Mazhab Stoa. Etika
Table of Contents
Mazhab Stoa |
Sama dengan seluruh tradisi filsafat Yunani, etika Stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kendati demikian, kebahagiaan dalam pandangan Stoa sangat berbeda dengan pandangan saingannya, filsafat Epikureanisme. Kalau Epikureanisme mencari perasaan yang nikmat dan tenang, Stoa mengharapkan kebahagiaan dan dari keberhasilan hidup manusia. Dalam hal ini ia lebih dekat dengan Aristoteles. Namun, paham Aristoteles, yaitu pengembangan aktif potensi-potensi dasar manusia, tidak dapat ditampung dalam kerangka pandangan dunia Stoa di mana segala-galanya sudah dideterminasikan. Kalau segalanya sudah pasti, apa yang mau dikembangkan? Karena itu, Stoa mempunyai paham lain tentang keberhasilan hidup. Menurut Stoa, kehidupan manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri. Adapun karena manusia ditentukan oleh hukum alam semesta, ia mempertahankan diri apabila ia menyesuaikan diri dengan hukum alam.
Kekhususan manusia adalah akal budinya. Ia adalah, seperti juga dilihat Aristoteles, makhluk yang memiliki logos. Karena itu, manusia melalui pikirannya berpartisipasi dalam logos alam semesta, dalam hukum ilahi dan rasional yang mengatur serta menentukan segala-galanya yang terjadi.
Prinsip dasar etika Stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum alam. Untuk menjelaskan cara penyesuaian itu, Stoa mempergunakan istilah Oikeiosis yang berarti mengambil sebagai milik. Artinya, dalam proses penyesuaian itu manusia, langkah demi langkah, menjadikan alam semesta sebagai miliknya, yang pertama tubuhnya sendiri, lalu lingkungan dekat, akhirnya seluruh realitas. Dengan demikian, ia semakin menyatu dengan keseluruhan yang ada. Itulah identitas manusia yang sebenarnya menurut Stoa.
Dengan demikian, Stoa merasa menemukan koordinat dasar bagi kehidupan manusia: perbuatan yang baik adalah menyesuaikan diri dengan hukum alam, perbuatan yang buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang memang tidak dapat dihindari karena, seperti ditulis Seneca, ducunt volentem fata, nolentem trahunt: apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila tidak, takdir memaksa. Ini karena bagaimanapun juga kita tidak dapat lepas dari fatum, takdir semesta.
Di sini kelihatan pengertian khas Stoa tentang kebebasan manusia. Kebebasan tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir. Manusia mencapai kebebasan apabila ia sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tidak terelakan itu. Apabila ia menerima apa yang telah ditentukan oleh logos ilahi, maka tidak akan terjadi sesuatu padanya melawan kehendaknya. Ia seluruhnya menentukan dirinya sendiri dan tidak ditentukan sama sekali oleh faktor-faktor dari luar karena apa yang semula di luar hukum alam, melalui oikeiosis telah menyatu dengannya. Dengan tunduk terhadap hukum alam, manusia hanya tunduk terhadap dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi terhadap dirinya adalah kehendaknya sendiri, ia bebas secara sempurna.
Jadi, bagi Stoa kebebasan manusia terdiri dalam kesadaran bahwa semua yang ada berada di bawah keniscayaan alam semesta serta dalam memahami keniscayaan itu sebagai hukumnya sendiri. Manusia yang telah menjadi bijaksana menerima takdirnya sama seperti ia menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa. Kita teringat akan ucapan Hegel bahwa kebebasan adalah kesadaran akan keniscayaan. Cita-cita Stoa sebetulnya mirip dengan hasrat dasar etika Jawa: manusia yang bijaksana, yang telah mengolah rasa-nya, tidak lagi memberontak terhadap apa yang sudah semestinya terjadi, melainkan, dengan mengembangkan sikap nerima, ia menempatkan diri ke dalam keselarasan kosmis yang sudah ada untuk dapat menyatu dengan dasar ilahi dari segala yang ada.
Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai cita-cita Autarakia. Autarakia berarti bahwa manusia sama sekali berdiri pada dirinya sendiri. Autarakia adalah kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarakia adalah pertahanan diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. Dalam menyatu dengan seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apa pun di luarnya. Dalam situasi apa pun ia berada pada dirinya sendiri. Ia adalah autark.
Manusia yang autark menerima ataraxia dan apathia, dua keadaan yang juga dicita-citakan oleh Epikuros. Ia bebas dari kebingungan dan keresahan, dan ia bebas dari penderitaan. Nikmat atau merasa sakit baginya sama saja. Namun, yang dimaksud Stoa adalah lain dari paham Epikureanisme. Dua keadaan itu bukanlah keadaan psikologis yang dinikmati oleh orang yang secara bijaksana menghindari kesusahan kehidupan dan mencoba mencanggihkan kemampuannya untuk mencari nikmat. Ataraxia dan apathia bagi Stoa adalah sikap mental yang kuat, yang sudah bertekad menyatu dengan hukum alam, jadi yang tidak mengizinkan diri digoyangkan ataupun disentuh oleh yang fana.
Di sini tampak ciri lain etika Stoa. Etika itu adalah etika yang keras, yang menekankan peran kehendak. Stoa tidak mencari perasaan nikmat, perasaan bahagia. Baginya kebahagiaan terletak dalam keutamaan moral sendiri, dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban. Stoa adalah etika pertama yang menempatkan kewajiban (to kathekon, to katorthoma) pada pusatnya. Mirip dengan apa yang kemudian dirumuskan Immanuel Kant, bagi Stoa tindakan yang baik dalam arti moral bukan tindakan yang asal secara objektif sesuai dengan hukum alam—bagaimanapun juga, kita tidak dapat bertindak tidak sesuai dengannya—melainkan yang dilakukan demi hukum alam. Keutamaan bagi Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban; ia menuntut agar manusia menyangkal diri, melepaskan diri dari segala ketergantungan kepada benda-benda duniawi. Berhadapan dengan kewajiban akal budi ini, nilai-nilai duniawi tidak berarti apa-apa (indifferentes, adiaphora). Stoa menekankan bahwa manusia harus bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Manusia harus menaklukkan hawa nafsu dan kecondongan-kecondongan rendah. Berbeda dengan etika Aristoteles kesenangan tidak hanya dinomorduakan, tetapi ditolak karena orang yang mengikuti hawa nafsunya kehilangan atarakia-nya.
Bagian etika Stoa yang kemudian paling berpengaruh adalah ajarannya tentang keutamaan-keutamaan. Stoa mengutamakan, di samping kebijaksanaan moral (phronesis), keadilan, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan. Terimalah dan lepaskanlah (anechou kai apechou, Hirschberger 1267), itulah tuntutan dasar ajaran moral Stoa.
Cita-cita Stoa adalah Ho Sophos, si Bijaksana. Ia telah mengalahkan hawa nafsu dan dorongan irasional. Ia bahagia karena mengetahui diri berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum ilahi yang meresapi seluruh alam semesta. Ia tidak menderita karena ia telah mematikan hawa nafsu dan mencapai ketenangan jiwa. Apa pun yang terjadi tidak membuatnya gusar lagi. Itulah sikap stoikal yang masuk ke dalam bahasa-bahasa dunia modern dan tetap dikagumi: ketenangan hati yang tak tergoyahkan. Apa pun dapat diterima. Stoa tidak tanggung-tanggung dalam cita-cita ketakterkejutan itu. Ia tahu bahwa suatu perkembangan mungkin saja terjadi yang secara emosional tidak lagi dapat ditampung, di mana ia dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang tak dapat diterima lagi. Berhadapan dengan situasi itu, Stoa menawarkan pilihan terakhir, bunuh diri. Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin, lebih baik bunuh diri. Itu bukan omong kosong atau teori belaka. Sekurang-kurangnya tiga dari tokoh-tokoh utama Stoa berakhir dengan bunuh diri, yaitu Zenon, sang pendiri Stoa sendiri, Kleanthes (yang berhenti makan), dan Seneca.
Namun, kita akan keliru andaikata menarik kesimpulan bahwa si bijaksana stoikal itu hanya mencari ketenangan dan kepasifan. Ketenangan batin justru mendorongnya untuk mengambil bagian aktif dalam kehidupan masyarakat. Jadi, ataraxia atau ketakterbingungkan itu tidak berarti bersikap masa bodoh terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Ataraxia justru membebaskan si bijaksana untuk bersikap positif dan bertanggung jawab terhadap masyarakat di sekelilingnya. Terhadap sesama manusia, si bijaksana bersikap baik hati: apathia, kebebasan hati dari keterikatan pada dunia luar yang menjadi kebebasan dari penderitaan, menjadi eupatia, Kebaikan Hati terhadap orang lain. Apabila engkau ingin hidup bagi dirimu sendiri, engkau harus hidup bagi orang lain, demikian kata Seneca.
Etika Stoa mencapai puncaknya yang luhur dalam Humanisme-nya. Stoa adalah etika filosofis pertama di dunia yang secara konsekuen mengakui dan meminati kesamaan derajat semua orang. Stoa mengajar bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya bersikap baik hati. Wanita berhak atas perlakuan yang sama dengan pria (sesuatu yang juga sudah menjadi anggapan Plato), budak harus dihormati hak-haknya (sesuatu yang sama sekali baru), serta musuh berhak atas belas kasih dan pengampunan. Etika Stoa bersifat kosmopolitis: ia mengatasi segala batasan dan merangkul seluruh umat manusia. Dalam Stoa, kita untuk pertama kalinya dalam sejarah moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap orang sebagai manusia. Untuk pertama kalinya Stoa merumuskan cita-cita negara sedunia dan persaudaraan universal. Copleston merumuskannya sebagai berikut: Cita-cita etika tercapai apabila kita mencintai semua orang sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, atau apabila cinta diri kita merangkul apa saja yang berkaitan dengan diri kita, termasuk umat manusia seluruhnya, dengan kehangatan yang sama.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Mazhab Stoa. Latar Belakang
2. Mazhab Stoa. Kosmologi
Post a Comment