Konsep Negara-Bangsa dalam Islam

Table of Contents
Konsep Negara-Bangsa dalam Islam
Negara-Bangsa
Pertemuan antara Barat dan Muslim Timur, baik melalui kolonialisme seperti yang terdapat di sebagian besar negara Muslim maupun melalui hubungan normal seperti yang terjadi di Turki telah memengaruhi banyak negara Muslim dalam mengembangkan sistem politik modern. Dalam kondisi ini, ulama atau cendekiawan Muslim mengembangkan sistem politik modern. Dalam kondisi ini, ulama atau cendekiawan Muslim mengembangkan pemikiran atau teori politik baru, yang dalam banyak hal berbeda dengan teori politik klasik dan pertengahan. Jika teori politik Islam klasik sebagian terpengaruh oleh filsafat Yunani juga elemen-elemen dari Bizantium dan Persia, teori politik Islam kontemporer sebagian dipengaruhi oleh atau respons kepada teori dan sistem politik Barat. Oleh karena itu, teori politik Islam kontemporer juga menggambarkan ide-ide politik modern, seperti negara-bangsa, nasionalisme, sekularisme, sosialisme, kapitalisme, demokrasi, pluralisme, dan sebagainya.

Munculnya teori politik Islam kontemporer diperkenalkan oleh al-Afghani (1838-1897) dan Abduh (1849-1950). Pemikiran politik Abduh diilhami oleh munculnya ide-ide politik yang bersifat sekuler, seperti pemikiran Ali abd al-Raziq dan Toha Husein, meskipun muridnya yang paling dekat Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) kemudian dirujuk sebagai seorang tradisionalis, sementara muridnya yang lain tetapi menjadi modernis seperti Husain Haikal. Abdul al-Raziq bahkan menulis sebuah buku, Al-Islam wa Usul al-Hukm pada 1925, setelah setahun penghapusan kekhalifahan Islam di Turki. Menurutnya, Nabi Muhammad hanyalah seorang utusan untuk secara murni menyebarkan agama, yang tidak tercampur dengan kecenderungan pada kekuasaan dan menyebarkan negara. Otoritas Nabi atas orang Muslim adalah sebagai seorang misionaris, bukan seorang yang mempunyai otoritas politik. Penghapusan kekhalifahan Islam diikuti oleh deklarasi negara sekuler Turki, dan ide-ide sekuler Abd al-Raziq menuai reaksi dari ulama dan pemimpin-pemimpin Muslim. Rasyid Ridha bahkan menulis sebuah buku, al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma pada 1923, sebagai respons terhadap maksud Mustafa Kemal menghapus institusi kekhalifahan.

Tidak seperti teoretisi politik Islam periode klasik dan pertengahan yang menyepakati penyatuan antara agama dan negara, teoretisi politik Islam kontemporer mempertanyakan hubungan agama dan negara. Dalam dunia Islam kontemporer terdapat tiga pendapat di antara intelektual Muslim dan Ulama mengenai doktrin Islam dan urusan negara. Pertama, pemikiran konservatif yang mendukung penyatuan antara negara dan agama, karena, menurut mereka, doktrin-doktrin Islam berisi sistem sosial yang komplit. Kelompok ini terdiri dari: (a) kaum tradisionalis, yaitu yang menganut pemikiran tradisi dan praktik Islam klasik dan pertengahan seperti Rasyid Ridha dan Taqiyy al-Din al-Nabhani, (b) fundamentalis/ islamis, yaitu yang melaksanakan reformasi sistem politik dengan mengislamisasikan kembali sistem politik dan menolak sistem buatan manusia, seperti Sayyid Qutub, Abul A’la al-Maududi dan Hasan Turabi. Fundamentalis yang dimaksud di sini adalah yang mendukung slogan kembali kepada doktrin fundamental Islam dan menyatakan superioritas perintah Tuhan, berusaha mengimplementasikannya secara total. Untuk mendukung kepercayaan ini, mereka menolak kesementaraan perintah yang dibuat manusia yang diadopsi sebagai dasar sistem sosial Islam.

Kedua, modernis atau neo-modernis, yang mengatakan bahwa Islam hanya berisi prinsip-prinsip kehidupan sosial sehingga Muslim dapat mengembangkan sistem sosial mereka dengan inovasi atau imitasi dari sistem lain, khususnya sistem Barat. Pemimpin penting dari kelompok ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan Husain Haikal. Ketiga, sekuleris, yang memisahkan antara negara dengan agama, karena Islam sama dengan agama lain, hanya berisi sistem teologi. Pemimpin utama kelompok ini adalah Abd al-Raziq dan Taha Husain. Secara umum, kelompok yang pertama menolak ide-ide dan sistem politik Barat; kelompok kedua cenderung menerimanya dengan sedikit penyesuaian; dan kelompok ketiga, dalam bagiannya menerima secara penuh ide-ide dan sistem politik Barat.

Terlepas dari pemikiran tersebut, kedatangan kolonialis Barat ke negara-negara Islam menyebabkan pengurangan eksistensi doktrin-doktrin Islam di antara para pemeluknya. Mereka memperkenalkan hukum mereka sendiri, yang bersifat sekuler melalui kekuasaan mereka dan melalui pendidikan modern bagi anak-anak Muslim. Dari sanalah proses sekularisasi di sebagian negara-negara Islam terus berjalan bahkan sampai negara-negara ini menjadi negara yang merdeka. Proses tersebut didukung oleh kelompok ketiga, khususnya sejak perkembangan Turki modern oleh Mustafa Kemal yang memperkenalkan secara tegas Negara Sekuler. Kondisi ini memengaruhi kemunculan pembaruan Islam di banyak negara untuk menentangnya. Banyak revivalis yang menuntut penerapan hukum Islam (Syari’ah) secara total, seperti disuarakan oleh kelompok pertama. Beberapa di antara revivalis Islam berhasil menerapkan syari’ah, seperti yang terjadi, misalnya, di Iran dan Sudan; dan beberapa yang lain berhasil memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap Islam yang telah menjadi lebih positif, seperti yang terjadi, dalam beberapa kondisi, di Jordan, Indonesia, dan Malaysia.

Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan antara Islam dan Sekularisme:

Di antara aktivis dan intelektual Muslim yang menolak sekularisme ada tiga orientasi mengenai posisi Islam dalam kehidupan negara: (1) Islam sebagai ideologi, dinyatakan oleh mereka yang berkomitmen melaksanakan syari’ah sebagai hukum positif atau bahkan sebagai dasar negara; (2) Islam sebagai sumber etika dan moralitas, ditunjukkan oleh mereka yang mendukung penerapan nilai-nilai dan etika Islam hanya dalam kehidupan masyarakat dan agama; (3) Islam sebagai sub-ideologi ditunjukkan oleh mereka yang mendukung nilai-nilai dan etika Islam juga syari’ah Islam sejauh memungkinkan untuk memasukkannya dalam hukum nasional. Pendapat yang pertama bahkan berusaha mendirikan kembali kekhalifahan Islam sebagai sebuah pemersatu, bukan sebuah federasi. Negara bagi semua Muslim di dunia, seperti yang disuarakan oleh Partai Pembebasan Islam (Hisbut Tahrir) di Jordan yang didirikan oleh Taqyy as-Din an-Nabhani (w. 1977). Menurut pendapat ini, penerapan syari’ah tidak efektif tanda institusi negara. Pendapat kedua mendukung orientasi nasional lebih dari orientasi Islam, khususnya dalam negara nasional yang plural. Sementara itu pendapat ketiga adalah sintesis antara pendapat yang pertama dan kedua yang akan menjadi equilibirum antara orientasi agama dan nasional.

Orientasi di atas mempengaruhi pengekspresian dan perjuangan aspirasi Muslim dalam proses transformasi sosial dan politik, yang dapat dibedakan dalam pendekatan struktural dan kultural. Pendekatan struktural juga disebut Islam Politik menekankan transformasi pada institusi sosial dan politik. Sedangkan pendekatan kultural, juga disebut Islam Kultural menekankan transformasi pada tingkah laku sosial. Tetapi, relasi timbal balik antara keduanya sangat erat. Transformasi melalui pendekatan struktural diharapkan mempengaruhi transformasi tingkah laku sosial. Sebaliknya, transformasi tingkah laku sosial diharapkan memengaruhi terhadap transformasi institusi sosial dan politik. Seperti lobi-lobi atau melalui sosialisasi pandangan-pandangan kaum Muslim yang kemudian menjadi input dalam pembuatan keputusan publik dan sebagainya. Sebaliknya, pendekatan kultural mensyaratkan sosialisasi dan internalisasi ajaran-ajaran Islam oleh komunitas Muslim tanpa dukungan langsung dari otoritas politik. Pendukung pendapat pertama lebih suka menggunakan pendekatan struktural, sementara pendukung pendapat kedua lebih suka menggunakan pendekatan kultural. Pendapat ketiga, dalam hal ini, lebih suka menggunakan kedua pendekatan tersebut secara simultan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Masykuri Abdillah. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment