Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Moral

Table of Contents
Filsafat Moral Nasiruddin Ath-Thusi
Nasiruddin Ath-Thusi

Pemikiran Filsafat

Dalam pandangan Bakhtiar Hisain, Nasiruddin Ath-Thusi lebih pantas disebut sebagai sarjana mahir dari pada seorang ahli pikir kreatif (filsuf, pen.), dan kedudukannya terutama sebagai seorang penganjur gerakan kebangkitan kembali, sementara karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis (bersifat memilih dari berbagai sumber). Akan tetapi, meskipun seorang penganjur gerakan kembali dan seorang eklektis, ia tetap memiliki keaslian. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogi, musik, sejarah, kesusastraan, dan dogmatik.

Filsafat Moral

Filsafat ini ditangkap dari ringkasan Nasiruddin Ath-Thusi terhadap karya Miskawaih (Tahzib al-Akhlaq) yang memasukkan unsur moral (etika) dalam kitabnya Akhlaq-I Nasiri. Dengan mengikuti pendapat Ibnu Miskawaih, Nasiruddin Ath-Thusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-i quswa) adalah tujuan moral utama yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmik dan diwujudkan melalui kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh.

Konsep kebahagiaan utama pada hakikatnya berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan unsur-unsur angkasa dan tidak menunjuk pada kedudukan kosmik manusia. Kebaikan Plato menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan (yang berasal dari trinitas jiwa yakni akal, kemarahan, dan hasrat) dan keterbedaan mereka menjadi tujuh, sebelas, dua belas, dan sembilan belas spesies, yang diberikan oleh Ibnu Miskawaih, tampak menonjol sekali dalam etika Nasiruddin Ath-Thusi; perbedaannya hanyalah bahwa dia mengurangi sembilan belas spesies menjadi dua belas. Akan tetapi, dengan mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal teoretis, akal praktis, kemarahan dan hasrat, dan tidak seperti Ibnu Miskawaih, Nasiruddin Ath-Thusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis, tanpa menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tetapi seperti Ibnu Miskawaih, ia menempatkan kebajikan (tafadhdahu) di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.

Menurut Nasiruddin Ath-Thusi, penyakit moral itu dapat disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab: (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, atau (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Ini cukup menjelaskan bahwa ketakutan membentuk ketakwajaran kemarahan, dan kesedihan membentuk ketakwajaran hasrat.

Dengan menggunakan teori tiga sebab-akibat penyakit jiwa itu, Nasiruddin Ath-Thusi menggolongkan penyakit akal teoretis menjadi kebingungan (hairat), kebodohan sederhana (jahl-i basit), dan kebodohan fatal (jahl-i murakkab), yang membentuk keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran—suatu penggolongan yang bukan berasal dari Ibnu Miskawaih.

Teori moral Nasiruddin Ath-Thusi didasarkan pada bahwa masyarakat sebagai latar belakang normal dari kehidupan moral, sebab manusia merupakan makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Cinta dan persahabatan, karena itu, merupakan prinsip-prinsip yang penting dalam bermoral—suatu teori yang dengan jelas tidak mengandung kehidupan kepertapaan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Nasiruddin Ath-Thusi. Riwayat Hidup
2. Nasiruddin Ath-Thusi. Karya Filsafat
3. Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Jiwa 
4. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Metafisika dan Logika
5. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Tuhan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment