Filsafat Islam. Jalan Memperoleh Pemahaman yang Benar
Table of Contents
Filsafat Islam |
Ibnu Rusyd, sebagai filsuf muslim, merasa tidak cukup hanya melalui alat logika saja untuk mengetahui rahasia alam semesta tersebut. Dia hendak menyisihkan sejenak penalaran secara filosofis dan memberikan tempat bagi pemahaman secara syar’i di mana syari’at itu memang mewajibkan pemakaian proses nalar. Al-Qur’an secara tegas mewajibkan seorang yang berakal agar meneliti isi langit dan bumi, untuk mengetahui keunikannya dengan akal yang dilandasi dengan keimanan. Demikian, Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa meskipun dia seorang rasionalis murni tapi ia adalah seorang muslim, yang keimanannya terhadap al-Qur’an begitu mantap. Ibnu Rusyd menganut pemahaman metaforis (ta’wil) dalam memahami al-Qur’an. Dengan demikian, berarti dalam pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu objek atau konsep, ia mendasarkan pada qiyas atau persamaan, di mana suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu dapat dialihkan kepada makna lain.
Sedangkan dalam pengejawantahan pesan al-Qur’an yang menekankan pada unsur pemahaman terhadap alam semesta dan pencipta-Nya, Ibnu Rusyd menganut metode burhani tetapi dia tidak menutup kemungkinannya dengan menggunakan metode jadali dan khitabi, yang pada gilirannya dapat dijadikan contoh bagi masyarakat secara luas, khususnya para ahli pikirnya. Metode pemahaman yang ditawarkan Ibnu Rusyd melalui metode burhani itu, posisinya sangat kuat. Namun, karena metode tersebut menonjolkan kekuatan akal lebih dari segalanya, menurut Gibb, ia merupakan bentuk anthropomorphisme yang cenderung menuhankan kecakapan manusia. Hal tersebut lebih berbahaya daripada anthropomorphisme yang mengutarakan tentang Tuhan itu dalam bentuk kemanusiaan. Logikanya, jika metode tersebut (burhani) diibaratkan suatu bangunan, kuatnya bangunan tersebut berdiri karena dibangun melalui dasar landasan yang kuat. Mengapa demikian? Seseorang yang ingin mencapai atau menggunakan metode tersebut harus benar-benar memahami qiyas mutlaq kemudian meningkat pada qiyas khitabi, jadali dan akhirnya masuk di dalam qiyas burhani.
Pada dasarnya Ibnu Rusyd berusaha sekuat tenaga untuk menerangkan perkataan-perkataan khitabiyah, jadaliyah dan burhaniyah. Ia terus berusaha untuk mencapai tingkat burhan, yang dianggap sebagai puncak keyakinan dalam pemahaman. Lebih daripada itu dia menyatakan bahwa, semua itu merupakan kunci filsafatnya yang tersusun dalam tiga kategori, yang berbeda yakni: tingkatan khitabi, jadail, dan burhani.
Sebenarnya siapakah yang lebih tepat memahami masing-masing metode pemahaman tersebut, dalam karyanya, Fasl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittisal, menerangkan bahwa kategori manusia dibagi menjadi tiga macam. Pertama: mereka yang dikategorikan sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang yang berpikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorang pun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khitabi). Kedua: mereka yang dikategorikan termasuk ahli takwil dialektik, mereka itu secara alamiah terbiasa berpikir jadali. Ketiga: mereka yang dikategorikan termasuk ahli dalam melakukan takwil yaqini, mereka itu secara alamiah dan atau dengan latihan filsafat, mampu berpikir secara demonstratif (burhani).
Takwil-takwil burhani ini sebaiknya tidak disampaikan kepada mereka yang berpikir dialektik, apalagi kepada mereka yang berpikir secara retorik (yakni kebanyakan orang). Satu bagian saja dari takwil burhani ini disampaikan kepada mereka yang bukan ahlinya, jelas akan menyesatkan mereka ke jurang nista, karena takwil tersebut menuntut kemampuan intelek lebih tinggi di atas kemampuan rata-rata inteligensia kebanyakan orang.
Berbagai macam tingkatan/jalan menuju pemahaman telah diterangkan. Adapun mekanisme memperoleh pemahaman sedikitnya ada dua cara. Pertama, bahwa usaha mencapai pemahaman digerakkan oleh sensasi, perasaan dan paham yang tidak diketahui, bila dan bagaimana ia datang atau muncul. Hal itu diperoleh pada masa lalu, melalui pengalaman di mana cara mendapatkannya tidak diingat lagi. Kedua, bahwa usaha memahamkan gambaran tentang alam yang mempunyai sesuatu yang sejati sebagai wujud luar dapat menghantarkan seseorang melalui akalnya untuk dapat memperoleh pengetahuan dengan jalan pelimpahan. Wujud luar ini merupakan paham yang terpisah dan itulah akal pengganti yang lebih tinggi daripada benda dan ia selamanya berbuat. Persatuannya dengan akal merupakan keberuntungan manusia. Pada mulanya Ibnu Rusyd mengikuti teori Ibnu Bajjah tentang konsep persatuan. Ibnu Rusyd dalam De Anima mengatakan, bahwa manusia terbagi menjadi dua jenis, manusia biasa dan manusia beruntung. Manusia biasa mendapatkan pengetahuan melalui jalan hukum alam yang membersihkan bentuk perasaan.
Mencermati dua mekanisme pemahaman tersebut, maka dari tiga tingkatan manusia yang telah diterangkan di atas dapat digolongkan menjadi dua; Pertama, mereka yang memahami sesuatu apa adanya sesuai dengan hukum alam, di mana peran nalar tidak diperlukan sehingga taraf pemahaman mereka sangat sederhana dan relatif stabil karena tidak pernah mengalami gejolak pemikiran. Kedua, mereka yang mengandalkan pengalaman gejolak pemikiran melalui hasil penalaran. Melalui corak pemahaman yang kedua inilah, sosok generasi yang diharapkan muncul yang mampu membaca fenomena alam untuk dikembangkan demi kesejahteraan umat manusia di bumi.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Download
Post a Comment