Batasan Kemampuan Rasio dan Hubungan antara Wahyu dan Akal
Table of Contents
Wahyu dan Akal |
Ibnu Rusyd menjelaskan hubungan antara filsafat dan syari’at, yang pertama bersumberkan pada akal, sedangkan yang kedua bersumberkan pada wahyu. Ia menyatakan sebagai berikut, Jika syari’at itu benar adanya serta ia mengajak kepada penalaran yang akan menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahwa suatu penalaran burhani tidak akan bertentangan sedikit pun dengan syari’at. Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan justru saling mendukung di samping masing-masing berada pada posisi yang kokoh.
Bila demikian halnya, maka apabila penalaran burhani berusaha memahami segala yang ada, maka hal itu mengindikasikan dua kemungkinan; di mana masalah itu dibicarakan oleh syara’ atau tidak dibicarakannya. Apabila suatu masalah tidak dibicarakan oleh syara’, maka hal itu tidak berarti bertentangan, karena kedudukannya sama dengan kedudukan suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh syara’. Menyikapi keadaan seperti ini diperlukan seorang mujtahid yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan qiyas syar’i. Begitu juga jika sesuatu dibicarakan dalam syara’, hal itu mengandung dua kemungkinan juga: bersesuaian dengan nalar burhani atau justru bertentangan. Jika terjadi pada yang kedua itu, maka pemahamannya dilakukan melalui metode takwil.
Terjadinya suatu ketidaksamaan antara filsafat dan syari’ah yang mengharuskan adanya takwil, menurut Majid Fakhry ada implikasinya, sekalipun keserasian filsafat dengan kitab suci sebagai dasar-dasar kepercayaan itu penting, namun agama mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada filsafat. Sementara filsafat berurusan dengan masalah kebahagiaan intelektual sekelompok kecil manusia (para filsuf), sedangkan agama berurusan dengan kebahagiaan semua pihak. Oleh karena itu ia kemudian mengemukakan tiga macam argumen: retorik, dialektika, dan demonstratif. Kendati berbeda, ketiga argumen itu tidaklah bertentangan. Hasil-hasil yang dicapai melalui metode demonstratif, pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh melalui metode dialektis atau retorik, hanya bentuknyalah yang berbeda.
Selain itu, ada suatu wilayah yang secara keseluruhan berada di luar lingkup akal yang tidak dapat dijelajahi oleh filsafat. Oleh karena itu al-Ghazali benar ketika mengatakan bahwa berkenaan dengan apa pun yang ada di luar pengetahuan manusia, maka haruslah ditempuh kemudian melalui jalan kitab suci. Hal itu tampaknya tidak terlalu jauh dengan pernyataan Arkoun yang mengutip dari Ihya Ulumi ad-Din, bahwa Nalar tidak dapat berkembang tanpa ajaran yang berdasarkan pendengaran, seperti juga ajaran yang berdasarkan pendengaran tidak dapat berkembang tanpa nalar. Barang siapa mendorong untuk menerima kepatuhan membuta kepada ajaran yang diberikan secara mutlak, berarti ia telah mengesampingkan nalar dan berarti pula ia adalah orang yang tidak menggunakan akalnya. Barang siapa puas dengan nalar dan mengesampingkan pencerahan dari Al-Qur’an dan dari Sunnah, maka ia adalah korban ilusi belaka.
Menurut Arkoun, berbagai aliran selalu menuntut agar ada keselarasan yang ditentukan sebelumnya di antara nalar abadi dan ajaran yang diwahyukan. Hal itu tidak hanya berlaku di dalam aliran-aliran pemikiran Islam, tetapi ia juga berlaku di dalam aliran-aliran agama Yahudi dan Kristen. Keimanan di dalam ajaran yang diwahyukan memberikan rasa nyaman, menerangi dan memandu nalar manusia. Akal manusia berasal dari unsur ilahi yang menjamin kelembagaan ontologis dari berbagai kegiatan nalar. Terkait dengan kasus-kasus tertentu, diakui sering kali akal manusia memang benar-benar tidak dapat mencapai bentuk pengetahuan yang sangat diperlukan manusia. Pada sisi lain beberapa kasus tidak mampu diselesaikan karena rintangan-rintangan yang inheren pada materi pokok itu sendiri. Dalam kasus seperti itu wahyu sudah barang tentu merupakan pelengkap yang sangat diperlukan oleh pengetahuan rasional.
Antara wahyu dan akal harus ada hubungan interaksi hierarkis, artinya wahyu sebagai kebenaran mutlak butuh kemampuan akal untuk menjabarkannya dalam tataran kehidupan manusia. Pada sisi lain kemampuan akal yang terbatas itu, memerlukan wahyu untuk meluruskannya jika ternyata mengalami kebingungan. Sinergi dua sisi saling terkait antara wahyu dan akal, akan dicapai kebenaran secara maksimal, karena keduanya saling menyapa dan bekerja sama. Dengan demikian jelas bahwa Islam menjunjung tinggi kemampuan akal, yang karenanya inovasi baru selalu muncul yang terangkum dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hubungan interaksi hierarkis antara wahyu dan akal, merupakan landasan utama bagi tercapainya aspek-aspek doktrinal-teologis di mana akal merupakan alat utama untuk menginterpretasikan doktrin tersebut. Perlu disadari bahwa hal di atas tidak akan mencapai suatu perkembangan inovatif tanpa adanya kerja sama dengan aspek-aspek kultural-historis. Oleh karena itu untuk mencapai suatu kebenaran maksimal (bukan berarti final) sebagaimana di harapkan di atas, perlu adanya keterkaitan dan kerja sama antara tiga pendekatan: doktrinal-teologis (agama), rasional-filosofis (filsafat), dan kultural-historis (empiris). Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat sirkuler, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan untuk mencapai suatu kesempurnaan, harus sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing yang kemudian bersedia memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri sendiri.
Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan doktrinal-teologis, historis empiris maupun kritis-filosofis.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Download
Post a Comment