Konsep Ilmu Menurut Pandangan Islam
Table of Contents
Ilmu Menurut Islam |
Bila memerhatikan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5), kita diingatkan bahwa sejak semula Islam membawa semangat kembar: tauhid dan keilmuan. Semangat tauhid tampak pada penyandaran ontologis manusia bahwa ia diciptakan dari segumpal darah, sementara semangat keilmuan tampak pada penyandaran etis bahwa Tuhan selain Pencipta juga Pemurah yang memberikan ilmu kepada manusia lewat hasil goresan pena-Nya. Semangat kembar di atas bahkan telah diberikan Allah sejak penciptaan Adam. Semangat keilmuan tampak pada ayat-ayat: Dan mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya (QS. Al-Baqarah [2]: 31); dan Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya (QS. Al-Baqarah [2]; 37). Adapun semangat tauhid tampak pada ayat: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya) berfirman: Bukankah Aku ini Tuhanmu Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan demikian itu) agar hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (QS. Al-A’raf [7]: 172).
Pernyataan yang muncul berikut adalah mengapa keilmuan menjadi salah satu sisi dari dua semangat kembar yang dibawa Islam? S.M. Hossain, melalui deduksi dari al-Qur’an mencoba memberi jawaban, bahwa tidak seorang pun dapat menangkap pesan-pesan wahyu, kecuali orang-orang yang memiliki dan menggunakan akalnya (QS. Ali Imran [3]:7). Kurangnya ilmu pengetahuan yang benar, dapat menggiring manusia senang memaki-maki orang lain dan terutama Allah (QS. Al-An’am [6]: 108), bahkan menyembah Tuhan selain Dia (QS. Al-Hajj [22]:71). Barang siapa yang mendapatkan hikmah (ilmu), sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak (QS. Al-Baqarah [2]: 269). Bahkan hanya orang-orang yang beriman dan berilmu saja yang akan ditinggikan beberapa derajat (QS. Al-Mujadilah [58]: 11). Begitu juga hanya orang-orang yang berilmu yang benar-benar takut kepada Allah dan (karenanya tetap) melangkah jalan kebajikan (QS. Fatir [35]: 28). Tak heran bila di antara doa-doanya, Rasulullah SAW memohon ditambah dan dikembangkan ilmunya (QS. Taha [20]: 114).
Do’a Rasulullah SAW serta pernyataan beliau yang mengandung anjuran bahkan perintah, kemudian berkembang menjadi satu etos. Pernyataan beliau yang telah kita kenal, seperti, mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim; carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat; carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina; ilmu (pengetahuan) itu milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain; Barang siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di bawah para Nabi; Para ilmuwan itu pewaris (tugas) para Nabi.
Etos ilmu itu telah menumbuhkan proses belajar mengajar yang pada gilirannya menimbulkan perkembangan ilmu dalam berbagai cabangnya. Berbagai ilmu itu telah menjadi pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ilmu telah menjadi salah satu unsur kebudayaan, bahkan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Muslim di masa lampau.
Bila ajaran Islam sudah sedemikian rupa dapat mengembangkan etos keilmuan, maka bagaimanakah konsep ilmu dalam Islam. Kata ilmu merupakan serapan dari kata Arab ‘ilm yang secara terminologi berarti pengetahuan. Pemahaman kita tentang pengetahuan dapat diartikan secara luas, mencakup segala hal yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah terminologi generik yang mencakup segenap cabang pengetahuan yang kita miliki. Sementara ilmu lebih dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif lebih teratur dan terorganisasikan. Hal itu tercermin dari keharusannya yang didukung oleh bukti dan kesahihan (validitas) metode yang digunakan untuk memperolehnya.
Kata ‘ilm walaupun pada mulanya hanya sekedar bermakna pengetahuan biasa, melalui ayat-ayat al-Qur’an yang turun setahap demi setahap dan etos keilmuan yang dibentuknya, ia berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri yang terstruktur.
Hal itu dapat dipahami dari kesadaran ontologis dan kesadaran etis yang dipantulkan oleh wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Telah disinggung sebelumnya, bahwa pemilik khazanah pengetahuan adalah Allah, dan khazanah tersebut dinamakan al-‘ilm. Oleh karena itu pula di dalam Islam salah satu nama lain Allah adalah Al-’Alim, yang artinya Yang Maha Mengetahui (QS. Al-Maidah [5]: 97; al-Mulk [67]: 26). Pengetahuannya melampaui gejala, materi dan alam semesta, baik yang terlihat manusia maupun yang tidak terlihat (QS. Al-Hasyr [59]: 22), yaitu seluruh penciptaan dan makhluk-Nya. Kemahaluasan khazanah pengetahuan Allah dilukiskan al-Qur’an dengan pernyataan: Dan seandainya pohon-pohon yang ada di atas bumi ini menjadi pena dan laut (menjadi tinta), kemudian setelah kering ditambah tujuh laut (tinta) lagi, niscaya Kalimat (Ilmu) Allah itu tidak akan habis (ditulis dengannya). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Lukman [31]: 27).
Manusia adalah makhluk yang dititipi pengolahan bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Agar dapat melaksanakan amanah itu dengan baik, manusia dituntut untuk memburu sebagian rahasia khazanah pengetahuan yang disebut al-‘ilm. Khazanah itu terutama yang berkaitan dengan seluk beluk alam di sekitarnya, termasuk hubungan antarmanusia, hubungan antarmanusia dengan makhluk hidup yang lain, dan hubungan dengan lingkungan fisik, baik di darat, di laut, di dalam perut bumi, maupun di ruang angkasa. Semua itu dilakukan dalam rangka beribadah, penuh ketundukan kepada Allah di mana Dia menyediakan sarana dan sumbernya. Manusia ketika lahir tidak tahu apa-apa, Allah memberinya sarana untuk meraih pengetahuan, yaitu: indra dan akal budi (QS. An-Nahl [16]: 78). Allah pun menyediakan sumber pengetahuan yang di dalam al-Qur’an disebut ayat, yang berarti tanda atau fenomena. Bila dilakukan klasifikasi, fenomena-fenomena itu ada yang disebut qawliyyah berupa wahyu Allah yang tersurat dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]: 146), dan ada yang disebut kawniyyah yang terdapat dalam alam semesta dan diri manusia (QS. Fussilat [41]:53). Kedua fenomena itu telah Allah berikan kepada manusia semenjak Adam. Z.R. An-Najjar menafsirkan kata nama-nama (benda) pada QS. Al-Baqarah [2]: 31: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya sebagai fenomena kawniyyah, dan menafsirkan kata kalimat pada QS. Al-Baqarah [2]: 37: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya sebagai fenomena qawliyyah.
Cara memperoleh pengetahuan, al-Qur’an kemudian menyebut tiga macam. Pertama, melalui nalar, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf ‘ilm al-yaqin (QS. At-Takasur [102]: 5). Kebenaran pengetahuan logik/rasional ini bergantung kepada kebenaran asumsi-asumsi atau postulat-postulatnya seperti pada deduksi, atau kepada probabilitas-probabilitas seperti pada induksi. Kedua, melalui pengamatan, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf ‘ayn al-yaqin (QS. At-Takasur [102]: 7). Pengetahuan sensual ini bergantung kepada pengetahuan aktual (observasi dan eksperimen). Ketiga melalui pengalaman batin, dan tingkat kebenarannya ada pada taraf haqq al-yaqin (QS. Al-Haqqah [69]: 51). Kebenaran pengetahuan transendental ini bergantung pada bimbingan ilahiah, baik dalam bentuk insting, seperti lebah yang membangun sarangnya (QS. An-Nahl [16]: 86); intuisi, seperti bisikan malaikat kepada orang-orang yang istiqamah (QS. Fussilat [41]: 30); inspirasi, seperti kejadian ibu Musa ketika ia dengan tenang melemparkan anaknya ke sungai (QS. Al-Qasas [28]: 7); maupun wahyu, seperti kepada para Nabi utusan Tuhan (QS. An-Nisa’ [4]: 163-164). Dengan demikian, kebenaran pengetahuan ini bersifat mutlaq, dan karena itu berada pada taraf yang tertinggi.
Dua cara pertama, baik menurut pengamatan maupun nalar, digunakan manusia untuk memburu pengetahuan di balik fenomena kawniyyah, baik yang terdapat di alam semesta maupun di dalam dirinya. Interpretasinya terhadap fenomena kawniyyah dan kemudian disusun menjadi suatu bentuk yang berpola menghasilkan ilmu. Fenomena tersebut dalam terminologi klasik disebut al-‘ulum al-aqliyyah. Walaupun al-Ghazali menyebutnya ‘ulum ghairu syar’iyyah, di mana Ibnu Khaldun menyebutnya ‘ulum falsafiyah. Melalui cara ketiga, yaitu pengalaman batin, Nabi Muhammad SAW memperoleh pengetahuan qawliyyah yang tingkat kebenarannya pada taraf haqq al-yaqin. Pengikut Nabi Muhammad SAW kemudian mencoba menangkap makna (esensi) dari fenomena qawliyyah itu. Interpretasinya terhadap fenomena qawliyyah yang dikumpulkan dan kemudian disusun menjadi suatu bentuk yang berpola dapat menghasilkan ilmu yang dalam terminologi klasik disebut sebagai ‘ulum naqliyyah, sedangkan al-Ghazali menyebutnya sebagai ‘ulum Syar’iyyah.
Klasifikasi di atas sengaja dilakukan agar tidak terkesan diplomatis, tetapi tetap dalam alur monokotomis, sesuai dengan prinsip tauhid. Selanjutnya perlu dipahami bahwa kebenaran mutlak (al-haqq) hanya pada Allah semata. Sedangkan yang dapat dicapai oleh manusia (dengan interpretasi kawniyyah maupun interpretasi qawliyyah) hanyalah merupakan kebenaran relatif.
Perlu dicatat di sini bahwa dalam klasifikasi ilmu tidak digunakan terminologi klasik (aqliyyah dan naqliyyah) karena walaupun diakui bahwa al-Qur’an (dan sunnah) itu merupakan fenomena naqliyyah, tetapi interpretasi manusia terhadapnya dalam rangka menangkap makna di balik ayat (fenomena), bagaimanapun melibatkan fakultas akal yang dimilikinya. Oleh karena itu, klasifikasi ilmu di sini menggunakan terminologi kawniyyah dan qawliyyah yang lebih merujuk kepada sumber ilmu masing-masing.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Download
Baca Juga
1. Implikasi Konsep Ilmu dalam Pandangan Islam
2. Ontologi Studi Islam
3. Epistemologi Studi Islam
4. Aksiologi Studi Islam
Post a Comment