Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim dalam Menggali dan Mengembangkan Ilmu

Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim dalam Menggali dan Mengembangkan Ilmu
Ilmuwan Muslim
Sebagai khalifah-Nya di muka bumi, manusia yang diciptakan Allah telah dibekali alat-alat termasuk akal, agar dapat mengolah semua yang ada di bumi ini sesuai dengan ilmu dan pengetahuannya, sebab semua itu adalah amanat Allah kepada manusia khususnya, intelektual Muslim.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang berbudaya, di samping menciptakan manusia, Tuhan menciptakan alam. Manusia dengan cipta, rasa dan karsanya berhubungan dengan manusia lain atau dengan alam akan menimbulkan budaya. Tetapi manusia tidak hanya berhubungan dengan sesama atau dengan alam saja, namun juga berhubungan dengan Tuhan. Dalam hal ini Tuhan menurunkan wahyu sebagai petunjuk baik untuk berbakti kepada-Nya, untuk hidup sesama maupun untuk mengolah alam sebagai anugerah-Nya.

Secara fitrah manusia selalu ingin tahu, mengetahui apa saja yang dapat dijangkau oleh akal dan intuisinya. Dengan modal kefitrahan ini, usaha manusia dengan proses tertentu dan dengan metode keilmuan akan sampai pada ilmu. Ilmu dalam arti utuh tidak terpenggal oleh dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat, atau ilmu umum dan ilmu agama. Sebab memang pada asalnya ilmu tidak mengenal dikotomi, manusialah yang mengasumsikan itu. Ini konsekuensi logis dari keyakinan kita akan keesaan Tuhan yang meyakini pula bahwa semua manusia dengan berbagai variasinya adalah satu. Karena itu ilmu yang dianugerahkan kepada manusia baik yang muslim maupun bukan juga satu.

Manusia, sebagaimana keyakinan dalam Islam, diciptakan oleh Tuhan, di samping sebagai hambanya yang taat, adalah khalifah-Nya di muka bumi ini. Sebagai khalifah, berarti ia dipercaya oleh Tuhan. Tuhan memberikan kepercayaan kepada manusia adalah atas kemampuan dan kemauannya atau kesediaannya. Oleh karena itu telah dibekali potensi untuk menerima ilmu, dan karena amanah itulah seorang Muslim teristimewa yang ilmuwan, harus bertanggung jawab untuk selalu menggali dan mengembangkan ilmu. Karena ia sadar bahwa menggali dan mengembangkan ilmu adalah sebagian dari bentuk ketaatan kepada-Nya, yang harus diwujudkan sehingga akan berguna bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan (rahmat lil’alamin) (QS. Al-Anbiya’ [21]:107).

Al-Qur’an adalah kitab yang mengutamakan amal daripada cita-cita. Akan tetapi ada orang-orang yang baginya tidak mungkin secara organis menerima amal yang ganjil ini dengan mengalami kembali, sebagai suatu proses vital, itu bentuk istimewa dari pengalaman batin yang menjadi dasar sesungguhnya dari kepercayaan agama. Apalagi manusia modern sekarang ini, dengan memperkembangkan kebiasaan-kebiasaan dari pengalaman konkret—yaitu kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya Islam sendiri telah memperkembangkan setidak-tidaknya dalam babak-babak permulaan dari pertumbuhan kebudayaan—telah membuat dirinya kurang sanggup dalam melaksanakan pengalaman tersebut, yang malah dicurigainya pula karena kemungkinan kecenderungan akan membawanya kepada suatu ilusi.

Kemunduran (umat Islam) dalam bidang penelitian ilmiah yang dimulainya segera setelah berakhirnya periode kejayaan Islam masih terus berlangsung, dan Dunia Islam mendapatkan dirinya di ujung jalan kemunduran progresif yang panjang sekarang ini, praktis tidak ada ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Muslim. Untuk keamanan dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan, mereka harus menggantungkan diri kepada teknologi yang mereka pinjam dan beli dengan harga yang mencekik leher dari Barat, atau, kadang-kadang, dari Rusia dan Jepang. Negeri-negeri Muslim telah jatuh ke posisi pengekspor bahan-bahan mentah dan pengimpor barang-barang jadi, termasuk teknologi canggih dan ilmu pengetahuan yang maju.

Manakala umat Islam selamanya hanya sebagai konsumen, dan tidak pernah berusaha menjadi produsen, menjadi pangsa pasar yang prospektif bagi produk budaya Barat yang bisa jadi kurang sesuai dengan budaya Islam, lalu kapankah umat Islam menjawab amanat Ilahi sebagai khalifah untuk memakmurkan dunia berdasarkan nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil’alamin? Tantangan itu tidak boleh tidak, harus dijawab dengan kualitas keilmuan umat Islam sendiri. Oleh karena umat Islam harus bangkit, menengok kanan kiri untuk mengembangkan konsep keilmuan yang sebenarnya telah tersedia dalam wahyu Tuhan yang diberikan kepada manusia.

Berbicara tentang upaya pengembangan konsep keilmuan, maka tidak bisa terlepas dari tiga unsur pokok: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Berkaitan dengan ontologi ilmu ini dalam aliran filsafat muncul aliran: idealisme/spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan lain-lain.

Menyimak dari aliran-aliran ini, kecenderungan kepada aliran idealisme/spiritualisme, yaitu adalah suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat berhubungan dengan ide, pikiran atau jiwa. Implikasi dari aliran idealisme ini adalah alam ini ada tujuannya, dan tujuan itu bersifat spiritual. Untuk itu bagi seorang idealis, walaupun ia menerima interpretasi sains empiris, namun ia menunjukkan interpretasi-interpretasi itu terbatas, baik karena metode yang dipakai maupun bidang-bidangnya yang diselidiki.

Sambil menerima penjelasan ilmiah yang modern tentang alam, idealisme memberi tempat kepada agama. Nilai-nilai moral dan agama terdapat dalam alam. Dengan begitu, idealisme adalah sesuai dengan banyak intuisi inspirasi manusia, dan juga memberikan dukungan moral kepada intuisi spiritual manusia. Daya tarik idealisme didasarkan atas inspirasi moral manusia dan tidak hanya atas dasar logika dan epistemologi.

Walaupun aliran idealisme ini tepat untuk pilihan ontologi bagi ilmuwan yang mempunyai komitmen terhadap Islam, namun karena dalam aliran ini terdapat suatu pemikiran kefilsafatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, aliran ini sangat menghargai terhadap pribadi manusia, dalam arti kekuatan akal manusia seakan-akan menjadi super, maka perlu dikembalikan kepada ajaran Islam, dalam arti menambah catatan, di mana ajaran Islam mengakui keterbatasan akal manusia. Dengan demikian idealisme, kita naikkan lagi menjadi idealisme Ketuhanan dalam arti Islam.

Hakikat ilmu berorientasi terhadap dunia empiris, yaitu yang diangkat dari fakta empiris, maksudnya fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan menggunakan pancaindra. Karena itu dapat dikatakan ilmu sebagai pengalaman empiris. Untuk menghadapi fakta empiris ini perlu ditempuh langkah-langkah, abstraksi dan asumsi.

Yang dimaksud dengan abstraksi adalah kita memisah-misahkan berbagai peristiwa, sehingga akan tergambar dalam pikiran kita mengenai gambaran yang ideal dari peristiwa itu. Setelah itu hasilnya kita selidiki apakah di antara peristiwa-peristiwa itu terdapat hubungan atau korelasi tertentu, dan dalam keadaan apa korelasi itu terjadi.

Langkah berikutnya adalah asumsi atau anggapan dasar. Anggapan dasar ini digunakan sebagai titik tolak bagi segala pandangan atas kegiatan yang kita hadapi. Dalam berasumsi ini dapat diambil postulat atau dalil yang diyakini kebenarannya, walaupun kebenaran itu tidak dapat dibuktikan secara empiris. Dengan ini, berasumsi dapat dengan mengambil postulat yang ada dalam al-Qur’an atau dengan cara mengambil asumsi dari teori para ahli. Dalam hal mengambil postulat dari al-Qur’an inilah kelihatan dasar ontologi yang Islami. Mengapa begitu, karena ilmu Barat dibentuk atas dasar fakta empiris atau indriawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yaitu Allah yang telah memberikan esensi berbagai ilmu, antara lain ilmu ketuhanan, ilmu sosial dan ilmu kealaman, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an.

Pandangan Barat tentang ilmu inilah yang menjadikan sebab munculnya ilmu pengetahuan yang sekuler. Memang harus kita akui bahwa kebudayaan Barat telah berhasil menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Namun Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa saat ini banyak ahli pemikir yang menggugat renaissance yang telah melahirkan peradaban modern itu. Di antara pemikir yang dimaksud adalah: A.J. Toynbee, Alexander Silzhenitsyn, Roger Garaudy dan Hamid Alqar.

Dalam hal ini Toynbee berpendapat, “Peradaban modern telah melahirkan materialisme dan kegelisahan-kegelisahan spiritual yang amat dahsyat. Dua perang dunia dan sistem totalitarianisme adalah anak kandung yang lahir dari rahim abad sekuler ini hampir-hampir saja menghancurkan peradaban Barat”. Hal ini bukan berarti kita menolak ilmu pengetahuan dari Barat. Akan tetapi kita akan mengisi dengan nilai-nilai agama khususnya Islam yang diambil dari al-Qur’an. Dengan demikian maka dasar ontologi kita adalah bahwa hakikat ilmu adalah petunjuk dari Tuhan, dalam arti ilmu berdasarkan intelek yang dapat mengetahui esensi yang mengarahkan rasio untuk membentuk ilmu yang ditopang oleh kesadaran dan keimanan terhadap kekuasaan Tuhan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim dalam Menggali dan Mengembangkan Ilmu"