IOK agar relevan tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi seluruh dunia (rahmatan lil alamin).
Lima prinsip ini merupakan filter dan fondasi. Jika Tawhid adalah dasar, maka setiap disiplin ilmu yang diislamkan harus menghasilkan konsep dan solusi yang menegakkan keadilan sosial dan kesatuan umat, menjelaskan mengapa IOK secara praktis berfokus pada kritik dan rekonstruksi Ilmu Sosial.
Tabel 1 di bawah ini merangkum fungsi kritis dari setiap prinsip dalam kerangka epistemologis Al-Faruqi:
Tabel 1: Lima Prinsip Metodologis Islam Al-Faruqi (Framework Epistemologi)
III. Metodologi Rencana Kerja (Workplan): 12 Langkah Islamisasi Ilmu
Untuk mengoperasionalkan prinsip-prinsip Tawhid menjadi pengetahuan yang aplikatif, Al-Faruqi merancang Rencana Kerja 12 Langkah (twelve-step workplan). Metodologi ini logis, kronologis, dan sistematis, dirancang untuk melahirkan seorang sarjana yang mahir dalam ilmu modern maupun Islam, serta mampu melakukan sintesis kreatif yang diarahkan pada rencana Ilahi.
Metodologi 12 langkah ini dapat dibagi menjadi tiga fase besar: Fase Penguasaan dan Analisis; Fase Dekonstruksi dan Kritik; dan Fase Konstruksi dan Sosialisasi.
Fase I: Penguasaan dan Analisis (Langkah 1–4)
Fase ini bertujuan untuk memperoleh penguasaan yang komprehensif atas ilmu modern dan khazanah Islam.
1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern, Penguasaan Kategoris (Mastery of the Modern Discipline: Categories breakdown):
Pada langkah awal ini, disiplin ilmu modern yang ditargetkan harus diurai secara fundamental. Hal ini melibatkan pemecahan disiplin ilmu menjadi kategori-kategori dasar, prinsip-prinsip, metode, problema, dan tema pokoknya. Tujuannya adalah untuk memahami struktur ontologis dan metodologis ilmu Barat, dan hasilnya harus mencerminkan daftar isi buku daras metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan.
2. Survei Disiplin Ilmu Modern (Discipline survey):
Setiap disiplin ilmu modern harus disurvei dan diilustrasikan dalam bentuk bagan (skema) yang mencakup asal-usul historisnya, perkembangan metodologi, keluasan cakupannya, dan kontribusi tokoh-tokoh utamanya. Survei ini harus dilengkapi dengan bibliografi terpenting. Langkah ini penting agar ilmuwan Muslim memahami secara detail kelebihan dan kekurangan disiplin ilmu tersebut, membangun dasar pemahaman bersama sebelum proses Islamisasi dimulai.
3. Penguasaan Khazanah Islam, Sebuah Antologi (Mastery of the Islamic legacy: the anthology):
Pada tahap ini, dilakukan pencarian sistematis terhadap khazanah Islam—termasuk Al-Qur’an, Sunnah, dan warisan intelektual Muslim—untuk menemukan sejauh mana khazanah tersebut menyentuh dan membahas objek-objek yang relevan dengan disiplin ilmu modern. Tujuannya adalah untuk membuktikan relevansi khazanah Islam dan mengatasi pandangan keliru di kalangan ilmuwan Muslim didikan Barat yang mengira warisan keilmuan Islam tidak relevan.
4. Analisis Khazanah Ilmiah Islam (Mastery of the Islamic legacy: the analysis):
Khazanah Islam yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara historis, dikaitkan dengan berbagai bidang kehidupan manusia, dan diurutkan berdasarkan prioritas. Analisis harus fokus pada prinsip-prinsip pokok (tajuk-tajuk abadi) dan masalah-masalah utama yang relevan dengan tantangan kontemporer.
Fase II: Penentuan Relevansi dan Penilaian Kritis (Dekonstruksi) (Langkah 5–7)
Fase ini adalah fase kritis untuk memurnikan (dekonstruksi) ilmu modern dan warisan Islam dari unsur-unsur non-Islami, menggunakan prinsip-prinsip Tawhid sebagai filter.
5. Menentukan Relevansi Islam untuk Disiplin Ilmu Modern (Establishment of the specific relevance of Islam to the disciplines):
Langkah ini berfokus pada dialog dan identifikasi sumbangan spesifik yang dapat diberikan Islam terhadap setiap disiplin ilmu modern. Tim kerja yang terdiri dari ahli modern dan ahli Islam harus menentukan secara spesifik bagian mana dari ilmu modern yang dapat diterima, mana yang harus ditolak, dan mana yang memerlukan Islamisasi.
6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern (Critical assessment of the modern discipline: the state-of-the art):
Ini adalah tahap dekonstruksi ilmu modern. Disiplin ilmu modern harus dinilai secara kritis untuk mengidentifikasi sejauh mana ia menyimpang, membelok, atau mengabaikan visi Islam. Kritik harus diarahkan pada asumsi-asumsi metodologis (seperti empirisme radikal), kategori-kategori (seperti individualisme), dan teori-teori (seperti relativisme etika) yang bertentangan dengan Tawhid. Tujuannya adalah menentukan aspek-aspek yang harus dikoreksi dan diubah.
7. Penilaian Kritis Atas Khazanah Islam (Critical assessment of the Islamic legacy: the state-of-the art):
Tahap ini merupakan dekonstruksi internal. Warisan khazanah Islam harus dinilai secara kritis untuk menyingkirkan elemen yang tidak murni Islami (misalnya, takhayul atau praktik kultural yang salah) atau pandangan yang hanya relevan pada masanya dan tidak lagi sesuai dengan realitas kontemporer. Khazanah Islam harus didekati sebagai usaha manusia (yang dapat salah), bukan wahyu, agar dapat dikoreksi dan diselaraskan kembali dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Langkah ini memastikan bahwa proyek IOK didasarkan pada Islam yang otentik dan dinamis.
Fase III: Sintesis, Rekonstruksi, dan Sosialisasi (Konstruksi) (Langkah 8–12)
Fase ini adalah puncak IOK, menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang diislamkan dan menyebarkannya.
8. Survei Masalah-Masalah Umat Islam (Survey of the ummah's major problems):
Dilakukan survei komprehensif terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi umat Islam saat ini (misalnya, fragmentasi politik, ketergantungan ekonomi, erosi moral) dan menyusunnya dalam daftar prioritas.
9. Survei Masalah-Masalah Umat Manusia:
Dilakukan survei serupa mengenai masalah-masalah global yang dihadapi oleh seluruh umat manusia (misalnya, isu lingkungan, perang, kemiskinan). Kedua survei (Langkah 8 dan 9) berfungsi untuk memastikan bahwa hasil IOK berorientasi pada realitas dan memiliki fungsi sosial yang tinggi, menjalankan misi rahmatan lil alamin.
10. Analisis dan Sintesis Kreatif (Analisa & Sintesa Khazanah Islam dengan Ilmu Modern):
Ini adalah inti dari konstruksi ilmu baru. Melibatkan sintesis kreatif yang rumit, di mana ilmuwan mendamaikan, mengkaji ulang, menyusun kembali, dan memodifikasi konsep, data, prinsip, dan tujuan dari ilmu modern (yang telah dikritik) dan khazanah Islam (yang telah dimurnikan). Tujuannya adalah rekonstruksi total disiplin ilmu, menanamkan visi Islam pada setiap tahapan, mulai dari kategori, metode, hingga tujuan.
