Bayan (al-bayân): Pengertian dan Bentuknya
Bayan |
Pengertian Bayan
Secara etimologis menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafal yang baik. Arti kata bayan adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu.
Dari pengertian tersebut, para ahli usul fikih mendefinisikan bayan sebagai upaya menyingkapkan makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada orang-orang yang dibebani hukum (mukalaf). Definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli usul fikih adalah mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.
Berkaitan dengan hal itu, apabila sunah Rasulullah SAW dikatakan sebagai bayan terhadap Al-Qur’an, maka itu berarti bahwa sunah Rasulullah SAW berfungsi untuk menyingkapkan dan menjelaskan hal-hal yang sulit ditangkap dari ayat-ayat Al-Qur’an kepada umat Islam, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuannya terhadap perbuatan para sahabat. Dalam rangka inilah sebenarnya Allah SWT mengutus Rasulullah SAW, sebagaimana firman-Nya dalam surah an-Nahl ayat 44 yang artinya, ...Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan dan ayat 64 yang artinya, Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Allah SWT juga mengutus para rasul sebelum Nabi SAW, seperti Nabi Isa AS, untuk menjelaskan ajaran-Nya (QS. 43:63).
Ajaran yang dikandung Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam lebih banyak bersifat umum. Menurut para mufasir dan ahli usul fikih, sekitar 500 ayat Al-Qur’an berbicara secara terperinci tentang ajaran dan selebihnya secara umum. Para mufasir juga mengatakan bahwa penjelasan autentik dari kandungan Al-Qur’an adalah sunah Rasulullah
Bentuk Bayan
Ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai uslub (redaksi) yang berbeda. Untuk menjelaskannya dapat dilihat dari beberapa segi. Dalam kaitan ini, terdapat perbedaan pandangan ahli usul fikih dalam membagi bayan. Imam as-Sarakhsi (w.483H/1090 M) dan al-Bazdawi (w. 1089), keduanya ahli usul fikih Mazhab Hanafi, membagi bayan atas lima bentuk, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-tagyir, bayan at-tabdil, bayan bi ad-darurah, dan bayan at-tafsir.
1) Bayan at-taqrir adalah penjelasan yang bersifat menegaskan atau menguatkan. Bayan seperti ini digunakan ketika suatu kata dalam ayat mengandung kemungkinan pengertian majas. Misalnya, Allah SWT berfirman dalam surah al-An’am ayat 38 yang artinya, Dan tiadalah bintang-bintang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu... Kata burung dalam ayat tersebut mempunyai arti majas, yaitu pos. Orang Arab biasa menggunakan lafal at-ta’ir dalam arti pos. Dengan adanya kata yatiru setelah at-ta’ir dalam ayat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud adalah burung, salah satu jenis unggas yang dapat terbang.
Bayan at-taqrir juga bersifat menghilangkan prasangka bahwa yang dituju oleh Allah SWT adalah sesuatu yang khusus. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Hijr ayat 30 yang artinya, Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. Malaikat itu sesuatu yang abstrak dan tidak diketahui jumlahnya. Dalam kaitan ini muncul dugaan bahwa kemungkinan yang sujud itu adalah malaikat-malaikat tertentu atau sebagian saja. Dengan adanya penggalan ayat kulluhum ajma’un (semuanya bersama-sama), maka prasangka itu dapat dihilangkan.
2) Bayan at-tagyir adalah penjelasan yang bersifat mengubah kehendak lafal dari maknanya yang zahir (jelas) kepada makna yang lain. Sebagai contoh, pernyataan seseorang kepada istrinya, Jika kamu masih keluyuran ke rumah tetangga, maka talakku jatuh kepadamu. Penggalan kalimat pertama (jika kamu masih keluyuran ke rumah tetangga) berfungsi sebagai bayan at-tagyir. Artinya talak suami jatuh terhadap istrinya apabila yang dimaksud pada penggalan yang pertama masih dilakukan istri. Bayan at-tagyir ini dapat berbentuk syarat melalui kata pengecualian.
3) Bayan at-tabdil adalah penjelasan yang bersifat menggantikan atau menghapuskan hukum yang telah ada dengan hukum yang datang kemudian yang berbeda dengan hukum semula. Misalnya, peristiwa pengalihan kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) di Palestina ke Baitulharam di Mekah, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150.
4) Bayan bi ad-darurah adalah penjelasan terhadap suatu kalimat yang sama sekali tidak harus dijelaskan. Persoalan bayan sebenarnya adalah persoalan pengungkapan melalui kata-kata atau perbuatan. Namun, dalam kasus ini tidak ada penjelasan sama sekali. Dengan pengertian secara otomatis kalimat tersebut seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang telah jelas.
Bayan bi ad-darurah ada empat macam. (1) bayan atau penjelasan yang dapat ditangkap langsung dari suatu ungkapan. Contohnya, firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 11 yang artinya, ...jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga... Dari ayat tersebut secara otomatis harus dipahami bahwa bagian ayah adalah sisa harta, yaitu dua pertiga. (2) bayan yang ditunjukkan oleh suatu keadaan, sedangkan keadaan itu sendiri menghendaki penjelasan khusus. Misalnya, seorang ayah meminta persetujuan anak gadisnya untuk dikawinkan dan seharusnya anak gadis ini memberikan persetujuan secara jelas. Namun, karena malu untuk berterus terang sebagaimana gadis pada umumnya, ia diam saja. Sikap diam gadis tersebut merupakan penjelasan terhadap persetujuannya.
Ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya, ...anak gadis (perawan) tidak boleh dinikahkan hingga diminta izinnya. Para sahabat bertanya, Bagaimana bentuk izinnya itu ya Rasulullah? Rasul menjawab, Jika ia diam. (3) bayan yang bersifat diam secara darurat dianggap sebagai penjelasan. Contohnya, seorang tuan melihat seorang pembantunya melakukan jual beli, sementara tuan ini diam saja. Sikap diam tuan ini dianggap sebagai penjelasan atas persetujuannya terhadap tindakan jual beli tersebut. (4) bayan yang sifatnya penyingkatan pembicaraan secara darurat. Ulama Mazhab Hanafi mencontohkannya dalam ungkapan, Saya berutang kepada Ahmad seratus kilogram gandum. Menurut mereka, kata seratus tanpa diikuti kilogram dapat mengandung pengertian yang bermacam-macam. Akan tetapi, dengan adanya kata kilogram, maka apa yang dimaksudkan menjadi jelas. Para ulama Mazhab Syafi’i tidak setuju untuk menyebut contoh ini sebagai bayan.
5) Bayan at-tafsir adalah penjelasan terhadap suatu kata atau kalimat yang tersembunyi atau kabur. Misalnya, potongan ayat orang yang memegang ikatan nikah dalam surah al-Baqarah ayat 237. Potongan ayat itu mengandung dua kemungkinan makna, yaitu para wali atau suami, karena keduanya adalah orang-orang yang memegang ikatan nikah. Oleh sebab itu, para ulama berusaha untuk mencarikan dalil lain untuk menjelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan potongan ayat tersebut sesuai dengan kemungkinan yang dikandung ayat itu sendiri.
Adapun Imam Abu Zaid ad-Dabusi (w.430 H), ahli fikih Mazhab hanafi, membagi bayan atas empat bentuk yang sama dengan yang disebutkan di atas kecuali bayan ad-darurah. Bagi ulama Mazhab Syafi’i terdahulu, pembagian bayan ini tidak jelas, kecuali ulama yang datang kemudian. Sementara itu, Ibnu Hazm al-Andalusi (Ibn Hazm) membagi bayan tersebut dalam tiga bentuk, yaitu bayan at-taukid (sama dengan bayan at-taqrir), bayan at-takhsis (mirip dengan bayan at-tafsir), dan bayan al-istisna (sama dengan bayan at-tagyir). Ia tidak menerima bentuk bayan at-tadbil dan bayan bi ad-darurah yang diperkenalkan kalangan ulama Mazhab hanafi di atas.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suplemen Ensiklopedia Islam Diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996
Download
Post a Comment