John Stuart Mill. Pro dan Kontra Utilitarisme
Table of Contents
John Stuart Mill |
Dalam abad ini diskusi tentang utilitarisme semakin tenggelam. Sebagaimana dijelaskan Hoffe, bagian pertama abad ke-20 tidak menguntungkan bagi utilitarism. Di satu pihak, utilitarism dianggap tidak dapat menampung beberapa keyakinan moral yang umum diakui. Misalnya, mengapa orang berkewajiban menetapi perjanjian, membayar kembali utang, mengatakan kebenaran, memutuskan orang tak bersalah bebas dalam pengadilan meskipun perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban itu lebih bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Di lain pihak, Positivisme Logis yang sangat berpengaruh di Inggris menolak segala etika normatif, termasuk utilitarisme, dan etika semakin membahas masalah-masalah meta-etis. Adapun di benua Eropa utilitarisme sering malah tidak dipahami betul dan dianggap mengajar bahwa kewajiban moral sama dengan melakukan yang bermanfaat; tentu saja ajaran semacam ini tidak dianggap memadai bagi sebuah etika serius.
Namun, sejak pertengahan abad ini utilitarisme kembali mulai didiskusikan. Di Eropa kontinental mulai disadari bahwa utilitarisme tidak sesederhana sebagaimana sangkanya dulu. Dalam diskusi baru itu, kritik yang dulu dikemukakan pada hakikatnya dianggap sah. Sebagai jawaban, dicoba untuk memperbaiki teori utilitarisme sedemikian rupa sehingga tidak lagi terkena oleh sangkalan-sangkalan itu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Sharon Guber, bila dilihat sepintas, utilitarisme memang sangat meyakinkan. Terutama sesudah Mill membantah prasangka bahwa utilitarisme sekedar mengusahakan apa yang bagi si pelaku sendiri berguna. Utilitarisme menuntut agar kesejahteraan umum dijadikan pertimbangan utama.
Utilitarisme adalah contoh khas tipe Etika Teleologis. Etika teleologis menentukan baik buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akibat yang menjadi tujuannya. Mau mengusahakan yang baik adalah baik dalam arti moral, mau mengusahakan yang tidak baik adalah buruk. Lawan etika teleologis adalah Etika Deontologis, yang mengukur baik-buruknya tindakan bukan dari tujuannya, melainkan dari sifat tindakan itu sendiri. Etika deontologis terutama menghadapi dua kesulitan. Pertama, bagaimana kalau dua prinsip moral saling bertentangan, misalnya, kewajiban untuk menyelamatkan seseorang berhadapan dengan kewajiban untuk menjawab dengan benar pertanyaan orang yang mau membunuh orang itu. Kedua, menurut perasaan moral, prinsip-prinsip moral kadang-kadang ada kekecualiannya.
Utilitarisme dapat mengatasi kedua kesulitan itu karena mempertanyakan perbuatan yang mana yang lebih menguntungkan dilihat dari kepentingan semua yang bersangkutan, dan perbuatan itulah yang lalu dipilih. Namun, di lain pihak, utilitarisme memuat beberapa implikasi yang bertentangan dengan perasaan moral yang biasa.
Pertama, utilitarisme hanya mengenal kewajiban. Orang selalu wajib mengusahakan apa yang paling menguntungkan. Namun, dalam etika juga penting mengetahui apa yang boleh dilakukan. Boleh artinya tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang. Tentang yang boleh, utilitarisme diam, seakan-akan semua tindakan menyangkut kewajiban. Begitu pula, utilitarisme tidak mengenal paham tindakan terpuji. Artinya, suatu tindakan yang melebihi apa yang wajib, misalnya seorang dokter yang karena idealismenya bersedia bekerja selama lima tahun di hutan Irian Jaya. Ia jelas tidak wajib berbuat demikian. Namun, perbuatannya secara moral sangat terpuji. Utilitarisme diam tentang hal itu.
Kedua, sebagaimana dijelaskan secara meyakinkan oleh Robert Spaemann, adalah berlebihan kalau utilitarisme menuntut agar dalam semua tindakan kita harus memperhatikan dampaknya atas semua orang yang terkena. Menurut Spaemann, kita hanya bertanggung jawab terhadap mereka yang langsung terkena oleh dampak perbuatan kita, jadi yang masih masuk ke dalam cakrawala perhatian kita. Utilitarisme menuntut terlalu banyak.
Ketiga, utilitarisme semata-mata memperhatikan saldo akibat baik dan buruk tindakan kita. Artinya, perbuatan yang kelebihan akibat baik atas akibat buruknya paling banyak itulah yang harus dilakukan. Hal itu mempunyai implikasi yang sungguh sulit diterima, yaitu kalau saldo keenakan dua perbuatan sama, dua perbuatan harus dinilai sama sahnya, pun apabila yang satu mengandaikan bahwa kita membohongi atau menipu seseorang. Menurut perasaan moral biasa, hasil baik perbuatan itu menjadi cacat kalau dibeli dengan cara yang jahat. Utilitarisme buta terhadap hal itu karena tidak dapat melihat sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri.
