Ar-Razi. Filsafat Rasionalis

Table of Contents
Filsafat Rasionalis Ar-Razi
Ar-Razi
Ar-Razi adalah seorang rasionalis murni. Ia hanya memercayai akal. Di bidang kedokteran, studi klinis yang dilakukannya menghasilkan metode yang kuat tentang penemuan yang berpijak pada observasi dan eksperimen. Dalam Kitab al-Faraj Ba’d Al-Syiddah-nya At-Tanukhi (wafat 384 H/994 M) dan Chahar Maqalah-nya Nizami ‘Arudi Samarqandi yang ditulis sekitar tahun 550 H/1155 M, kita dapati kasus-kasus yang dilakukan oleh Ar-Razi, saat ia menunjukkan metode penemuan klinis yang sangat baik. E.G. Browne dalam Arabian Medicine menerjemahkan satu halaman yang mungkin diambil dari Hawi—sebuah naskah yang ditulis oleh Ar-Razi yang menunjukkan metode ini.

Sifat rasionalis Ar-Razi terhadap akal tampak jelas dalam bukunya At-Tibb Al-Ruhani. Ia mengatakan: Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna dan yang membuat hidup kita baik—dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi... dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh... Jika akal sedemikian mulia dan penting, kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya, ia adalah pengendali, atau pemberi perintah sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya.

Pernyataan tersebut dengan jelas menempatkan Ar-Razi sebagai rasionalis murni, yakni bahwa tidak ada tempat bagi wahyu atau intuisi mistis. Hanya akal logis yang merupakan kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku. Tidak ada kekuatan irasional dapat dikerahkan. Ar-Razi menentang kenabian, wahyu, kecenderungan berpikir irasional. Manusia lahir dengan kemampuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya melalui pemupukan kemampuan inilah manusia menjadi berbeda, ada yang menggunakannya untuk spekulasi dan belajar, ada yang mengabaikannya, atau mengarahkannya untuk kehidupan praktis.

Begitu juga dalam tulisan Harun Nasution atau Fuad Al-Ahwani dikatakan bahwa Ar-Razi adalah filsuf yang berani mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam, seperti tidak percaya pada wahyu; Qur’an bukan mukjizat; tidak percaya nabi-nabi, dan adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.

Pernyataan ini tidak objektif karena sebagaimana kutipan dari tulisan Ahmad Aziz Dahlan, Ar-Razi adalah filsuf Muslim dan tidak boleh dikafirkan. Analisis ini dapat ditemukan dalam kitabnya Bar’u Al-Sa’ah dan Sirr Al-Asrar, atau At-Tibb Ar-Ruhani, sebagai berikut: Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib bagi menurut semua rasio, menurut semua orang berakal, dan menurut semua agama dan manusia yang baik, yang utama yang sempurna menunaikan apa yang diwajibkan agama yang benar kepadanya (al-syariah al-muhiqqah), tidak takut pada kematian karena agama yang benar itu sungguh telah menjanjikan kepadanya kemenangan, ketenteraman, masuk ke dalam kenikmatan yang terus-menerus.

Ar-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan, Semoga Allah melimpahkan salawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan solawat kepada sayid kita, kekasih kita dan penolong kita di hari Kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya salawat dan salam yang banyak selamanya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ar-Razi adalah seorang rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal karena ia masih mengakui dan mendasarkan logikanya pada agama dan kewahyuan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ar-Razi. Riwayat Hidup
2. Ar-Razi. Karya Filsafat
3. Ar-Razi. Filsafat Lima Kekal
4. Ar-Razi. Filsafat Moral
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment