Edward Thorndike. Proses Belajar

Edward Thorndike tentang Proses Belajar
Edward Thorndike
Berpijak pada kelima dasar teori yang sudah disebutkan, Thorndike mengembangkan pemikirannya tentang proses belajar. Gagasannya mengenai hal ini secara garis besar dibagi dua bagian, yakni sebelum tahun 1930 dan sesudah tahun tersebut. Hal ini mengingat sesudah tahun 1930, Thorndike merevisi sebagian pemikirannya. Namun, dalam ulasan berikutnya ini, konsep-konsepnya yang telah direvisi akan diberikan pada satu domain agar tidak membingungkan. Menurut Thorndike, proses belajar mengikuti beberapa kaidah hukum berikut ini.
a. Hukum kesiapan
Hukum kesiapan (the law of readiness) memiliki tiga elemen kunci sebagai berikut.
1) Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, maka melakukannya adalah memuaskan
2) Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, tidak melakukannya adalah menjengkelkan
3) Ketika seseorang tidak siap untuk melakukan tindakan tertentu dan dipaksa melakukannya, hal itu adalah menjengkelkan

Tiga elemen hukum kesiapan tersebut biasa ditemukan oleh dan di dalam diri setiap orang yang menempuh proses belajar. Elemen pertama adalah kondisi yang diinginkan setiap orang. Namun demikian, kondisi yang kedua dan ketiga kadang kala terjadi. Biasanya, orang yang berhadapan dengan kondisi yang kedua dan ketiga akan mengalami frustrasi.

b. Hukum latihan
Hukum latihan atau the law of exercise memiliki dua elemen kunci berikut.
1) Hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat ketika digunakan. Dengan kata lain, melalui latihan secara berulang, hubungan stimulus respons akan semakin erat. Elemen hukum latihan biasanya disebut sebagai hukum penggunaan (law of use).
2) Hubungan antara stimulus dan respons melemah ketika tidak digunakan. Dengan kata lain, jika latihan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan maka hubungan stimulus dan respons semakin berkurang. Elemen hukum latihan ini biasanya disebut hukum tidak digunakan (law of disuse).

Jadi, hukum latihan berkaitan dengan penguatan dan pelemahan koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mendefinisikan penguatan sebagai peningkatan respons yang akan terjadi ketika stimulus diberikan berulang-ulang. Jika koneksi antara stimulus dan respons diperkuat pada waktu-waktu sebelumnya maka selanjutnya hubungan keduanya akan semakin kuat. Sebaliknya, jika sampai saat ini ikatan stimulus dan respons dibiarkan lemah, pada waktu berikutnya koneksi keduanya akan semakin memburuk.

Sebagai catatan, hukum latihan ini direvisi oleh Thorndike pasca tahun 1930. Sebab, ia menemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dan respons. Meskipun begitu, Thorndike tetap mempertahankan pendapatnya bahwa latihan dapat mendorong peningkatan kecil bagi pemahaman individu. Adapun kurangnya latihan menyebabkan individu sering lupa.

c. Hukum efek
Hukum efek (the law of effect) menyatakan bahwa kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons merupakan akibat dari konsekuensi respons. Sebagai contoh, jika respons diikuti oleh rasa puas (reward) maka hubungan antara stimulus dan respons semakin kuat. Sebaliknya, jika respons diikuti rasa menjengkelkan (punishment), hubungan stimulus dan respons kian lemah.

Setelah tahun 1930, hukum efek direvisi oleh Thorndike. Setelah direvisi, hukum efek menyatakan bahwa respons diikuti oleh keadaan memuaskan dari stimulus yang diperkuat. Selain itu, Thorndike juga menyatakan bahwa efek hadiah (reward) dapat menguatkan hubungan stimulus dan respons. Adapun hukuman (punishment) tidak berpengaruh terhadap kekuatan hubungan stimulus dan respons.

Untuk melengkapi hukum efek, pada tahun 1930, Thorndike juga memunculkan konsep sebaran efek (spread of effect), yaitu akibat dari suatu perbuatan dapat menular. Menurutnya, kondisi memuaskan tidak hanya meningkatkan peluang terulangnya respons yang mengarah pada kondisi memuaskan tersebut. Sebab, respons di sekitar respons yang dikuatkan juga ikut terulang.

Perhatikan contoh berikut ini. Peneliti menguji seorang anak dengan memberikan sepuluh kata untuk sepuluh angka. Misalnya, laut untuk 1; tinggi untuk 2; napas untuk 3; hidung untuk 4; tulis untuk 5; ayam untuk 6; pergi untuk 7; lambai untuk 8; makan untuk 9; serta halo untuk 10. Jika misalnya peneliti memberi stimulus dengan berkata ayam dan anak merespons dengan menyebut 6, peneliti akan mengatakan benar. Jika peneliti memberikan stimulus dengan berkata halo dan anak merespons dengan menyebut 2, peneliti akan mengatakan salah.

Eksperimen tersebut dapat membuahkan dua hasil. Pertama, ternyata reward (peneliti berkata benar) meningkatkan peluang pengulangan angka yang sama ketika kata stimulus diberikan. Misalnya, jawaban anak benar dengan menyebut 5 ketika peneliti berkata tulis. Angka 5 ini memiliki peluang besar untuk disebut lagi oleh anak pada pemberian stimulus berikutnya oleh peneliti. Sebaliknya, punishment (peneliti berkata salah) tidak mengurangi peluang pengulangan angka yang keliru. Misalnya, anak salah dengan menyebut 9 ketika peneliti berkata hidung. Angka 9 ini tetap memiliki peluang besar untuk disebutkan kembali oleh si anak pada saat pemberian stimulus berikutnya oleh peneliti. Berdasarkan penelitian ini Thorndike merevisi hukum efek.

Kedua, peluang pengulangan angka sebelum dan setelah angka benar ternyata terus meningkat. Hal tersebut berlaku meskipun angka itu tidak mendapat penguatan atau bahkan berada di dekat angka salah. Misalnya, pada tes keempat, anak benar menyebut 5 untuk stimulus tulis. Selanjutnya, angka 4 dan 6 mempunyai peluang untuk diulang si anak sekalipun angka 6 berada di dekat 7 yang—misalnya—pada tes ketiga menjadi angka yang salah karena anak menyebut 7 untuk stimulus tinggi.

Oleh sebab itu, Thorndike menyebut kondisi memuaskan menyebar dari respons yang dikuatkan ke respons di sekelilingnya. Ia menyebut fenomena ini dengan nama spread of effect (sebaran efek). Thorndike juga menemukan bahwa efek ini akan menghilang seiring bertambahnya jarak. Dengan kata lain, respons yang dikuatkan memiliki peluang pengulangan terbesar, kemudian diikuti oleh respons terdekat dengan respons yang dikuatkan, dan seterusnya.

Ketika menemukan sebaran efek, Thorndike merasa ia telah menemukan penegasan lain untuk hukum efek. Sebab, penguatan tidak hanya meningkatkan peluang respons yang dikuatkan, tetapi juga respons-respons di dekatnya. Hal ini tetap berlaku sekalipun respons-respons tersebut memperoleh hukuman. Ia juga merasa sebaran efek lebih jauh menunjukkan sifat belajar yang langsung dan otomatis.

d. Variasi respons
Variasi respons (respons multiple) adalah kecenderungan munculnya respons tertentu dari suatu stimulus. Ketika respons pertama tidak memecahkan permasalahan, seseorang biasanya akan mencoba respons lain yang lebih cocok dan dianggap mampu memecahkan masalah tersebut. Jika masih tidak bisa, ia akan mencoba respons lain. Begitu pun seterusnya. Dalam hal ini, variasi respons amat berkaitan dengan percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors). Melalui proses trial and error, seseorang akan terus melakukan respons sebelum akhirnya memperoleh respons paling tepat dalam memecahkan masalah.

e. Set atau attitude
Set atau attitude adalah situasi di dalam individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak baginya. Proses belajar akan berlangsung dengan baik apabila situasi terasa menyenangkan. Sebaliknya, proses belajar akan terganggu apabila situasi berjalan tidak menyenangkan.

f. Prinsip aktivitas parsial
Prinsip aktivitas parsial (partial activity) berkenaan dengan kenyataan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu. Dalam proses belajar, manusia harus memerhatikan lingkungan kompleks yang dapat memberi kesan khusus (berbeda) bagi setiap orang. Dengan demikian, seseorang dapat memberikan respons berbeda dari stimulus lingkungan yang beragam. Artinya, aktivitas respons itu bersifat parsial.

g. Prinsip pemindahan latihan
Prinsip transfer latihan (transfer of training) menjelaskan bahwa seseorang yang sedang menghadapi situasi asing (belum pernah dialami sebelumnya) akan merespons dengan cara memindahkan (mentransfer) unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru tersebut. Prinsip ini dikenal sebagai theory of identical elements yang menyatakan bahwa semakin banyak unsur yang identik, maka proses transfer kian mudah. Misalnya, seseorang mengenal negara Yunani. Jika suatu saat diajak ke Italia, ia akan menerapkan (mentransfer) cara hidup yang ia kenal di Yunani ke Italia. Sebab, ia menganggap baik penduduk Yunani maupun Italia adalah bangsa Mediterania yang dalam satu atau beberapa hal memiliki kesamaan.

h. Prinsip pergeseran asosiasi
Pergeseran asosiasi (associative shifting) yaitu proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal menuju situasi asing (belum) dikenal secara bertahap. Hal tersebut dilakukan dengan cara menambahkan unsur-unsur baru secara perlahan. Di sisi lain, unsur-unsur lama dibuang sedikit demi sedikit. Melalui cara ini, unsur baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu.

Contoh terbaik yang menggunakan prinsip pergeseran asosiasi adalah iklan. Untuk mengiklankan produk kecantikan, seseorang perlu memasang gambar gadis cantik sebagai objek stimulus yang dapat menimbulkan perasaan positif orang-orang yang melihat iklan itu. dalam hal ini, orang tersebut sebenarnya mengasosiasikan produk kecantikan dengan gadis cantik. Hal ini terlepas dari apakah si gadis menggunakan produk kecantikan tersebut atau tidak. Ia menggeser sesuatu yang lama (gadis) kepada hal baru (produk). Tujuannya, tentu saja agar sesuatu yang baru (produk) itu dikenal oleh masyarakat.

Perlu dicatat bahwa prinsip pergeseran asosiasi ini sangat berbeda dengan pembelajaran trial and error yang diatur oleh hukum efek. Prinsip pergeseran asosiasi hanya bergantung pada kedekatan. Namun, pada tahun 1930, Thorndike merevisi (menyempurnakan) hal ini. Ia mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi, hukum efek juga sering terlibat selain faktor kedekatan. Dari sini, ia menambahkan suatu konsep yang disebut belongingness, yakni terjadinya hubungan stimulus dan respons bukan disebabkan oleh kedekatan, melainkan adanya kesesuaian antara stimulus dan respons. Misalnya, orang yang merasa jelek pada bagian tubuh tertentu akan berusaha mencari iklan kecantikan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sama saja dengan binatang lapar akan mencari makanan yang memuaskan baginya.

Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, menjelaskan penyebab seseorang ketika belajar materi verbal cenderung mengatur apa yang telah dipelajarinya ke dalam bagian yang dianggapnya sebagai milik bersama. Kedua, menjelaskan bahwa jika efek yang dihasilkan oleh respons berkaitan erat dengan kebutuhan seseorang maka pembelajaran akan lebih efektif daripada efek respons yang tidak berhubungan dengan kebutuhannya.

Thorndike juga menyatakan bahwa respons paling mudah diberikan dalam arah yang merupakan common sense. Misalnya, hampir semua orang bisa meramalkan alfabet maju. Akan tetapi, hanya sedikit dari mereka yang mampu membacanya dari belakang. Demikian pula, sebagian besar murid sekolah di Indonesia bisa melafalkan ikrar Pancasila dari depan. Namun, jarang di antara mereka mampu membacanya secara terbalik.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Irawan, Eka Nova. 2015. Pemikiran Tokoh-tokoh Psikologi; dari Klasik sampai Modern. IrcisoD. Yogyakarta


Download

Baca Juga
1. Edward Thorndike. Biografi Psikolog
2. Edward Thorndike. Teori Pembelajaran
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Edward Thorndike. Proses Belajar"