Immanuel Kant. Imperatif Kategoris

Table of Contents
Imperatif Kategoris Immanuel Kant
Immanuel Kant
Apabila kewajiban merupakan paham apriori akal budi praktis murni—artinya, apa yang menjadi wajib bagi kita tidak dapat ditentukan dari suatu realitas empiris, misalnya suatu kebutuhan, tujuan, nilai, sebagainya—lalu bagaimana kita mengetahui apa yang menjadi kewajiban kita? Apakah kriteria kewajiban moral? Kant menjawab bahwa kriteria itu adalah Imperatif Kategoris.

Apa itu imperatif kategoris? Sebetulnya imperatif kategoris itu sangat sederhana. Ia berbunyi: Bertindaklah Secara Moral! Ada dua segi yang perlu kita perhatikan pada imperatif kategoris. Pertama, bahwa dia berupa perintah; kedua, bahwa perintah itu kategoris. Sebagai perintah, imperatif kategoris bukan sembarang perintah. Kant memakai kata imperatif atau perintah bukan bagi segala macam permintaan atau komando, melainkan untuk mengungkapkan sebuah Keharusan (Sollen). Perintah dalam arti ini adalah rasional. Perintah juga dapat merupakan paksaan, entah paksaan lahiriah, misalnya perintah yang disertai ancaman, entah paksaan batin, yaitu apabila perintah itu disertai tekanan batin. Perintah pemaksa semacam itu hanya ditaati karena paksaan, bukan karena disadari sebagai keharusan.

Perintah yang dimaksud Kant hanyalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif. Di situ bukan paksaan, melainkan pertimbangan yang meyakinkan membuat kita taat (hal ini tidak berarti bahwa kita mesti yakin akan kebaikannya). Keharusan yang dimaksud Kant adalah kewajiban-kewajiban dalam bertindak yang berlaku bagi siapa saja dan tidak berdasarkan yang asal enak saja.

Ada tiga macam perintah atau keharusan seperti itu: a) Keharusan Keterampilan yang bersifat Teknis; misalnya, kalau mau memakai mobil, harus mengisi bensin dulu; b) Keharusan Kebijaksanaan Pragmatis; misalnya, kalau mau mengurangi risiko serangan jantung, kurangilah makanan berkolesterol; c) Keharusan (Imperatif) Kategoris. Dua keharusan pertama tidak mutlak, melainkan hanya berlaku apabila saya menghendaki suatu tujuan. Bentuknya adalah: Kalau saya menghendaki x, saya harus melakukan y. Y memang harus saya lakukan, tetapi hanya apabila saya menghendaki x. Kalau saya tidak peduli terhadap risiko serangan jantung, hal kolesterol juga tidak perlu saya perhatikan lagi. Dua imperatif ini oleh Kant disebut Imperatif Hipotesis, yaitu Imperatif atau Keharusan Bersyarat.

Adapun imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif itu mengharuskan kita melakukan apa yang wajib tanpa syarat, wajib mutlak. Imperatif kategoris adalah keharusan begitu saja, keharusan yang berlaku tanpa kekecualian, secara niscaya.

Perlu diperhatikan bahwa bentuk gramatikal kalimat dapat menipu. Perintah yang tampak kategoris, misalnya Berhentilah Merokok! tetap hipotesis karena hanya berlaku apabila saya ingin mendukung kesehatan badan saya. Sebaliknya, perintah yang tampaknya bersyarat, misalnya Jika kau melihat orang menderita, bantulah dia! memuat imperatif kategoris atau tak bersyarat karena syarat jika...  itu hanya menjelaskan situasi dan tidak tergantung pada kehendak saya.

Apa bentuk imperatif kategoris? Kita sudah melihat bahwa dalam bentuk yang paling sederhana, imperatif kategoris adalah perintah Bertindaklah secara moral! itulah perintah atau kewajiban moral satu-satunya. Dalam bentuk sikap ini kelihatan dengan jelas kekhasan moralitas bahwa dia tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku di mana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa kekecualian sama sekali. Tak ada situasi dan kondisi di mana kita tidak wajib bertindak secara moral.

Namun, bagaimana kita bertindak secara moral? Jawaban atas pertanyaan ini adalah rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal. Kant merumuskannya sebagai berikut: Bertindak semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus kaukehendaki menjadi hukum umum! Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari pengertian yang kurang tepat.

