Arthur Schopenhauer. Etika

Etika Arthur Schopenhauer
Arthur Schopenhauer
Titik tolak etika Schopenhauer adalah situasi di mana manusia menemukan diri. Situasi itu pada hakikatnya ditandai oleh penderitaan yang tak ada putus-putusnya. Hidup adalah Menderita. Seluruh pesimisme Schopenhauer terungkap dalam gaya Schopenhauer melukiskan keadaan itu. Sumber penderitaan adalah bahwa kita tidak pernah merasa tenang, tidak pernah puas. Kita penuh kerinduan, hasrat, harapan, dan kekhawatiran. Begitu sebuah tujuan tercapai, kita merasa kosong. Tak ada tujuan yang dapat memuaskan kita. Apabila kita sampai, kita merasa bosan; apabila kita tidak sampai, kita kecewa. Kita bergerak antara penderitaan dan perasaan bosan.

Dinamika kehendak kita selalu merentangkan diri ke tujuan-tujuan baru. Kita senantiasa resah. Dasar keresahan kita adalah ketidaksesuaian dinamika kehendak yang semesta dengan tujuan-tujuan empiris yang terbatas, yang kepadanya kehendak kita arahkan. Karena itu, setiap tujuan yang telah tercapai terasa hambar dan mengecewakan. Karena dinamika kita adalah penjabaran kehendak transendental yang menyeluruh, tak mungkin kita menemukan kepuasan di alam fenomenal. Karena itu, kita juga tidak pernah dapat bahagia.

Ketidakseimbangan hakiki itu adalah titik tolak etika Schopenhauer. Berhadapan dengan situasi itu etika bertanya: bagaimana kita dapat bebas dari penderitaan itu? Karena penderitaan itu akibat ketergantungan kita pada dinamika kehendak dalam diri kita, pertanyaan itu dapat dirumuskan begini: bagaimana kita dapat lepas dari perbudakan keinginan dan kecondongan-kecondongan yang tak mau tenang dalam diri kita itu? Etika Schopenhauer adalah Etika Penebusan; ia mau menebus kita dari penderitaan.

Untuk penebusan itu, Schopenhauer menawarkan dua jalan: yang pertama hanya untuk sementara, yang kedua sebagai jalan definitif. Yang pertama adalah seni. Orang genial, sang jenius, mampu untuk kontemplasi estetik. Tanpa pamrih, ia memandang karya seni. Melalui kemampuan imajinasi pemandangan estetik itu membukanya terhadap idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni. Kontemplasi estetik tanpa pamrih merenggut orang genial dari cengkeraman keinginan dan kecondongan yang mengacaukan itu. Di sini Schopenhauer kembali kepada cita-cita filsafat Yunani tentang theoria, pemandangan idea-idea dan realitas abadi yang oleh Aristoteles dan Plato dianggap kegiatan paling luhur yang dapat dicapai manusia. Schopenhauer memang secara eksplisit mengacu kepada Plato. Dapat ditambahkan bahwa puncak pengalaman estetik bagi Schopenhauer adalah musik. Melalui musik kehendak semesta langsung bicara kepada kita. Seakan-akan cabang seni lain hanya memberikan konsep-konsep pengertian kepada kita, sedangkan dalam musik realitas di belakang konsep-konsep itu secara langsung menawarkan diri. Inilah gagasan Schopenhauer yang paling mengesan pada komponis besar Richard Wagner.

Bagaimana idea-idea itu dapat ditempatkan ke dalam kerangka metafisikanya di mana segala-galanya akhirnya hanya satu, yaitu kehendak, memang tidak menjadi jelas. Dapat diandaikan bahwa Schopenhauer tidak peduli akan konsistensi sistemnya. Ia terkesan oleh theoria estetis dan oleh karena itu menggambarkannya meskipun sulit disesuaikan dengan kerangka acuan teoretisnya.

Namun, kontemplasi estetik memang hanya mungkin untuk sementara waktu saja (sebagaiman sudah diketahui Aristoteles). Ia dapat seakan-akan untuk sementara melindungi kita terhadap prahara keresahan dorongan dan keinginan, tetapi kita tidak dapat mengunci diri di dalamnya untuk selamanya. Jalan nyata keluar dari penderitaan harus menghadapi tantangan keresahan itu secara langsung. Bagaimana situasi kita kalau kita berani melihatnya tanpa tedeng aling-aling?

Dilihat secara terbuka manusia itu budak kehendak, dan kehendak itu adalah sama dengan kehendak dan dorongan yang kita saksikan di seluruh alam, kehendak untuk hidup. Kita mau hidup, itulah kesalahan kita; itulah sumber segala keresahan. Kita adalah budak dari kehendak untuk hidup. Itulah sebabnya kita tak pernah sampai; kita harus bergerak terus karena berhenti dan menikmati berarti mati. Kehendak transendental yang terjabarkan dalam segala gerakan dan dorongan hidup di alam itulah yang terus-menerus mendesak kita, yang membuat kita tidak dapat tenang, yang menjadi sumber penderitaan. Hakikat kehidupan adalah penderitaan karena kehidupan adalah ketaktersampaian. Hidup berarti maju terus (dan kita dapat membayangkan bahwa binatang yang akan mati pun masih samar-samar mau bergerak dan merentangkan diri, seakan-akan dorongan mendalam itu masih tidak mau menerima bahwa ia akan berakhir). Sumber segala petaka adalah hidup itu sendiri. Hidup sendiri, dalam bahasa Schopenhauer, adalah dosa asal.

Oleh karena itu, bagi makhluk yang berakal budi hanya ada satu jalan keluar (yang bagi binatang tercapai dengan sendirinya; karena makhluk tak berakal budi tidak dapat merefleksikan dirinya, kontradiksi dasar eksistensi antara gapaian hati yang mencari tujuan terakhir dan dorongan instingtual yang tak pernah kesampaian, sumber penderitaan kita, tidak dihayatinya, maka ia secara subjektif tidak menderita): penolakan terhadap kehendak untuk hidup! Penebusan manusia adalah penyangkalan diri. Kita harus berhenti mau hidup.

Analisis Schopenhauer ini menunjukkan betapa ia mengagumi dan mengikuti insight dasar Sang Gautama Buddha. Sang Buddha memang mengajarkan penebusan melalui penyangkalan kehendak sendiri. Dengan melepaskan kehendak sendiri dengan tenang, manusia menemukan ketenangan, ia masuk keadaan moksha atau nirwana.

Bagaimana manusia dapat sampai pada kesadaran bahwa ia perlu menyangkal diri? Dengan memahami principium individuationis tadi, Prinsip Individuasi, dengan memahami bahwa segala kemajemukan di alam fenomenal—yang bagi manusia yang polos adalah identik dengan realitas, sedangkan sang filsuf memahaminya sebagai fenomenal, artinya sebagai bayangan atau pengungkapan alam noumenal—hanyalah penjabaran kehendak transendental yang ada di belakangnya. Artinya kita memahami bahwa secara metafisik atau noumenal tidak ada kemajemukan sama sekali, melainkan hanya ada kesatuan. Kita memahami bahwa eksistensi individual kita sendiri hanya fenomenal, hanya berupa bayangan, dan bukan definitif. Dengan demikian, kita sekaligus menemukan diri dalam sesama manusia. Secara noumenal, kita ini satu dengan mereka. Aku tidak memiliki keunggulan terhadap sesamaku, aku adalah saudaranya yang sederajat, dan dia adalah saudaraku.

Kesadaran ini membebaskan kita dari pamrih. Kita melihat bahwa tak ada dasar untuk lebih mendahulukan kita daripada sesama. Kita melihat bahwa malahan lebih tepat kalau kita mendahulukan saudara karena dengan demikian kita semakin lepas dari diri kita sendiri, jadi semakin bebas, bebas pula dari penderitaan. Hal ini dapat dibayangkan begini: kalau kita betul-betul meminati sesama—kita gembira kalau dia gembira, menderita kalau dia menderita—penderitaan dan frustrasi kita sendiri akan kehilangan kepahitannya, menjadi kurang penting, jadi kita de facto lebih bebas dari penderitaan.

Di sini sekali lagi Schopenhauer mengikuti Sang Buddha. Bagi Sang Buddha, keutamaan terpenting—terpenting karena paling ampuh dalam membebaskan kita—adalah sikap belas kasih. Menurut Schopenhauer, kesadaran bahwa kita semua sama, semua saudara, akan terungkap dalam keadilan dan belas kasih; keadilan karena kita akan memperlakukan saudara kita sama dengan diri kita sendiri, dan belas kasih karena kita ikut merasakan dengan saudara. Bagi Schopenhauer, sikap belas kasih adalah dasar moralitas. Dalam bahasa Schopenhauer, melalui perasaan belas kasih—yang juga menyangkut binatang—kita menembus selubung Sang Maya, kefanaan; kita sampai pada realitas yang sebenarnya, kita menjadi nyata.

Dengan mengikuti agama Kristen—yang dipahami melalui kacamata Buddhisme—Schopenhauer membedakan antara kasih sayang dalam arti agape atau caritas dan cinta dalam arti eros dan amor. Agape adalah cinta tanpa pamrih, cinta berbelas kasih. Adapun eros adalah cinta yang mau memiliki; jadi eros hanyalah ungkapan egoisme, nafsu yang mencari dirinya sendiri. Eros memperbudak; agape membebaskan.

Dengan memahami prinsip individuasi kita menembus selubung Maya dan sampai pada realitas noumenal, realitas sebenarnya. Dengan demikian, kita juga melihat diri kita secara benar; kita yang selalu menganggap diri sebagai pusat dunia (egoisme kita yang alami) ternyata tidak berarti, tidak mempunyai keistimewaan sama sekali. Karena itu, kita akan kaget terhadap keadaan kita yang palsu itu; kita akan merasakan horror terhadap diri kita sendiri; kita menyadari bahwa jalan ke kebenaran dan kebebasan adalah penyangkalan diri. Jadi, dan itu pun mengikuti Sang Buddha, sikap belas kasih disertai oleh sikap penyangkalan diri. Karena itu, etika menuntut agar manusia melakukan matiraga, agar ia bertapa. Dengan demikian, ia membebaskan diri dari keterikatan pada dirinya sendiri.

Lalu apa? Melalui sikap berbelas kasih dan penyangkalan diri, orang menyertai proses pelepasan alami yang tak terhindari. Kita akan mati, tetapi secara lepas bebas, tidak sebagai pengalaman yang menentang. Dalam kematian manusia individual menghilang, tanpa jejak, kembali ke kehendak semesta, seperti setetes air menyatu dalam air samudra tanpa jejak. Ia masuk nirwana, tetapi nirwana itu, sesuai dengan nirwana Sang Buddha, bukanlah surga, melainkan ketiadaan sebagai eksistensi individual.

Mengapa tidak membunuh diri saja? Schopenhauer menolak bunuh diri. Ia menganggap bunuh diri sebagai tindakan yang dimotivasi oleh ketakutan, justru bukan penjelmaan sikap pelepasan diri. Bunuh diri merupakan pemaksaan, tidak melepaskan kehendak individual, melainkan mau memenangkannya terhadap kehendak transendental, maka bukan merupakan jalan pembebasan dari penderitaan (meskipun kalau sudah berhasil membunuh diri, kita habis dan dengan demikian tentu tidak menderita lagi; Schopenhauer tidak mengenal ajaran reinkarnasi).

Sebagai penutup uraian tentang etika Schopenhauer, kita melihat sebentar kritiknya terhadap etika Kant. Schopenhauer menolak etika Kant dengan tajam. Ada dua butir dalam kritik itu yang cukup menarik. Yang pertama, Schopenhauer mengkritik formalisme Kant. Menurut Schopenhauer, Kant sama sekali tidak mengenal nilai-nilai moral. Apakah kritik itu kena, masih perlu dipertanyakan. Namun, maksud Schopenhauer cukup jelas: kalau hanya kewajibanlah yang ditekankan, buat apa orang lalu hidup secara moral? Di mana rasionalitasnya? Schopenhauer sendiri dapat menjawab pertanyaan itu: rasionalitas etikanya terletak dalam kebebasan dari penderitaan yang dijanjikan. 


Kritik kedua Schopenhauer terhadap etika Kant adalah bahwa Kant, sesudah memurnikan etika terhadap eudemonisme melalui formalisme itu, menyelundupkan kembali eudemonisme itu ke dalamnya melalui pintu belakang karena ia mengakui bahwa tanpa idea kebahagiaan (yang merupakan postulat akal budi praktis ketiga), moralitas tidak masuk akal. Schopenhauer menegaskan bahwa etika harus bersih dari harapan atas ganjaran: etika itu semata-mata sikap heroik orang yang menyadari bahwa kehidupannya sendirilah kesalahan terbesar dan oleh karena itu bersedia memusuhinya. Moralitas menurut Schopenhauer adalah Musuh Kehidupan; memang seharusnya begitu, dan hal itu hendaknya jangan dicairkan kembali dengan melirik ganjaran di hidup akhirat.

Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga
1. Arthur Schopenhauer
2. Schopenhauer
3. Arthur Schopenhauer. Dunia sebagai Kehendak dan Bayangan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Arthur Schopenhauer. Etika"