11. Perumusan dan Penulisan Kembali Buku-Buku Teks (Perumusan & Penulisan Kembali Disiplin/Buku-Buku Teks):
Berdasarkan hasil sintesis (Langkah 10), langkah krusial ini memerlukan penulisan buku daras (teks) yang baru, silabus, dan materi kuliah untuk setiap disiplin ilmu. Penulisan buku teks yang disesuaikan ini merupakan produk fisik terpenting IOK, karena mengatasi masalah dualisme kurikulum.
12. Penyebaran Pengetahuan yang Sudah Diislamisasikan (Penyebaran Pengetahuan yang sudah diislamisasikan):
Langkah terakhir adalah sosialisasi pengetahuan baru melalui perguruan tinggi, pusat penelitian, penerbitan, media massa, dan penerbitan jurnal. Al-Faruqi menekankan pendirian Komite Aksi di setiap perguruan tinggi untuk melaksanakan program ini dan mengamankan sistem pendidikan baru secara finansial, misalnya melalui Waqaf. Proyek ini menekankan tindakan kolektif dan institusional untuk reformasi struktural.
IV. Implementasi Institusional dan Contoh Penerapan IOK
Proyek IOK menuntut transformasi struktural yang memerlukan kendaraan institusional yang kuat serta implementasi praktis dalam kurikulum dan disiplin ilmu.
Peran International Institute of Islamic Thought (IIIT)
Realisasi dari Langkah 12 (Sosialisasi) dimanifestasikan melalui pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1981 di Herndon, Virginia, Amerika Serikat. IIIT didirikan oleh Ismail al-Faruqi bersama Anwar Ibrahim.
IIIT berfungsi sebagai lembaga nirlaba non-denominasi yang bertujuan untuk menghidupkan dan mereformasi pemikiran Islam melalui riset, publikasi, penerjemahan, dan pengajaran, dengan fokus memajukan pendidikan di masyarakat Muslim. Lembaga ini secara aktif mempromosikan pendekatan yang mengintegrasikan ajaran Al-Qur’an dengan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui ilmu humaniora, ilmu sosial, dan ilmu alam.
Pendirian IIIT menunjukkan bahwa IOK bukanlah sekadar teori akademik, melainkan proyek peradaban yang memerlukan dukungan struktural. IIIT bertindak sebagai pusat operasional untuk melaksanakan penulisan buku teks (Langkah 11) dan penyebaran kurikulum terintegrasi, yang sangat penting mengingat diagnosis Faruqi bahwa krisis umat berakar pada dikotomi pendidikan.
Implementasi dalam Kurikulum dan Pendidikan
Proyek IOK secara langsung menargetkan sistem pendidikan. Al-Faruqi menegaskan bahwa kurikulum holistik yang merupakan hasil integrasi studi Islam dengan bidang ilmu modern harus diciptakan. Hal ini memerlukan penulisan buku teks universitas yang disesuaikan untuk setiap disiplin ilmu, yang secara eksplisit menggabungkan visi Islam dan pendekatan inovatif untuk merealisasikannya.
Visi Faruqi lebih menekankan perubahan kolektif dan struktural pada tingkat Ummah dibandingkan perubahan individual, yang membedakannya dari pendekatan intelektual Muslim lain (misalnya Al-Attas, yang menekankan purifikasi diri individu terlebih dahulu). Dengan menargetkan kurikulum, Faruqi berusaha memastikan bahwa generasi intelektual Muslim berikutnya secara inheren akan memiliki pandangan dunia berbasis Tawhid, mengatasi akar penyebab malaise umat.
Contoh Penerapan dalam Ilmu Ekonomi
Salah satu bidang paling mendesak untuk Islamisasi adalah ilmu ekonomi, yang secara historis didominasi oleh asumsi-asumsi sekuler.
1. Kritik Ilmu Modern: Ilmu Ekonomi Modern didasarkan pada homo economicus (individu rasional yang memaksimalkan utilitas pribadi) dan prinsip bebas nilai. Asumsi ini secara fundamental melanggar prinsip Kesatuan Kehidupan dan Kesatuan Kemanusiaan, karena mendorong individualisme, akumulasi harta tanpa batas, dan mengabaikan tanggung jawab etis dan sosial.
2. Konstruksi Ilmu Ekonomi Islam: Rekonstruksi harus dibangun di atas konsep-konsep Islami: Tawhid (kepemilikan mutlak milik Allah), Khilafah (manusia sebagai pengelola/wakil), Adl (Keadilan dalam distribusi), dan Maslahah (kesejahteraan umum). Kerangka aksiologisnya adalah Maqasid Syariah (tujuan syariah).
3. Hasil Implementatif: Ilmu Ekonomi Islam yang diislamkan menolak institusi berbasis bunga (riba) dan spekulasi yang merusak, menggantinya dengan model pembiayaan berbasis risiko bersama (mudharabah) dan menekankan distribusi kekayaan melalui zakat dan instrumen sosial-etis lainnya. Tujuan ilmu ekonomi diubah dari maksimisasi utilitas menjadi pencapaian falah (kesuksesan dunia dan akhirat).
Contoh Penerapan dalam Ilmu Sosial
Dalam ilmu sosial, IOK berfokus pada kritik terhadap struktur yang didominasi oleh gagasan Barat mengenai negara-bangsa dan identitas etnis.
1. Kritik Ilmu Modern: Sosiologi, politik, dan psikologi modern seringkali menekankan individualisme dan nasionalisme sempit sebagai unit analisis utama.
2. Konstruksi Ilmu Sosial Islam: Ilmu sosial yang diislamkan harus direkonstruksi berdasarkan konsep Ummah (Kesatuan Kemanusiaan) sebagai unit sosiologis primer, diikat oleh akidah universal, bukan etnis atau batas negara.
3. Tujuan: Kajian sosial diarahkan untuk mengatasi masalah riil Ummah (Langkah 8), mempromosikan kohesi komunal, dan melawan erosi nilai-nilai agama serta individualisme. Ilmu politik diislamkan dengan menekankan konsep syura (musyawarah) dan Adl (keadilan) di atas logika kekuasaan dan dominasi.
V. Evaluasi Kritis dan Wacana Kontemporer Terhadap IOK
Meskipun proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Al-Faruqi diakui sebagai upaya paling sistematis untuk mereformasi pendidikan Muslim, proyek ini tidak luput dari kritik keras, terutama dari pemikir Muslim lainnya seperti Ziauddin Sardar. Memahami kritik ini penting untuk memperoleh penilaian yang nuanced terhadap kelayakan dan cakupan IOK.
Kritik Mendasar Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar menilai model IOK Al-Faruqi sebagai proyek yang tidak cukup radikal, bahkan berisiko menjadi "Westernisasi Islam". Sardar berpendapat bahwa IOK model Faruqi melakukan kesalahan mendasar dengan menerima kerangka disiplin ilmu modern sebagai titik tolak.
1. Penolakan Terhadap Disiplin Ilmu yang Sudah Ada
Sardar menolak keras langkah awal Al-Faruqi (Langkah 1 dan 2) yang menekankan penguasaan dan kategorisasi disiplin ilmu Barat. Argumen Sardar adalah:
- Disiplin ilmu modern, terutama ilmu sosial (ekonomi, sosiologi, psikologi), tidak netral. Disiplin tersebut lahir dari pandangan dunia Barat yang spesifik dan sarat nilai (value-bound). Pembagian pengetahuan dalam disiplin ilmu yang ada saat ini merupakan manifestasi khas peradaban Barat dalam merumuskan masalah.
- Usaha untuk "mengislamkan" disiplin ilmu Barat yang secara fundamental dikonstruksi oleh persepsi, ideologi, dan bahasa masyarakat lain adalah tindakan keliru.
- Jika epistemologi Islam dimulai dari disiplin ilmu yang sudah ada, hasilnya hanya akan menjadi upaya mengeksploitasi khazanah Islami namun tetap menggunakan corak berpikir Barat.
