Friedrich Nietzsche. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan
Table of Contents
Friedrich Nietzsche |
Moralitas, sebagaimana dimuat dalam khotbah di bukit (Mat, 5), bagi Nietzsche adalah tanda pemujaan terhadap yang sakitan dan kalah. Menurut agama Kristen secara prinsipiil menyelamatkan yang sakit dan menderita, ... memutarbalikkan segala ... yang kuat, membusukkan harapan-harapan besar, mencurigai kebahagiaan dalam keindahan, mematahkan yang angkuh, jantan, si penindas, si rakus kuasa, semua naluri yang dimiliki tipe ‘manusia’ yang paling tinggi dan berhasil, sampai menjadi kebimbangan, siksaan suara hati, perusakan diri... Dengan kata lain, Nietzsche membenci apa yang menjadi inti moralitas Kristiani, yaitu cinta kasih, perhatian kepada yang lemah, dan kerendahan hati karena menurutnya yang baik adalah angkuh, keras, yang maju mengikuti insting dan nafsu, tanpa memperhatikan mereka yang lemah.
Moralitas Kristiani oleh Nietzsche dianggap moralitas khas budak. Kemenangan agama Kristiani atas agama Romawi diartikan sebagai pemberontakan kaum budak yang sudah dimulai dalam agama Yahudi. Para budak tidak suka ditindas, tetapi juga tidak mampu membebaskan diri. Karena itu, mereka memutarbalikkan semua nilai yang sampai saat itu dianggap positif: ciri-ciri yang dibanggakan oleh orang kuat, moralitas manusia tuan, dijadikan tanda keburukan, sedangkan ketidakmampuan mereka sendiri diangkat menjadi hakikat sikap baik. Jadi, menurut Nietzsche moralitas budak lahir dari sentimen (Ressentiment) orang lemah terhadap orang kuat. Budak tidak dapat menjadi tuan, yang lemah tidak dapat menjadi kuat, maka ia sentimen, ia merendahkan sifat-sifat orang kuat dan meninggikan sifat-sifat orang lemah.
Dengan demikian, yang baik dalam moralitas tuan menjadi buruk dan yang buruk dalam moralitas tuan menjadi baik. Kebaikan moral disamakan dengan sikap-sikap seperti menerima, rendah hati, berkurban, melindungi mereka yang miskin dan lemah. Sedangkan kehendak untuk menang, untuk menyatakan diri, seperlunya dengan menindas orang-orang lain, ciri khas orang kuat, dianggap salah dan dosa. Moralitas budak yang berdasarkan sentimen atau rasa iri itu diinternalisasikan dan menjadi Suara Hati. Suara hati—yang kemudian oleh Sigmund Freud akan disamakan dengan superego—membuat orang yang angkuh, yang ingin menikmati, yang mau maju dan merealisasikan kehendaknya sendiri merasa bersalah. Dengan cara itu, mereka yang kuat dapat dipatahkan dari dalam.
Jadi, Nietzsche membedakan dua macam moralitas—yang dalam kenyataan, menurut Nietzsche sendiri, tidak muncul secara murni, melainkan masih bergelut satu sama lain—yaitu moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas budak adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas orang yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan oleh karena itu lalu merasa sentimen atau iri terhadap mereka yang mampu, yang kuat. Karena itu, ia mau mengebiri mereka dengan aturan-aturan moral yang menjegal sikap-sikap keras dan berani serta menjunjung tinggi keseimbangan, yang menggagalkan individualitas dan memenangkan massa. Ia membenci excellency dan memuji yang pukul rata. Suara hati diartikan sebagai tangisan dan agresi orang yang telah dikebiri, yang terlalu lemah untuk langsung melampiaskannya, maka diarahkan kepada dirinya sendiri dan menjadi suara dalam dirinya sendiri yang menggagalkan segala usaha yang luhur dan berani. Dengan penuh cemooh, Nietzsche menulis, Di mana moralitas budak mulai menang, bahasa menunjukkan kecenderungan untuk mendekatkan arti kata baik dan bodoh. Moralitas sebagai sikap mental: kurang sedap!.
Moralitas budak itu meresapi seluruh kebudayaan. Hampir segala apa yang kita sebut kebudayaan tinggi berdasarkan perohanian dan penginternalisasian kebengisan... dan hewan ganas itu belum jadi dibunuh, masih hidup, berkembang, hanya diilahkan (sebagai suara hati). Jadi, yang baik bagi orang kuat: kekuatan, keberanian, kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah kehidupannya, dalam moralitas budak dianggap buruk, egois, dan sebagainya, sedangkan yang dijunjung tinggi adalah yang dianggap hina oleh orang kuat: cinta kepada yang biasa, kesederhanaan, ketenteraman, belas kasih.
Moral budak adalah moralitas kawanan (Herdenmoral), sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur. Ke dalam moralitas budak, Nietzsche tidak hanya memasukkan agama Kristiani, melainkan juga gerakan demokrasi (karena menolak kekuasaan diktator dan elite, jadi memenangkan massa terhadap mereka yang kuat, terhadap para tuan) dan sosialisme (yang dianggapnya padanan agama Kristiani, gerakan berdasarkan sentimen orang-orang lemah berjiwa budak yang iri terhadap mereka yang kuat dan kaya). Begitu pula, teori hukum kodrat, Pencerahan, liberalisme dan kapitalisme, oleh Nietzsche digambarkan sebagai musuh hidup. Akhirnya, apa pun yang bercita-cita ditolak Nietzsche.
Untuk melawan moralitas budak itu, Nietzsche menempatkan moralitas tuan. Dalam moralitas manusia tuan, baik adalah sama dengan luhur dan buruk sama dengan hina. Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung; begitu pula si pencuriga yang tidak berani menatap mata lawan bicara, yang merendahkan diri, si manusia macam anjing yang suka disiksa, si penjilat yang mengemis-ngemis, terutama si pembohong... Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa.
Kalau kita bertanya bagaimana konkretnya moralitas tuan itu, apa artinya sikap-sikap seperti luhur dan mulia, Nietzsche tidak banyak membantu. Apakah moralitas tuan lebih dari kebencian terhadap yang lemah (dan andaikata demikian, moralitas tuanlah moralitas yang berdasarkan sentimen!)? yang jelas, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting, pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri. Moralitas tuan akan melahirkan manusia super. Namun, seperti gagasan manusia super itu sendiri tinggal verbal, begitu pula moralitas tuan tidak diuraikan.
Kalau dilihat secara teoretis, pemahaman moralitas Nietzsche merupakan contoh jelas relativisme moral yang normatif. Nietzsche menolak secara eksplisit anggapan bahwa norma-norma moral berlaku mutlak dan universal. Setiap golongan orang mempunyai moralitasnya sendiri, entah moralitas tuan, entah moralitas budak. Karena moralitas tuan berarti bahwa manusia mewujudkan sendiri nilai-nilainya, maka memang tidak ada moralitas universal.
Sebaliknya, anggapan bahwa ada moralitas universal—yang tentunya salah satunya moralitas budak, seperti moralitas Kristen—sudah merupakan tanda sentimen: moralitas itu mau menjegal mereka yang kuat dari menikmati kekuatan mereka. Moralitas yang mengklaim diri universal hanyalah usaha untuk memastikan dominasi mereka yang lemah atas yang kuat. Dengan demikian, pemikiran Nietzsche tentang moralitas termasuk bentuk kritik ideologi menurut pola tidak lain daripada. Nietzsche mengkritik moralitas masyarakat Barat sebagai sentimen kaum lemah, sebagai tidak lain daripada kebencian mereka yang terlalu lemah untuk menentukan hidup mereka sendiri terhadap mereka yang kuat dan luhur. Nietzsche mengkritik moralitas budaya Barat itu sebagai ideologi kaum lemah (agak berlawanan dengan Marx yang mengartikannya sebagai ideologi kaum kuat), sebagai ungkapan sentimen yang, karena tidak mampu kuat sendiri, menyatakan sikap-sikap kuat sebagai dosa dan sikap-sikap lemah sebagai baik.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Friedrich Nietzsche
2. Friedrich Nietzsche (1844-1900)
3. Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Truth
4. Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche
5. Friedrich Nietzsche. The Death Of God
6. Friedrich Nietzsche. Mazhab Nihilisme
7. Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa
Post a Comment