Martabat Manusia dalam Islam
Table of Contents
Martabat Manusia |
The vicegerency berarti bahwa manusia berhak memilih apa yang dia inginkan atau tidak ingin dilakukan, dan kekuatan untuk menyadari kehendaknya. Kemudian dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an bahwa segala sesuatu di bumi ini diciptakan untuk manusia Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah: 29), dan kemampuan manusia dalam mendengar dan melihat ditujukan Tuhan untuk mengujinya, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat (QS. Al-Insan: 1).
Apakah derajat yang paling mulia ini benar-benar dimiliki oleh setiap manusia? Apakah setiap individu memiliki martabat sebagai manusia? Secara umum kitab suci menjamin martabat seluruh umat manusia. Yang mana disebutkan, Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra’: 70). Berdasarkan pernyataan ini, setiap manusia harus mendapatkan perlakuan yang sama. Ketika Nabi Muhammad mengabaikan seorang rakyat jelata yang buta di Mekkah karena beliau sibuk melayani kepentingan orang-orang terkemuka, Tuhan menegurnya. Dia mengingatkannya agar tidak memberi perhatian kepada orang-orang dengan golongan yang lebih tinggi dari apa yang dilakukannya terhadap orang dengan golongan lebih rendah. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya (QS. ‘Abasa: 1-10).
Martabat manusia sesungguhnya adalah sesuatu yang diwariskan pada waktu penciptaannya. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dengan bebas. Tak seorang pun berhak mengambil hidup seseorang, kecuali untuk alasan yang dibenarkan oleh hukum. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (QS. Al-An’am: 64). Juga adanya larangan melakukan perbudakan karena menyembah kepada selain Tuhan adalah dilarang. Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah (QS. Ali Imran: 64).
Karena setiap manusia berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya, paling tidak ada dua kelompok yang membahas tentang hal tersebut yaitu para ahli agama (Mutakallimun) dan juga para ahli hukum. Ahli agamanya sepertinya menaruh perhatian pada kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Mereka tidak mengetahui hak apa pun yang didapatkan oleh manusia kecuali yang oleh kaum Mu’tazillah disebut sebagai janji dan ancaman, (al-wa’d wa’l-wa’ide), contohnya pahala dan hukuman yang akan didapatkan manusia di akhirat atas hal yang telah mereka lakukan di kehidupan duniawi. Mereka tidak membahas apa pun yang berhubungan hak dalam kehidupan ini.
Alasan yang mendasari ketiadaan ini tampaknya adalah bahwa mereka berpikir tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini adalah wajar tentang tidak diberikannya hak kepada manusia, karena hal ini mengesankan adanya kewajiban Tuhan, suatu hal yang ditolak oleh orang yang beriman. Memang benar bahwa semua ahli agama setuju terhadap konsep pahala dan dosa, tetapi hanya kaum Mu’tazillah yang berpendapat bahwa Tuhan diberi kewajiban memberi pahala kepada barang siapa yang berbuat kebaikan dan menghukum yang melakukan kejahatan.
Menurut para ahli hukum, manusia adalah seperti seorang wakil untuk suatu tindakan yang sesuai dengan undang-undang. Wakil ini harus memenuhi syarat untuk memiliki kemampuan melakukan tindakan yang legal (ahliyyaal-ada’) yang mengharuskannya bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Dalam hal ini manusia digambarkan sebagai objek dari suatu tugas keagamaan (mukallaf), suatu keadaan mendasar di mana kemampuan akal dan pemahaman terhadap wacana keagamaan (aqilan yafwan al-khitab). Tujuan akhir dari tugas ini adalah bahwa wakil tersebut mematuhi dan menjalankan apa yang diperintahkan.
Karena wakil yang mengemban kewajiban ini haruslah seseorang (al-shakhs), hukum Islam membicarakan tentang menjadi seseorang atau seorang pribadi (shakhsiyya) yang diberi hak dan kewajiban. Mengenai manusia sebagai seorang pribadi, M.A. Al-Zarqa’ menulis dalam bukunya Al-Fiqh al-Islami fi Thawbih al-Jadi, dalil hukum mengindikasikan bahwa seseorang telah dianggap ada sejak terjadinya pembuahan sperma dalam rahim ibu dengan syarat bahwa sperma tersebut hidup meskipun hanya secara dugaan. Oleh karena itu, manusia telah dianggap ada sejak terjadinya proses pembuahan.
Seorang pribadi ini hanya berakhir dengan kematian tetapi sebenarnya masih ada, yang berarti bahwa kewajiban yang sah dan perhitungannya masih dianggap berlaku setelah beberapa saat sampai dimungkinkan dilunasi hak-haknya. Maka, seorang nelayan yang meninggal setelah memasang jala berhak memiliki ikan yang tertangkap di jaring tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya.
Hukum juga mengatur tentang kapasitas kewajiban legal dan hak-hak (ahliyya al-wujub) yang berarti bahwa setiap manusia terhadap keputusan tentang hukum menjadi manusia. Seorang idiot tidak mampu melakukan tindakan hukum, tapi dia berhak mendapatkan jaminan hukum, seperti kepemilikan dan warisan. Begitu juga dengan anak-anak di bawah umur. Jaminan tersebut adalah semacam hak untuk setiap manusia, tanpa mempermasalahkan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, adalah indikasi yang sangat jelas bahwa Islam mengakui persamaan derajat setiap individu.
Tetapi ada tingkatan-tingkatan status setiap manusia menurut pilihan-pilihannya masing-masing. Ada yang paling mulia di antara semua makhluk yang paling mulia, yaitu barang siapa yang melaksanakan tugasnya dengan cara yang paling benar, atqakum; tapi ada juga yang berstatus paling rendah, asfal safilin, yaitu mereka yang disamakan dengan binatang ternak, bahkan lebih buruk. Hal ini dikarenakan mereka tidak menggunakan dengan benar anugerah yang telah dilimpahkan kepada mereka untuk mempertimbangkan dengan benar apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak. Pandangan yang pantas ini wajar bagi manusia karena diciptakan semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhan, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. Al-Dhariyat: 56).
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Machasin. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download
Post a Comment