Analisis Buku Subculture: The Meaning of Style (1979) Karya Dick Hebdige: Makna Gaya, Resistensi Simbolis, dan Proses Inkorporasi dalam Budaya Pop
I. Genealogi Teoretis: Menempatkan Hebdige dalam Studi Budaya Kritis
Buku Subculture: The Meaning of Style, yang diterbitkan pada tahun 1979 oleh Dick Hebdige, bukan hanya sebuah studi tentang fashion remaja, melainkan sebuah teks seminal yang menandai pergeseran metodologis dalam Studi Budaya Kritis. Hebdige berhasil menggabungkan analisis Marxisme struktural dari tradisi Birmingham dengan perangkat semiotika struktural, terutama yang dipopulerkan oleh Roland Barthes, untuk menguraikan makna yang tersembunyi di balik gaya-gaya subkultur pemuda Inggris pasca-perang.A. Latar Belakang Historis: Inggris Pasca-Perang dan Munculnya Pemuda Kelas Pekerja
Analisis Hebdige secara eksplisit berfokus pada subkultur pemuda kulit putih kelas pekerja di Inggris pasca-Perang Dunia II, mencakup lintasan dari Teddy Boys hingga Mods, Rockers, Skinheads, dan Punks. Latar belakang sosial ini sangat penting: pasca-perang, Inggris mengalami reorganisasi sosial dan, untuk sementara, peningkatan kesejahteraan. Namun, perubahan struktural ini menciptakan kantong marginalisasi, terutama di kalangan pemuda kelas pekerja. Kelompok-kelompok yang tersisih dari arus utama kesejahteraan menggunakan gaya sebagai mekanisme untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan resistensi mereka.B. Warisan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS), Birmingham
Hebdige beroperasi di bawah payung intelektual Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham, yang pada tahun 1970-an, melalui karya-karya seperti Resistance Through Rituals (Hall & Jefferson), menekankan kelas sosial sebagai kerangka struktural fundamental dalam memahami subkultur. Dalam pandangan ini, subkultur dilihat sebagai bentuk resistensi ideologis atau budaya kelas pekerja terhadap hegemoni (dominasi budaya) yang dipegang oleh kelas penguasa.Namun, Hebdige memelopori pergeseran epistemologis penting. Meskipun karyanya tetap berakar pada kritik Marxis, Subculture: The Meaning of Style bergerak maju dengan memprioritaskan Semiotika Gaya dan potensi Ras (meskipun fokus utama empirisnya tetap pada pemuda kulit putih) sebagai prinsip pengorganisasian untuk memahami resistensi.
Transisi ini menjadikan Subculture sebagai "penanda arah" (signpost) yang menjembatani analisis Marxis struktural era 1970-an dengan teori-teori wacana yang mulai berpengaruh dalam studi budaya pada tahun 1980-an. Dengan menekankan gaya sebagai agen perubahan simbolis, Hebdige memungkinkan analisis yang lebih fleksibel terhadap budaya, meskipun hal ini nantinya membuka jalan bagi kritik yang menuduh kurangnya fokus pada determinisme material murni.
C. Pilar Teoretis: Semiotika Struktural dan Marxisme
Kerangka kerja Hebdige ditopang oleh dua pilar teoretis utama:1. Semiotika Barthes: Hebdige mengadopsi analisis strukturalis, terutama dari Roland Barthes. Ia berpendapat bahwa "budaya" adalah fenomena arbitrer yang maknanya harus dicari melalui bahasa, pengalaman, dan realitas. Subkultur dilihat bukan hanya sebagai perilaku, tetapi sebagai teks yang dapat diuraikan. Gaya, oleh karena itu, harus dibaca sebagai bahasa simbolis yang dapat ditafsirkan.
2. Marxisme dan Hegemoni: Gaya subkultur adalah "resistensi simbolis" yang menantang ideologi dominan. Perjuangan ini terjadi di tingkat budaya, di mana kelas pekerja yang terpinggirkan menciptakan ruang makna sementara yang independen dari kontrol hegemoni.
Inti dari buku ini adalah demonstrasi Hebdige tentang bagaimana subkultur mencapai resistensi ini, bukan melalui aksi politik langsung, melainkan melalui manipulasi tanda-tanda yang sehari-hari, sebuah proses yang ia sebut sebagai Semiotika Gaya.
II. Kerangka Analitis Hebdige: Tiga Serangkai Semiotika Gaya
Hebdige menyajikan tiga konsep teoretis kunci—Semiotika Gaya, Brikolase, dan Homologi—untuk menjelaskan secara rinci bagaimana subkultur mengorganisir objek material, nilai, dan ruang untuk menentang norma-norma arus utama.A. Semiotika Gaya: Gaya sebagai Bahasa Rahasia
Semiotika Gaya adalah landasan di mana analisis Hebdige berdiri. Secara sentral, Hebdige menerapkan Analisis Semiotika untuk menunjukkan bahwa pakaian, gaya rambut, musik, dan penanda lainnya dalam subkultur jelas-jelas dipenuhi dengan makna simbolis. Subkultur menggunakan gaya sebagai bentuk pemberontakan simbolis terhadap nilai-nilai arus utama.Gaya subkultur berfungsi sebagai sistem koding. Kelompok-kelompok ini secara aktif mengorganisir artefak material untuk menghasilkan makna baru. Mereka mengambil makna yang "diberikan" oleh masyarakat dan mengubahnya dengan menggabungkan benda-benda yang dipinjam dari konteks berbeda, memberikan mereka kode yang berbeda. Makna ini sering kali terkandung dalam sebuah "bahasa atau kode rahasia, yang kuncinya hanya dimiliki oleh anggota kelompok".
B. Brikolase (Bricolage): Manipulasi Tanda dan Resignifikasi
Hebdige memperkenalkan gagasan Brikolase, sebuah istilah yang dipinjam dari antropolog Claude Lévi-Strauss, untuk menggambarkan proses di mana subkultur merakit gaya mereka dari "detritus budaya arus utama". Brikolase adalah aspek visual dan estetika subkultur; ini adalah bagaimana subkultur menggunakan objek untuk menanggapi lingkungan mereka dan menjelaskan pandangan mereka tentang dunia.Mekanisme dan Contoh Nyata Brikolase
1. Re-signifikasi Objek Sehari-hari: Brikolase terjadi ketika subkultur mengintensifkan, melebih-lebihkan, atau mengisolasi objek melalui modifikasi. Makna baru dicapai melalui pemberian makna ulang (re-signification) pada objek tersebut.2. Contoh Punk dan Peniti: Contoh paling terkenal adalah peniti (safety pin) yang dikenakan oleh kaum Punk. Peniti, yang merupakan objek utilitas sehari-hari, dipindahkan dari fungsinya yang lurus dan diletakkan di kulit atau pakaian sebagai aksesori mode. Tindakan ini mengubahnya menjadi simbol pembangkangan dan sentimen anti-kemapanan. Punk juga menggunakan objek konvensional lain seperti rantai dan pisau cukur secara provokatif sebagai aksesoris mode untuk mengejutkan masyarakat arus utama.
3. Contoh Teddy Boys: Tindakan ini tidak terbatas pada Punk. Teddy Boys juga berfungsi sebagai bricoleurs ketika mereka mencuri dan mentransformasi gaya Edwardian (Neo-Edwardian suit) yang awalnya dibangkitkan pada awal 1950-an oleh Savile Row untuk pemuda kaya. Transformasi gaya ini dianggap sebagai tindakan brikolase dan cara untuk menyatakan klaim sosial dan politik yang menantang batas kelas.
Proses brikolase menunjukkan bahwa resistensi simbolis subkultur sangat bergantung pada komoditas yang ada, meskipun diberi makna baru. Ketergantungan pada materi yang merupakan produk sistem kapitalis yang mereka lawan secara inheren mengandung paradoks, menunjukkan bahwa resistensi ini bersifat parasit—ia membutuhkan detritus hegemoni untuk membangun dirinya sendiri. Hal ini secara kausal mempercepat proses komodifikasi ulang (inkorporasi) subkultur tersebut.
C. Homologi (Homology): Koherensi Internal Gaya dan Nilai
Jika Brikolase membahas aspek visual (estetika), maka Homologi membahas aspek nilai-nilai yang menyertai subkultur (ideologi). Istilah ini awalnya diterapkan pada subkultur oleh Paul Willis, mengacu pada konsep yang diambil dari Lévi-Strauss.Homologi berfungsi untuk menjelaskan bahwa, meskipun gaya subkultur mungkin tampak kacau, membingungkan, atau acak bagi pengamat luar, ia sebenarnya memiliki tatanan yang sangat teratur dan koheren di tingkat internal. Kekacauan yang tampak di permukaan ini menyatu sebagai keseluruhan yang bermakna.
Penyelarasan Nilai (Contoh Punk)
Homologi menekankan hubungan struktural antara gaya visual subkultur dan pandangan dunia kelompok tersebut. Gaya berfungsi sebagai sistem koneksi yang implisit dan koheren yang melengkapi pengguna untuk 'memikirkan' dunia mereka sendiri.Misalnya, dalam kasus Punk, kekacauan visual (pakaian sobek, peniti, gaya rambut anarkis—hasil brikolase) secara homolog selaras dengan nilai-nilai mereka: pandangan bahwa masyarakat Inggris (dan dunia) berada dalam krisis sosial, moral, dan ekonomi, serta bahwa status quo telah gagal dan harus dibongkar. Homologi inilah yang mengangkat subkultur dari sekadar kenakalan remaja menjadi respons sosiologis dan ideologis yang sah.
D. Perang Gerilya Semiotik (Semiotic Guerilla Warfare)
Dalam konteks Punk, Hebdige juga memperkenalkan istilah Perang Gerilya Semiotik. Konsep ini melangkah lebih jauh dari Brikolase, yang merupakan manipulasi pasif tanda, menjadi penggunaan tanda sebagai taktik ofensif.Perang ini merujuk pada penggunaan bahasa ofensif, sikap buruk, dan pakaian yang memprovokasi—seperti T-shirts ofensif yang dikenal sebagai Guerilla outfits—yang ditampilkan oleh budaya Punk. Para Punk secara aktif melancarkan perang terhadap masyarakat dan melanggar aturan-aturan sosial, mengadopsi nilai-nilai anti-kemapanan melalui objek, musik, dan gaya mereka.
Tabel I di bawah ini merangkum kerangka teoretis utama yang digunakan Hebdige:
Table I: Kerangka Tiga Serangkai Hebdige
III. Subkultur Spektakuler: Resistensi Kelas dan Studi Kasus Hebdige
Hebdige menganalisis beberapa subkultur pemuda Inggris pasca-perang untuk menunjukkan bagaimana gaya berfungsi sebagai perlawanan simbolis terhadap hegemoni kelas dan tekanan sosioekonomi spesifik.A. The Teddy Boys: Manipulasi Simbol Kelas (Awal 1950-an)
Subkultur Teddy Boys muncul pada awal 1950-an, periode yang ditandai dengan ekspansi lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan. Namun, Teddy Boys sebagian besar adalah pemuda yang dikecualikan dari peningkatan kemakmuran ini.Resistensi mereka dimanifestasikan melalui gaya pakaian. Mereka mencuri gaya Neo-Edwardian 'Dandy' (dikenakan oleh kelas atas) dan menggunakannya sebagai upaya untuk menunjukkan penghinaan terhadap sistem kelas dengan meniru gaya 'superior' mereka. Tindakan brikolase ini bukan hanya pernyataan fashion, tetapi alat yang kuat untuk ekspresi diri dan pembangkangan, memungkinkan mereka membentuk identitas baru yang tidak terbatas pada batas-batas kelas pekerja tradisional Inggris.
B. The Skinheads: Reaksi Konservatif dan Pertahanan Wilayah (Awal 1970-an)
Hebdige juga menganalisis Skinheads sebagai subkultur yang gayanya merupakan respons langsung terhadap tekanan material. Skinhead muncul di tengah resesi industri dan program penghapusan permukiman kumuh, yang mengancam struktur komunitas kelas pekerja tradisional.Gaya Skinhead berfungsi sebagai upaya yang dilebih-lebihkan untuk menciptakan kembali dan menekankan maskulinitas dan komunitas kelas pekerja. Mereka menggunakan brikolase dengan meminjam aspek dari pekerjaan manual, seperti sepatu bot industri Doc Marten, kawat gigi (braces), dan potongan rambut pendek, yang melambangkan ketangguhan, loyalitas, dan pertahanan wilayah. Secara homolog, gaya ini melambangkan perlawanan agresif untuk melestarikan identitas kelas pekerja yang terancam. Uniknya, perlawanan ini sering ditujukan ke samping (terhadap imigran) atau ke dalam (terhadap modernisasi), yang merupakan manifestasi dari ketegangan sosioekonomi internal kelas pekerja yang diabaikan oleh analisis CCCS yang lebih luas.
C. The Punks: Pemberontakan Nihilistik dan Semiotika Kekacauan (Akhir 1970-an)
Punk adalah studi kasus paling intens Hebdige. Punk muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat yang dianggap mengalami kemerosotan sosial, moral, dan ekonomi, serta terlalu konformis.Gaya Punk adalah brikolase ekstrem dan Perang Gerilya Semiotik. Dengan menggunakan peniti dan pisau cukur sebagai aksesori, mereka dengan sengaja menggunakan item konvensional untuk mengejutkan masyarakat arus utama. Hebdige melihat kekacauan visual Punk sebagai kekacauan yang teratur—sebuah homologi di mana estetika pembusukan dan anarki secara sempurna mencerminkan nihilisme ideologis mereka terhadap status quo yang mereka yakini telah gagal total. Hebdige adalah yang pertama yang menganalisis Punk sebagai subkultur yang layak mendapatkan analisis akademis karena keberaniannya dalam melancarkan perang semiotik.
Perbedaan arah resistensi antara subkultur menunjukkan bahwa resistensi simbolis bukan hanya respons biner terhadap kelas penguasa, tetapi juga merupakan manifestasi dari tekanan spesifik sosioekonomi pada kelompok kelas pekerja yang berbeda. Teddy Boys dan Punks menyerang ke atas (menghina status quo yang gagal), sedangkan Skinheads menyerang ke dalam dan ke samping (mempertahankan komunitas yang menyusut).
Table II: Mekanisme Resistensi Simbolis dalam Studi Kasus Hebdige
IV. Proses Inkorporasi dan Netralisasi: Ko-opsi Budaya
Salah satu argumen Hebdige yang paling kuat, yang melengkapi dialektika resistensi, adalah klaim bahwa subkultur memiliki lintasan yang dapat diprediksi: kemunculan spektakuler selalu diikuti oleh inkorporasi atau penyerapan kembali oleh budaya arus utama, yang pada akhirnya menetralkan daya subversif mereka.A. Hukum Subkultur Hebdige: Trajektori Menuju Penyerapan
Hebdige menyatakan bahwa subkultur selalu mengalami ko-opsi komersial (commercial co-option). Ketika elemen-elemen gaya subkultur diadopsi oleh arus utama, mereka kehilangan daya subversifnya. Resistensi subkultur, oleh karena itu, bersifat sementara dan tidak stabil. Subkultur Punk, meskipun paling subversif dalam perang semiotiknya, dicatat Hebdige sebagai subkultur yang berumur pendek karena kecepatan komodifikasinya.
Hebdige berpendapat bahwa subkultur harus terus-menerus mengubah kode mereka untuk mempertahankan perbedaan dan daya subversif. Namun, karena ketergantungan esensial pada brikolase (manipulasi komoditas yang ada), proses inkoporasi secara kausal sulit dihindari.
B. Dua Jalur Inkorporasi (Neutralisasi)
Hegemoni menggunakan dua mekanisme utama yang bekerja secara simultan untuk menetralkan ancaman yang ditimbulkan oleh subkultur:
1. Komodifikasi dan Komersialisasi
Jalur pertama berfokus pada penyerapan signifier (bentuk visual) subkultur ke dalam pasar. Mekanisme ini melibatkan Konversi, Komodifikasi, dan Komersialisasi tanda-tanda gaya subkultur. Begitu elemen gaya seperti peniti atau jaket kulit dimasukkan ke dalam industri fashion massal atau high fashion, makna subversif aslinya ditanggalkan.
Hebdige mencatat bahwa sangat sesuai jika gaya Punk diserap ke dalam mode kelas atas pada saat yang sama dengan diluncurkannya pameran besar Dada dan Surealisme di Inggris. Penyerapan ini mengubah pemberontakan politik menjadi tren estetika yang disetujui, menjinakkan kekacauan (homologi) menjadi seni yang dapat dikonsumsi. Ketika peniti dijual di butik mahal, ia berhenti menjadi simbol perlawanan anti-kemapanan dan menjadi komoditas fashion yang netral.
2. Pelabelan (Labelling) dan Redefinisi sebagai Penyimpangan (Deviant)
Jalur kedua berfokus pada penetralan signified (makna ideologis) subkultur. Hegemoni mendefinisikan subkultur sebagai ancaman, penyimpangan (deviant), atau fenomena yang 'tidak alami'.
Tindakan pelabelan ini memiliki tujuan politis: ia menetralkan klaim politik subkultur dengan mengubahnya dari ekspresi pemberontakan ideologis yang sah menjadi masalah pengendalian sosial, kenakalan remaja, atau patologi psikologis. Dengan demikian, ancaman struktural yang ditimbulkan oleh subkultur diubah menjadi masalah individual atau kelompok yang memerlukan intervensi sosial atau hukum, bukan perubahan sosial fundamental.
Kedua proses eliminasi ini—Komodifikasi (mengambil bentuk) dan Pelabelan (menetralkan konten)—bekerja bersama dalam dialektika inkorporasi, memastikan bahwa perlawanan subkultur selalu diakhiri dan dipulihkan kembali ke dalam tatanan hegemoni.
V. Kritik dan Wawasan Lanjutan: Kesenjangan Gender dan Ras
Meskipun Subculture: The Meaning of Style diakui secara luas karena signifikansi teoretis dan politiknya, buku ini telah menghadapi kritik substansial sejak publikasinya, terutama mengenai cakupan empirisnya dan bias metodologis dalam mendefinisikan "subkultur spektakuler."
A. Kritik Feminis: Kebisuan Gender (The Silence) dan Pengabaian Perempuan
Kritik paling tajam datang dari perspektif feminis, terutama dari Angela McRobbie dalam esainya "Settling Accounts with Subcultures". Kritik utama adalah bahwa Hebdige, seperti tradisi Studi Budaya Kritis lainnya pada masa itu, sebagian besar mereproduksi 'kebisuan' mengenai peran gadis dan wanita dalam subkultur. Studi subkultur secara konsisten berfokus pada bentuk budaya pemuda laki-laki.
Definisi Subkultur sebagai Prerogatif Laki-laki
McRobbie berpendapat bahwa fokus Hebdige pada "subkultur spektakuler" dan ritual publik seperti pertunjukan musik atau berkumpul di jalanan cenderung mengabaikan pengalaman gadis/wanita. Bagi banyak subkultur pasca-perang, gaya subkultur dipandang sebagai "prerogatif laki-laki," dan ritual publik tersebut adalah perayaan kolektif maskulinitas.
Kutipan dari mantan Mod, yang menunjukkan bahwa dalam ritual kolektif tersebut, wanita hanya "orang-orang yang menari di sudut dekat speaker", memperkuat ide bahwa perempuan seringkali dimarjinalkan dari pusat aktivitas subkultur. Mereka tidak berpartisipasi dalam "kecukupan diri seksual" dan gaya publik yang mendefinisikan subkultur laki-laki.
Implikasi Struktural dari Kebisuan
Hebdige mendefinisikan subkultur yang penting sebagai resistensi spektakuler yang terjadi di ruang publik. Dalam konteks sosial patriarkal Inggris pada saat itu, perempuan secara struktural lebih terikat pada ruang privat (keluarga dan rumah). Oleh karena itu, jika subkultur hanya diakui ketika bermanifestasi sebagai spektakel publik maskulin, maka pengalaman budaya gadis/wanita secara otomatis dikecualikan dari definisi "subkultur" Hebdige.
Kegagalan ini menantang akademisi feminis untuk tidak hanya menolak literatur yang bias laki-laki, tetapi juga untuk membaca ulang subkultur tersebut dari perspektif gender, atau menggeser perhatian ke budaya gadis/wanita di ruang privat dan institusi seperti keluarga dan sekolah. Kritik ini menyiratkan bahwa analisis gaya Hebdige sebenarnya harus digunakan untuk memahami konstruksi maskulinitas itu sendiri dalam konteks kelas, dan bukannya mengabaikan gender sepenuhnya.
B. Isu Ras dan Keterbatasan Fokus Kelas Pekerja Kulit Putih
Meskipun Hebdige menyoroti Ras dan Gaya sebagai prinsip pengorganisasian, analisis empirisnya terutama terfokus pada subkultur pemuda kulit putih kelas pekerja pasca-perang.
Hebdige mengakui bahwa subkultur kulit putih sering berinteraksi dengan, dan memberikan penghormatan kepada, "Pengalaman Hitam," terutama melalui musik seperti rock, soul hitam, dan reggae. Ia menganalisis bagaimana budaya ini diambil alih oleh pemuda kulit putih (misalnya, Mods yang dipengaruhi musik Soul, dan pengaruh Reggae pada Punk). Meskipun demikian, fokus utama tetap pada proses adopsi oleh pemuda kulit putih, dan bukan pada pengalaman dan resistensi subkultur minoritas itu sendiri. Hal ini menciptakan batas di mana analisis Hebdige tidak sepenuhnya mengeksplorasi pertemuan konkret dan simbolis antara pemuda kulit hitam dan putih, meskipun ia menunjukkan bahwa pertemuan semacam itu krusial bagi kemunculan gaya subkultural.