Salah satu segi yang secara khusus memberi nama buruk kepada utilitarisme adalah kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois dan bahkan amoral. Misalnya, karena tingginya biaya pendidikan anak saya, saya kekurangan uang. Nah, apakah untuk menjamin pembiayaan anak-anak saya, saya boleh mencuri listrik? Utilitarisme menuntut agar saya memperbandingkan untung rugi dua alternatif. Kalau saya mencuri listrik, saya merugikan PLN, tetapi dapat menyekolahkan anak saya. Kalau saya tidak mau mencuri, PLN tidak rugi, tetapi anak saya tidak dapat sekolah. Nah, jelaslah bahwa kalau saya—satu dari puluhan juta langganan PLN—mencuri listrik, hal itu hampir tidak berarti apa-apa bagi PLN. Sebaliknya, kalau anak saya tidak dapat saya sekolahkan, ruginya besar bagi saya. Karena itu, menurut prinsip utilitarisme pencurian listrik dapat dibenarkan, bahkan wajib. Tentu kita akan bertanya: bagaimana kalau setiap orang berbuat demikian? Namun, utilitarisme hanya memperhatikan tindakan masing-masing, jadi pertanyaan itu tidak dipedulikan.
Nah, untuk menutup kemungkinan yang secara moral rasanya tidak dapat diterima, J.O.Urmson menuntut agar utilitarisme bukan memandang masing-masing tindakan, melainkan peraturan yang harus diikuti. Jadi, kita harus bertindak menurut peraturan yang kalau ditaati menghasilkan keuntungan yang paling besar. Utilitarisme itu disebut utilitarisme peraturan, sedangkan utilitarisme yang, seperti dalam contoh tadi, hanya memperhatikan untung rugi masing-masing tindakan disebut utilitarisme tindakan.
Kalau kita menilai kasus pencurian listrik menurut utilitarisme peraturan, hasilnya akan lain. Sekarang kita bukan lagi mengecek masing-masing tindakan, melainkan memperhitungkan untung rugi peraturan dalam kesulitan finansial, orang boleh saja mencuri (listrik) (itulah peraturan yang membenarkan pencurian listrik tadi). Jelaslah kalau semua orang bertindak menurut peraturan itu, ruginya jauh lebih besar daripada rugi peraturan jangan mencuri (listrik). Kalau semua berbuat demikian, akhirnya listrik tidak dapat disediakan lagi. Karena itu, menurut utilitarisme peraturan, peraturan itu tidak boleh dipakai. Yang berlaku adalah jangan mencuri, maka utilitarisme peraturan berhasil menutupi lobang moral utilitarisme tindakan tadi. Dengan demikian, utilitarisme peraturan kelihatan lebih dekat dengan posisi Kant: universalitas acuan keputusan moral dijunjung tinggi. Urmson berpendapat bahwa John Stuart Mill lebih dekat dengan utilitarisme peraturan.
Namun, utilitarisme peraturan pun tidak memecahkan semua masalah. Masalah yang terbesar adalah bahwa ia tidak memuat prinsip tentang Pembagian Manfaat yang mau dicapai. Tindakan yang perlu diambil adalah yang mengikuti peraturan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Namun, bagaimana kalau demi keuntungan yang sebesar-besarnya masyarakat, hak sekelompok orang harus dilanggar? Misalnya, kampung digusur demi kepentingan bisnis besar, hutan adat suku asli diserobot, atau sebuah minoritas diperlakukan secara diskriminatif. Kelihatan bahwa utilitarisme, juga utilitarisme peraturan, tidak dapat menjamin keadilan dan hak-hak asasi. Utilitarisme peraturan pun masih membuka kemungkinan bahwa demi kepentingan yang banyak hak mereka yang sedikit atau yang tidak berarti dikorbankan.
Itu tidak berarti bahwa utilitarisme (peraturan) perlu ditolak, melainkan hanya bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai satu-satunya prinsip dasar etika. Utilitarisme merupakan salah satu prinsip etika, tetapi suatu etika yang hanya berdasarkan prinsip utilitarisme tidak memadai dengan keyakinan-keyakinan moral umum. Di samping prinsip utilitarisme, etika sekurang-kurangnya juga harus mengakui sebuah prinsip keadilan. Jadi, etika yang semata-mata utilitaristik tampak tidak memadai.
Kesimpulan yang sama—bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai prinsip dasar etika—juga dapat ditarik dari sebuah pertimbangan yang lebih fundamental: sama dengan semua etika teleologis utilitarisme tidak dapat mendasarkan dirinya sendiri. Atas pertanyaan mengapa manusia harus selalu mengusahakan keuntungan yang sebesar-besarnya? utilitarisme tidak menjawab. Satu-satunya jawaban yang menurut utilitarisme sah adalah karena hal itu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal kita justru mempertanyakan mengapa keuntungan yang sebesar-besarnya harus diusahakan. Untuk membenarkan prinsip utilitarisme itu, kita harus mendasarkan diri pada prinsip yang tidak utilitaristik lagi, misalnya atas imperatif kategoris Kant atau atas prinsip-prinsip lebih dasariah lagi, misalnya bahwa hendaknya manusia selalu bersikap baik. Namun, prinsip-prinsip itu tidak teleologis lagi, melainkan deontologis. Suatu etika yang hanya memuat prinsip-prinsip teleologis tidak mampu mendasarkan dirinya sendiri.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. Utilitarisme John Stuart Mill
4. John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis
Post a Comment