Analisis Lengkap Buku Why Men Rebel (1970) Karya Ted Robert Gurr

Table of Contents

Teori Deprivasi Relatif

Inti Why Men Rebel adalah konsep deprivasi relatif (“relative deprivation”), yaitu kesenjangan yang dirasakan antara harapan dan kenyataan. Gurr mendefinisikan relative deprivation sebagai “actors’ perceptions of discrepancy between their value expectations (the goods and conditions of life to which they believe they are justifiably entitled) and their value capabilities (the amounts of those goods and conditions that they think they are able to get and keep)[1]. Artinya, individu atau kelompok menjadi tidak puas bukan semata karena kemiskinan obyektif, tetapi karena harapan mereka melebihi apa yang mereka peroleh[2][1]

Dalam Gurr, ketidakpuasan ini bersifat psikologis – ketika individu merasa mendapatkan jauh di bawah yang “layak” mereka terima, akan timbul frustrasi dan amarah. Hipotesis utama Gurr adalah bahwa “potensi untuk kekerasan kolektif sangat bergantung pada intensitas dan ruang lingkup deprivasi relatif di kalangan anggota suatu kolektivitas[3]. Dengan kata lain, semakin luas dan semakin kuat perasaan tertahan (frustrasi) ini, semakin besar kemungkinan terjadinya kekerasan politik.

Pengembangan Teori dan Hubungan dengan Kekerasan Politik

Gurr menggabungkan teori frustrasi-agresi dari psikologi sosial ke dalam konteks kolektif. Frustrasi diperpanjang akan menimbulkan kemarahan dan pada akhirnya kekerasan[4]. Dalam modelnya, deprivasi relatif mendorong “kegelisahan” kolektif yang kemudian diekspresikan melalui kekerasan. Misalnya, Gurr membedakan collective violence menjadi tiga bentuk utama – “turmoil” (kerusuhan atau pemogokan), “conspiracy” (konspirasi atau kudeta), dan “civil or internal war” (perang saudara)[5] – tergantung pada seberapa terorganisir pelaku dan target kekerasan. 

Teori ini juga memasukkan berbagai faktor struktural yang memoderasi hubungan RD–kekerasan: budaya politik (apakah kekerasan dianggap sah), kekuatan dan loyalitas aparat keamanan (represi), tingkat institusionalisasi saluran politik alternatif, serta legitimasi rezim. Sebagai contoh, Gurr mencatat bahwa penggunaan kekerasan lebih mungkin ketika struktur politik terasa tidak sah (low legitimacy) dan ketika budaya politik menerima aksi kekerasan sebagai sarana(“… political violence is more likely if the current leadership and/or the socio-economic/political system is seen as illegitimate.[6]). Sebaliknya, adanya organisasi dan kesempatan penyampaian aspirasi secara damai dapat meredam kecenderungan bergerak ke arah kekerasan.

Studi Kasus dan Relevansi Empiris

Gurr menggunakan pendekatan kuantitatif lintas-negara, tetapi juga memberikan contoh studi untuk mengilustrasikan teorinya. Salah satu studi kasus yang dibahas adalah kegelisahan politik kaum kulit hitam di Amerika Serikat (1960-an). Gurr mencatat pada awal 1960-an komunitas ini mengalami “turmoil” – ketidakpuasan intens akibat kerugian ekonomi dan diskriminasi status, dengan kekerasan berupa kerusuhan perkotaan[7]

Menjelang akhir dekade, pola bergeser ke arah yang lebih mirip “internal war” kecil: muncul organisasi radikal baru, kegagalan sebagian saluran politik moderat, dan meningkatnya target demonstrasi kepada pemerintah[8]. Gurr berkesimpulan bahwa selama ketidakpuasan dasar (ekonomi/sosial) belum teratasi, bentuk kekerasan tetap terfokus pada gejolak turmoil dan konspirasi secara kronis. Selain studi ini, Gurr menyinggung konflik di berbagai wilayah dunia pasca-kolonial sebagai latar konteks, meski dalam Why Men Rebel dia lebih banyak mengembangkan model teoritis daripada analisis kasus mendalam.

Dalam konteks empiris modern, teori deprivasi relatif tetap relevan. Misalnya, beberapa penelitian menyoroti Arab Spring (2010–2012): penggunaan teori Gurr membantu menjelaskan mengapa gelombang protes terjadi di Tunisia, Mesir, dan lainnya. Seorang peneliti mencatat teori deprivasi relatif “telah digunakan untuk mengklarifikasi bagaimana kekurangan sosio-ekonomi (pengangguran, pendidikan, kemiskinan) dan ketidakefisienan politik memicu gejolak kolektif” selama Arab Spring[9]

Lebih luas lagi, banyak studi konflik kontemporer menganggap grievances (kepahitan) individu atau kelompok – serupa dengan deprivasi relatif – sebagai salah satu faktor utama penimbul kekerasan (misalnya dalam debat “greed vs grievance” karya Collier & Hoeffler)[10]. Gurr sendiri dalam edisi ulang Why Men Rebel (2015) menyatakan bahwa pemahaman psikologis dan identitas sosial dalam penyebab protes politik tetap penting[11].

Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan Gurr

Kekuatan: Pendekatan Gurr sangat komprehensif dan mengintegrasikan aspek psikologis serta sosiopolitik. Modelnya merangkai puluhan hipotesis rinci (termasuk daftar hipotesis dan korolarinya) untuk menjelaskan dinamika kekerasan politik[12]. Banyak pengkaji menganggap argumen dasarnya “canggih dan sederhana” sekaligus, sehingga pantas mendapat perhatian serius[13]. Fokus pada persepsi tidak adil (deprivasi relatif) mendorong kajian grievance yang penting dalam ilmu konflik modern[10]. Selain itu, Gurr mengenali faktor-faktor lingkungan (seperti kelembagaan politik, legitimasi pemerintah) yang mempengaruhi kemungkinan kekerasan, sehingga tidak semata-mata mengandalkan satu variabel.

Kelemahan: Kritik utama menyatakan bahwa Gurr terlalu bergantung pada analogi frustrasi-agresi psikologis. Misalnya, ia berpendapat bahwa orang yang frustrasi memiliki “disposisi bawaan melakukan kekerasan terhadap sumber frustrasi sebanding dengan intensitas frustrasinya[14]. Padahal penelitian psikologi eksperimental justru menunjukkan reaksi alternatif terhadap frustrasi (seperti tunduk atau apatis)[15]. Model ini juga kurang menjelaskan secara rinci bagaimana kemarahan berubah menjadi gerakan bersenjata terorganisir. Memang, para peneliti menyebut teori Gurr gagal mengurai proses bagaimana frustrasi berubah menjadi kekerasan terorganisir[10]. Selain itu, Gurr sangat jarang menelaah kasus spesifik secara mendalam; tinjauan ulasan menyebut ia “jarang mencoba analisis serupa pada situasi-situasi konkret”[16], sehingga validasi empirisnya terbatas. Pendekatan Gurr juga dinilai lemah dalam mengukur deprivasi relatif yang bersifat subjektif, serta kurang menimbang faktor struktural lain (misalnya motivasi ekonomi murni) selain perasaan ketidakadilan.

Relevansi dalam Konteks Modern

Secara keseluruhan, Why Men Rebel masih dipandang relevan di abad ke-21. Banyak konflik kontemporer – dari kerusuhan perkotaan hingga gerakan separatis – dapat ditinjau lewat lensa ketidakpuasan relative deprivation. Gurr sendiri menulis ulang esai (2011) untuk menegaskan pentingnya faktor psikologis dan identitas kelompok dalam pemberontakan modern[11]. Buku ini juga diakui tetap “sangat relevan bagi dunia yang penuh kekerasan dan ketidakstabilan saat ini”[11]

Namun, kajian terbaru sering memperluas atau mempertentangkan gagasan Gurr: misalnya Collier & Hoeffler (2004) menunjukkan bahwa peluang ekonomi (greed) bisa lebih menentukan timbulnya perang saudara, yang menandakan perlunya mempertimbangkan variabel ekonomi-rasional selain ketidakadilan sosial. Meskipun begitu, studi-studi baru tetap mengakui konsep deprivasi relatif sebagai kerangka penting untuk memahami pemicu ketidakpuasan kolektif[9][10]

Dalam praktik kebijakan, pendekatan Gurr mengingatkan pentingnya menyeimbangkan harapan masyarakat – agar reformasi politik dan sosial tidak memancing “perangkap kekecewaan” – serta menangani akar ketidaksetaraan persepsi demi meredam potensi kekerasan[17][11].

Sumber: Berdasarkan buku Why Men Rebel (Gurr, 1970) dan literatur akademik terkait[18][17][1][11][9][10].

[1] Why Men Rebel: Ted Robert Gurr, Civil Strife, and Relative Deprivation – Political Inequality: A blog since 2010
https://politicalinequality.org/2022/09/24/why-men-rebel-ted-robert-gurr-civil-strife-and-relative-deprivation/

[2] [5] [7] [8] [12] [13] [14] [15] [16] [17] Why Men Rebel, by Ted Robert Gurr – Commentary Magazine
https://www.commentary.org/articles/james-adams/why-men-rebel-by-ted-robert-gurr/

[3] [4] [6] [18] Summary of "Why Men Rebel" | Beyond Intractability
https://www.beyondintractability.org/bksum/gurr-men

[9] (PDF) Arab Spring and the Theory of Relative Deprivation
https://www.academia.edu/122556866/Arab_Spring_and_the_Theory_of_Relative_Deprivation

[10] All Azimuth | Large-N Analysis in the Study of Conflict*
https://www.allazimuth.com/2019/06/27/large-n-analysis-in-the-study-of-conflict/

[11] Why Men Rebel - Ted Robert Gurr - Google Books
https://books.google.co.uk/books/about/Why_Men_Rebel.html?id=ZV3vCgAAQBAJ&redir_esc=y

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment