Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa

Kehendak untuk Berkuasa Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche
Nietzsche bukan hanya seorang filsuf, melainkan seorang pujangga dan pengkritik kebudayaan. Ia sebenarnya bukan ahli filsafat dan tidak pernah menulis uraian yang sistematis. Mengartikan percikan pemikirannya secara metafisik sudah pasti menyesatkan. Ia tidak peduli apakah yang ditulisnya konsisten atau kontraproduktif, dan sedikit pun tidak tertarik memberi pembuktian atau legitimasi pada penilaian-penilaiannya. Ia senang menulis dengan tajam; dengan demikian, ia mengungkapkan berbagai kebencian. Ia sinis, sarkastik, penuh ironi, juga terhadap dirinya sendiri sehingga kita akan berdosa terhadap maksudnya yang sebenarnya kalau kita mempelajarinya dengan sangat serius. Ia justru senang menulis melawan garis, contra, terutama untuk mendestruksikan pendapat-pendapat yang sudah mapan.

Berikut ini tidak dicoba diberikan semacam sistematika. Judul Kehendak untuk Berkuasa, Wille zur Macht (juga menjadi judul kumpulan catatan-catatannya yang diterbitkan oleh kakaknya, tetapi nilai editorialnya diragukan) dipilih karena Nietzsche sendiri menyatakannya sebagai pusat filsafatnya.

Kesenangan untuk menentang sudah dilihat dalam pemikirannya yang pertama sekitar kebudayaan Yunani. Umumnya kesempurnaan sastra dan seni Yunani kuno yang begitu dikagumi ditempatkan dalam keseimbangannya: wajahnya terang, jernih, indah, positif, tenang, rasional, teratur, kuat dalam kemampuan membatasi diri, bebas karena tahu diri, di tengah antara ekspresi dan penguasaan diri. Simbol keceriaan Yunani itu adalah Apollo, dewa cahaya. Nietzsche mengklaim bahwa pengertian itu salah sama sekali. Menurutnya, Apollo hanyalah kedok jiwa Yunani yang sebenarnya persis kebalikan: penuh nafsu, liar, gelap, irasional, dikuasai insting, tak teratur, penuh ketakutan, spontan, buruk, dan emosional. Dewa yang mengungkapkan jiwa Yunani yang sebenarnya adalah Dionysos, dewa orang kesurupan, kesuburan, dan orang mabuk. Yang rasional, indah, dan terang hanyalah topeng muka dionisik yang vital, penuh nafsu, dan gelap.

Bahwa Nietzsche mengutamakan sifat-sifat Dionysos sudah memperlihatkan patokan-patokan pemikirannya: primat nilai-nilai vital terhadap nilai-nilai rohani, kehendak terhadap akal budi, nafsu spontan terhadap tata tertib. Yang dikehendaki Nietzsche adalah die Umwertung aller Werte, penjungkirbalikan semua nilai. Namun, apakah penjungkirbalikan itu akan berhasil? Apakah nilai-nilai lama yang dihancurkan dapat diganti dengan nilai-nilai baru? Ataukah yang akan tinggal hanyalah puing-puing, kekosongan, ketiadaan, nihil? Nietzsche tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Ia memang melihat zaman Nihilisme muncul di cakrawala zaman modern. Nietzsche mengkhawatirkan nihilisme itu, tetapi ia tidak gentar terhadapnya kalau kehancuran alam lama harus melalui nihilisme itu.

Namun, Nietzsche bukan pembangun tatanan nilai baru. Yang dilihatnya sebagai panggilannya adalah kehancuran tatanan nilai lama yang diartikannya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena nilai-nilai tradisional itu berkaitan secara tak terpisah dengan agama, Nietzsche memaklumkan Kematian Allah sebagai peristiwa paling penting zaman ini. Allah hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Nietzsche mengharapkan, bahkan menyatakan sebagai fakta, bahwa iman akan Allah, dan dengan demikian Allah sendiri, sedang mati dalam hati orang. Nietzsche secara fanatik menyangkal adanya Allah bukan berdasarkan pertimbangan filsosfis-rasional, melainkan karena dengan adanya Allah ia tidak melihat ruang bagi pengembangan diri manusia (gagasan ini kemudian menjadi inti ateisme Sartre). Allah dianggap sebagai musuh hidup. Karena itu, membebaskan diri dari pikiran Allah bagi Nietzsche berarti membebaskan manusia agar ia dapat hidup sendiri. Hanya kalau manusia membuang kepercayaan pada hidup di alam fana ia dapat hidup sepenuhnya di alam ini.

Dengan kematian Allah, Nietzsche melihat medan terbuka bagi kedatangan sang Manusia Super (Ubermensch). Allah mati: sekarang kami mau agar hiduplah manusia super. Manusia super adalah manusia baru yang kembali ke semangat kekuasaan, yang telah bebas dari belenggu sistem nilai dan moralitas lama serta secara bebas mewujudkan Kehendak Untuk Berkuasa (Wille zur Macht). Manusia super adalah manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang tidak dihadang oleh belas kasih yang lemah, dan yang seperlunya berani bertindak kejam (die blonde Bestie, binatang buas berambut pirang, istilah yang dipergunakan kemudian oleh kaum Nazi sebagai pendukung ideologi rasial mereka). Apakah arti kata-kata itu? Nietzsche tidak menjelaskannya. Kita tidak bisa menjawab bagaimana operasionalisasinya. Kebanyakan ahli setuju bahwa pengertian rasial terhadap paham manusia super itu bertentangan dengan maksud Nietzsche. Apakah manusia super itu lebih dari sejumlah bingkai tanpa lukisan?

Manusia super adalah manusia yang sepenuhnya menghayati, atau lebih tepat: membiarkan diri diresapi oleh kehendak untuk berkuasa. Dari Schopenhauer, Nietzsche mendapat gagasan bahwa kehendak adalah hakikat realitas. Namun, berbeda dengan Schopenhauer, Nietzsche tidak berpikir secara metafisik. Ia tidak bicara tentang alam noumenal dan alam fenomenal, melainkan ia melihat di mana saja ada hidup, di situ ada kehendak untuk timbul, tumbuh, menjadi besar, mempertahankan diri, menjadi kuat, dan berkuasa. Hidup baginya adalah kehendak untuk berkuasa. Segala apa yang hidup mencari kekuasaan, bahkan hanya mencari kekuasaan. (Gagasan ini kemudian cukup berpengaruh pada psikologi, terutama pada psikologi Alfred Adler). Karena hidup adalah nilai tertinggi manusia yang betul-betul menjadi diri, manusia yang mencari identitasnya harus mengatasi cita-cita kemanusiaan yang ditentukan oleh moralitas lama dan mewujudkan kehendak untuk berkuasa.

Dalam pandangan Nietzsche kehendak untuk berkuasa berarti membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayang, perhatian terhadap orang lemah, dan segala macam aturan yang mengerem nafsu dan insting. Berkuasa berarti berani bersemangat dan hidup menurut semangat itu. Dengan kritiknya yang tajam Nietzsche tidak bermaksud memadamkan semangat dan menyebarkan pesimisme budaya. Tidak tanpa alasan ia menyebut filsafat hidupnya yang kritis terhadap kebudayaan sebagai pembukaan sebuah filsafat masa depan. Namun, paham-pahamnya yang dipakai untuk mengungkapkan kehendak yang mengiyakan diri sebagai hidup, yang mengarah ke masa depan itu tidak lebih daripada kehendak untuk berkuasa, perjuangan, peternakan, manusia super, orang-orang kuat masa depan, binatang buas berambut pirang, jarak, hierarki, dan sebagainya. Jadi, paham-paham itu secara historis dan sosiologis-konkret tidak jelas.

Dengan tidak adanya Allah, segala-galanya di dunia bergerak dan berkembang dari kekuatannya sendiri. Tak ada permulaan, tak ada akhir, dan tak ada kebebasan. Semuanya akhirnya terdeterminasi (anggapan yang tidak mengganggu obsesi Nietzsche dengan kehendak untuk berkuasa). Karena itu, tidak mungkin hanya ada kemajuan. Akhirnya, semuanya harus runtuh dan hancur dan seluruhnya dimulai lagi. Itulah ajaran terkenal—dan aneh—Nietzsche tentang Kembali Abadi segala-galanya. Menurut Nietzsche, gerak alam semesta dalam waktu bagaikan sebuah roda raksasa. Garis gerak itu tidak lurus melainkan berlingkar sempurna. Kita naik dan kita turun dan kemudian semuanya akan kembali, persis sama dengan yang sekarang. Nietzsche tidak pernah sempat menjawab sekian banyak pertanyaan yang mudah dapat muncul sekitar anggapannya itu.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Friedrich Nietzsche
2. Friedrich Nietzsche (1844-1900)
3. Friedrich Nietzsche. Culture, Power, Truth
4. Jejak Filsafat Friedrich Nietzsche
5. Friedrich Nietzsche. The Death Of God
6. Friedrich Nietzsche. Mazhab Nihilisme
7. Friedrich Nietzsche. Moralitas Budak dan Moralitas Tuan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Friedrich Nietzsche. Kehendak untuk Berkuasa"