Yang pertama menyangkut kata prinsip. Dengan kata itu saya menerjemahkan kata maxime (maksim) yang sebenarnya lebih sempit artinya daripada prinsip. Maksim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan-tindakan konkret. Jadi, maksim bukan segala macam peraturan atau pertimbangan. Maksim adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Misalnya orang yang berniat untuk selalu memperhatikan perasaan orang lain, atau, sebaliknya, yang selalu akan memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperlunya dengan mengorbankan orang lain. Jadi, maksim itu dapat baik dan dapat yang tidak baik.

Maksim itu yang menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan diri pada maksim seseorang jauh lebih tepat daripada etika peraturan atau etika norma-norma yang hanya memperhatikan apakah kelakuan seseorang sesuai atau tidak dengan sebuah peraturan atau norma. Etika yang berdasarkan maksim memperlihatkan sikap hati sumber perbuatan—yang bicara lebih banyak tentang kualitas seorang daripada kesesuaian tindakannya dengan sebuah norma atau peraturan. Hoffe menunjuk kepada empat keuntungan etika maksim atas etika norma-norma. a) ia juga memperhatikan konteks; sebuah norma konkret belum tentu harus ditaati dalam setiap konteks; sebelum bertindak, konteks tindakan perlu dilihat dulu. b) keterarahan kepada prinsip-prinsip (maksim) menghubungkan berbagai tindakan dan bagian hidup dalam suatu kaitan makna. Hal itu penting dalam pendidikan. Pendidikan yang hanya menekankan ketaatan kepada peraturan moral, agama, dsb. dekat dengan cara melatih kuda atau lumba-lumba, daripada merangsang sikap-sikap seperti tanggung jawab. c) prinsip-prinsip itu memperlihatkan watak seseorang. Identitas moral seseorang kelihatan dari maksim yang mendasari kelakuannya. d) etika peraturan tidak mampu membedakan antara legalitas dan moralitas. Baru pemeriksaan maksim memperlihatkan apakah ada moralitas, kehendak yang mau menghormati kewajiban.

Nah, sekarang kita perlu bertanya: prinsip-prinsip mana yang baik atau moral, mana yang tidak? Itulah yang ditentukan dalam rumusan Imperatif Kategoris yang telah kita lihat. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban kita apabila kita bertindak menurut prinsip-prinsip yang sekaligus dapat kita kehendaki berlaku bukan hanya bagi kita, melainkan menjadi hukum pada umumnya, bagi siapa saja. Imperatif ini juga disebut Prinsip Penguniversalisasian.

Suatu prinsip bertindak hanyalah benar apabila dapat diuniversalisasikan, apabila dapat diberlakukan bagi siapa saja. Penguniversalisasian ini ciri hakikat kewajiban moral. Atau, dengan lain kata, prinsip-prinsip yang mendasari tindak tanduk kita hanyalah baik dalam arti moral apabila juga dapat menjadi dasar bagi kehidupan komunitas orang. Suatu prinsip yang tidak dapat saya kehendaki berlaku umum adalah jahat. Misalnya saja, prinsip bahwa saya selalu akan mengejar keuntungan saya apa pun pengorbanan orang lain tidak dapat saya kehendaki berlaku umum. Mengapa? Karena kalau pada umumnya orang diharuskan hanya mengejar keuntungan egois mereka masing-masing, itu jelas bertentangan dengan keuntungan saya sendiri. Begitu pula, dalam contoh yang diberikan oleh Kant, contoh seseorang berprinsip bahwa ia membuat janji kepada orang lain meskipun ia sekaligus bermaksud untuk menetapinya. Orang itu tidak mungkin menghendaki prinsip itu berlaku umum karena lalu orang tidak mau menerima janji lagi (karena tahu bahwa tidak perlu ditetapi), hal yang bertentangan dengan maksudnya untuk memberikan janji yang akan dipercayai. Sebaliknya, prinsip bahwa orang yang mohon maaf selalu akan saya maafkan dapat saja saya kehendaki berlaku umum; jadi, prinsip ini baik.

Perlu dicatat bahwa Kant memberikan beberapa rumusan imperatif kategoris yang di sini hanya akan disebutkan saja. Imperatif kategoris dalam bentuk dasar yang telah kita lihat menurut Kant dapat dirumuskan dengan tiga cara. Mengingat bahwa keadaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi, Bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjadi hukum alam umum. Alternatif kedua bertolak dari keyakinan bahwa segenap pengada berakal budi, jadi juga manusia, merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Dengan demikian, imperatif kategoris berubah bentuknya menjadi, Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah sebagai sarana. Lalu Kant mengenal bentuk ketiga yang disebutnya Lengkap: Semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Immanuel Kant
2. Immanuel Kant (1724-1804 M)
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Apa itu Moralitas?
5. Immanuel Kant. Otonomi Kehendak
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment