Utilitarisme John Stuart Mill

Utilitarisme John Stuart Mill
John Stuart Mill
John Stuart Mill tetap mempertahankan prinsip utilitarisme, tetapi ia mencoba untuk memperbaiki dan menjelaskannya sedemikian rupa sehingga tidak lagi terkena oleh keberatan-keberatan sebelumnya.

Mill mulai dengan merumuskan prinsip kegunaan sebagai prinsip dasar moralitas: Suatu tindakan harus dianggap betul sejauh cenderung mendukung kebahagiaan, salah sejauh menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Dengan kebahagiaan dimaksud kesenangan (pleasure) dan kebebasan dari perasaan sakit; dengan ketidakbahagiaan dimaksud perasaan sakit (pain) dan tiadanya kebahagiaan. Mill di sini mengatakan dua hal. Pertama, moralitas tindakan diukur dari sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan, kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan dari perasaan sakit.

Prinsip kegunaan itu lalu dibela Mill terhadap sangkalan-sangkalan yang dialamatkan kepada utilitarisme Bentham. Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia. Untuk itu, Mill meninggalkan posisi Bentham dalam suatu hal penting. Ia mengakui dan menegaskan bahwa nikmat ada berbagai macam, bukan hanya nikmat jasmani. Selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis atau kebijaksanaan. Nikmati rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat lebih luhur, kita boleh saja melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan keyakinannya itu dalam kalimat termasyhur: Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas.

Dengan demikian, Mill menolak bahwa utilitarisme menempatkan nikmat jasmani di pusat moralitas manusia. Sebagai manusia, kita akan memilih nikmat yang lebih luhur. Tidak benar bahwa utilitarisme menganggap nikmat jasmani sebagai nilai tertinggi.

Tuduhan kedua yang ditolak Mill adalah prasangka bahwa utilitarisme merupakan etika yang egois karena, menurut tuduhan itu, utilitarisme hanya memikirkan nikmatnya sendiri. Tuduhan itu memang kena pada Bentham, seperti telah kita lihat. Bentham tidak mempertahankan prinsip kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari jumlah yang sebesar-besarnya karena menurutnya orang selalu hanya mencari nikmatnya sendiri. Bahwa semua orang mengusahakan nikmat mereka masing-masing, tidak berarti bahwa mereka bersama mengusahakan kebahagiaan jumlah yang sebesar-besarnya.

Namun, menurut Mill utilitarismenya sendiri tidak terkena tuduhan itu dan segalanya cukup meyakinkan. Mill menegaskan bahwa yang dituntut oleh utilitarisme bukan agar setiap orang mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Kebahagiaan si pelaku sendiri tidak diunggulkan, melainkan termasuk dalam kalkulasi semua kebahagiaan. Bahkan, utilitarisme dapat menuntut agar saya mengorbankan nikmat saya sendiri, yaitu andaikata saya dengan mengusahakan nikmat saya sendiri menggagalkan nikmat lebih besar yang dapat dicapai oleh orang lain. Karena itu, Mill juga menolak anggapan bahwa utilitarisme semata-mata bersifat oportunistik, seakan-akan utilitarisme menganjurkan agar setiap orang bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri. Utilitarisme mencari keuntungan semua yang bersangkutan.

Yang menarik dalam posisi Mill ini adalah bahwa, meskipun etikanya bersifat hedonistik—di mana nikmat diakui sebagai nilai akhir—ia mempertahankan, dan bahkan membenarkan, kemungkinan untuk bertindak bukan egois, bahkan untuk berkorban demi orang lain. Mill menyadari bahwa dua hal itu tidak mudah dipertahankan bersama. Kalau saya selalu mencari nikmat saya sendiri, bagaimana saya dapat dibuat merelakan nikmat saya demi nikmat orang lain? Mill menjelaskan kemungkinan yang tampaknya kontradiktif itu dengan bantuan sebuah teori asosiasi psikologis. Teori itu sendiri berdasarkan pengandaian bahwa manusia secara kodrati bersifat sosial. Bahwa manusia itu sosial menurut Mill berarti ia meminati orang lain. Ia merasa nikmat apabila orang lain merasa nikmat. Lama-kelamaan terjadi asosiasi psikologis antara gagasan tentang nikmat orang lain dan kebahagiaannya sendiri. Karena itu, ia tidak lagi membedakan antara nikmatnya sendiri dan nikmat orang lain, melainkan merasa bahagia asal saja nikmat sebanyak mungkin orang dapat tercapai. Juga kalau itu berarti bahwa ia sendiri harus berkorban.

Mill sendiri mengajukan pertanyaan: bagaimana dapat dibuktikan bahwa prinsip kegunaannya itu merupakan prinsip dasar moral? Lebih konkret: mengapa kebahagiaan harus menjadi tujuan semua perbuatan yang mau dianggap baik dalam arti moral?

Argumentasi Mill berjalan dalam dua langkah. Pertama, Mill bertolak dari pengandaian bahwa satu-satunya bukti bahwa sesuatu itu pantas diinginkan adalah kenyataan bahwa manusia memang menginginkannya. Kedua, setiap orang tentu menginginkan kebahagiaannya sendiri, maka kebahagiaan semua orang memang diinginkan dan oleh karena itu kebahagiaan umum juga pantas diinginkan.

Apabila kebahagiaan merupakan satu-satunya hal yang diinginkan manusia demi dirinya sendiri, bagaimana kenyataan dapat diterangkan bahwa ada orang yang di samping kebahagiaan juga menginginkan hal-hal yang lain, misalnya keutamaan atau uang? Mill mengakui bahwa memang ada orang yang menginginkan keutamaan demi dirinya sendiri. Namun, menurut Mill hal itu tidak membuktikan bahwa manusia menginginkan sesuatu yang lain daripada kebahagiaan. Untuk menunjukkan hal itu, Mill sekali lagi menggunakan teori asosiasinya.

Menurut Mill, semula manusia memang bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila ia memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan, lama-kelamaan keutamaan dikaitkan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan. Kebahagiaan menurut Mill terdiri atas beberapa komponen. Komponen-komponen itu, seperti keutamaan, diinginkan demi diri mereka sendiri, tetapi tidak di luar kebahagiaan, melainkan sebagai bagian dari kebahagiaan.

Dengan cara yang mirip, Mill menanggapi tuduhan bahwa utilitarisme tidak dapat menampung keadilan dan tidak menjamin hak orang lain. Mill menjawab bahwa jaminan terhadap hak-hak kita dan perlakuan yang adil merupakan syarat agar kita merasa sejahtera. Tanpa itu tidak mungkin kita sejahtera, jadi tidak mungkin kita bahagia. Karena itu, hormat terhadap hak orang lain serta kewajiban untuk bertindak dengan adil dituntut oleh prinsip kegunaan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis
4. John Stuart Mill. Pro dan Kontra Utilitarisme
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Utilitarisme John Stuart Mill"