‘Irfân

‘Irfân
‘Irfân
Dalam mistik Islam berarti pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui kasyf (melihat dengan mata hati) atau ilham. Secara harfiah, pengertiannya sama dengan makrifat, yaitu pengetahuan. Ibnu Manzur, ahli bahasa Arab, dalam kitabnya Lisan al-‘Arab (Bahasa Arab), mengartikannya sebagai ilmu (al-‘ilm).

Zunnun al-Misri, seorang sufi membagi makrifat atau pengetahuan menjadi tiga (1) Pengetahuan tentang keesaan Tuhan (tauhid) melalui perantara ucapan syahadat. (2) Pengetahuan mengenai keesaan Tuhan dengan alasan dan penjelasan (ma’rifah al-hujjah wa al-bayan). (3) Pengetahuan mengenai keesaan Tuhan dengan perantara hati sanubari. Pengetahuan yang pertama dimiliki oleh orang awam; pengetahuan yang kedua dimiliki oleh ahli-ahli hikmah, sastrawan, dan ulama; sedangkan pengetahuan yang ketiga, yang merupakan pengetahuan tertinggi, dimiliki oleh para wali (ahl wilayah Allah) yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya. Pengetahuan yang ketiga ini tidak dimiliki oleh ulama biasa. Menurut Zunnun, ‘irfan merupakan pengetahuan yang tertinggi.

Al-Qusyairi, ahli tasawuf, juga menjelaskan kedudukan ‘Irfân sebagai pengetahuan tertinggi. Ia menghubungkannya dengan istilah keyakinan (yakin) yang berasal dari kata al-yaqin. Kata al-yaqin dalam Al-Qur’an dihubungkan dengan tiga kata: (1) dengan kata haqq sehingga menjadi haqq al-yaqin (yakin secara hakikat) seperti dalam surah al-Waqi’ah ayat 95, (2) dengan kata ‘ilm sehingga menjadi ‘ilm al-yaqin (yakin secara ilmu) seperti dalam surah at-Takasur ayat 5, dan (3) dengan kata ‘ain yang menjadi ‘ain al-yaqin (yakin secara keberadaannya) seperti pada surah at-Takasur ayat 7. Menurut al-Qusyairi, ‘ilm al-yaqin dicapai oleh orang yang menggunakan akalnya, ‘ain al-yaqin dicapai oleh ahli ilmu, dan haqq al-yaqin diraih oleh ahli ‘irfân (‘arif/arif).

‘Irfân sesungguhnya merupakan tujuan yang membentuk sikap orang yang berilmu (arif) terhadap hakikat, tingkah laku, dan tujuan hidup. Sikap itu berupa keluhan terhadap posisi manusia di alam ini dan pelepasan diri dari alam semesta.

Berangkat dari itu, seorang arif merasa risau dan ragu terhadap kenyataan dirinya yang tergambar sebagai terikat dan diperbudak oleh alam, sebagaimana jiwa-nya terikat dan diperbudak oleh badan-nya, atau sebagaimana dirinya, sebagai individu, terikat oleh lingkungannya. Akibatnya, ia selalu membencinya dan akhirnya lari dari dunia nyata ini. Penolakan arif itu dilakukan secara lahir dan batin sehingga ia merasa asing dengan alam dan selanjutnya memutuskan hubungan dirinya dengan alam semesta yang ada. Bagi seorang arif berlaku ungkapan Sekalipun berada di alam ini, aku bukan bagian dari alam.

Sikap arif itu dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu (1) merasa asing dari alam dan menganggap alam sebagai sesuatu yang asing baginya, (2) menganggap dirinya merupakan hakikat yang berbeda sama sekali dengan alam, dan (3) dalam perbedaan itu ia merasa lebih tinggi dari alam. Keadaan yang pertama dan kedua merupakan hubungan negatif antara dirinya dan alam, sedangkan keadaan ketiga menunjukkan makna positif. Dengan sikap yang ketiga ini, seorang arif berusaha pergi dan melepaskan diri sejauh-jauhnya dari ikatan dan cengkeraman alam untuk memperoleh kemerdekaan dirinya yang sejati dan menguasai diri-nya sendiri, untuk kemudian bergabung dengan alam lain yang di dalamnya terdapat kehidupan yang hakiki. Alam lain itu ialah alam asalnya, alam dari mana ia pergi dan alam ke mana ia akan kembali. ‘Irfân adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dalam kehidupan yang hakiki di alam lain. Oleh karena itu, ‘irfân mendorong seseorang untuk melakukan usaha dinamis dan progresif ke arah pencapaian dan pengejawantahan nilai-nilai moral melalui pendekatan spiritual untuk sampai kepada ‘irfân, seorang arif harus melalui tahapan kegiatan seperti yang dilakukan para sufi.

‘Irfân sebenarnya sama dengan tasawuf. Kesamaan itu tampak pada pandangan seorang ahli ‘irfân (arif) dan ahli tasawuf (sufi) terhadap alam, yakni bahwa alam merupakan sumber kejahatan (syarr) dan karenanya harus dijauhi. Sebagaimana sufi, seorang arif harus mengasingkan diri dari dunia nyata untuk menuju alam lain yang lebih tinggi tingkatannya. Keduanya sama dalam tahapan usaha pencapaian tingkat yang tertinggi itu. Karena itu, kata ‘irfân dan tasawuf sering dipakai bergantian.

Perbedaannya adalah bahwa ‘irfân merupakan istilah yang digunakan kaum Syiah, sedangkan tasawuf digunakan di kalangan Suni. Perbedaan yang dianggap mendasar di antara keduanya terletak pada persoalan pengakuan terhadap peran nalar dan filsafat serta pola hubungan masing-masing dengan syariat. Dikatakan bahwa kalangan Suni memisahkan tasawuf dari syariat. Sebagai buktinya, banyak fukaha (ahli fikih) Suni yang menolak tasawuf. Sementara itu, di kalangan kaum Syiah tidak ada pemisah antara keduanya.

Tasawuf Suni menolak nalar dan filsafat, setidaknya dalam praktek. Sekalipun al-Ghazali (w. 1111 H), tokoh besar Suni, menganggap kasyf sebagai tingkat pencapaian nalar tertinggi dan merupakan jalan persatuan dengan-Nya, pengalaman mistisnya tampak cenderung menolak nalar. Hal itu sejalan dengan pernyataan-pernyataan al-Ghazali dan para sufi Suni yang lain bahwa pengalaman sufi tidak dapat dan tidak mungkin dijelaskan. Selain itu, al-Ghazali memang dikenal menolak filsafat walaupun alasan penolakannya juga sarat dengan warna filsafat

Sebaliknya, ‘irfân justru berhubungan erat dengan nalar, filsafat, dan ilmu kalam. Dalam konsep ‘irfân, pengalaman pencapaian tingkat tertinggi itu bukan suatu yang hanya dapat dirasakan dalam diri saja, tetapi dapat pula dijelaskan dengan nalar. ‘Irfân dijadikan sebagai tanda bahwa seorang arif benar-benar memahami pengalaman kasyf itu. Pengakuan ‘irfân terhadap peran nalar dan fungsionalisasinya yang optimal ini menunjukkan hubungannya yang kokoh dengan filsafat dan kalam. Karya Mulla Sadra, filsuf sufi Syiah, yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Kebijaksanaan Tinggi mengenai Empat Tahap Perjalanan Akal) sering dijadikan bukti keterkaitan ‘irfân dengan filsafat dan kalam. Karya itu dianggap sebagai dasar yang memadukan kecenderungan rasional dan spiritual. Karya Mulla Sadra itu hanya sebuah contoh dari banyak karya filsafat dan kalam yang dihasilkan ahli ‘irfân, yang tidak mudah diterima oleh kalangan sufi Suni.

Oleh para pengikutnya, diyakini bahwa ajaran ‘irfân berasal dari Rasulullah SAW. Kemudian Ali bin Abi Talib RA menyerapnya dan memancarkannya kepada masyarakat muslim. Dalam kenyataannya, Ali dijadikan sebagai sumber pertama dari seluruh ordo sufi. Aliran Naksyabandiah, walaupun tidak menempatkannya sebagai asal pertama dari tarekatnya, menempatkan Ali sebagai Sayyid al-Auliya’ (pemuka para wali) setelah ketiga khalifah lainnya (Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan). Dalam beberapa hadis dinyatakan bahwa Ali mendapat pujian dari Rasulullah SAW. Mendengar pujian-pujian itu Imam Hanbali pernah berucap: Tidak ada hadis-hadis tentang keutamaan seseorang lebih banyak daripada mengenai pribadi Ali RA. Di antara hadis yang memuji Ali RA. Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa ingin mendapat ilmu, ia hendaknya melewati pintunya (HR. Ahmad bin Hanbal).

Selain perilaku Ali RA, sumber yang dijadikan acuan bagi ajaran ‘irfân pada umumnya adalah risalahnya yang terkenal, yaitu Nahj al-Balagah (Alur Kefasihan). Namun demikian, terdapat studi yang mengaitkan ‘irfân dengan kepercayaan pada masa sebelum Islam. Muhammad Abid al-Jabiri, penulis filsafat, dalam bukunya Binyah al-‘aql al-‘Arabi (Bangunan Pemikiran Arab) mengatakan bahwa takwil ahli-ahli ‘irfân terhadap Al-Qur’an bukan merupakan istinbat atau ilham ataupun kasyf, melainkan usaha memasukkan ke dalam Al-Qur’an pikiran-pikiran tentang ‘irfân yang diwarisi dari masa sebelum Islam.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suplemen Ensiklopedia Islam Diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "‘Irfân"