Sardar berpendapat bahwa epistemologi Islam kontemporer harus dirumuskan dengan mengembangkan paradigma-paradigma di dalam ekspresi-ekspresi eksternal peradaban Muslim (sains, politik, ekonomi, struktur sosial) secara independen, bukan dengan menambal sulam kerangka Barat.
2. Kritik terhadap Prinsip "Kesatuan Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan"
Sardar juga menargetkan salah satu prinsip epistemologis kunci Al-Faruqi, yaitu "kesatuan kebenaran dan kesatuan ilmu pengetahuan".
- Sardar berargumen bahwa jika ilmu pengetahuan disamakan dengan "kebenaran," maka akan timbul kesulitan, karena pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan empiris bersifat sementara dan dapat terbukti keliru seiring berjalannya waktu.
- Lebih lanjut, Sardar mencontohkan bahwa ilmu pengetahuan juga menghasilkan aplikasi yang merusak moral, seperti teknologi penyiksaan atau pengembangan senjata pemusnah massal (nuklir atau antrhrax). Ia mempertanyakan bagaimana pengetahuan yang menghasilkan kehancuran dapat disebut sebagai bagian dari "kebenaran" yang tunggal dan disatukan dengan wahyu.
3. Penolakan Terhadap Penguasaan Sains Barat Terlebih Dahulu
Secara metodologis, Sardar tidak setuju dengan kewajiban Al-Faruqi untuk menguasai sains Barat terlebih dahulu (Langkah 1 dan 2) sebagai prasyarat menguasai sains Islam. Ia menuntut reorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi, menghasilkan sistem ilmu pengetahuan baru yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Tawhid.
Perbandingan Nuansa dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas
Wacana IOK seringkali melibatkan perbandingan antara model Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kedua pemikir ini sepakat pada tataran epistemologi bahwa ilmu tidak bebas nilai (value-free) tetapi terikat pada nilai-nilai yang diyakini (Tawhid).
Namun, perbedaan mendasar terletak pada fokus implementasi:
- Al-Faruqi berfokus pada Islamisasi Kurikuler dan Struktural. Ia menekankan rekonstruksi disiplin ilmu, penulisan buku teks baru, dan perubahan sosio-ekonomi/politik Ummah melalui aksi kolektif dan institusi (IIIT).
- Al-Attas berfokus pada Islamisasi Konseptual dan Individual. Ia menekankan pembersihan konsep-konsep kunci dan pembersihan jiwa (pendidikan individu) melalui adab. Baginya, perubahan individu akan diikuti oleh perubahan masyarakat.
Tabel 2: Perbedaan Pendekatan IOK Faruqi vs. Sardar
VI. Kesimpulan dan Trajektori Masa Depan
Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang diuraikan dalam Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan karya Ismail Raji al-Faruqi merupakan peta jalan paling sistematis dan institusional untuk mengatasi krisis peradaban Muslim yang berakar pada dualisme pendidikan dan sekularisasi pengetahuan.
Signifikansi Sistematis
Signifikansi proyek ini terletak pada metodologi 12 langkah yang komprehensif, yang memisahkan proses analisis kritis (dekonstruksi), penentuan relevansi, dan sintesis kreatif (konstruksi) secara bertahap. Al-Faruqi tidak hanya menuntut kritik terhadap ilmu Barat, tetapi juga menuntut pemurnian internal terhadap warisan Islam (Langkah 7), menunjukkan bahwa IOK adalah proses reformasi ganda. Fokus pada penulisan ulang buku teks (Langkah 11) dan institusionalisasi (IIIT, Langkah 12) membuktikan bahwa IOK adalah strategi jangka panjang untuk mentransformasi masyarakat Muslim secara struktural.
Warisan dan Tantangan
Meskipun kritik dari Ziauddin Sardar menyoroti risiko value-bound yang melekat pada ilmu sosial Barat dan menantang prinsip kesatuan kebenaran, IOK Al-Faruqi telah berhasil menjadi kerangka paling berpengaruh dalam wacana intelektual Islam. Pendirian IIIT pada tahun 1981 telah menyediakan kendaraan fungsional untuk melanjutkan proyek tersebut, memajukan pendidikan, dan menyebarkan kurikulum yang terintegrasi secara global.
Proyek ini, yang pada intinya merupakan upaya dekolonisasi intelektual, dibayar mahal secara pribadi. Pembunuhan Al-Faruqi pada tahun 1986, yang digambarkan sebagai serangan terstruktur untuk membungkam suara kritis, menggarisbawahi dimensi politis dan ancaman yang dirasakan oleh narasi hegemonik yang ia coba dekonstruksi.
Secara keseluruhan, IOK Al-Faruqi tetap relevan dan berfungsi sebagai cetak biru metodologis yang menawarkan jawaban terstruktur terhadap tantangan epistemologis modern. Proyek ini menegaskan kembali bahwa bagi umat Muslim, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari etika, ontologi, dan visi universal Tawhid.
Sumber Referensi:
al-Faruqi, I. R. (2025). Islamization of knowledge: General principles and work plan. Qadeem Press.
Al-Afkar: Journal for Islamic Studies. (2022). The reality of the Islamisation of science. Retrieved from https://al-afkar.com
Atlantis Press. (2021). Islamization of Isma'il Raji al-Faruqi's knowledge (Study of contemporary epistemology). Retrieved from https://www.atlantis-press.com
Edunity. (2023). Islamization of science Ismail Raji al-Faruqi in forming curriculum integration at PTKI. Retrieved from https://edunity.publikasikupublisher.com
Ejournal UIN Salatiga. (2022). Ismail Raji al-Faruqi’s thought on Islamization of knowledge and its significance for Islamic education. Retrieved from https://ejournal.uinsalatiga.ac.id
Ejournal UIN Suska. (2021). Mengkritisi konsep Islamisasi ilmu Ismail Raji al-Faruqi. Retrieved from https://ejournal.uin-suska.ac.id
Eprints STAI Muhammadiyah Blora. (2020). Pengaruh sekularisasi terhadap masyarakat Muslim di Indonesia. Retrieved from https://eprints.staimuhblora.ac.id
Indonesiana.id. (2023). Pembunuhan intelektualitas: Tragedi Ismail al-Faruqi 1986 dan kritik sistemik. Retrieved from https://www.indonesiana.id
Journal UII. (2022). Islamisasi model al-Faruqi dan penerapannya dalam ilmu ekonomi Islam di Indonesia (Suatu kritik epistemik). Retrieved from https://journal.uii.ac.id
Journal UIR. (2022). Studi komparatif pemikiran Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Retrieved from https://journal.uir.ac.id
Kompasiana. (2024). Intelektual Palestina Ismail Raji al-Faruqi. Retrieved from https://www.kompasiana.com
Lib UI. (2019). Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan: Studi kritis pemikiran. Retrieved from https://lib.ui.ac.id
Media Neliti. (2020). Islamisasi ilmu pengetahuan: Upaya integrasi ilmu dan tradisi Islam menurut al-Faruqi. Retrieved from https://media.neliti.com
ResearchGate. (2023). Tauhid sebagai prinsip ilmu pengetahuan (Studi analisis Ismail Raji al-Faruqi). Retrieved from https://www.researchgate.net
Repository UIN Malang. (2021). Islamisasi ilmu Ismail R. al-Faruqi. Retrieved from https://repository.uin-malang.ac.id
UKM. (2022). Islamisasi ilmu dan cabarannya terhadap pengajian Islam di Malaysia (Islamization of knowledge and its challenges to Islamic studies). Retrieved from https://www.ukm.my
Wikipedia. (2024). International Institute of Islamic Thought. Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/International_Institute_of_Islamic_Thought
%20Isma'il%20Raji%20al-Faruqi.png)


Post a Comment