C. Kritik Metodologis Lainnya
Kritik lain menunjuk pada bahwa Hebdige terlalu fokus pada aspek gaya dan simbolis, sehingga mengabaikan aspek-aspek pemberontakan yang non-gaya. Selain itu, fokus yang berlebihan pada struktur ideologis (hegemoni) diklaim mengaburkan deskripsi mendalam tentang proses kreatif dan ruang kolektif yang berorientasi pada objek, yang diperlukan untuk memahami bagaimana subkultur secara aktual menciptakan gaya mereka.
VI. Kesimpulan dan Signifikansi Abadi Dick Hebdige
Subculture: The Meaning of Style (1979) karya Dick Hebdige adalah tonggak teoretis yang secara definitif mendefinisikan ulang Studi Budaya. Hebdige berhasil memberikan alat analitis yang canggih untuk mengklaim bahwa fashion, musik, dan bahasa subkultural bukan sekadar hiburan atau kenakalan, melainkan bentuk politik yang diekspresikan secara simbolis.
Kontribusi monumental Hebdige terletak pada sintesis kerangka Marxis-Semiotik dan pengenalan triumvirat Brikolase, Homologi, dan Inkorporasi. Tiga serangkai ini memberikan penjelasan mekanis tentang bagaimana kelompok yang terpinggirkan menentang dominasi budaya, menciptakan makna baru melalui manipulasi tanda, dan mengapa resistensi mereka secara inheren berjangka pendek.
Meskipun kritik mengenai gender dan ras sangat valid—dan telah menggeser Studi Budaya untuk fokus pada pengalaman perempuan dan minoritas—kerangka kerja Hebdige tetap menjadi dasar. Konsep Brikolase, Homologi, dan Inkorporasi terus relevan, tidak hanya untuk menganalisis subkultur tradisional, tetapi juga untuk memahami fenomena kontemporer seperti budaya penggemar daring, praktik fan fiction, dan formasi identitas digital di mana tanda-tanda terus-menerus dicuri, diubah maknanya, dan kemudian dikomersialkan kembali.
Dengan menggali jauh ke dalam semiotika gaya, Hebdige menunjukkan bahwa budaya pemuda spektakuler berfungsi sebagai "penanda arah" teoretis yang kuat, mengarahkan perhatian akademis pada detail material dan ideologis dari perlawanan budaya. Buku ini tetap menjadi salah satu teks paling fundamental dan berpengaruh dalam sosiologi pemuda dan Studi Budaya.
Sumber:
Browngirlreadsbooks. (n.d.). Brown girl reads books – of books and art. WordPress. https://browngirlreadsbooks.wordpress.com
eCommons Loyola University Chicago. (n.d.). Symbolic significance of Pachuco and Teddy Boy fashion. https://ecommons.luc.edu
FMPS UPSI. (n.d.). Proceedings of the Faculty of Music and Performing Arts. Universiti Pendidikan Sultan Idris. https://fmsp.upsi.edu.my
GemmaSchiebeFineArt. (n.d.). Dick Hebdige. WordPress. https://gemmaschiebefineart.wordpress.com
Hebdige, D. (2010). Subculture: The meaning of style. Routledge Classics.
Kinoppete. (n.d.). Dick Hebdige. https://kinoppete.org
Mediatheory.net. (n.d.). Dick Hebdige: Decoding subculture & semiotic resistance. https://mediatheory.net
McRobbie, A. (n.d.). Settling accounts with subcultures: A feminist critique. Michigan Technological University. https://pages.mtu.edu
Pages.ucsd.edu. (n.d.). Dick Hebdige, Subculture: The meaning of style. https://pages.ucsd.edu
Shortcutstv. (n.d.). Subcultures as a form of resistance. https://shortcutstv.com
Scribd. (n.d.-a). Proceedings ICELSCS 2018ed2 | English studies. https://scribd.com
Scribd. (n.d.-b). Youth subcultures & style analysis. https://fr.scribd.com
Scribd. (n.d.-c). McRobbie: Settling accounts with subcultures. https://scribd.com
Taylor & Francis Online. (n.d.). Collective and material embeddedness: A critique of subcultural studies and a new perspective. https://tandfonline.com
TaylorFrancis.com. (n.d.). Dick Hebdige, Subculture: The meaning of style. https://taylorfrancis.com
UCSB Film and Media Studies. (n.d.). Subculture: The meaning of style. University of California, Santa Barbara. https://filmandmedia.ucsb.edu
%20Karya%20Dick%20Hebdige.png)


Post a Comment